Quantcast
Channel: Analisis Pencari Kebenaran
Viewing all 147 articles
Browse latest View live

Seluruh Manusia Adalah Anak Pelacur Dan Setan Bersama Mereka Kecuali Syi’ah?

$
0
0

Seluruh Manusia Adalah Anak Pelacur Dan Setan Bersama Mereka Kecuali Syi’ah?

Judul yang mengerikan dan itulah syubhat yang dilontarkan oleh sang pencela dengan mengandalkan riwayat-riwayat dhaif dalam mazhab Syi’ah. Perlu kami ingatkan wahai para pembaca, dalam mazhab Syi’ah juga dikenal Ilmu hadis. Pencela  yang hidup dalam dunianya sendiri, mungkin menganggap ilmu hadis Syi’ah itu sampah dan tidak bisa dibandingkan dengan ilmu hadis Sunni.

Kami tidak menafikan bahwa ilmu hadis Syi’ah dan ilmu hadis Sunni memiliki banyak perbedaan, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan tetapi menyatakan ilmu hadis Syi’ah sebagai sampah jelas terlalu berlebihan dan hanya muncul dari orang yang akalnya sudah tertutup dengan kedengkian. Menurut kami ilmu hadis Syi’ah adalah salah satu timbangan yang baik untuk mengukur validitas riwayat-riwayat yang sering dijadikan syubhat oleh para pencela untuk merendahkan Syi’ah.

.

.

 Al Kafiy juz 8

Al Kafiy juz 8 hal 154

علي بن محمد، عن علي بن العباس، عن الحسن بن عبد الرحمن، عن عاصم بن حميد، عن أبي حمزة، عن أبي جعفر (عليه السلام) قال: قلت له: إن بعض أصحابنا يفترون ويقذفون من خالفهم فقال لي: الكف عنهم أجمل، ثم قال: والله يا أبا حمزة إن الناس كلهم أولاد بغايا ما خلا شيعتنا

Aliy bin Muhammad dari Aliy bin ‘Abbaas dari Hasan bin ‘Abdurrahman dari ‘Aashim bin Humaid dari Abi Hamzah dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam], [Abu Hamzah] berkata aku berkata kepadanya “sesungguhnya sebagian dari sahabat kami mencela dan menuduh siapa yang menyelisihi mereka”. Maka Beliau berkata kepadaku ”sebaiknya mereka menghentikan hal itu” kemudian Beliau berkata “demi Allah wahai Abu Hamzah, sesungguhnya manusia semuanya adalah anak pelacur kecuali Syi’ah kami”…[Al Kafiy 8/154 no 431]

Riwayat di atas sanadnya dhaif jiddan di sisi ilmu hadis Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat Aliy bin ‘Abbaas dan Hasan bin ‘Abdurrahman. Aliy bin ‘Abbaas Ar Raaziy dikatakan oleh An Najasyiy seorang yang tertuduh ghuluw dan dhaif jiddan [Rijal An Najasyiy hal 255 no 668].

Sedangkan Hasan bin ‘Abdurrahman, di adalah Al Himmaniy sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Al Khu’iy bahwa ia meriwayatkan dari Abu Hasan [‘alaihis salaam], ‘Aashim bin Humaid dan Aliy bin Abi Hamzah  dan telah meriwayatkan darinya Aliy bin ‘Abbaas. [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 5/364 no 2900]. Ia seorang yang majhul

الحسن بن عبد الرحمان: الحماني – مجهول – روى عن أبي الحسن موسى بن جعفر (ع) في الكافي

Al Hasan bin ‘Abdurrahman Al Himmaniy majhul, ia meriwayatkan dari Abu Hasan Muusa bin Ja’far [‘alaihis salaam] dalam Al Kafiy [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Hadiits Muhammad Al Jawahiriy hal 143]

Sayyid Aliy Alu Muhsin menegaskan kedhaifan riwayat ini dalam kitabnya Lillaahil Haqiiqah 2/490.

Lillah Haqiqah juz 2

Lillah Haqiqah juz 2 hal 490

.

.

.

عن إبراهيم بن أبي يحيى عن جعفر بن محمد عليه السلام قال: ما من مولود يولد الا إبليس من الأبالسة بحضرته، فان علم الله انه من شيعتنا حجبه عن ذلك الشيطان، وان لم يكن من شيعتنا أثبت الشيطان إصبعه السبابة في دبره فكان مأبونا وذلك أن الذكر يخرج للوجه فان كانت امرأة أثبت في فرجها فكانت فاجرة، فعند ذلك يبكى الصبي بكاءا شديدا إذا هو خرج من بطن أمه، والله بعد ذلك يمحو ما يشاء ويثبت وعنده أم الكتاب

Dari Ibrahim bin Abi Yahya dari Ja’far bin Muhammad [‘alaihis salaam] yang berkata Tidaklah seseorang dilahirkan kecuali ada satu iblis yang mendatanginya. Jika Allah mengetahui bahwa dia dari Syi’ah kami, maka Allah akan melindunginya dari setan itu. Dan jika bukan dari Syi’ah kami, maka setan akan menancapkan jari telunjuknya di duburnya, lalu ia akan menjadi orang yang buruk, oleh karenanya zakar keluar di depan. Dan jika ia seorang perempuan, setan akan menancapkan jari telunjuknya di kemaluannya sehingga ia menjadi pezina. Di saat itulah seorang bayi akan menangis dengan kencang jika ia keluar dari perut ibunya. Dan setelah itu, Allah akan menghapus dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab [Tafsir ‘Ayasyiy 2/234 no 73]

Riwayat di atas sanadnya dhaif karena ketidakjelasan perawi yang meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad [‘alaihis salaam]. Dalam sebagian naskah disebutkan bahwa perawi tersebut adalah Abi Maitsam bin Abi Yahya sebagaimana dikutip dalam catatan kaki dari pentahqiq kitab Tafsir Al ‘Ayasyiy.

Riwayat ini juga dikutip oleh Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar dan disebutkan bahwa perawi tersebut adalah Abi Maitsam bin Abi Yahya. Dalam catatan kaki pentahqiq kitab Bihar Al Anwar disebutkan bahwa ia majhul [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 4/121 no 64]. Tidak jelas disini siapakah ia apakah Ibrahim bin Abi Yahya ataukah Abi Maitsam bin Abi Yahya dan biografinya tidak ditemukan dalam kitab Rijal Syi’ah.

 Bihar Al Anwar juz 4

Bihar Al Anwar juz 4 hal 121

Yang kami tidak mengerti adalah apa sebenarnya maksud dari si pencela tersebut mengutip riwayat dalam tafsir Al ‘Ayasyiy di atas. Jika melihat dari judul tulisan yang ia buat, nampak bahwa pencela tersebut memahami riwayat ‘Ayasyiy dengan makna bahwa “setan bersama seluruh manusia kecuali Syi’ah”

.

.

Riwayat yang agak mirip tapi tak sama juga ditemukan dalam kitab hadis Ahlus Sunnah dan riwayat tersebut shahih

Shahih Bukhariy juz 2

Shahih Bukhari no 3286

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ بَنِي آدَمَ يَطْعُنُ الشَّيْطَانُ فِي جَنْبَيْهِ بِإِصْبَعِهِ حِينَ يُولَدُ غَيْرَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَهَبَ يَطْعُنُ فَطَعَنَ فِي الْحِجَابِ

Telah menceritakan kepada kami Abul Yamaan yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Abu Az Zanaad dari Al A’raj dari Abu Hurairah [radiallahu ‘anhu] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata semua anak adam akan ditusuk setan dengan jarinya pada perutnya ketika dilahirkan kecuali Iisa bin Maryam, setan berusaha menusuknya tetapi ia menusuk pada hijab [Shahih Bukhariy no 3286]

Dan kalau kita gunakan kacamata pencela itu dalam memahami riwayat maka hadis Bukhari di atas akan ia pahami sebagai “setan bersama seluruh manusia kecuali Iisa bin Maryam”. Mari kita lihat, apakah riwayat ini akan ia jadikan bahan untuk mencela Ahlus Sunnah atau ia akan membuat dalih kengeyelan untuk meredakan “kontroversi hati” yang ia alami setelah membaca tulisan ini.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Kata Syi’ah : Ayat-ayat “Wahai Orang-orang Beriman” Untuk Aliy bin Abi Thalib

$
0
0

Kata Syi’ah : Ayat-ayat “Wahai Orang-orang Beriman” Untuk Aliy bin Abi Thalib

Ada salah satu tulisan yang dimuat oleh sang pencela [baca : nashibiy] dalam situsnya dengan judul di atas. Seperti biasa tulisan tersebut ingin menyudutkan kitab mazhab Syi’ah dengan mengutip riwayat-riwayat yang dalam pandangan penulis tersebut bermasalah. Inilah riwayat yang dikutip penulis tersebut

 

.

عن النبي صلى الله عليه وآله أنه قال: ما أنزل الله تعالى آية في القرآن فيها ” يا أيها الذين آمنوا ” إلا وعلي أميرها وشريفها

Dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wa aliihi] bahwasanya Beliau bersabda “Tidaklah Allah menurunkan ayat Al Qur’an yang didalamnya berbunyi “wahai orang-orang beriman” kecuali Aliy sebagai pemimpinnya dan yang paling mulia [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 37/333]

عن جعفر عن أبيه [ عليهما السلام] قال : ما نزل في القرآن ( يا أيها الذين آمنوا ) إلا وعلي أميرها وشريفها

Dari Ja’far dari Ayah-nya [‘alaihimas salaam] “tidaklah turun ayat Al Qur’an “wahai orang-orang beriman” kecuali Aliy sebagai pemimpinnya dan yang paling mulia” [Tafsir Furaat Al Kuufiy hal 49]

وفي صحيفة الرضا عليه السلام: ليس في القرآن ” يا أيها الذين آمنوا ” إلا في حقنا، ولا في التوراة ” يا أيها الناس ” إلا فينا

Dan dalam Shahifah Ar Ridha [‘alaihis salaam] “tidak ada di dalam Al Qur’an ayat “wahai orang-orang beriman” kecuali tentang hak kami dan tidak ada di dalam Taurat ayat “wahai manusia” kecuali tentang kami [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 37/333]

.

.

Kemudian penulis atau pencela tersebut mengutip ayat-ayat Al Qur’an berikut yang menurutnya berdasarkan riwayat di atas ditujukan pada Aliy bin Abi Thalib dan ahlul bait.

يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون

Wahai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan [QS Ash Shaff : 1]

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين

wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir [QS Al Maidah : 54]

يا أيها الذين آمنوا لا تقولوا راعنا وقولوا انظرنا واسمعوا وللكافرين عذاب أليم

wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) “Raa’inaa”, tetapi katakanlah “Unzhurnaa”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih [QS Al Baqarah : 104]

يا أيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين

Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu [QS Al Baqarah : 208]

يا أيها الذين آمنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا أماناتكم وأنتم تعلمون

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui [QS Al Anfal : 27]

يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي ولا تجهروا له بالقول

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari [QS Al Hujurat : 2]

يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرو

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS. Al-Munafiqun : 9]

.

Penulis tersebut mengutip ayat-ayat Al Qur’an di atas sebagai bukti kebathilan dan kontradiksi dalam ajaran Syi’ah. Padahal justru hakikatnya adalah pikirannya yang penuh dengan kebathilan. Jawaban untuk perkara ini berdasarkan keilmuan hadis di sisi Syi’ah adalah sebagai berikut

Pertama : Jika hanya sekedar menukil riwayat tanpa memperhatikan shahih tidaknya riwayat tersebut di sisi Syi’ah [seperti yang dilakukan penulis tersebut] maka silakan perhatikan riwayat berikut

عن ابن عباس: ما نزلت” يا أيها الذين آمنوا ” إلا وعلي أميرها وشريفها. وعنه: ما ذكر الله في القرآن ” يا أيها الذين آمنوا ” إلا وعلي شريفها وأميرها، ولقد عاتب الله أصحاب محمد صلى الله عليه وآله في آي من القرآن وما ذكر عليا إلا بخير

Dari Ibnu ‘Abbas “tidaklah turun ayat “wahai orang-orang beriman” kecuali Aliy sebagai pemimpinnya dan yang paling Mulia  dan darinya “tidaklah disebutkan Allah dalam Al Qur’an “wahai orang-orang beriman” kecuali Aliy yang paling Mulia dan pemimpinnya, dan sungguh Allah telah menyalahkan sahabat Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam Al Qur’an dan tidaklah menyebutkan Aliy kecuali dengan kebaikan [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 36/117]

Maka riwayat di atas menjelaskan bahwa ayat “wahai orang-orang beriman” yang ditujukan kepada Aliy bin Abi Thalib adalah semua ayat yang menyebutkan tentang kebaikan bukan celaan atau menyalahkan.

.

Kedua : jika kita meneliti dengan baik autentisitas riwayat-riwayat yang dikutip penulis tersebut di sisi Syi’ah maka hasilnya adalah sebagai berikut

Riwayat marfu’ dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam kitab Al Bihar dinukil Al Majlisiy dengan sanad berikut

مناقب ابن شهرآشوب: روى جماعة من الثقاة عن الأعمش، عن عباية الأسدي، عن علي عليه السلام، والليث، عن مجاهد، والسدي، عن أبي مالك وابن أبي ليلى عن داود بن علي، عن أبيه، وابن جريح عن عطاء وعكرمة وسعيد بن جبير كلهم عن ابن عباس، وروى العوام بن حوشب عن مجاهد، وروى الأعمش عن زيد بن وهب عن حذيفة كلهم عن النبي صلى الله عليه وآله أنه قال

Manaqib Ibnu Syahr Asyuub : diriwayatkan dari jama’ah tsiqat dari Al A’masyiy dari Ubayah Al Asdiy dari Aliy [‘alaihis salaam] dan Laits dari Mujahid dan As Suddiy, dari Abu Malik dan Ibnu Abi Laila dari Dawud bin Aliy dari ayahnya, dan Ibnu Juraij dari Atha’, Ikrimah, dan Sa’id bin Jubair, Semuanya dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan A’wam bin Hausyab dari Mujahid dan diriwayatkan A’masyiy dari Zaid bin Wahb dari Huzaifah, semuanya dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wa aalihi] bahwasanya Beliau bersabda…[Bihar Al Anwar Al Majlisiy 37/333]

Sebagian besar perawi hadis di atas selain penulis kitab Manaqib Ibnu Syahr Asyuub adalah perawi dari kalangan ahlus sunnah maka tidak dikenal kredibilitas mereka di sisi Syi’ah.

Riwayat dari Tafsir Furaat Al Kufiy, disebutkan sanad lengkapnya adalah sebagai berikut

فرات قال : حدثنا جعفر بن علي بن نجيح قال : حدثنا الحسن ـ يعني ابن الحسين ـ عن إسماعيل بن زياد السلمي عن جعفر عن أبيه

Furaat berkata telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Aliy bin Najiih yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan yakni bin Husain dari Ismaiil bin Ziyaad As Sulamiy dari Ja’far’dari Ayahnya [Tafsir Furaat Al Kuufiy hal 49]

Riwayat ini dhaif karena Ja’far bin Aliy bin Najiih syaikh [guru] Furaat bin Ibrahim tidak ditemukan biografinya dalam kitab Rijal Syi’ah, kecuali jika ia adalah orang yang sama dengan Ja’far bin Najiih Al Kindiy maka ia majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits, hal 115]. Hasan bin Husain adalah Al Uraniy disebutkan dalam Al Mufiid

الحسن بن الحسين العرني: النجار، مدني، له كتاب عن الرجال، عن جعفر بن محمد (ع) قاله النجاشي – مجهول

Hasan bin Husain Al ‘Uraniy An Najjaar penduduk Madinah memiliki kitab tentang Rijal dari Ja’far bin Muhammad sebagaimana yang dikatakan Najasyiy. Ia seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 137]

Riwayat yang dinukil Al Majlisi dalam Bihar Al Anwar dan disebutkannya dari Shahifah Ar Ridha, maka inilah yang tertulis dalam kitab Shahifah Ar Ridha

وبإسناده قال: قال علي بن أبي طالب عليه السلامليس في القرآن ” يا أيها الذين آمنوا ” إلا في التوراة يا أيها المساكين

Dan dengan sanadnya yang berkata Ali bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] berkata tidak ada di dalam Al Qur’an ayat “wahai orang-orang beriman” kecuali di dalam Taurat disebut “wahai orang-orang miskin” [Shahifah Ar Ridha no 136]

Maka kemungkinan disini Al Majlisiy melakukan kesalahan dalam penukilan matan riwayat. Oleh karena itu riwayat dalam Shahifah Ar Ridha tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara ini.

