Quantcast
Channel: Analisis Pencari Kebenaran
Viewing all articles
Browse latest Browse all 147

Apakah Abu Musa Bukan Seorang Munafik? Bantahan Untuk Nashibiy

$
0
0

Apakah Abu Musa Bukan Seorang Munafik? Bantahan Untuk Nashibiy

Nashibiy yang kami maksud adalah penulis berikut. Dan pembaca tidak perlu heran mengapa kami menyebutnya nashibi, jika ia tidak keberatan menuduh kami sebagai orang Syi’ah maka harusnya ia tidak keberatan pula jika ia dikatakan nashibiy. Kami akui tujuannya untuk membantah itu baik sekali tetapi sayangnya kualitas tulisannya tidak menunjukkan kualitas orang yang mengerti metodologi atau cara berhujjah dengan baik.

Tulisan ini hanya ingin menunjukkan kepadanya betapa rapuhnya bantahan yang ia tulis dan silakan ia pikirkan dengan baik [kalau ia memang punya kemampuan untuk berpikir] setelah membaca tulisan ini apakah bantahannya yang sok itu memang berkualitas atau tidak

Secara umum tulisannya tidaklah membantah keseluruhan tulisan yang kami tulis tentang Abu Musa. Sebelumnya kami membawakan tiga keberatan mengenai pribadi Abu Musa yaitu

  1. Riwayat shahih bahwa Huzaifah [radiallahu ‘anhu] menyatakan kalau Abu Musa munafik
  2. Riwayat shahih bahwa Abu Musa termasuk dalam ahlul aqabah dimana ahlul aqabah yang dimaksud adalah orang yang ingin membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat pulang dari perang Tabuk
  3. Riwayat shahih Imam Aliy mendoakan keburukan bagi Abu Musa dalam qunut Beliau.

.

.

Adakah nashibiy tersebut membahas tiga riwayat tentang Abu Musa di atas?. Tidak ada, ia hanya sibuk menukil keutamaan Abu Musa yang mungkin menurut anggapannya dapat membatalkan ketiga riwayat shahih di atas. Maka kita lihat apakah keutamaan Abu Musa yang dimaksud bernilai hujjah untuk membatalkan ketiga riwayat shahih di atas.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عبدالله بن نمير ح وحدثنا ابن نمير حدثنا أبي حدثنا مالك ( وهو ابن مغول ) عن عبدالله بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن عبدالله بن قيس أو الأشعري أعطي مزمارا من مزامير آل داود

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik [ia adalah Ibnu Maghul] dari ‘Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata sesungguhnya Abdullah bin Qais atau Al Asy’ariy diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [Shahih Muslim 1/546 no 793]

Riwayat ini shahih tetapi jika dijadikan pembatal ketiga riwayat shahih yang kami tulis maka itu namanya terburu-buru. Silakan pembaca lihat keutamaan Abu Musa apa yang dinyatakan dalam hadis di atas, tidak lain itu keutamaannya yang memiliki suara yang indah ketika membaca Al Qur’an. Maka dimana letak hujjahnya. Apakah seorang yang bersuara indah tidak bisa menjadi seorang yang murtad atau munafik akibat perbuatan atau maksiatnya kelak?. Ya tidak nyambung itu dua sisi yang berbeda

Jika nashibiy tersebut mengatakan lihatlah keutamaan Abu Musa tersebut yang begitu besar bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyandingkannya dengan nama seorang Nabi [Daud ‘alaihis salaam]. Ini pun hujjah yang aneh cuma permainan bahasa [kata-kata] yang tidak bernilai, silakan lihat keutamaan yang lebih dari itu dimana keutamaan itu disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri.

حدثنا سعيد بن أبي مريم: حدثنا محمد بن مطَّرف: حدثني أبو حازم، عن سهل بن سعد قال قال النبي صلى الله عليه وسلم: إني فرطكم على الحوض، من مر علي شرب، ومن شرب لم يظمأ أبدا، ليردنَّ علي أقوام أعرفهم ويعرفونني، ثم يحال بيني وبينهم قال أبو حازم: فسمعني النعمان بن أبي عياش فقال: هكذا سمعت من سهل؟ فقلت: نعم، فقال: أشهد على أبي سعيد الخدري، لسمعته وهو يزيد فيها: فأقول: إنهم مني، فيقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك، فأقول: سحقاً سحقاً لمن غيَّر بعدي

Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’iid, ia berkata Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda “Sesungguhnya akulah yang pertama-tama mendatangi Haudh. Barangsiapa yang menuju kepadaku akan minum, dan barangsiapa yang minum niscaya tidak akan haus selama-lamanya. Sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi”. Abu Haazim berkata : “kemudian An Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy mendengarku, lalu berkata ‘Beginikah kamu mendengar dari Sahl ?’. Aku berkata ‘Benar’. Lalu ia berkata ‘Aku bersaksi atas Abu Sa’iid Al-Khudriy, bahwasannya aku benar-benar telah mendengarnya dimana ia menambah lafaz : “Lalu aku [Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam] berkata “Mereka adalah bagian dariku”. Namun dikatakan “Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” Maka aku berkata “Menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah [agama] sepeninggalku” [Shahih Al Bukhaariy no. 6583-6584].

Silakan lihat, sahabat Nabi yang terusir dari Haudh tersebut adalah para sahabat yang disifatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan keutamaan “mereka adalah bagian dariku”. Menurut bahasa nashibiy tersebut maka ini adalah keutamaan yang besar bahkan disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Tetapi keutamaan mereka ini batal atau terhapus akibat perbuatan mereka sendiri dimana mereka dikatakan mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis Haudh di atas menjadi hujjah bahwa sahabat Nabi yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri sebagai “bagian dariku” tetap bisa mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Maka bagaimana bisa nashibiy yang dimaksud asal berhujjah dengan keutamaan Abu Musa yang dikatakan diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [‘alaihis salaam]. Apalagi sangat mungkin Huzaifah yang hidup di masa Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan Abu Musa juga mengetahui keindahan suara Abu Musa dalam membaca Al Qur’an dan ternyata hal itu tidak mencegahnya untuk menyatakan Abu Musa munafik.

.liumh8

.

Kemudian nashibiy yang dimaksud membawakan hadis keutamaan Abu Musa Al Asy’ariy yang diriwayatkannya sendiri dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakannya. Dalam sebuah riwayat panjang dari Abu Musa, ia berkata

فقلت ولي يا رسول الله فاستغفر فقال النبي صلى الله عليه و سلم اللهم اغفر لعبدالله بن قيس ذنبه وأدخله يوم القيامة مدخلا كريما

Maka aku [Abu Musa] berkata “wahai Rasulullah mohonkanlah ampun untukku”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti di tempat yang mulia” [Shahih Muslim 4/1943 no 2498].

Seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, ini adalah riwayat Abu Musa Al Asy’ariy sendiri. Kami katakan tidak kuat sebagai hujjah karena jika memang Abu Musa adalah seorang munafik seperti yang dikatakan Huzaifah maka riwayatnya tertolak, bukankah salah satu ciri munafik adalah tidak segan-segan berdusta dalam perkataannya. Maka jika Abu Musa memang munafik maka riwayatnya tertolak.

Duduk perkara disini adalah kami pribadi tidak menetapkan bahwa Abu Musa munafik tetapi kami menilai sejauh mana sebuah riwayat bisa dijadikan hujjah menentang riwayat lain. Riwayat Abu Musa sendiri tidaklah kuat sebagai hujjah karena justru yang sedang dipermasalahkan adalah kedudukan Abu Musa sendiri. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir objektif yang sudah alami sifatnya, hanya orang-orang yang tidak bisa berpikir yang mempermasalahkan “objektif macam apa ini”.

Bukti bahwa perkara ini alami sifatnya adalah seorang yang tertuduh melakukan kejahatan baik pembunuhan, pencurian dan sebagainya tidak bisa dinyatakan bahwa ia bukan pelakunya hanya dengan sekedar perkataannya sendiri. Apalagi jika ada saksi yang menyatakan bahwa ia pelakunya.

Sama halnya dengan kasus Abu Musa di atas, Huzaifah bersaksi bahwa ia munafik dan terdapat riwayat yang menguatkannya yaitu keikutsertaannya sebagai ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Imam Aliy yang mendoakan keburukan baginya di dalam qunut. Lantas apakah dengan riwayat keutamaan Abu Musa yang ia katakan sendiri bisa menjadi hujjah?. Jawabannya secara objektif adalah tidak kuat sebagai hujjah.

.

.