.

.

Riwayat-riwayat seperti ini juga ditemukan dalam kitab mazhab Ahlus sunnah dan memang kedudukan riwayat tersebut dhaif sama halnya dengan apa yang penulis tersebut kutip dari kitab Syi’ah

حدثنا زيد بن إسماعيل الصائغ ، ثنا معاوية بن هشام ، حدثني عيسى بن راشد ، عن علي بن بذيمة ، عن عكرمة ، عن ابن عباس ، قال : « ما في القرآن آية ( يا أيها الذين آمنوا) إلا أن عليا شريفها وسيدها وأميرها ، وما من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم أحد إلا قد عوتب في القرآن إلا علي بن أبي طالب ، فإنه لم يعاتب في شيء منه

Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Ismaiil Ash Sha’igh yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Raasyid dari Aliy bin Budzaimah dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas yang berkata “tidak ada di dalam Al Qur’an ayat “wahai orang-orang beriman” kecuali bahwa Aliy sebagai yang paling Mulia, sayyid-nya dan pemimpin-nya, tidak ada satupun sahabat Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] kecuali ditegur di dalam Al Qur’an selain Aliy bin Abi Thalib, maka sesungguhnya ia tidak pernah ditegur tentang sesuatupun [Tafsir Ibnu Abi Hatim no 13243]

Riwayat ini dhaif karena Iisa bin Rasyiid, Adz Dzahabi menyebutkan tentangnya bahwa ia majhul dan kabarnya mungkar sebagaimana dikatakan Bukhari dalam Adh Dhu’afa Al Kabiir [Mizan Al I’tidal Adz Dzahabi 3/311 no 6560]

حدثنا محمد بن عمر بن غالب ثنا محمد بن أحمد بن أبي خيثمة قال ثنا عباد بن يعقوب ثنا موسى بن عثمان الحضرمي عن الأعمش عن مجاهد عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما أنزل الله آية فيها يا أيها الذين آمنوا إلا وعلي رأسها وأميرها قال الشيخ رحمه الله تعالى لم نكتبه مرفوعا إلا من حديث ابن أبي خيثمة والناس رووه موقوفا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Umar bin Ghaalib yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Abi Khaitsamah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Ya’quub yang berkata telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Utsman Al Hadhraamiy dari Al A’masyiy dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “tidaklah Allah menurunkan ayat yang di dalamnya ada “wahai orang-orang beriman” kecuali Aliy sebagai ketuanya dan pemimpinnya”. Syaikh [rahimahullahu ta’ala] berkata tidaklah ditulis marfu’ kecuali dari hadis Ibnu Abi Khaitsamah dan orang-orang meriwayatkannya secara mauquf [Hilyatul Auliya Abu Nu’aim 1/64]

Riwayat ini juga dhaif salah satunya karena Musa bin Utsman Al Hadhramiy, Ibnu Ma’in berkata tentangnya “tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata “matruk al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/152 no 687].

.

Kesimpulannya riwayat-riwayat tersebut terdapat dalam kitab mazhab Syi’ah dan dalam kitab mazhab Ahlus sunnah dan jika dinilai berdasarkan keilmuan masing-masing mazhab maka riwayat-riwayat tersebut kedudukannya dhaif. Ulah penulis dan pencela tersebut memang menyedihkan dan memang hanya ingin menyebar fitnah murahan terhadap mazhab yang ia benci.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Memegang Kemaluan Tidak Membatalkan Shalat? Versi Syiah & Versi Sunni

$
0
0

Memegang Kemaluan Tidak Membatalkan Shalat?  Versi Syiah & Versi Sunni

Seperti biasa nashibi yang terlalu bernafsu mencela Syiah hanya menunjukkan kebodohannya. Ia membawakan riwayat Syiah tentang seorang yang memegang kemaluan ketika shalat dan shalatnya tetap sah kemudian menjadikan riwayat ini sebagai bahan tertawaan padahal riwayat yang sama juga ditemukan dalam kitab hadis Ahlus Sunnah. Yah ini bukti nyata kalau nashibi ini bukan bagian dari ahlussunnah.

.

.

Berikut riwayat versi Syi’ah yang dikutipnya dari kitab Wasa’il Syi’ah, kami kutip dari kitab Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy

 Istibshar Thuusiy

Istibshar juz 1 hal 52

الحسين بن سعيد عن فضالة عن معاوية بن عمار قال: سألت أبا عبد الله (ع) عن الرجل يعبث بذكره في الصلاة المكتوبة؟ فقال: لا بأس

Husain bin Sa’iid bin Fadhaalah dari Mu’awiyah bin ‘Ammaar yang berkata aku bertanya pada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang memainkan dzakar-nya dalam shalat fardhu?. Maka Beliau berkata “tidak apa-apa” [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy 1/52 no 6]

عنه عن أخيه الحسن عن زرعة عن سماعة قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن الرجل يمس ذكره أو فرجه أو أسفل من ذلك وهو قائم يصلى أيعيد وضوءه؟فقال: لا بأس بذلك إنما هو من جسده

Telah meriwayatkan darinya dari saudaranya Al Hasan dari Zurarah dari Samaa’ah yang berkata aku bertanya kepada ‘Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang menyentuh dzakar-nya atau farji-nya atau yang terletak di bagian bawah darinya sedangkan ia dalam keadaan shalat, apakah ia harus wudhu lagi?. Beliau berkata “tidak apa-apa dengannya, sesungguhnya itu hanyalah bagian dari tubuhnya” [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy 1/52 no 7]

Selain kedua riwayat di atas juga ditemukan riwayat lain yang zhahirnya tampak bertentangan dengan kedua hadis tersebut,

فأما ما رواه محمد بن أحمد بن يحيى عن أحمد بن الحسن بن علي بن فضال عن عمرو بن سعيد عن مصدق بن صدقه عن عمار بن موسى عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سئل عن الرجل يتوضأ ثم يمس باطن دبره قال: نقض وضوءه وإن مس باطنإحليله فعليه أن يعيد الوضوء، وإن كان في الصلاة قطع الصلاة ويتوضأ ويعيد الصلاة وان فتح إحليله أعاد الوضوء وأعاد الصلاة

Adapun riwayat Muhammad bin Ahmad bin Yahya dari Ahmad bin Al Hasan bin ‘Aliy bin Fadhl dari ‘Amru bin Sa’iid dari Mushadiq bin Shadaqah dari ‘Ammaar bin Muusa dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [‘Ammar] berkata Beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang telah berwudhu’ kemudian menyentuh dubur-nya. Maka Beliau berkata“ itu membatalkan wudhu-nya dan jika ia menyentuh lubang kemaluannya maka ia hendaknya mengulang wudhu’nya dan jika [menyentuh dubur] di dalam shalat maka shalatnya batal, hendaknya berwudhu dan mengulangi shalatnya dan jika ia membuka lubang kemaluannya maka hendaknya mengulang wudhu dan shalatnya [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy 1/52 no 8]

Sebagian ulama Syi’ah berusaha mengkompromikan riwayat-riwayat di atas, diantaranya Syaikh Ath Thuusiy sendiri dalam Al Istibshaar yang menyatakan bahwa kemungkinan maksud riwayat terakhir itu jika ditemukan adanya najis pada dubur dan lubang kemaluan tersebut sedangkan jika tidak ada maka hukumnya berlaku seperti dua hadis sebelumnya [tidak batal wudhu’ dan shalat].

Atau Muhaqqiq As Sabzawaariy yang menggabungkan riwayat-riwayat tersebut dan menyatakan bahwa riwayat terakhir menunjukkan anjuran atau disunahkan untuk berwudhu’ [Dzakhiirah Al Ma’ad1/15, Muhaqqiq Sabzawariy]

Terlepas dari apa sebenarnya hukum dalam perkara ini di sisi Syi’ah, penulis disini hanya menunjukkan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak menjadi masalah bagi ulama Syi’ah dan ternyata juga ditemukan dalam kitab hadis Ahlus Sunnah sebagaimana yang akan ditunjukkan berikut.

.

.

.

Riwayat dengan matan serupa ditemukan dalam kitab hadis ahlussunnah dan telah dishahihkan oleh sebagian ulama ahlussunnah

Shahih Ibnu Hibban juz 3

Shahih Ibnu Hibban no 1121

أخبرنا محمد بن إبراهيم بن المنذر النيسابوري بمكة حدثنا محمد بن عبد الوهاب الفراء حدثنا حسين بن الوليد عن عكرمة بن عمار عن قيس بن طلقعن أبيه أنه سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن الرجل يمس ذكره وهو في الصلاة قال لا بأس به إنه لبعض جسدك

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahiim bin Mundzir An Naisabuuriy di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdul Wahaab Al Faaraa yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waliid dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Qais bin Thalq dari ayahnya bahwasanya ia bertanya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihiwasallam] tentang seorang laki-laki yang menyentuh dzakar-nya dan ia dalam keadaan shalat. Maka Beliau berkata “tidak apa-apa dengannya, sesungguhnya itu adalah bagian dari tubuhnya” [Shahih Ibnu Hibban no 1121, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]

Kami mengakui bahwa sebagian ulama berselisih mengenai kedudukan hadis ini, ada yang melemahkannya dan ada yang menguatkannya. Pendapat yang rajih adalah hadis tersebut kedudukannya hasan.

.

.

Hadis ini juga diamalkan oleh sebagian sahabat seperti Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Aliy bin Abi Thalib, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas’ud. Berikut contoh atsar riwayat Hudzaifah

Sunan Daruquthniy

Sunan Daruquthni no 547

حدثنا أبو محمد بن صاعد، ثنا أبو حصين عبد الله بن أحمد بن يونس، نا عبثر، عن حصين، عن سعد بن عبيدة، عن أبي عبد الرحمن قال: قال حذيفة: ما أبالي مسست ذكري في الصلاة، أو مسست أذني

Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Shaa’idi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hushain ‘Abdullah bin Ahmad bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abtsar dari Hushain dari Sa’d bin ‘Ubaidah dari ‘Abu ‘Abdurrahman yang berkata Hudzaifah berkata “sama saja bagiku, aku menyentuh dzakar-ku dalam shalat atau aku menyentuh telinga-ku” [Sunan Daruquthniy no 547]

Atsar ini sanadnya shahih, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat sampai Hudzaifah

  1. Abu Muhammad bin Shaa’idi adalah Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi, seorang imam hafizh, ditsiqatkan oleh Al Khaliliy, Al Baghawiy dan Daruquthniy [As Siyaar Adz Dzahabiy 14/501-503]
  2. Abdullah bin Ahmad bin Yunus, Abu Hushain adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib Ibnu Hajar 1/295 no 3204]
  3. ‘Abtsar bin Qaasim termasuk perawi Bukhari Muslim yang tsiqat [At Taqrib Ibnu Hajar 1/294 no 3197]
  4. Hushain bin ‘Abdurrahman termasukperawi Bukhari Muslim yang tsiqat tetapi hafalannya berubah pada akhir hayatnya [At Taqrib Ibnu Hajar 1/170 no 1369] dan periwayatan ‘Abstar dari Hushain telah diambil Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka
  5. Sa’d bin Ubaidah, Abu Hamzah Al Kuufiy perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat [At Taqrib Ibnu Hajar 1/232 no 2249]
  6. Abu ‘Abdurrahman As Sulamiy adalah Abdullah bin Habiib bin Rabii’ah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat tsabit [At Taqrib Ibnu Hajar 1/299 no 3271]

.

.

Dan terdapat hadis yang zhahirnya nampak bertentangan dengan hadis tersebut yaitu hadis Busrah yang menyatakan bahwa harus berwudhu’ jika menyentuh kemaluan.

Sunan Tirmidzi

Sunan Tirmidzi no 82

حدثنا إسحق بن منصور قال حدثنا يحيى بن سعيد القطان عن هشام بن عروة قال أخبرني أبي عن بسرة بنت صفوان : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال من مس ذكره فلا يصل حتى يتوضأ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’iid Al Qaththaan dari Hisyaam bin ‘Urwah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari Busrah binti Shafwaan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihiwasallam] berkata “barang siapa yang menyentuh kemaluannya janganlah shalat sampai ia berwudhu” [Sunan Tirmidzi no 82, Tirmidzi berkata “hadis hasan shahih”, dishahihkan oleh Al Albaniy]

.

.

Ulama-ulama ahlussunnah mengalami ikhtilaf dalam perkara ini, diantara mereka ada yang menguatkan hadis Busrah dan melemahkan hadis Thalq dan ada juga yang menguatkan hadis Thalq dari pada hadis Busrah. Sebagian ulama lagi berusaha menjamak kedua hadis tersebut dengan menyatakan bahwa wudhu’ karena menyentuh kemaluan hanyalah disunahkan

 Majmu Fatawa juz 21

Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah juz 21 hal 241

وَالْأَظْهَرُ أَيْضًا أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ وَهَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَبِهَذَا تَجْتَمِعُ الْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ بِحَمْلِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لَيْسَ فِيهِ نَسْخُ قَوْلِهِ  وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك وَحَمْلُ الْأَمْرُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ أَوْلَى مِنْ النَّسْخِ

Yang nampak [lebih kuat] bahwa berwudhu ketika menyentuh kemaluan hukumnya hanyalah dianjurkan atau disunahkan, tidak wajib. Pendapat ini secara tegas dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya. Pendapat ini telah menjamak berbagai hadis dan atsar [dalam perkara ini] sehingga perintah Nabi bermakna disunahkan [anjuran], tidak ada nasakh terhadap hadis “bukankah itu adalah bagian dari tubuhmu”. Memahami perintah tersebut kepada makna sunnah itu lebih utama daripada nasakh [Majmuu’ Al Fataawa Ibnu Taimiyyah 21/241]

.

.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah baik di sisi Sunni maupun di sisi Syiah memang terdapat pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan saat shalat tidaklah membatalkan wudhu’-nya dan shalatnya. Jadi apa sebenarnya yang dipermasalahkan nashibi tersebut kecuali kejahilannya terhadap sunnah.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Mengapa Neraka Diciptakan? : Kebodohan Nashibi

$
0
0

Mengapa Neraka Diciptakan? : Kebodohan Nashibi

Tiada kata yang tepat selain kebodohan. Jika diri memang bodoh maka ada baiknya tidak perlu banyak bicara. Dan jika yang bersangkutan berpura-pura bodoh maka yang nampak hanyalah kedustaan. Itulah gambaran yang tepat untuk tulisan “tidak berharga” alias “fitnah murahan” ala nashibiy terhadap Syi’ah. Nashibi tersebut mengutip salah satu riwayat yang disebutkan oleh salah seorang ulama Syi’ah Allamah Mirza Muhammad Taqiy dalam kitabnya Shahifatul Abraar 1/335.

.

.

Riwayat ini juga dinukil Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 39/247. Asal riwayat tersebut adalah riwayat Ash Shaduq dalam kitab Amaliy

Amali Shaduq

Amali Shaduq hal 466

حدثنا محمد بن أحمد السناني (رضي الله عنه)، قال: حدثنا محمد بن أبي عبد الله الكوفي، قال: حدثنا موسى بن عمران النخعي، عن عمه الحسين بن يزيد، عن علي بن سالم، عن أبيه، عن أبان بن عثمان، عن أبان بن تغلب، عن عكرمة، عن ابن عباس، قال: قال رسول الله (صلى الله عليه وآله): قال الله جل جلاله: لو اجتمع الناس كلهم على ولاية علي ما خلقت النار

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad As Sinaaniy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah Al Kuufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muusa bin ‘Imraan An Nakha’iy dari pamannya Husain bin Yaziid dari Aliy bin Saalim dari ayahnya dari Aban bin ‘Utsman dari Aban bin Taghlib dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata Allah Jalla Jalaaluhu berfirman seandainya seluruh manusia berkumpul pada Wilayah Aliy maka aku tidak akan menciptakan neraka [Amaliy Ash Shaduq hal 466]

Riwayat Ash Shaduq di atas kedudukannya sangat dhaif di sisi Ilmu Rijal Syi’ah. Ada empat perawi yang bermasalah dalam riwayat di atas yaitu

  1. Muhammad bin Ahmad As Sinaaniy
  2. Aliy bin Saalim
  3. Ayahnya Aliy bin Saalim
  4. Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas

Muhammad bin Ahmad As Sinaaniy yaitu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Sinaan adalah salah satu dari Syaikh [guru] Ash Shaduq yang mendapat lafaz taradhi [radiallahu ‘anhu] olehnya. Sebagaimana dalam pembahasan khusus yang membahas masalah ini telah kami simpulkan bahwa taradhi Ash Shaduq tidaklah kuat sebagai tautsiq. Muhammad bin Ahmad As Sinaaniy telah dilemahkan oleh Ibnu Ghadha’iriy

محمد بن أحمد بن محمد بن سنان، أبو عيسى نسبه وحديثه مضطرب

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Sinaan, Abu Iisa, nasab dan hadisnya mudhtharib [Rijal Ibnu Ghada’iriy hal 119]

Ibnu Dawud Al Hilliy telah memasukkan Muhammad bin Ahmad As Sinaaniy dalam kitabnya bagian kedua yang memuat perawi dhaif dan majhul [Rijal Ibnu Dawud Al Hilliy hal 269 no 422]. Disebutkan dalam Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits oleh Muhammad Jawahiriy bahwa ia majhul

محمد بن أحمد السنائي: مجهول – من مشايخ الصدوق أكثر الرواية عنه في كتبه مترضيا عليه

Muhammad bin ‘Ahmad As Sinaaniy majhul, termasuk guru Ash Shaduq dimana ia banyak meriwayatkan darinya dalam kitabnya dan memberikan lafaz taradhi kepadanya [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 496]

Al Majlisi dalam Al Wajiizah menyatakan bahwa Muhammad bin Ahmad As Sinaany seorang yang dhaif. [Al Wajiizah no 1564]

Aliy bin Saalim adalah Ali bin Abi Hamzaah Al Bathaa’iniy sebagaimana yang disebutkan Sayyid Al Khu’iy bahwa nama Abi Hamzah adalah Saalim [Mu’jam Rijal Al Hadits, 13/37 no 8157]. Aliy bin Abi Hamzaah dia seorang yang dhaif. Disebutkan dalam Rijal Al Kisyiy

محمد بن مسعود، قال: حدثني علي بن الحسن، قال: علي بن أبي حمزة كذاب متهم

Muhammad bin Mas’ud berkata telah menceritakan kepadaku Aliy bin Hasan yang berkata Aliy bin Abi Hamzah pendusta tertuduh [Rijal Al Kisyiy 2/742]

Riwayat Al Kisyiy di atas shahih, Muhammad bin Mas’ud termasuk guru Al Kisyiy dan ia seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 350 no 944]. Aliy bin Hasan bin Fadhl gurunya juga seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 156].

Allamah Al Hilliy memasukkannya dalam kitabnya bagian kedua yang memuat perawi dhaif [Khulashah Al Aqwaal hal 362]. Ibnu Dawud Al Hilliy juga memasukkannya dalam kitab Rijal-nya bagian kedua yang memuat perawi majruh dan majhul [Rijal Ibnu Dawud Al Hilliy hal 259]. Diantara ulama Syi’ah muta’akahirin yang mendhaifkannya adalah

  1. Sayyid Al Khu’iy menyatakan ia tertuduh pendusta sebagaimana yang dikatakan Ibnu Fadhl [Kitab Thaharah 9/271, Sayyid Al Khu’iy]
  2. Syaikh Al Jawahiriy dalam Jawahir Kalaam menyatakan ia pendusta [Jawaahir Kalam 8/440]
  3. Sayyid Muhammad Shadiq Ruhaniy menyatakan ia dhaif dalam kitabnya Fiqh Ash Shaadiq [Fiqh Ash Shaadiq 26/197]

Adapun ayahnya yaitu Abu Hamzaah yang namanya adalah Saalim disebutkan dalam Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits oleh Muhammad Al Jawahiriy bahwa ia majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 240]

Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas termasuk perawi yang dhaif dalam Rijal Syi’ah. Allamah Al Hilliy menyebutkannya dalam bagian kedua kitabnya yang memuat perawi yang dhaif dan ia bertawaquf dengannya [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 383]. Ibnu Dawud Al Hilliy juga memasukkannya dalam bagian kedua kitabnya yang memuat daftar perawi majruh dan majhul, ia berkata

عكرمة مولى ابن عباس (كش) ضعيف

‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas dhaif [Rijal Ibnu Dawud Al Hilliy hal 258]

Kesimpulannya hadis atau riwayat Ibnu ‘Abbas di atas dhaif dengan kelemahan yang kami sebutkan. Adapun kebodohan yang disebutkan si pencela itu adalah ucapannya bahwa maksud riwayat di atas adalah lakukan apa saja yang kalian suka menyembah kuburan, menuhankan auliya’, membunuh, berzina dan segala dosa asalkan berwilayah kepada Aliy maka tidak akan masuk neraka. Kami heran bagian mana dari hadis di atas yang menyebutkan demikian?.

.

.

.

Silakan bandingkan dengan hadis di sisi mazhab Ahlus sunnah berikut, dan lihat bagaimana jika kita terapkan kebodohan pencela tersebut terhadap hadis yang dimaksud.

Mustadrak Shahihain juz 3

Mustadrak Shahihain no 4712

حدثنا أبو جعفر أحمد بن عبيد بن إبراهيم الحافظ الأسدي بهمدان ثنا إبراهيم بن الحسين بن دبزيل ثنا إسماعيل بن أبي أويس ثنا أبي عن حميد بن قيس المكي عن عطاء بن أبي رباح و غيره من أصحاب ابن عباس عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يا بني عبد المطلب إني سألت الله لكم ثلاثا أن يثبت قائمكم و أن يهدي ضالكم و أن يعلم جاهلكم و سألت الله أن يجعلكم جوداء نجداء رحماء فلو أن رجلا صفن بين الركن و المقام فصلى و صام ثم لقي الله و هو مبغض لأهل بيت محمد دخل النار

Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Ahmad bin Ubaid bin Ibrahim Al Hafizh Al Asdiy di Hamdaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Husain bin Dabziil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Abi Uwais yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Humaid bin Qais Al Makkiy dari ‘Atha’ bin Abi Rabaah dan selainnya dari sahabat Ibnu ‘Abbas dari Abdullah bin ‘Abbas [radiallahu ‘anhuma] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata wahai bani Abdul Muthalib aku telah memohon kepada Allah untukmu tiga perkara agar Allah menetapkan penegakmu, memberi petunjuk kepada yang sesat dan memberi ilmu kepada yang jahil diantara kamu. Dan aku juga memohon daripadaNya supaya menjadikanmu pemurah, berani, suka membantu dan penyayang. Seandainya seseorang berdiri di barisan antara rukn dan maqam [menunaikan haji], mengerjakan solat dan berpuasa kemudian menghadap Allah dalam keadaan membenci terhadap Ahlul Bait Muhammad maka pasti ia masuk neraka [Mustadrak Al Hakim juz 3 no 4712]

Al Hakim berkata setelah menyebutkan hadis ini “hadis hasan shahih sesuai syarat Muslim dan ia tidak mengeluarkannya”. Adz Dzahabiy menyepakatinya dan berkata “atas syarat Muslim”.

Dari segi sanad secara ilmu hadis Ahlus sunnah maka hadis tersebut sanadnya dhaif karena berdasarkan pendapat yang rajih, Ismail bin Abi Uwais dan ayahnya keduanya dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya.

Mengenai Ismaiil bin Abi Uwais Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya” [Akwal Ahmad no 166]. Nasa’i berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 42]. Daruquthni menyatakan ia dhaif [Akwal Daruquthni fii Rijal no 544]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran dan ia pelupa” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613]. Terdapat perselisihan soal pendapat Ibnu Ma’in

  1. Ad Darimi meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa tidak ada masalah padanya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/323].
  2. Ibnu Abi Khaitsamah meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia shaduq tetapi lemah akalnya [Al Jarh Wat Ta’dil 2/180 no 613].
  3. Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais dhaif [Adh Dhu’afa Al Uqaili 1/87 no 100]
  4. Ibnu Junaid meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa Ismail bin Abi Uwais kacau [hafalannya], berdusta dan tidak ada apa apanya [Su’alat Ibnu Junaid no 162]
  5. Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Qaasim meriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, orang yang paling dhaif, tidak halal seorang muslim meriwayatkan darinya [Ma’rifat Ar Rijal Yahya bin Ma’in no 121]

Penjelasan yang masuk akal mengenai perkataan Ibnu Ma’in yang bertentangan adalah Ibnu Ma’in pada awalnya menganggap ia tidak ada masalah tetapi selanjutnya terbukti bahwa ia lemah akalnya, kacau hafalannya dan berdusta maka Ibnu Ma’in menyatakan ia dhaif dan tidak boleh meriwayatkan darinya.

Ibnu Adiy berkata “ini hadis mungkar dari Malik, tidak dikenal kecuali dari hadis Ibnu Abi Uwais, Ibnu Abi Uwais ini meriwayatkan dari Malik hadis-hadis yang ia tidak memiliki mutaba’ah atasnya dan dari Sulaiman bin Bilal dari selain mereka berdua dari syaikh syaikh-nya [Al Kamil Ibnu Adiy 1/324]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 395]. Ibnu Hazm berkata “dhaif” [Al Muhalla 8/7]. Salamah bin Syabib berkata aku mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan mungkin aku membuat-buat hadis untuk penduduk Madinah jika terjadi perselisihan tentang sesuatu diantara mereka [Su’alat Abu Bakar Al Barqaniy hal 46-47 no 9]

Ibnu Hajar dalam At Taqrib berkata “shaduq tetapi sering salah dalam hadis dari hafalannya” kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan I’tibar [Tahrir At Taqrib no 460]. Ibnu Hajar dalam Al Fath menyatakan bahwa ia tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya kecuali yang terdapat dalam kitab shahih karena celaan dari Nasa’i dan yang lainnya [Muqaddimah Fath Al Bari hal 391]

Adapun Abu Uwais, Ahmad bin Hanbal terkadang berkata “shalih” terkadang berkata “tidak ada masalah padanya atau tsiqat”. Ibnu Ma’in terkadang berkata dhaif al hadits, terkadang berkata shalih, terkadang berkata “tidak kuat”, terkadang berkata shaduq tidak menjadi hujjah. Aliy bin Madiniy berkata “ia di sisi sahabat kami dhaif”. Amru bin Aliy berkata “ada kelemahan padanya dan dia termasuk ahlu shaduq”. Abu Dawud berkata “shalih al hadits”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Adiy berkata “ditulis hadisya”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya, tidak dapat berhujjah dengannya dan tidak kuat”. [Tahdzib Al Kamal 4/180]. Pendapat yang rajih disini adalah Abu Uwais lemah dalam dhabit atau hafalannya sedangkan ia tergolong orang yang shaduq maka hadisnya dhaif tetapi dapat dijadikan mutaba’ah dan syawahid.

Sehingga jika disimpulkan pendapat Al Hakim dan Adz Dzahabiy sebelumnya yang menshahihkan hadis tersebut keliru. Kami berpanjang-panjang mengomentari hadis ini untuk menunjukkan kepada pencela tersebut bahwa dalam penghukuman suatu hadis ada yang namanya kaidah ilmu bukannya main loncat sana loncat sini seenaknya mengutip ulama yang menshahihkan.

Begitu pula hal-nya dalam kitab Syi’ah. Tentu tidak ada gunanya ketika kami telah mendhaifkan suatu hadis berdasarkan kaidah ilmu Rijal Syi’ah maka pencela tersebut seenaknya mengutip ulama Syi’ah yang menurutnya berhujjah atau menshahihkan hadis tersebut. Jutsru hujjah ulama tersebut yang seharusnya ditimbang dengan kaidah ilmu.

Kembali pada matan hadis riwayat Al Hakim di atas, jika kita menuruti kebodohan pencela tersebut dalam memahami matan hadis Syi’ah sebelumnya dan menerapkannya pada hadis riwayat Al Hakim di atas maka dapat dikatakan bahwa menyembah kuburan, menuhankan auliya’, membunuh, berzina dan segala dosa asalkan tidak membenci ahlul bait maka tidak akan memasukannya ke dalam neraka dan sebaliknya walaupun orang tersebut shalat, puasa, haji tetapi membenci ahlul bait maka ia tetap akan dimasukkan ke dalam neraka.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Tafsir Ar Ridha Dari Syaikh Shaduq Penghinaan Terhadap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?

$
0
0

Tafsir Ar Ridha Dari Syaikh Shaduq Penghinaan Terhadap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?

Tafsir yang dimaksud adalah tafsir terhadap salah satu ayat Al Qur’an yaitu Al Ahzab ayat 37 dimana diriwayatkan bahwa Imam Ali Ar Ridha [‘alaihis salaam] menjelaskan suatu perkataan yang didalamnya terkandung penghinaan terhadap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Begitulah syubhat yang dilontarkan oleh sang pencela dalam salah satu tulisan di situsnya

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah member nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi [QS Al Ahzab : 37]

.

.

.   U'yun Akhbar Ar Ridha

U'yun Akhbar Ar Ridha hal 180

قال الرضا عليه السلام: ان رسول الله (ص) قصد دار زيد بن حارثه بن شراحيل الكلبي فيأمر اراده فرأى امرأته تغتسل فقال لها: سبحان الذي خلقك

Ar Ridha [‘alaihis salaam] berkata bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihiwasallam] pergi ke rumah Zaid bin Haaritsah bin Syarahiil Al Kalbiy dalam urusan yang Beliau kehendaki, kemudian Beliau melihat istrinya [Zaid] sedang mandi maka Beliau berkata “Maha suci Allah yang telah menciptakanmu”…[U’yun Akhbar Ar Ridha, Syaikh Ash Shaduq 1/180-181]

.

Perkataan Imam Ali Ar Ridha [‘alaihis salaam] di atas telah disebutkan oleh Syaikh Ash Shaduq dalam sebuah riwayat yang panjang dalam kitabnya U’yun Akhbar Ar Ridha, sanad riwayat sebagaimana disebutkan Syaikh Ash Shaduq adalah sebagai berikut

U'yun Akhbar Ar Ridha hal 174

حدثنا تميم بن عبد الله بن تميم القرشي رضي الله عنه قال: حدثني أبي عن حمدان بن سليمان النيسابوري عن علي بن محمد بن الجهم قالحضرت مجلس المأمون وعنده الرضا علي بن موسى عليهما السلام فقال له المأمون

Telah menceritakan kepada kami Tamiim bin ‘Abdullah bin Tamiim Al Qurasyiy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku dari Hamdaan bin Sulaiman An Naisaburiy dari Aliy bin Muhammad bin Jahm yang berkata aku menghadiri majelis Al Ma’mun dan disisinya ada Ar Ridhaa ‘Aliy bin Musa [‘alaihis salaam], maka Al Ma’mun berkata kepadanya…[U’yun Akhbar Ar Ridha, Syaikh Ash Shaduq 1/174]

.

.

Kedudukan riwayat tersebut berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah adalah dhaif karena kedhaifan guru Ash Shaduq yaitu Tamim bin ‘Abdullah.

تميم بن عبد اللهابن تميم القرشي، الذي يروي عنه أبو جعفر محمد بن بابويه، ضعيف،ذكره ابن الغضائري

Tamiim bin ‘Abdullah bin Tamiim Al Qurasyiy, yang telah meriwayatkan darinya Abu Ja’far Muhammad bin Baabawaih, dhaif, disebutkannya oleh Ibnu Ghadhaa’iriy [Mu’jam Rijal Al Hadits, Sayyid Al Khu’iy 4/285-286 no 1930]

تميم بن عبد الله بن تميم القرشي، الذي روى عنه أبو جعفر محمد بن بابويه، ضعيف

Tamiim bin ‘Abdullah bin Tamiim Al Qurasyiy, telah meriwayatkan darinya Abu Ja’far Muhammad bin Baabawaih, dhaif [Khulashah Al Aqwaal, Allamah Al Hilliy hal 329]

تميم بن عبد الله بن تميم القرشي الذي روى عنه أبو جعفر محمد بن بابويه (غض) ضعيف

Tamiim bin ‘Abdullah bin Tamiim Al Qurasyiy, telah meriwayatkan darinya Abu Ja’far Muhammad bin Baabawaih, [Ibnu Ghadha’iriy] dhaif [Rijal Ibnu Dawud hal 234 no 84].