Nashibiy tersebut membawakan riwayat yang dalam anggapannya menguatkan hujjahnya bahwa kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَادَةَ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا سَلِيمٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمْ الصَّلَاةَ فَقَرَأَ بِهِمْ الْبَقَرَةَ قَالَ فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلَاثًا اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَنَحْوَهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abadah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Yaziid yang berkata telah mengabarkan kepada kami Saliim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinar yang berkata telah menceritakan kepada kami Jaabir bin ‘Abdullah bahwa Mu’adz bin Jabal [radiallahu ‘anhu] shalat bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian ia datang kepada kaumnya dan shalat bersama mereka. Dalam shalatnya ia membaca surat Al Baqarah. [Jabir] berkata maka seorang laki-laki keluar dan shalat sendiri, maka hal itu disampaikan kepada Mu’adz. Maka ia berkata “sesungguhnya ia seorang munafik”. Maka disampaikan hal itu kepada orang tersebut, ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja menyiram ladang dan Mu’adz shalat bersama kami membaca Al Baqarah maka aku keluar dan ia menganggapku munafik”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Mu’adz apakah engkau hendak membuat fitnah”. Beliau mengucapkannya sampai tiga kali, maka bacalah “wasysyamsi wa dhuhaahaa dan sabbihisma rabbukal a’laa dan yang semisalnya [Shahih Bukhariy no 6106]

Riwayat ini dijadikan hujjah oleh nashibiy tersebut bahwa kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima. Pernyataan ini terlalu terburu-buru, riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara ini dengan dasar berikut

  1. Riwayat ini jalan sanadnya shahih sampai Jabir bin ‘Abdullah seorang sahabat Nabi jadi bukan riwayat dari orang yang tertuduh munafik itu sendiri
  2. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengetahui apakah perkataan orang tersebut akan dirinya adalah benar atau tidak. Nampak bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membela orang tersebut yang berarti bahwa Beliau mengetahui kalau orang tersebut jujur atas dirinya dan Mu’adz telah keliru atas tuduhannya.

Jadi hadis ini bukan diartikan kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengetahui bahwa ia jujur atas perkataannya maka tertolaklah tuduhan Mu’adz kalau ia munafik. Hal yang sama tidak bisa diterapkan atas kasus Abu Musa mengingat keutamaan yang dimaksudkan berasal dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu berasal dari perkataan Abu Musa sendiri dan ia tertuduh munafik.

.

.

Seandainya riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan Abu Musa agar diampuni Allah dan mendapat tempat yang mulia di hari kiamat itu berasal dari jalan sanad shahih selain riwayat Abu Musa maka hadis ini akan menjadi hujjah yang kuat dan tentu kami akan merajihkan kedudukan Abu Musa yang mulia dan menolak atsar Huzaifah.

Sejauh ini kami telah berhujjah dengan objektif, kami menimbang berbagai riwayat shahih yang memberatkan Abu Musa dan berbagai riwayat shahih yang menunjukkan keutamaan Abu Musa. Hasilnya sejauh ini adalah kami bertawaqquf atas kedudukan Abu Musa karena kami tidak bisa merajihkan riwayat mana yang lebih kuat. Sedangkan nashibiy tersebut pembelaannya tidak memiliki nilai hujjah di sisi kami karena seperti yang kami katakan ia tidak memiliki kualitas berpikir yang baik dan objektif dalam menilai hujjah.

Kami juga tersenyum lucu dengan ulah nashibiy tersebut terkait dengan tuduhannya terhadap kami. Ia mengatakan bahwa cara berpikir kami terbalik, Abu Musa adalah seorang mu’min dan mendapatkan keutamaan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] semasa hidupnya maka perkataan siapapun yang menyelisihi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tertolak.

Perkataan nashibiy tersebut memang benar tetapi ia lah yang sebenarnya tidak memahami hakikat persoalan. Seseorang bisa saja seorang muslim dan beriman kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian setelah itu atau sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wassalam] ia bisa saja menjadi munafik atau murtad. Hal ini bukan perkara yang mustahil dan hadis shahih telah menunjukkannya [seperti hadis Al Haudh di atas].