Selain itu ayahnya Tamim bin ‘Abdullah yaitu Abdullah bin Tamiim Al Qurasyiy tidak dikenal kredibilitasnya dalam kitab Rijal Syi’ah atau muhmal. Syaikh Aliy Alu Muhsin berkata mengenai riwayat di atas

 Lillah Haqiqah juz 1

Lillah Haqiqah juz 1 hal 105

هذا الخبر ضعيف السند ، فإن من جملة رواته تميم بن عبد الله بن تميم القرشي، فإنه وإن كان من شيوخ الإجازة للصدوق رحمه الله ، وأكثر الصدوق من الترضي عنه، إلا أنه لم يثبت توثيقه في كتب الرجال، بل ضعفه ابن الغضائري والعلاَّمة الحلي وغيرهماومن رواته والد الراوي السابق، وهو مهمل في كتب الرجال

Kabar ini dhaif sanadnya, berasal dari riwayat Tamiim bin ‘Abdullah bin Tamim Al Qurasyiy dan ia termasuk dalam guru-guru ijazah Ash Shaduq [rahimahullah] dan Shaduq banyak memberikan taradhi kepadanya kecuali bahwa ia tidak tsabit tawtsiq-nya dalam kitab Rijal bahkan ia telah didhaifkan Ibnu Ghadhaa’iriy, Allamah Al Hilliy dan selain mereka berdua, dan riwayatnya ini dari Ayahnya dan ia seorang yang muhmal dalam kitab Rijal [Lillahil Haqiiqah, Sayyid Aliy Alu Muhsin 1/105-106]

.

.

Ash  Shaduq sendiri dalam kitabnya U’yun Akhbar Ar Ridha setelah menuliskan riwayat tersebut, ia melemahkannya dengan kata-kata berikut

U'yun Akhbar Ar Ridha hal 181

هذا الحديث غريب من طريق علي بن محمد بن الجهم مع نصبه وبغضه وعداوته لأهل البيت عليه السلام

Hadis ini gharib dari jalan Aliy bin Muhammad bin Jahm bersamaan dengan kenashibiannya, kebenciannya dan permusuhannya kepada ahlul bait [‘alaihis salaam] [U’yun Akhbar Ar Ridha, Syaikh Ash Shaduq 2/182]

Maka sangat jelas kedhaifan riwayat yang dinukil sang pencela tersebut. Pada hakikatnya ia hanya menyebarkan syubhat seputar masalah ini dengan menukil riwayat dhaif di sisi Syi’ah dan menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar untuk mencela Syi’ah.

.

.

.

Seandainya seorang penuntut ilmu atau pencari kebenaran memang bermental jujur dan bersikap objektif maka perkara yang hampir  sama juga ditemukan dalam kitab ahlus sunnah. Terdapat riwayat-riwayat dhaif mungkar yang menceritakan soal Nabi Muhammad [shallallahu ‘alaihiwasallam] dan Zainab binti Jahsy

 Tafsir Ath Thabariy juz 19

Tafsir Ath Thabariy hal 116

حدثني يونس قال : أخبرنا ابن وهب قال : قال ابن زيد : كان النبي – صلى الله عليه وسلم – قد زوج زيد بن حارثة زينب بنت جحش ، ابنة عمته ، فخرج رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوما يريده وعلى الباب ستر من شعر ، فرفعت الريح الستر فانكشف ، وهي في حجرتها حاسرة ، فوقع إعجابها في قلب النبي – صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepadaku Yunus yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu  Wahb yang berkata IbnuZaid berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menikahkah Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy putri bibinya maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] suatu hari berada di depan pintu rumah [Zaid] yang tertutup tirai, kemudian bertiuplah angin mengangkat tirai tersebut sehingga nampaklah ia [Zainab] dalam kamarnya dengan keadaan terbuka [kepala dan tangannya], maka muncullah kekaguman dalam hati Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]…[Tafsir Ath Thabariy 19/116]

.

.

Musnad Ahmad juz 19

Musnad Ahmad no 12511

حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْزِلَ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ ، فَرَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ ، فَكَأَنَّهُ دَخَلَهُ لَا أَدْرِي مِنْ قَوْلِ حَمَّادٍ ، أَوْ فِي الْحَدِيثِ ، فَجَاءَ زَيْدٌ يَشْكُوهَا إِلَيْهِ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ ، وَاتَّقِ اللَّهَ ” ، قَالَ : فَنَزَلَتْ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ إِلَى قَوْلِهِ زَوَّجْنَاكَهَا سورة الأحزاب آية 37 ، يَعْنِي زَيْنَبَ

Telah menceritakan kepada kami Mu’ammal bin Ismaiil yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Tsaabit dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dating ke kediaman Zaid bin Haritsah maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat istrinya [Zaid] yaitu Zainab, seolah-olah ia [Zaid] telah menggaulinya, [tidak tahu ini dari perkataan Hammad atau ada dalam hadis], maka datang Zaid mengadukan istrinya, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “tahanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah ” [perawi] berkata maka turunlah ayat dan “bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya sampai firmannya Kami nikahkan kamu dengan dia, surat Al Ahzab ayat 37 yakni Zainab [Musnad Ahmad bin Hanbal no 12511]

.

.

Kedua riwayat di atas dhaif mungkar di sisi Ahlus sunnah. Riwayat Ath Thabariy sanadnya dhaif mu’dhal. Ibnu Zaid adalah Abdurrahman bin Zaid bin Aslam seorang yang dhaif. Bukhariy telah mendhaifkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, An Nasa’iy berkata “dhaif”, Aliy bin Madiniy berkata “tidak ada anak dari Zaid bin Aslam yang tsiqat”. Ahmad bin Hanbal mendhaifkannya [Al Kamil IbnuAdiy 4/270]. Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tidak menemui masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka riwayatnya terputus.

Riwayat Ahmad bin Hanbal dhaif karena Mu’ammal bin Ismaiil. Ia telah dinyatakan tsiqat dan shaduq oleh sebagian ulama tetapi bersamaan dengan itu ia juga telah disifatkan dengan banyak kesalahan atau buruk hafalannya. Yahya bin Ma’in menyatakan ia tsiqat, Abu Hatim berkata “shaduq, tegas dalam sunnah, banyak kesalahan dan ditulis hadisnya” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 8/374 no 1079]. Dan dalam riwayat Ahmad di atas terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa matan tersebut berasal dari keburukan hafalannya dimana terdapat lafaz “tidak tahu apakah ini berasal dari perkataan Hammad atau ada di dalam hadis”.

.

.

Kesimpulan : Riwayat riwayat dhaif yang mengandung penghinaan terhadap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam perkara ini terdapat dalam kitab Syi’ah dan kitab Ahlus Sunnah maka tidak ada alasan untuk menjadikan riwayat-riwayat di atas sebagai dasar mazhab yang satu untuk mencela mazhab yang lain.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Al Kulainiy Tertangkap Basah Mengedit Sanad Hadis Pendahulunya? : Kedustaan Nashibiy

$
0
0

Al Kulainiy Tertangkap Basah Mengedit Sanad Hadis Pendahulunya? : Kedustaan Nashibiy

Dalam kitab yang dijadikan pegangan dalam mazhab Syi’ah yaitu Al Kafiy Al Kulainiy ditemukan riwayat yang menyebutkan nama dua belas Imam ma’shum di sisi Syi’ah. Sebagian ulama Syi’ah telah menshahihkan riwayat tersebut. Kemudian muncul sekelompok pencela menyebarkan fitnah atau syubhat bahwa Al Kulainiy telah mengedit sanad tersebut yang asalnya dhaif kemudian diubah sanadnya sehingga tampak baik. Tulisan ini berusaha menganalisis secara objektif apakah tulisan tersebut benar atau seperti biasa dusta murahan dari kalangan pencela. Berikut riwayat Al Kafiy yang dimaksud

.

 Al Kafiy juz 1

Al Kafiy juz 1 hal 337

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْبَرْقِيِّ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ دَاوُدَ بْنِ الْقَاسِمِ الْجَعْفَرِيِّ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الثَّانِي ع قَالَ أَقْبَلَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ع وَ مَعَهُ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ ع وَ هُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى يَدِ سَلْمَانَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ فَجَلَسَ إِذْ أَقْبَلَ رَجُلٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ وَ اللِّبَاسِ فَسَلَّمَ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَجَلَسَ ثُمَّ قَالَ

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dari Abi Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy [‘alaihis salam] yang berkata Amirul Mukminin [‘alaihis salaam]datang dan bersamanya Hasan bin Ali [‘alaihis salaam]dan ia berpegang dengan tangan Salman, kemudian Beliau masuk ke dalam Masjid Haram, maka beliau duduk, tiba-tiba datang seorang lelaki yang berpenampilan dan berpakaian baik, Ia mengucapkan salam kepada Amirul Mukminin [‘alaihis salaam], maka Beliau menjawab salamnya, Orang tersebut duduk kemudian berkata…[Al Kafiy Al Kulainiy 1/337]

Sengaja kami tidak mengutip matan lengkapnya karena panjang dan bukan itu yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini. Cukuplah dikatakan bahwa matan tersebut menyebutkan bahwa orang yang dimaksud adalah Khidir [‘alaihis salaam] dan Ia bersaksi mengenai kedua belas Imam Syi’ah beserta nama-nama mereka. Bagi yang ingin melihat matan lengkapnya silakan dilihat disini

Pencela yang dimaksud kemudian membawakan riwayat dengan matan yang sama dalam kitab Al Mahasin oleh Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dengan sanad sebagai berikut

Al Mahasin no 99

عنه، عن أبيه، عن أبي هاشم الجعفري رفع الحديث قال: قال أبو عبد الله

Darinya [Ahmad bin Muhammad Al Barqiy] dari Ayahnya dari Abi Haasyim Al Ja’fariy, ia merafa’kan hadis, ia berkata Abu ‘Abdullah berkata…[Al Mahasin Ahmad bin Muhammad Al Barqiy 2/332 no 99]

Maka berdasarkan riwayat dalam Al Mahasin, pencela tersebut mengatakan bahwa hadis itu diambil Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dari ayahnya yaitu Muhammad bin Khalid Al Barqiy. Riwayat dalam Al Mahasin dhaif dengan alasan

  1. Muhammad bin Khalid telah didhaifkan oleh An Najasyiy.
  2. Abu Haasyim tidak bertemu dengan Abu ‘Abdullah maka riwayatnya mursal

Asal riwayat ini dhaif kemudian Al Kulainiy mengubahnya dalam Al Kafiy dengan menghilangkan nama ayahnya Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dan mengganti nama Imam Abu ‘Abdullah dengan Abu Ja’far Ats Tsaniy.

.

.

.

Sebenarnya hakikat permasalahan riwayat ini bukanlah demikian. Kesalahan pencela tersebut karena terburu-buru dalam menarik kesimpulan, ia tidak mengumpulkan semua jalan sanad-sanadnya. Sebelumnya mari kita bahas terlebih dahulu kedudukan ayahnya Ahmad bin Muhammad Al Barqiy yaitu Muhammad bin Khalid bin ‘Abdurrahman. An Najasyiy berkata dalam kitab Rijal-nya

وكان محمد ضعيفا في الحديث، وكان أديبا حسن المعرفة بالاخبار وعلوم العرب

Muhammad dhaif dalam hadis, dia seorang ahli sastra [penyair], baik pengenalannya dalam kabar dan ilmu-ilmu arab [Rijal An Najasyiy hal 335 no 898]

Walaupun ia didhaifkan oleh An Najasyiy tetapi ia telah ditsiqatkan oleh Syaikh Ath Thuusiy

محمد بن خالد البرقي، ثقة، هؤلاء من أصحاب أبي الحسن موسى عليه السلام

Muhammad bin Khalid Al Barqiy, tsiqat, mereka termasuk sahabat Abu Hasan Muusa [‘alaihis salaam] [Rijal Ath Thuusiy hal 363]

Allamah Al Hilliy memasukkannya dalam kitabnya Khulashah Al Aqwaal bagian pertama yang memuat para perawi tsiqat atau yang ia berpegang dengannya. Allamah Al Hilliy mengutip Ibnu Ghada’iriy, An Najasyiy dan Ath Thuusiy kemudian berpegang pada pendapat Syaikh Ath Thuusiy.

محمد بن خالد بن عبد الرحمان بن محمد بن علي البرقي، أبو عبد الله، مولى أبي موسى الأشعري، من أصحاب الرضا (عليه السلام)، ثقةوقال ابن الغضائري: انه مولى جرير بن عبد الله، حديثه يعرف وينكر، ويروي عن الضعفاء ويعتمد المراسيلوقال النجاشي: انه ضعيف الحديثوالاعتماد عندي على قول الشيخ أبي جعفر الطوسي رضي الله عنه من تعديله

Muhammad bin Khaalid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Aliy Al Barqiy, Abu ‘Abdullah maula Abu Musa Al Asy’ariy, termasuk sahabat Imam Ar Ridha [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat. Ibnu Ghadha’iriy berkata bahwasanya ia maula Jarir bin ‘Abdullah, hadisnya dikenal dan diingkari dan ia meriwayatkan dari para perawi dhaif dan berpegang pada riwayat mursal. Najasyiy berkata bahwa ia dhaif dalam hadis. Dan yang menjadi pegangan di sisiku adalah perkataan Syaikh Abu Ja’far Ath Thuusiy [radiallahu ‘anhu] yang menta’dilnya [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 237]

Sayyid Al Khu’iy menjelaskan dalam kitab Mu’jam-nya bahwa sebenarnya perkataan Syaikh Ath Thuusiy tidaklah bertentangan dengan apa yang dikatakan Najasyiy dan Ibnu Ghada’iriy. Ia menjelaskan bahwa kedhaifan yang dimaksud Najasyiy bukan mendhaifkan Muhammad tetapi kepada hadisnya karena ia sering meriwayatkan dari perawi dhaif dan mursal seperti yang dikatakan Ibnu Ghadha’iriy. [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 17/71 no 10715].

Oleh karena itu dalam Al Mufiid, Muhammad Jawahiriy menegaskan bahwa Muhammad bin Khalid Al Barqiy tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 524]. Begitu pula yang dirajihkan oleh Ahmad bin ‘Abdur Ridha Al Bashriy dalam Fa’iq Al Maqaal Fii Hadits Wa Rijal hal 150 no 882.

Menurut kami pendapat yang paling baik adalah dengan mengambil jalan tengah bahwa ia pada dasarnya tsiqat tetapi terdapat kedhaifan dalam hadisnya sehingga hadisnya dikenal dan diingkari. Oleh karena itu ia tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud tetapi hadisnya dapat dijadikan penguat.

.

.

.

Setelah itu mari kita mengumpulkan sanad-sanad riwayat Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy di atas selain dari kitab Al Kafiy.

عنه، عن أبيه، عن أبي هاشم الجعفري رفع الحديث قال: قال أبو عبد الله

Darinya [Ahmad bin Muhammad Al Barqiy] dari Ayahnya dari Abi Haasyim Al Ja’fariy, ia merafa’kan hadis, ia berkata Abu ‘Abdullah berkata…[Al Mahasin Ahmad bin Muhammad Al Barqiy 2/332 no 99]

Kamal Ad Din Shaduq

Kamal Ad Din Shaduq hal 295

حدثنا أبي ، ومحمد بن الحسن رضي الله عنهما قالا : حدثنا سعد بن عبد الله وعبد الله بن جعفر الحميري ، ومحمد بن يحيى العطار ، وأحمد بن إدريس جميعا قالوا : حدثنا أحمد بن أبي عبد الله البرقي قال : حدثنا أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري ، عن أبي جعفر الثاني محمد بن علي عليهما السلام قال

Telah menceritakan kepadaku Ayahku dan Muhammad bin Hasan [radiallahu ‘anhuma] keduanya berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah, Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Athaar, Ahmad bin Idris, semuanya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy Muhammad bin Aliy [‘alaihimus salaam] yang berkata…[Kamal Ad Diin Wa Tammaam An Ni’mah hal 294-295, Syaikh Shaduq]

Ilal Syarai' Shaduq

Ilal Syarai' Shaduq hal 99

حدثنا أبي رضي الله عنه قال : حدثنا سعد بن عبد الله ، عن أحمد بن محمد عن ابن خالد البرقي ، عن أبي هاشم داود بن القاسم الجعفري ، عن أبي جعفر الثاني

Telah menceritakan kepada kami Ayahku [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin Abdullah dari Ahmad bin Muhammad dari Ibnu Khaalid Al Barqiy dari Abi Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy…[Ilal Asy Syarai’ Syaikh Shaduq 1/96]

  U'yun Akhbar Ridha juz 1

U'yun Akhbar Ridha juz 1 hal 67

حدثنا أبي ومحمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنهما قالا : حدثنا سعد بن عبد الله وعبد الله بن جعفر الحميري ومحمد بن يحيى العطار وأحمد بن إدريس جميعا قالوا : حدثنا أحمد بن أبي عبد الله البرقي قال : حدثنا أبي هاشم  داود بن القاسم الجعفري عن أبي جعفر محمد بن علي الباقر عليهما السلام قال

Telah menceritakan kepadaku Ayahku dan Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid [radiallahu ‘anhuma] keduanya berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah, Abdullah bin Ja’far Al Himyaariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Athaar, Ahmad bin Idris, semuanya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Muhammad bin Aliy Al Baaqir [‘alaihimus salaam] yang berkata…[U’yun Akhbar Ar Ridhaa Syaikh Shaduq 1/67]

Dengan mengumpulkan semua sanad riwayat kisah di atas maka didapatkan bahwa terkadang Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Haasyim dan terkadang meriwayatkan langsung dari Abu Haasyim. Disini ada dua kemungkinan

  1. Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy melakukan tadlis sehingga terkadang ia meriwayatkan dengan menghilangkan nama ayahnya
  2. Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy meriwayatkan dari Ayahnya dan mendengar langsung pula dari Abu Haasyim

Yang kedua inilah yang benar sebagaimana nampak dalam zhahir riwayat Ash Shaduq dimana Ahmad bin Muhammad meriwayatkan dari Abu Haasyim dengan lafaz “haddatsana” yaitu telah menceritakan kepada kami. Maka kedustaan pertama pencela tersebut ketika ia mengatakan bahwa Al Kulainiy menghilangkan nama ayahnya Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dalam sanad kitab Al Kafiy. Padahal fakta riwayat menunjukkan bahwa sanad riwayat tersebut ada dua, yaitu Ahmad bin Muhammad Al Barqiy meriwayatkan dari Ayahnya dan Ahmad bin Muhammad Al Barqiy mendengar langsung dari Abu Haasyim. Maka dengan mudah dapat dikatakan bahwa riwayat Al Kafiy memang adalah riwayat Ahmad bin Muhammad Al Barqiy dari Abu Haasyim.

.

.

Terdapat perselisihan soal riwayat Abu Haasyim Dawud bin Qaasim. Dalam Al Mahasin, disebutkan bahwa ia merafa’kan kepada Abu ‘Abdullah. Lafaz merafa’kan di sisi ilmu hadis Syi’ah menunjukkan bahwa memang ada perawi yang tidak disebutkan namanya dalam sanad tersebut [rafa’ disini berbeda maksudnya dengan pengertian rafa’ di sisi Sunni]. Riwayat Al Mahasin berasal dari Muhammad bin Khalid Al Barqiy

Disebutkan oleh Ash Shaduq dalam Ilal Asy Syarai’ bahwa Muhammad bin Khalid Al Barqiy meriwayatkan dari Abu Haasyim dari Abu Ja’far Ats Tsaniy. Maka disini ada dua kemungkinan

  1. Muhammad bin Khalid Al Barqiy keliru dalam menyebutkan sanadnya sehingga hanya salah satu dari sanad tersebut yang benar
  2. Kedua riwayat tersebut benar, yaitu dari Abu ‘Abdullah seperti yang disebutkan dalam Al Mahasin dan dari Abu Ja’far Ats Tsaniy seperti yang disebutkan Ash Shaduq

Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai kedudukan Muhammad bin Khalid Al Barqiy maka diketahui bahwa terdapat kelemahan dalam hadisnya sehingga pendapat yang rajih adalah kemungkinan pertama yaitu salah satunya yang benar. Untuk menentukan mana yang benar tentu dengan melihat qarinah dari riwayat lain’

.

Riwayat Ash Shaduq yang tidak melalui jalur Muhammad bin Khalid yaitu riwayat dimana Ahmad bin Muhammad Al Barqiy meriwayatkan langsung dari Abu Haaysim juga terjadi perselisihan yaitu terkadang Abu Haasyim meriwayatkan dari Abu Ja’far Ats Tsaniy dan terkadang Abu Haasyim meriwayatkan dari Abu Ja’far Al Baqir. Disini juga ada dua kemungkinan

  1. Salah satu riwayat Abu Haasyim keliru, riwayat Abu Ja’far Ats Tsaniy atau riwayat Al Baqir
  2. Kedua riwayat Abu Haasyim tersebut benar artinya ia meriwayatkan dari Al Baqir juga dari Abu Ja’far Ats Tsaniy

Kemungkinan yang rajih adalah yang pertama, salah satu riwayat Abu Haasyim tersebut keliru dan yang benar adalah riwayat dari Abu Ja’far Ats Tsaniy dengan qarinah sebagai berikut

  1. Abu Haasyim tidak dikenal sebagai sahabat Abu Ja’far Al Baqir bahkan ia tidak menemui masa Al Baqir dan dalam kitab Rijal Syi’ah disebutkan bahwa ia adalah sahabat Abu Ja’far Ats Tsaniy atau Imam Jawad [‘alaihis salaam]
  2. Jika memang lafaz yang dimaksud dalam salah satu riwayat Ash Shaduq adalah Abu Ja’far Al Baqir maka akan disebutkan lafaz “merafa’kan sanadnya” yang menunjukkan bahwa ada perawi lain antara keduanya sebagaimana halnya yang nampak dalam riwayat Al Mahasin

Menurut kami terjadi tashif dalam kitab U’yun Akhbar Ar Ridha tersebut sehingga lafaz yang benar adalah Ats Tsaniy bukan Al Baqir. Bukti nyata akan hal ini adalah Ayahnya Syaikh Shaduq yaitu Ibnu Babawaih Al Qummiy meriwayatkan sanad tersebut dengan menyebutkan lafaz Abu Ja’far Ats Tsaniy

Imamah Wa Tabshirah

Imamah Wa Tabshirah hal 106

سعد بن عبد الله، وعبد الله بن جعفر الحميري، ومحمد بن يحيى العطار، وأحمد بن إدريس، جميعا قالواحدثنا أحمد بن أبي عبد الله البرقي، قال: حدثنا أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري، عن أبي جعفر الثاني محمد بن علي عليهما السلام قال

Sa’d bin ‘Abdullah, Abdullah bin Ja’far Al Himyariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Aththaar, dan Ahmad bin Idris semuanya mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy dari Abu Ja’far Ats Tsaniy Muhammad bin ‘Aliy [‘alaihimas salaam] yang berkata…[Al Imamah Wal Tabshirah, Aliy bin Husain bin Babawaih Al Qummiy hal 106 no 93]

Hadis di atas menguatkan bahwa pendapat yang rajih mengenai riwayat Ash Shaduq adalah Abu Haasyim meriwayatkan dari Abu Ja’far Ats Tsaniy. Dan hadis ini juga menjadi dasar untuk menguatkan bahwa riwayat Muhammad bin Khalid Al Barqiy yang rajih adalah riwayat dalam kitab Ilal Asy Syarai’ yang menyebutkan Abu Ja’far Ats Tsaniy bukan riwayat dalam Al Mahasin

Maka kedustaan kedua adalah ketika pencela itu mengatakan bahwa Al Kulainiy mengganti nama Imam Abu ‘Abdullah menjadi Abu Ja’far Ats Tsaniy padahal justru yang rajih adalah riwayat yang menyebutkan Abu Ja’far Ats Tsaniy karena juga terdapat dalam riwayat selain dari Muhammad bin Khalid Al Barqiy.

Seandainya pun pencela tersebut menolak perajihan di atas maka itupun tetap membuktikan kedustaannya karena perselisihan riwayat yang tidak bisa ditarjih hanya menunjukkan bahwa terjadi idhthirab pada sanadnya dan idhthirab ini lebih mungkin dikembalikan kepada Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy atau Abu Haasyim Dawud bin Qaasim. Ini pun juga membuktikan bahwa Al Kulainiy tidaklah mengubah sanad tersebut karena penyebutan Abu Ja’far Ats Tsaniy juga ada dalam riwayat Ash Shaduq.

Kalau dikaji secara keseluruhan maka sanad yang benar memang dengan penyebutan Abu Ja’far Ats Tsaniy. Sebagaimana disebutkan oleh jama’ah dari Ahmad bin Muhammad Al Barqiy yang nampak dalam riwayat Al Kulainiy dan Ash Shaduq. Allamah Al Hilliy mengutip dari Al Kulainiy yang mengatakan

عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن خالد البرقي، فهم علي بن إبراهيموعلي بن محمد بن عبد الله ابن أذينة وأحمد بن عبد الله بن أميةوعلي بن الحسن

Sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy maka mereka adalah Aliy bin Ibrahim, Aliy bin Muhammad bin ‘Abdullah Ibnu Adziinah, Ahmad bin ‘Abdullah bin Umayyah dan Aliy bin Hasan [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 430]

Ada empat perawi dalam riwayat Al Kulainiy dan empat lagi dari riwayat Ash Shaduq yang semuanya meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy dengan menyebutkan Abu Ja’far Ats Tsaniy. Riwayat ini juga disebutkan Sayyid Haasyim Al Bahraniy dalam Madinatul Ma’aajiz dengan lafaz dari Abu Ja’far Muhammad bin Aliy Ats Tsaniy [Madinatul Ma’aajiz 3/341-346]. Kesimpulannya memang benar riwayat tersebut berasal dari Abu Ja’far Ats Tsaniy [‘alaihis salaam]

Kami tidak membahas kedudukan riwayat tersebut secara detail, apakah ia shahih atau tidak berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah?. Kami hanya ingin menunjukkan kedustaan pencela tersebut dengan analisa murahannya. Sekedar informasi riwayat Al Kafiy ini telah dishahihkan oleh Al Majlisiy dalam Mirat Al Uqul 6/203 dan kami lihat tidak ada masalah dengan penilaian Al Majlisiy.

.

.

.

Dalam kitab ahlus sunnah juga ditemukan fenomena seperti ini dan hanya orang yang pikirannya awam saja yang menyatakan bahwa seorang ulama mengubah sanad pendahulunya hanya karena sanadnya dengan sanad pendahulunya berbeda. Berikut ada hadis yang menyebutkan kalau Zubair tergolong pihak yang zalim ketika memerangi Imam Aliy. Hadis tersebut diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad berikut

Mustadrak juz 3

Mustadrak no 5575

حدثنا بذلك أبو عمرو محمد بن جعفر بن محمد بن مطر العدل المأمون من أصل كتابه ثنا عبد الله بن محمد بن سوار الهاشمي ثنا منجاب بن الحارث ثنا عبد الله بن الأجلح حدثني أبي عن يزيد الفقير قال منجاب : و سمعت فضل بن فضالة يحدث به جميعا عن أبي حرب بن أبي الأسود الديلي قال

Telah menceritakan demikian Abu ‘Amru Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Mathar Al ‘Adl Al Ma’mun dari Ushul Kitab-nya yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Sawaar Al Haasyimiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Munajaab bin Al Haarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Ajlah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Yaziid Al Faqiir. Munajaab berkata dan aku mendengar Fadhl bin Fadhalah menceritakan dengannya, keduanya [Yazid Al Faqiir dan Fadhl bin Fadhalah] dari Abi Harb bin Abil Aswad…[Mustadrak Al Hakim juz 3 no 5575]

Kemudian mari lihat hadis yang sama diriwayatkan oleh Baihaqiy dimana terjadi perubahan pada sanadnya

Dalail Nubuwah juz 6

Dalalil Nubuwah juz 6 hal 414

أخبرنا أبو بكر أحمد بن الحسن القاضي ، أخبرنا أبو عمرو بن مطر ، أخبرنا أبو العباس عبد الله بن محمد بن سوار الهاشمي الكوفي ، حدثنا منجاب بن الحارث ، حدثنا عبد الله بن الأجلح ، قال : حدثنا أبي ، عن يزيد الفقير ، عن أبيه ، قال : وسمعت الفضل بن فضالة ، يحدث أبي عن أبي حرب بن الأسود الدؤلي ، عن أبيه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Hasan Al Qaadhiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abu ‘Amru bin Mathar yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abbas ‘Abdullah bin Muhammad bin Sawaar Al Haasyimiy Al Kufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Munajaab bin Al Haarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ajlah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Yazid Al Faqiir dari Ayahnya. [Munajab] berkata aku mendengar Fadhl bin Fadhalah berkata telah menceritakan ayahku dari Abi Harb bin Aswad Ad Du’aliy dari Ayahnya… [Dala’il Nubuwah Baihaqiy 6/414].

Al Hakim meriwayatkan dari Abu ‘Amru bin Mathar dari Ushul kitabnya dengan dua sanad yaitu

  1. Munajaab dari Abdullah bin Ajlah dari Ayahnya dari Yaziid Al Faqiir dari Abi Harb bin Abil Aswad
  2. Munajaab dari Fadhl bin Fadhalah dari Abi Harb bin Abil Aswad

Al Baihaqiy dalam kitabnya meriwayatkan dari Ahmad bin Hasan Al Qaadhiy dari Abu ‘Amru bin Mathar dengan dua sanad berikut

  1. Munajaab dari Abdullah bin Ajlah dari Ayahnya dari Yazid Al Faqiir dari Ayahnya dari Abi Harb bin Abil Aswad dari Ayahnya
  2. Munajaab dari Fadhl bin Fadhalah dari Ayahnya dari Abi Harb bin Abil Aswad dari Ayahnya

Sanad dalam kitab Al Baihaqiy terdapat penambahan kata ayahnya jika dibandingkan dengan sanad dalam Ushul Kitab Abu ‘Amru bin Mathar. Maka apakah itu berarti Baihaqiy mengubah atau mengedit sanad yang asalnya dari kitab Abu ‘Amru bin Mathar pendahulunya.

Mereka yang akrab dengan ilmu hadis tidak akan mengatakan demikian sebelum ada bukti nyata bahwa Baihaqiy mengubah sanad tersebut karena fenomena seperti ini banyak dalam kitab hadis. Hal yang bisa dikatakan disini adalah terdapat kekeliruan pada sanadnya dan siapa yang keliru jelas memerlukan penelitian atau qarinah lebih lanjut.

.

.

Kami pribadi tidak pernah keberatan dengan orang-orang yang mengkritik Syi’ah secara ilmiah. Bagi kami kritikan tersebut menjadi tambahan ilmu yang berguna dalam mencari kebenaran [dalam hal ini tentang Syi’ah]. Yang kami tidak suka adalah orang yang terburu-buru dan mungkin mengedepankan hawa nafsu kebenciannya atau kejahilan akalnya sehingga menghina Syi’ah dengan syubhat murahan yang bahkan hal itu banyak terjadi dalam kitab-kitab pegangan ahlus sunnah. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung pencela tersebut juga menghina Ahlus Sunnah.

Dan orang seperti mereka jika kita tunjukkan bantahan atas tulisan mereka akan memandang siapapun yang membantah mereka sebagai antek syi’ah rafidhah, hamba mut’ah, dan celaan lain yang mereka nisbatkan kepada Syi’ah. Apa di dunia ini mereka pikir hanya ada dua jenis manusia yaitu Syi’ah dan Pencela Syi’ah?. Apa mereka hidup di dunia dimana siapapun Pembela Syi’ah maka sudah pasti Syi’ah?. Jika pertanyaan sederhana ini saja tidak bisa mereka pahami dan jawab secara kritis maka kami katakan tidak usah jauh-jauh membuat tulisan ilmiah karena kualitasnya pasti tidak jauh dari analisa murahan atau fitnah semata. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk bagi mereka yang mau menggunakan akalnya.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang Allah SWT : Kejahilan Nashibi Tentang Bada’

$
0
0

Satu Cabang Aqidah Syi’ah Tentang Allah SWT : Kejahilan Nashibi Tentang Bada’

Para nashibi adalah kaum yang tidak hanya sekedar jahil tetapi juga gemar memfitnah dan membuat kedustaan terhadap mazhab lain [baca : Syi’ah]. Sudah cukup banyak para ulama Syi’ah yang membuat tulisan yang membuktikan kedustaan mereka, kutipan yang tidak sebagaimana mestinya, berhujjah dengan riwayat dhaif dan palsu. Berikut akan penulis buktikan salah satu kedustaan mereka terhadap mazhab Syi’ah.

.

.