Kemudian keutamaan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dimaksud juga tidak selalu bersifat mutlak sehingga seolah-olah orang tersebut pasti masuk surga dan membuatnya kebal akan tuduhan walaupun telah nyata-nyata bermaksiat. Banyak hadis shahih yang menunjukkannya

  1. Keutamaan seseorang sebagai penulis wahyu, terdapat hadis shahih bahwa seorang penulis wahyu bisa menjadi kafir atau mati dalam keadaan kafir
  2. Keutamaan seseorang sebagai utusan Nabi, terdapat hadis shahih bahwa seorang utusan Nabi ternyata bisa menjadi seorang yang fasiq
  3. Dan hadis Al Haudh di atas menunjukkan keutamaan para sahabat yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “mereka bagian dariku” tetapi pada hakikatnya sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka akhirnya mengubah [agama]

Memang benar bahwa perkataan siapapun yang menyelisihi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tertolak tetapi tentu perkataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dimaksud harus bernilai shahih tanpa keraguan baik sanad maupun matannya. Bagaimana mungkin pujian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap bacaan Al Qur’an seseorang membuat dirinya kebal terhadap tuduhan bahwa ia pada akhirnya ternyata ikut serta dalam ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahkan Huzaifah menuduhnya munafik.

.

.

Kemudian nashibiy tersebut dengan sok mengatakan bahwa kami licik alias malu-malu serigala, ia mempermasalahkan judul tulisan yang kami buat dengan bentuk pertanyaan “Apakah Abu Musa munafik?”. Kami tidak mengerti apa masalah nashibiy tersebut kecuali memang pikirannya yang dipenuhi dengan kebenciannya terhadap Syi’ah sehingga tulisan kami yang kami buat sebisanya dengan menghindarkan kata-kata celaan terhadap sahabat Abu Musa malah ia nilai sebagai licik atau malu-malu serigala. Kalau begitu maka apa yang akan ia katakan terhadap Huzaifah yang dengan jelas menyatakan Abu Musa munafik. Apa ia akan menuduh Huzaifah zindiq? Atau menuduh Huzaifah rafidhah?. Tentu saja ia akan menutup mata atas perkataan Huzaifah dan lebih nyaman baginya menuduh yang bukan-bukan terhadap kami bahwa kami Syi’ah rafidhah yang licik.

Sungguh lucu ia mengagung-agungkan sahabat Nabi padahal banyak hadis shahih membuktikan bahwa tidak semua sahabat layak untuk diagungkan. Kita bisa sebutkan beberapa diantaranya, Abu Ghadiah sahabat Nabi yang membunuh Ammar bin Yasir, Mu’awiyah yang berdusta atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Mughirah bin Syu’bah yang mencela Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] dan pernah dituduh berzina, Samurah bin Jundub yang dikatakan akan masuk neraka, Walid bin Uqbah seorang yang dinyatakan fasiq, Umarah bin Uqbah yang juga dikatakan masuk neraka, Abu A’war As Sulamiy yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis-hadis dan riwayat shahih telah membuktikan perkara ini dan bagi seorang yang objektif mereka akan menerimanya tetapi bagi mereka yang terikat doktrin salafy nashibi maka mereka akan selalu berdalih untuk menolaknya.

Seperti biasa tuduhan bahwa kami Syi’ah rafidhah hanya muncul dari orang-orang yang kerdil akalnya, apakah kami sedang berhujjah dengan hadis-hadis rafidhah?. Lama-kelamaan pengertian rafidhah akan berubah sehingga setiap siapapun yang mengkritik sahabat terlepas apapun maksiat sahabat yang dimaksud maka ia akan dituduh rafidhah. Atau Siapapun yang mengutamakan Ahlul Bait di atas sahabat Nabi maka ia akan dituduh rafidhah.

.

.

Kembali kepada kedudukan Abu Musa di atas maka kami simpulkan pandangan kami dalam masalah ini adalah kami bertawaqquf atas kedudukannya dan kami tidak segan-segan mengubah pandangan kami jika terdapat riwayat yang kuat mengenai keutamaan Abu Musa yang dapat mengalahkan riwayat celaan terhadap Abu Musa.

.

.

Note : Tulisan ini sudah lama dibuat tetapi baru ditampilkan sekarang, pertimbangannya dulu agar orang tidak salah paham terhadap penulis blog ini tetapi ternyata tanpa ditampilkanpun kesalahpahaman itu tetap terjadi. So, tulisan ini mungkin hanya bermanfaat bagi orang-orang yang berpikiran kritis dan terbuka.


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Viewing all articles
Browse latest Browse all 147