Salah satu da’i nashibi yang cukup dikenal di dunia maya membawakan riwayat dalam Al Kafi dan dengan riwayat tersebut ia berhujjah bahwa dalam aqidah bada’ di sisi Syi’ah, Allah tidak mengetahui kejadian baru tersebut sebelumnya dan baru mengetahui setelah kejadian tersebut terjadi. Inilah riwayat yang dimaksud

عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْجَعْفَرِيِّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) بَعْدَ مَا مَضَى ابْنُهُ أَبُو جَعْفَرٍ وَ إِنِّي لَأُفَكِّرُ فِي نَفْسِي أُرِيدُ أَنْ أَقُولَ كَأَنَّهُمَا أَعْنِي أَبَا جَعْفَرٍ وَ أَبَا مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْوَقْتِ كَأَبِي الْحَسَنِ مُوسَى وَ إِسْمَاعِيلَ ابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ( عليه السلام ) وَ إِنَّ قِصَّتَهُمَا كَقِصَّتِهِمَا إِذْ كَانَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْمُرْجَى بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَأَقْبَلَ عَلَيَّ أَبُو الْحَسَنِ قَبْلَ أَنْ أَنْطِقَ فَقَالَ نَعَمْ يَا أَبَا هَاشِمٍ بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ كَمَا بَدَا لَهُ فِي مُوسَى بَعْدَ مُضِيِّ إِسْمَاعِيلَ مَا كَشَفَ بِهِ عَنْ حَالِهِ وَ هُوَ كَمَا حَدَّثَتْكَ نَفْسُكَ وَ إِنْ كَرِهَ الْمُبْطِلُونَ

Aliy bin Muhammad, dari Ishaaq bin Muhamad, dari Abu Haasyim Al-Ja’fariy, ia berkata “Aku pernah di sisi Abul-Hasan [‘alaihis salam] setelah wafatnya anaknya yang bernama Abu Ja’far. Dan aku waktu itu berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan ‘Seakan-akan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad saat ini seperti halnya kejadian yang menimpa Abul-Hasan Muusaa dan Ismaa’iil, dua anak dari Ja’far bin Muhammad [‘alaihis salam]. Dan sesungguhnya kisah keduanya [Abu Ja’far dan Abu Muhammad] serupa dengan kisah keduanya [Muusaa dan Ismaa’iil bin Ja’far], disebabkan Abu Muhammad Al-Murji menjadi imam setelah Abu Ja’far’. Tiba-tiba Abul-Hasan memandangku sebelum aku sempat berkata-kata. Ia berkata : “Benar, wahai Abu Haasyim. Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far [‘alaihis salam] yang sebelumnya tidak Ia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Muusaa sepeninggal Ismaa’il yang sesuai dengan keadaannya. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya…[Al Kaafiy 1/327]

Lafaz yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut adalah

بَدَا لِلَّهِ فِي أَبِي مُحَمَّدٍ بَعْدَ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) مَا لَمْ يَكُنْ يُعْرَفُ لَهُ

Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad setelah wafatnya Abu Ja’far [‘alaihis salam] yang sebelumnya tidak Ia ketahui

Dari lafaz ini nampak bahwa Allah SWT menetapkan bada’ terhadap suatu perkara dimana Allah tidak memiliki pengetahuan sebelumnya. Pernyataan ini sangat jelas kebathilannya dan riwayat tersebut kedudukannya dhaif di sisi Syiah. Al Majlisiy dalam Mirat Al Uqul 3/391 berkomentar mengenai hadis ini “majhul”.

Secara kelimuan hadis di sisi Syiah riwayat tersebut dhaif karena di dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Muhammad An Nakha’iy yaitu Ishaq bin Muhammad bin Ahmad bin Abban. Sayyid Muhsin Al ‘Amin berkata tentangnya

لا اقبل روايته قال ابن الغضائري انه كان فاسد المذهب كذابا في الرواية وضاعا للحديث

Tidak diterima riwayatnya, Ibnu Ghada’iriy berkata bahwa ia jelek mazhabnya pendusta dalam riwayat dan pemalsu hadis [A’yan Asy Syi’ah 3/277]

Riwayat ini juga disebutkan Ath Thuusiy dalam kitabnya Al Ghaybah tanpa adanya lafaz “yang sebelumnya tidak Allah ketahui”.

فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر – وقد كان أشار إليه ودل عليه – فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون

Dan sungguh telah diriwayatkan Sa’d bin ‘Abdullah Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku berada di sisi Abu Hasan [‘alaihis salam] ketika wafat anaknya Abu Ja’far [‘alaihis salam], dan sungguh ia telah menunjuknya. Maka aku berpikir pada diriku sendiri untuk mengatakan “ ini seperti kasus Abu Ibrahim dan kasus Ismail”. Kemudian Abu Hasan [‘alaihis salam] datang kepadaku dan berkata “benar wahai Abu Haasyim Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismail dan mengangkat Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam]. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya… [Al Ghaybah Ath Thuusiy hal 200].

Jika riwayat ini shahih maka hal ini menjadi bukti bahwa tanbahan lafaz “yang sebelumnya tidak Allah ketahui” berasal dari Ishaq bin Muhammad An Nakaha’iy. Hanya saja riwayat Ath Thuusiy di atas tidak disebutkan sanad lengkap Ath Thuusiy hingga Sa’ad bin Abdullah Al Asy’ariy.

.

.

Dalam sudut pandang Syi’ah, Bada’ [yang dalam terjemah hadis di atas disebut “pendapat baru”] pada dasarnya bermakna perubahan atas ketetapan Allah [SWT] sebagaimana halnya nasikh dan mansukh tetapi hal ini berlaku pada takdir. Sebagaimana firman Allah SWT

يَمحُوا اللهُ ما يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ ام الكتب

Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitaab [QS Ar Raad : 39]

Dan semua yang ditetapkan oleh Allah SWT telah Allah SWT ketahui sebelumnya. Jadi Bada’ dalam aqidah Syi’ah berada dalam lingkup ilmu Allah SWT. Hal inilah yang dinyatakan dengan sanad shahih [secara ilmu hadis Syi’ah] dari Imam Ja’far [‘alaihis salam]

محمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن الحسن بن محبوب، عن عبد الله بن سنان، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: ما بدا لله في شئ إلا كان في علمه قبل أن يبدو له

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Hasan bin Mahbuub dari ‘Abdullah bin Sinaan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] yang berkata “Tidaklah Allah menetapkan bada’ terhadap sesuatu kecuali hal itu berada dalam Ilmu-Nya sebelum ditetapkan atasnya”.[Al Kaafiy 1/148]

Riwayat Al Kaafiy di atas sanadnya shahih di sisi Syi’ah, diriwayatkan oleh para perawi tsiqat

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 19/33 no 12010]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  5. Abdullah bin Sinaan seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [Rijal An Najasyiy hal 214 no 558]

Inilah aqidah bada’ yang shahih di sisi Syiah, sedangkan barangsiapa yang menisbatkan bada’ terhadap sesuatu dimana Allah tidak mengetahui sebelumnya maka Syiah berlepas diri darinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shaduq

وعندنا من زعم أن الله عز وجل يبدو له اليوم في شئ لم يعلمه أمس فهو كافر والبراءة منه واجبة

Dan di sisi kami barang siapa yang menganggap Allah ‘azza wajalla menetapkan sesuatu pada hari ini yang tidak Allah ketahui sebelumnya maka ia kafir dan wajib berlepas diri darinya [Kamal Ad Diin Wa Tammaam An Ni’mah hal 69,  Syaikh Shaduuq]

Note : Bagi pembaca yang berminat membaca tulisan dai nashibi tersebut silakan dilihat dalam link berikut http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/04/satu-cabang-aqidah-syiah-tentang-allah.html


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Fiqh Syi’ah Boleh Meludah Di Masjid Ataukah Fiqh Sunni? Contoh Imam Ma’shum Atau Rasulullah

$
0
0

Fiqh Syi’ah Boleh Meludah Di Masjid Ataukah Fiqh Sunni? Contoh Imam Ma’shum Atau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]

Blog penebar fitnah yang ngaku-ngaku pengikut sunnah gemar sekali membuat tuduhan terhadap mazhab Syi’ah. Kali ini tuduhannya adalah bahwa Syi’ah membolehkan meludah di Masjidil Haram dan itu mengikut contoh Imam ma’shum.

.

.

Bagaimanakah sebenarnya pandangan mazhab Syi’ah mengenai perkara ini. Pertama kali adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’anul Kariim

وَإِذْ بَوَّأْنَا لإبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud [QS. Al-Hajj : 26].

Masjid adalah tempat yang dimuliakan bagi kaum muslimin. Ada beberapa hal yang termasuk larangan dilakukan di masjid sebagai satu adab penghormatan termasuk larangan meludah di dalamnya

أحمد بن محمد عن محمد بن يحيى عن غياث بن إبراهيم عن جعفر عن أبيه عن آبائه عليهم السلام ان عليا عليه السلام قال: البزاق في المسجد خطيئة وكفارته دفنه

Ahmad bin Muhammad dari Muhammad bin Yahya dari Ghiyaats bin Ibrahiim dari Ja’far dari Ayahnya dari ayah-ayahnya [‘alaihimus salam] bahwa Aliy [‘alaihis salaam] berkata “meludah di dalam masjid adalah kesalahan dan kaffarahnya adalah menimbunnya” [Tahdzib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy 3/256]

Riwayat ini kedudukannya shahih di sisi Syiah, para perawinya tsiqat dalam Ilmu Rijal Syi’ah

  1. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
  2. Muhammad bin Yahya Al Khazzaaz, seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 359 no 964]
  3. Ghiyaats bin Ibrahiim At Tamimiy seorang yang tsiqat, meriwayatkan dari ‘Abu Abdullah [Imam Ja’far] [Rijal An Najasyiy hal 305 no 833]

Ini adalah adab yang berlaku bagi kaum muslimin baik Ahlus sunnah maupun Syi’ah, tetapi para pendusta berusaha menuduh dan merendahkan mazhab Syi’ah dengan mengutip riwayat berikut

محمد بن يعقوب ، عن الحسين بن محمد ، عن عبد الله بن عامر ، عن علي بن مهزيار قال : رأيت أبا جعفر الثاني (عليه السلام) يتفل في المسجد الحرام فيما بين الركن اليماني والحجر الاسود ، ولم يدفنه.

Muhammad bin Ya’quub dari Al-Husain bin Muhammad, dari ‘Abdullah bin ‘Aamir, dari ‘Aliy bin Mahziyaar, ia berkata “Aku pernah melihat Abu Ja’far Ats-Tsaaniy [‘alaihis-salaam] meludah di Masjidil Haraam di tempat antara Rukun Yamaniydan Hajar Aswad tanpa menimbunnya” [Wasaailusy Syii’ah no. 6384. Juga dalam Al-Kaafiy 3/370].

Riwayat ini telah dijelaskan oleh Muhammad Taqiy Al Majlisiy bahwa ini adalah kekhususan para Imam

الظاهر أنه لبيان الجواز (أو يقال) إنه من خصائصهم ( ع ) لأنه ليس في بصاقهم خباثة بل يتشرف المسجد به

Yang nampak bahwa riwayat tersebut sebagai penjelasan bolehnya meludah di dalam masjid [atau dikatakan], sesungguhnya ia termasuk kekhususan para imam [‘alaihis-salaam] karena tidak ada dalam ludah mereka najis, dan bahkan masjid menjadi mulia dengannya [Raudhatul Muttaqiin Fii Syarh Man Laa Yahdhurruhu Al Faqiihlish-Shaduuq, 2/203]

.

.

Sebenarnya riwayat tentang kebolehan meludah di masjid juga terdapat dalam hadis-hadis ahlussunnah sebagaimana berikut

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب جميعا عن ابن علية قال زهير حدثنا ابن علية عن القاسم بن مهران عن أبي رافع عن أبي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى نخامة في قبلة المسجد فاقبل على الناس فقال ما بال أحدكم يقوم مستقبل ربه فيتنخع امامه أيحب أحدكم ان يستقبل فيتنخع في وجهه فإذا تنخع أحدكم فليتنخع عن يساره تحت قدمه

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya berkata dari Ibnu ‘Ulayyah dari Qaasim bin Mihraan dari Abu Raafi’ dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat dahak pada dinding kiblat masjid Kemudian Beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda “Bagaimana pendapat kalian, jika ada orang sedang shalat menghadapi Tuhan-nya, lalu dia meludah ke hadapan-Nya? Senangkah kalian bila kalian sedang dihadapi seseorang, lalu orang itu meludahi muka kalian?. Oleh karena itu jika salah seorang dari kalian meludah ketika shalat, maka hendaklah dia meludah ke kiri atau ke bawah kaki kalian… [Shahih Muslim no 550]

Faedah yang dapat diambil dari hadis ini adalah larangan meludah ke arah kiblat di dalam masjid pada saat shalat tetapi jika ingin meludah maka dibolehkan meludah ke kiri atau ke bawah kaki, dan tentu saja ini masih di dalam masjid. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pun pernah melakukan hal ini dan Beliau tidak menimbunnya tetapi menggosoknya dengan sandal Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]

حدثنا عبيد الله بن معاذ العنبري حدثنا أبي حدثنا كهمس عن يزيد بن عبد الله بن الشخير عن أبيه قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فرأيته تنخع فدنكها بنعله

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz Al ‘Anbariy yang berkata telah menceritakan ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Kahmas dari Yazid bin ‘Abdullah bin Asy Syikhkhiir dari Ayahnya yang berkata aku shalat bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan aku melihat Beliau meludah kemudian menggosok-gosoknya dengan sandal-nya [Shahih Muslim no 554]

.

Sedikit catatan mengenai ludah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], diriwayatkan dengan sanad shahih bahwa ludah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] suci tidaklah mengandung najis bahkan berkhasiat menyembuhkan sakit

ثم إن عروة جعل يرمق أصحاب النبى – صلى الله عليه وسلم – بعينيه . قال فوالله ما تنخم رسول الله – صلى الله عليه وسلم – نخامة إلا وقعت فى كف رجل منهم فدلك بها وجهه وجلده ، وإذا أمرهم ابتدروا أمره ، وإذا توضأ كادوا يقتتلون على وضوئه ، وإذا تكلم خفضوا أصواتهم عنده ،

Kemudian Urwah memperhatikan para sahabat Nabi dengan kedua matanya. Ia berkata,”Demi Allah! Tidaklah Rasulullah mengeluarkan dahak, kecuali mengenai tangan salah seorang dari mereka, lalu menggosokkannya ke wajah dan kulitnya. Dan jika Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam] memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Juga jika Beliau [shallallahu 'alaihi wasallam] berwudhu, maka mereka seakan-akan berperang memperebutkan sisa air wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka di sisinya…[Shahih Bukhari no 2732]

فقال أين علي فقيل يشتكي عينيه فأمر فدعي له فبصق في عينيه فبرأ مكانه حتى كأنه لك يكن به شيء

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dimana Aliy?”. Maka dikatakan ia sakit kedua matanya. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggilnya kemudian meludahi kedua matanya hingga sembuh seolah-olah belum terkena penyakit sedikitpun…[Shahih Bukhari no 2783]

Akhir kata sebenarnya tidak ada alasan menjadikan perkara ini sebagai bahan celaan terhadap mazhab Syi’ah mengingat perkara yang sama juga ditemukan dalam kitab mazhab Ahlus Sunnah. Begitulah fitnah dari orang yang hatinya sudah dipenuhi dengan kebencian terhadap Syi’ah, ia tidak bisa melihat kebenaran dengan objektif karena yang nampak di matanya hanyalah apa-apa yang sesuai dengan hawa nafsunya.

Note : Tulisan penebar fitnah yang dimaksud dapat dilihat disini http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/05/fiqh-syiah-4-boleh-meludah-di-kabah.html


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi

$
0
0

Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi

Tulisan ini akan membahas tuduhan nashibi terhadap kitab hadis mazhab Syiah yaitu Al Kaafiy. Intinya menyatakan bahwa Al Kaafiy yang beredar sekarang itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu setelah era Al Kulainiy. Seandainya tuduhan tersebut valid dan tegak berdasarkan hujjah yang kuat maka tidak masalah dan akan menjadi tambahan ilmu bagi para peneliti tetapi sayang sekali tuduhan tersebut hanya bualan dan kicauan dari orang-orang yang jahil akal pikirannya. Selamat menyimak,

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَتَى يَعْرِفُ الْأَخِيرُ مَا عِنْدَ الْأَوَّلِ قَالَ فِي آخِرِ دَقِيقَةٍ تَبْقَى مِنْ رُوحِهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Aliy bin Asbaath dari Al Hakam bin Miskiin dari sebagian sahabat kami yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah “kapan orang terakhir mengetahui apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya” [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/274]

Nashibi mengartikan lafaz “daqiiqah” yang dimaksud sebagai “menit” kemudian ia merujuk pada kitab Mu’jam Al Wasiith

الدقيقة وحدة زمنية تعادل جزءا من ستين جزءا من الساعة ووحدة لقياس خطوط الطول أو العرض تساوي جزءا من ستين جزءا من الدرجة (مج) (ج) دقائق محدثة

Menit [ad-daqiqah] adalah satuan waktu yang sama dengan 1/60 jam, dan satuan bagi busur garis vertikal dan horisontal yang disamakan dengan 1/60 derajat. Jamaknya daqaaiq; dan ia merupakan istilah baru [muhdats].[Mu’jaam Al Wasiith 1/291]

Dengan dasar ini mereka mengatakan bahwa Al Kafiy jelas dibuat setelah era Al Kulainiy karena lafaz “daqiiqah” adalah istilah baru. Hujjah ini bisa dibilang rapuh dengan alasan sebagai berikut

Di sisi Syiah, mereka tidak mengartikan lafaz “daqiiqah” tersebut sebagai menit. Dalam kitab Majma’ Al Bahrain Fakhruddin bin Muhammad Ath Thuraihiy

و فيحديث الأئمة و قد سئل ع متى يعرف الأخير ما عند الأول؟ قال في آخر دقيقة تبقى منروحه
أي آخر جزء

Dan dalam hadis Imam ketika ditanya “kapan orang terakhir mengenal apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya”. Maksudnya adalah “bagian akhir” [Majma’ Al Bahrain 5/163]

Jika dikatakan istilah “daqiiqah” adalah istilah baru maka secara kritis kita dapat bertanya kalau begitu kapan tepatnya istilah itu muncul?. Kemudian apakah yang dimaksud dengan istilah baru tersebut? Apakah kata tersebut dahulunya tidak ada kemudian baru muncul atau kata tersebut sudah ada sebelumnya kemudian entah kapan baru dipakai sebagai lafaz bermakna “menit”.

.

.

Istilah daqiiqah sudah ada pada zaman Ibnu Hazm yang lahir pada tahun 384 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 18/185] dan digunakan untuk menyatakan waktu tertentu. Ibnu Hazm pernah berkata dalam kitabnya Al Muhalla

فإنه لو جاز أن يحول بين النية وبين العمل دقيقة لجاز أن يحول بينهما دقيقتان وثلاث وأربع

Maka jika dibolehkan adanya jeda antara niat dan amal, daqiiqah maka diperbolehkan juga adanya jeda antara keduanya dua daqiiqah, tiga dan empat [Al Muhalla Ibnu Hazm 1/77].

Sehingga pernyataan daqiiqah sebagai “istilah baru” itu harus diteliti kembali. Istilah daqiiqah sudah lama dikenal dalam ilmu Falaq. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al Khawarizmiy dalam Mafatih Al ‘Ulum

فلك البروج، هو الدائرة التي ترسمها الشمس بسيرها من المغرب إلى المشرق في سنة واحدة، وهو مقسوم إثني عشر قسماً، وهي البروج. وقد ذكرت أسماءها في الفصل الأول. وطول كل برج منها ثلاثون درجة، وكل درجة ستون دقيقة، وكل دقيقة ستون ثانية

Falaq Al Buruj, adalah lingkaran yang menunjukkan pergerakan matahari dari barat ke timur dalam satu tahun, itu dibagi dalam 12 bagian yang disebut Buruj dan telah disebutkan nama-namanya dalam pasal awal. Jarak setiap buruj adalah 30 derajat, setiap derajat 60 daqiiqah dan setiap daqiiqah 60 tsaniyah [Mafatih Al ‘Ulum Al Khawarizmiy 1/41]

Disebutkan dalam Mu’jam Al Mu’allifiin bahwa Al Khawarizmiy penulis Mafatih Al ‘Ulum wafat tahun 387 H [Mu’jam Al Mu’allifiin 9/29]. Istilah “daqiiqah” yang terkait ilmu Falaq juga digunakan Al Ya’qubiy dalam kitab Tarikh-nya [Tarikh Al Ya’qubiy 1/26]. Dan Al Ya’qubiy disebutkan oleh Yaqut Al Hamawiy dalam kitab Mu’jam Al ‘Udaba bahwa ia wafat tahun 284 H [Mu’jam Al ‘Udaba 1/214].

Al Kulainiy sendiri wafat pada tahun 329 H, sehingga jika dibandingkan dengan masa hidup Al Ya’qubiy, Al Khawarizmiy dan Ibnu Hazm maka dapat disimpulkan bahwa pada masa hidup Al Kulainiy sudah dikenal istilah “daqiiqah”. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa istilah ini sudah ada di zaman Imam Ja’far. Terdapat riwayat dalam Al Kafiy yang menyebutkan bahwa di masa Imam Ja’far sudah berkembang ilmu Falaq

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَيَابَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) جُعِلْتُ لَكَ الْفِدَاءَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ إِنَّ النُّجُومَ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ فِيهَا وَ هِيَ تُعْجِبُنِي فَإِنْ كَانَتْ تُضِرُّ بِدِينِي فَلَا حَاجَةَ لِي فِي شَيْ‏ءٍ يُضِرُّ بِدِينِي وَ إِنْ كَانَتْ لَا تُضِرُّ بِدِينِي فَوَ اللَّهِ إِنِّي لَأَشْتَهِيهَا وَ أَشْتَهِي النَّظَرَ فِيهَا فَقَالَ لَيْسَ كَمَا يَقُولُونَ لَا تُضِرُّ بِدِينِكَ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ فِي شَيْ‏ءٍ مِنْهَا كَثِيرُهُ لَا يُدْرَكُ وَ قَلِيلُهُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ تَحْسُبُونَ عَلَى طَالِعِ الْقَمَرِ ثُمَّ قَالَ أَ تَدْرِي كَمْ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَ الزُّهَرَةِ مِنْ دَقِيقَةٍ قُلْتُ لَا وَ اللَّهِ

Dari sebagian sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid dari Ibnu Fadhdhaal dari Al Hasan bin Asbaath dari ‘Abdurrahman bin Sayaabat yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] “aku menjadi tebusanmu, orang-orang mengatakan bahwa tidak boleh mempelajari ilmu perbintangan, dan itu membuatku heran. Maka jika itu membahayakan agamaku maka tidak ada alasan bagiku untuk membahayakan agamaku dan jika itu tidak membahayakan agamaku maka demi Allah aku menyukainya dan suka untuk mempelajarinya. Beliau berkata “Hal ini tidak seperti yang orang-orang itu katakan, hal itu tidak membahayakan agamamu”. Kemudian Beliau berkata “sesungguhnya kalian mempelajari sesuatu dimana banyak yang tidak kalian ketahui dan sedikit tidak memberikan manfaat dengannya, kalian telah menghitung pergerakan bulan. Kemudian Beliau berkata “apakah kalian mengetahui berapa daqiiqah antara musytariy dan zuharah?”. Aku berkata “tidak demi Allah”…[Al Kaafiy Al Kulainiy 8/195]

Jika kita asumsikan bahwa kedua riwayat Al Kaafiy tersebut shahih di sisi Syiah maka hal ini menjadi hujjah bahwa di masa Imam Ja’far sudah dikenal istilah “daqiiqah” yang terkait dengan ilmu falaq dan digunakan juga untuk menyatakan bagian tertentu yang singkat atau kecil [merujuk pada riwayat Al Kafiy yang pertama]. Jadi bisa saja dikatakan bahwa istilah “daqiiqah” memang tidak ada di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi sudah ada di zaman Imam Ja’far [‘alaihis salam]

Adapun tuduhan terhadap kitab Al Kaafiy bahwa ia ditulis setelah era Kulainiy karena adanya lafaz “daqiiqah” merupakan tuduhan yang tidak beralasan. Hal ini karena kata daqiqah bahkan sudah disebutkan oleh ulama lain sebelum Al Kulainiy seperti As Shaffaar yang wafat tahun 290 H

حدثنا محمد بن الحسين عن علي بن أسباط عن الحكم بن مسكين عن عبيد بن زرارة وجماعة معه قالوا سمعنا أبا عبد الله ع يقول يعرف الإمام الذي بعده علم من كان قبله في آخر دقيقة تبقى من روحه.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Husain dari Aliy bin Asbath dari Al Hakam bin Miskiin dari Ubaid bin Zurarah dan jama’ah yang bersamanya, mereka berkata “kami mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan imam setelahnya mengetahui apa yang ada pada sebelumnya pada akhir daqiqah yang tersisa dari ruh-nya [Basha’ir Ad Darajaat hal 520, Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar]

Makna daqiqah dalam riwayat di atas bukanlah “menit” dalam pengertian waktu di zaman sekarang ini. Lafaz “daqiqah” tersebut lebih mungkin diartikan sebagai bagian yang singkat atau kecil.

.

.

.
Yang lucunya fenomena yang sama juga terdapat dalam kitab hadis ahlus sunnah, yaitu adanya hadis yang menggunakan lafaz “sa’ah” yang pada bahasa arab modern, istilah ini bermakna jam yaitu 60 menit.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ – وَاللَّفْظُ لَهُ – عَنِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْجُلاَحِ مَوْلَى عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Sawwaad bin Al Aswad bin ‘Amru dan Al Haarits bin Miskiin membacakan kepadanya dan aku mendengar –lafaz darinya-dari Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Haarits dari Al Julaah maula ‘Abdul ‘Aziiz bahwa Abu Salamah bin ‘Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Jabir bin ‘Abdullah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “hari Jum’at ada dua belas jam, dan di dalamnya terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya, oleh karena itu carilah pada akhir jam setelah Ashar” [Sunan Nasa’i no 1400]

Al Iraqiy berkata “sanadnya shahih” [Tharh At Tatsriib 4/59]. Lafaz sa’ah ini berbeda dengan lafaz sa’ah yang digunakan dalam Al Qur’anul Kariim. Kalau kita memperhatikan lafaz “sa’ah” yang sering digunakan di dalam Al Qur’an maka akan kita dapati bahwa makna sa’ah tersebut adalah sesaat, tidak disematkan dengan angka tertentu

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya [QS. Al-A’raf : 34].

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk [QS. Yunus : 45].

الساعة: ج ساعات، جزء من أجزاء الوقت، ومنه: مضت ساعة من الليل
ويراد به مقدار ستين دقيقة من الزمان الوقت الحاضر

As Sa’ah : jamak Saa’aat : adalah bagian dari waktu, dan darinya “sesaat dari malam telah berlalu”. Dan dimaksudkan pula dengannya adalah ukuran 60 menit dari waktu yang ada pada zaman sekarang ini. [Mu’jam Al Lughah Al Fuqaha 1/239]

Mudah saja dikatakan bahwa lafaz sa’ah yang disematkan dengan angka dua belas tidak bisa diartikan sebagai sesaat maka itu lebih tepat bermakna dua belas jam, dan makna satu jam disini dalam bahasa arab modern adalah 60 menit dan pembagian siang hari menjadi 12 jam [12 x 60 menit] itu perkara muhdats. Tetapi para ulama justru menjadikan hadis ini sebagai bukti bahwa pembagian satu hari menjadi 24 sa’ah dimana siang 12 sa’ah dan malam 12 sa’ah sudah dikenal di kalangan arab pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun makna sa’ah disana bukan satu jam sebagai satuan waktu enam puluh menit tetapi hanyalah bagian dari waktu siang atau bagian dari waktu malam.

Kalau kita melihat permasalahan ini secara mendalam maka akan nampak bahwa ulama ahlus sunnah ketika menafsirkan hadis “dua belas sa’ah” di atas mereka menjadikan hadis tersebut sebagai dasar bahwa pada zaman itu sudah dikenal pembagian waktu satu hari satu malam sebagai 24 sa’ah dan sa’ah disana bukan bermakna sebagai satu jam yang dalam bahasa arab modern adalah 60 menit. Maka seharusnya dengan cara yang sama hadis Imam Ja’far dengan lafaz “daqiiqah” bisa dijadikan dasar bahwa pada zaman Imam Ja’far memang dikenal istilah daqiiqah sebagai bagian waktu tertentu yang singkat bukan diartikan sebagai menit dalam bahasa arab modern.

.

Note : Tulisan nashibi yang dimaksud dapat dibaca disini http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/al-kaafiy-sekarang-bukan-al-kaafiy-yang.html


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Hadis Palsu Dalam Shahih Muslim : Keutamaan Abu Sufyan [Bantahan Untuk Nashibi]

$
0
0

Hadis Palsu Dalam Shahih Muslim : Keutamaan Abu Sufyan [Bantahan Untuk Nashibi]

حدثني عباس بن عبدالعظيم العنبري وأحمد بن جعفر المعقري قالا حدثنا النضر ( وهو ابن محمد اليمامي ) حدثنا عكرمة حدثنا أبو زميل حدثني ابن عباس قال كان المسلمون لا ينظرون إلى أبي سفيان ولا يقاعدونه فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن قال نعم قال عندي أحسن العرب وأجمله أم حبيبة بنت أبي سفيان أزوجكها قال نعم قال ومعاوية تجعله كاتبا بين يديك قال نعم قال وتؤمرني حتى أقاتل الكفار كما كنت أقاتل المسلمين قال نعم قال أبو زميل ولولا أنه طلب ذلك من النبي صلى الله عليه و سلم ما أعطاه ذلك لأنه لم يكن يسئل شيئا إلا قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul ‘Azim Al ‘Anbari dan Ahmad bin Ja’far Al Ma’qiri yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami An Nadhr [dia Ibnu Muhammad Al Yamami] yang berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zumail yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas yang berkata “kaum muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya. Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW “Wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan, aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan agar anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Sufyan berkata “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang islam”. Beliau SAW menjawab “Ya”. Abu Zumail berkata “Seandainya Abu Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi SAW tentu beliau tidak akan memberinya karena jika Beliau SAW dimintai sesuatu, Beliau SAW tidak akan menjawab selain “ya”. [Shahih Muslim 4/1945 no 2501 ]

Hadis shahih Muslim tersebut pernah dinyatakan oleh palsu oleh Ibnu Hazm yaitu dengan perkataan berikut [sebagaimana dikutip Abdul Ghaniy Al Maqdisiy]

قَالَ أَبُو مُحَمَّدُ بْنُ حَزْمٍ: هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ , وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ حَبِيبَةَ إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ: هَذَا لا يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا، فَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْبَلاءِ

Abu Muhammad bin Hazm berkata Hadits ini maudhu’ [palsu] dan tidak diragukan kepalsuannya. Dan penyebabnya adalah dari ‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang kabar bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]tidaklah menikahi Ummu Habiibah kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri Habasyah. Dan dikatakan hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung kepada Allah dari balaa’  [Al Mishbaah Fii ‘Uyuun Ash Shihaah 1/49, Abdul Ghaniy Al Maqdisiy]

Sebelumnya silakan lihat tulisan kami sebelumnya tentang perkara ini, kemudian silakan lanjutkan lihat bantahan dari salah seorang nashibi disini. Ada beberapa hal yang patut diberikan catatan atas bantahannya. Menurut kami tidak jelas bagian mana dari tulisan kami yang sedang ia bantah

.

Jika yang ia bantah hanya sekedar perkataan “palsu” yang kami gunakan dan ia tuduh kami tidak tahu definisi hadis palsu dalam ilmu hadis maka kami katakan tidak perlu sok tahu wahai nashibi, silakan anda buka-buka lagi kitab hadis dan kitab Ilal, niscaya anda akan mentertawakan diri anda sendiri.

Nashibi yang dimaksud mengutip definisi hadis palsu dalam ilmu hadis, diantaranya ia mengatakan Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan hadits maudluu’, bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah ma’ruf), dan perawinya adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal. 60].

Kemudian orang sok tahu ini beranggapan bahwa ketika kami menyatakan Ikrimah bin ‘Ammar tsiqat tetapi tetap menyatakan hadis itu palsu maka itu berarti kami tidak mengerti definisi hadis maudhu’. Kami katakan, secara umum definisi hadis palsu memang seperti yang ia kutip tetapi dikenal juga hadis palsu dimana ternyata para perawinya memang tsiqat, seperti yang dikatakan Ibnu Jauzi

وقد يكون الاسناد كله ثقات ويكون الحديث موضوعا أو مقلوبا أو قد جرى فيه تدليس وهذا أصعب الاحوال ولا يعرف ذلك إلا النقاد.

Dan sungguh terdapat dalam sanad [suatu hadis] semua perawinya tsiqat dan ternyata hadis tersebut maudhu’ atau maqlub [terbalik] atau terdapat di dalamnya tadlis dan ini adalah kasus yang berat, tidaklah mengetahuinya kecuali ahli naqd [Al Maudhu’at 1/65]

Dan silakan ia perhatikan bahwa Adz Dzahabiy sendiri pernah menyatakan hal yang serupa dalam komentarnya terhadap salah satu hadis

هذا وإن كان رواته ثقات فهو منكر ليس ببعيد من الوضع

Hadis ini walaupun para perawinya tsiqat tetapi ia mungkar tidak jauh dari maudhu’ [Talkhis Al Mustadrak 3/128]

Telah masyhur juga di kalangan mutaqaddimin seperti Abu Hatim bahwa ia tidak mensyaratkan dalam penghukumannya terhadap hadis sebagai maudhu’ bahwa mutlak dalam sanadnya harus ada pendusta atau pemalsu hadis

وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ بِشْرُ بْنُ الْمُنْذِرِ الرَّمْلِيُّ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيُّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلا الْجَنَّةَ ” . قِيلَ : وَمَا بِرُّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” إِطْعَامُ الطَّعَامِ ، وَطِيبُ الْكَلامِ ” . فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ : هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ ، شِبْهُ الْمَوْضُوعِ ، وَبِشْرُ بْنُ الْمُنْذِرِ كَانَ صَدُوقًا

Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadis riwayat Bisyr bin Mundzir Ar Ramliy dari Muhammad bin Muslim Ath Thaa’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jaabir bin ‘Abdullah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus [dosa] diantara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”. Dikatakan “apa tanda mabrurnya wahai Rasulullah?”.Beliau berkata “memberi makan dan berbicara yang baik”. Maka aku mendengar ayahku [Abu Hatim] mengatakan “ini hadis mungkar seperti maudhu’ dan Bisyr bin Mundzir seorang yang shaduq” [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 892]

Muhammad bin Muslim dan ‘Amru bin Diinar keduanya dikenal sebagai perawi Muslim.

وَسَمِعْتُ أَبِي وَذَكَرَ حَدِيثًا : رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ ، عَنْ أَبِي خَالِدٍ الأَحْمَرِ ، عَن حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي افْتِتَاحِ الصَّلاةِ : ” سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ” ، وَأَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِلَى حَذْوِ أُذَنَيْهِ ” . فَقَالَ أَبِي : هَذَا حَدِيثٌ كذبٌ لا أَصْلَ لَهُ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ لا بَأْسَ بِهِ ، كَتَبْتُ عَنْهُ

Dan aku mendengar ayahku, menyebutkan hadis riwayat Muhammad bin Ash Shalt dari Abu Khalid Al Ahmar dari Humaid dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang pembuka shalat “subhaanaka allahumma wabihamdika” dan bahwasanya ia mengangkat tangannya sampai sejajar telinganya. Maka Ayahku [Abu Hatim] berkata ini hadis dusta tidak ada asalnya dan Muhammad bin Ash Shalt tidak ada masalah padanya aku telah menulis darinya [Al Ilal Ibnu Abi Hatim no 374]

Muhammad bin Ash Shalt juga dikatakan Abu Hatim tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 7/289 no 1567]. Sulaiman bin Hayaan Abu Khalid Al Ahmar dikatakan Abu Hatim tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 4/107 no 477]. Humaid Ath Thawiil dikatakan Abu Hatim tsiqat tidak ada masalah padanya [Al Jarh Wat Ta’dil 3/219 no 961]

.

.

Mengapa kami menguatkan kepalsuannya karena hadis Muslim tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fakta sejarah. Artinya itu adalah dusta yang diada-adakan terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Walaupun kami sendiri tidak bisa menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kepalsuannya itu tetap tidak menafikan bahwa kabar itu dusta.

Dan kami tidak pula menafikan bahwa sebagian ulama menyatakan bahwa hadis tersebut adalah kekeliruan dari perawinya. Bagi kami, Kabar itu jelas dusta dan menyatakan bahwa itu adalah kesalahan perawinya tidaklah menafikan bahwa kabar tersebut adalah dusta terhadap Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tidak ada masalah untuk dikatakan bahwa itu dusta dan dusta tersebut berasal dari kesalahan perawinya artinya ia tidak sengaja berdusta. Apakah ada dalam tulisan kami sebelumnya bahwa kami menuduh diantara para perawinya sebagai pemalsu hadis?. Tidak ada, bahkan dalam pembelaan terhadap Ikrimah kami katakan bahwa jika benar keliru maka perawi-perawi Muslim tersebut selain Ikrimah bisa saja tertuduh keliru karena setsiqat apapun seorang perawi, sebagai seorang manusia ia bisa saja keliru.

Dan seandainya pun dikatakan bahwa hadis tersebut dipalsukan oleh salah seorang perawinya. Maka apakah ini kemungkinan yang mustahil?. Tentu saja tidak, apakah seorang yang dikatakan tsiqat tidak bisa dikatakan pendusta dan memalsukan hadis. Lihat saja Asy Syaukaniy ketika ia berkomentar mengenai salah satu hadis

رواه ابن عدي عن ابن مسعود مرفوعاً وهو موضوع ، وفي إسناده عباد بن يعقوب ، وهو رافضي ، آخر كذاب

Diriwayatkan Ibnu Adiy dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dan itu maudhu’ [palsu] di dalam sanadnya ada ‘Abbad bin Ya’quub dan ia rafidhah pendusta [Fawa’id Al Majmu’ah Asy Syaukaniy no 163]

Dalam At Tahdzib disebutkan bahwa Abbad bin Ya’qub dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim dan Ibnu Khuzaimah, serta dinyatakan shaduq oleh Daruquthniy [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 5 no 183]. Rasanya tidak mungkin dikatakan ulama hadis seperti Asy Syaukaniy tidak mengetahui pendapat ulama mutaqaddimin tentang ‘Abbad bin Ya’qub.

Perlu diingatkan bahwa kami hanya menunjukkan bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut tidaklah mustahil dan memang kami sendiri tidak menetapkannya karena tidak adanya qarinah yang menguatkan. Dikatakan keliru, maka siapa yang keliru dan jika dipalsukan maka siapa yang memalsukan?.

Jika yang ia bantah terkait dengan status hadis Muslim tersebut bahwa hadis tersebut tetap shahih hanya saja matannya ada yang keliru dan bukan berarti keseluruhan hadisnya ditolak. Maka kami katakan bahwa yang bersangkutan memang tidak mengerti matan hadis tersebut yang merupakan satu kesatuan.

Abu Sufyan menyebutkan tiga permintaan, hal ini dapat dilihat dari lafaz

فقال للنبي صلى الله عليه و سلم يا نبي الله ثلاث أعطنيهن

[Abu Sufyan] berkata kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wassalam] “wahai Nabi Allah penuhilah tiga permintaanku”

Kemudian diketahui dari salah satu permintaan tersebut bahwa hal itu dusta yaitu Abu Sufyan ingin menikahkan anaknya Ummu Habiibah dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika permintaan ini dikatakan dusta dan merupakan kesalahan dari perawinya maka matan “penuhilah tiga permintaanku”pada dasarnya salah juga. Dengan kata lain ketika Abu Sufyan meminta tiga permintaan tersebut Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] belum menikahi Ummu Habiibah padahal peristiwa ini terjadi setelah Fathul Makkah. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] telah menikahi Ummu Habibah [radiallahu 'anha] sebelum Fathul Makkah. Kalau peristiwa Abu Sufyan meminta tiga permintaan itu saja dikatakan dusta atau tidak benar maka apa gunanya sebagian orang berhujjah dengan dua permintaan yang lain untuk menguatkan keutamaan Abu Sufyan.

Maka dari itu sebagian ulama berusaha menakwilkan maksud permintaan Abu Sufyan soal Ummu Habiibah. Ada yang menakwilkan bahwa maksud Abu Sufyan agar memperbaharui akad pernikahannya, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan agar Nabi tidak menceraikan Ummu Habiibah, ada yang menakwilkan maksud Abu Sufyan menunjukkan keridhaannya Nabi telah menikahi Ummu Habiibah. Semua takwil ini jauh sekali dari lafaz hadisnya dan tidak perlu diperhatikan karena sekedar omong-kosong yang siapapun bisa berandai-andai. Anda pun bisa menambahkan takwil bathil lainnya seperti Nabi telah menceraikan Ummu Habiibah kemudian Abu Sufyan ingin menikahkan lagi. Takwil seperti itu tidak ada gunanya

Apalagi takwil yang menyatakan bahwa nama tersebut salah sebenarnya bukan Ummu Habiibah binti Abu Sufyan tetapi ‘Azzah binti Abu Sufyan. Takwil ini jelas hanya menunjukkan kebodohan, karena jika memang seperti itu dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Ya” menunjukkan kedustaan yang nyata atas nama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Mengapa? Karena hal itu termasuk perkara yang diharamkan sebagaimana diakui oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri.

حدثنا يحيى بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب أخبرني عروة أن زينب بنت أبي سلمة أخبرته أن أم حبيبة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت قلت يا رسول الله انكح أختي بنت أبي سفيان قال وتحبين ذلك قلت نعم لست لك بمخلية وأحب من شاركني في الخير أختي فقال إن ذلك لا يحل لي فقلت يا رسول الله فوالله إنا نتحدث أنك تريد أن تنكح درة بنت أبي سلمة فقال بنت أم سلمة فقلت نعم قال فوالله لو لم تكن ربيبتي في حجري ما حلت لي إنها بنت أخي من الرضاعة أرضعتني وأبا سلمة ثويبة فلا تعرضن علي بناتكن ولا أخواتكن

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Aqiil dari Ibnu Syihaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwa Zainab binti Abi Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Ummu Habiibah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan. Beliau berkata “apakah kamu menyukai hal itu?”. [Ummu Habiibah] berkata “benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi [shallallaahu ‘alaihi wasallam] bersabda Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku” Ummu Habiibah berkata “Kami mendengar khabar bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?”. Beliau besabda “Anak perempuan Abu Salamah?”. Ummu Habiibah menjawab “Ya”. Beliau bersabda “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan penyusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku [Shahih Bukhariy no 5101]

Dengan kata lain berdasarkan hadis di atas, ‘Azzah binti Abu Sufyan saudara perempuan Ummu Habiibah tidak halal bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka bagaimana bisa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Ya” untuk memenuhi permintaan Abu Sufyan. Penakwilan-penakwilan tersebut bisa dikatakan terlalu lemah untuk dianggap, kualitasnya sama seperti cerita “tetap kambing walaupun bisa terbang”. Sudah jelas-jelas hadis tersebut salah masih dicari-cari pembenarannya.

Kami tidak perlu berbusa-busa mencari pembelaan atas hadis Muslim mengenai keutamaan Abu Sufyan di atas. Hadis tersebut jelas terbukti kedustaannya. Maka silakan saja bagi mereka yang bersikeras melakukan pembelaan karena pembelaan seperti apapun tidak akan berguna menghadapi bukti yang jelas. Dan jika suatu hadis jelas terbukti kedustaannya [kesalahannya] maka tidak ada gunanya mengambil istinbath dari hadis tersebut atau mengamalkan hadis tersebut. Bagaimana seseorang bisa yakin kalau matan yang tersisa dari hadis tersebut juga selamat dari cacat [kedustaan atau kesalahan].

Bukankah perkara ini sama hal-nya dengan seorang perawi yang terbukti berdusta atau membuat hadis palsu kemudian ia meriwayatkan banyak hadis lain. Apakah yang ditolak hanya hadis palsu yang sudah terbukti ia palsukan saja sedangkan hadis-hadis lain yang tidak ada bukti bahwa itu dipalsukan olehnya bisa diterima?. Tentu saja jawabannya tidak. Seorang pendusta atau pemalsu hadis memang bisa saja suatu ketika meriwayatkan hadis yang benar bahkan bisa saja ia hanya memalsukan satu hadis saja seumur hidupnya tetapi bagaimana bisa diyakini kalau hadis-hadis lain tersebut benar jika ia terbukti pernah melakukan kedustaan atau memalsukan riwayat.

.

.

Sebelum kami mengakhiri tulisan di atas ada catatan menarik dari nashibi tersebut dimana ia menyinggung hadis Abu Bakar dan Umar Sayyid Kuhul ahli surga yaitu riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan yang mengandung matan [wa syabaabuha] “para pemudanya”. Seperti yang pernah kami singgung hadis Hasan bin Zaid bin Hasan yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar sebagai Sayyid Kuhul dan Syabab ahli surga adalah mungkar karena terbukti dalam hadis shahih bahwa Sayyid Syabab ahli surga adalah Hasan dan Husain bukan Abu Bakar dan Umar. Hadis riwayat Hasan bin Zaid bin Hasan ini telah kami tulis dalam pembahasan khusus bahwa kedudukannya dhaif. Dan sayangnya kami tidak melihat adanya bantahan yang bernilai dari nashibi tersebut.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy

Hadis ‘Amru bin Al Haarits Tidak Menguatkan Hadis Abu Bakar Bahwa Nabi Tidak Mewariskan

$
0
0

Hadis ‘Amru bin Al Haarits Tidak Menguatkan Hadis Abu Bakar Bahwa Nabi Tidak Mewariskan

Tulisan ini cuma daur ulang tulisan lama, sekedar iseng baca artikel disana sini dan melihat ternyata masih banyak sekumpulan “orang awam” sok bergaya ulama dengan dalil khas pecundang. Intinya mereka berhujjah dengan hadis ‘Amru bin Al Haarits sebagai syahiid [pendukung] bagi hadis Abu Bakar bahwa para Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkan adalah sedekah. Berikut hadis ‘Amru bin Al Haarits yang dimaksud

حدثني مُحَمد بن فضيل قَال : حَدَّثَنَا إسحاق الأزرق قَال : حَدَّثَنَا سُفيان عن أبي إسحاق عن عَمْرو بن الحارث بن المصطلق قَال : لم يترك رسول الله صلى الله عليه وسلم إلاَّ سلاحًا ، وأرضًا جعلها صدقة ، وبغلة بيضاء

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq Al Azraq yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Ishaq dari ‘Amru bin Al Haarits bin Musthaliq yang berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak meninggalkan sesuatu kecuali senjata, tanah yang telah Beliau jadikan sedekah dan bighal putih [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 2/620 dengan sanad shahih]

Seperti yang pernah kami tulis, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya no 2739, 2873, 2912, 3098, 4461. Lafaz yang dijadikan hujjah adalah “Ja’alaha shadaqah” dalam hadis ‘Amru bin Al Haarits ini menguatkan apa yang dikatakan Abu Bakar bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewariskan dan semua peninggalan Nabi adalah sedekah.

Telah kami tunjukkan bahwa hujjah ini keliru dan sangat sangat tidak nyambung. Hadis ‘Amru bin Al Haarits di atas menyebutkan bahwa peninggalan Nabi [sebatas pengetahuan ‘Amru bin Al Haarits] adalah senjata, tanah dan bighal putih. Seandainya ‘Amru bin Al Haarits ingin menguatkan hadis Abu Bakar atau sedang menyatakan hal yang sama dengan hadis Abu Bakar yang berkata

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”

Maka seharusnya ‘Amru bin Al Haarits mensifatkan sedekah pada ketiga hal dimana ia bersaksi bahwa ketiganya adalah peninggalan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi zhahir hadis ‘Amru bin Al Haarits justru mensifatkan sedekah itu hanya kepada tanah, bukan kepada bighal dan senjata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Sekali lagi kami ulangi, seandainya ‘Amru bin Al Haarits bermaksud menguatkan hadis Abu Bakar maka ia akan mengatakan bahwa semua itu [senjata, tanah dan bighal] adalah sedekah. Zhahir hadis tidak menyatakan demikian, ‘Amru bin Al Haarits mensifatkan sedekah itu hanya pada tanah bukan pada senjata dan bighal. Lantas apa maknanya sedekah dalam hadis ‘Amru bin Al Haarits tersebut?. Maknanya adalah tanah tersebut ketika masa hidupnya Beliau jadikan hasilnya sebagai sedekah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Salah seorang salafy nashibi yang memang agak kurang waras [kalau berdialog dengan orang yang ia tuduh syiah] mengatakan sejak kapan barang yang disedekahkan pada saat hidup masih dikatakan peninggalan Beliau ketika wafat. Seandainya komentar ini muncul dari orang awam atau pengikut salafy yang awam [yang kebanyakan memang agak jahil] kami masih bisa maklum tetapi komentar ini muncul dari orang yang melihat tulisannya sudah biasa membaca berbagai kitab hadis dan fiqih para ulama. Kami bingung apakah yang bersangkutan pura-pura bodoh dan ikut-ikutan menjadi orang awam. Mari anggap saja bahwa salafy nashibi ini memang tidak tahu maka kita sarankan agar ia membaca apa itu yang namanya Wakaf.

Secara ringkas, wakaf adalah menahan sesuatu dan mengambil hasil atau manfaatnya. Salah satu dalil untuk wakaf ini adalah hadis Ibnu Umar berikut [kami kutip secara ringkas]

عن ابن عمر قال أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه و سلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبيت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط هو أنفس عندي منه فما تأمرني به ؟ قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها

Dari Ibnu Umar yang berkata “Umar mendapatkan bagian tanah di Khaibar maka ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] meminta saran tentangnya. Ia berkata “wahai Rasulullah, aku mendapatkan tanah di khaibar, yang aku tidak pernah mendapatkan harta yang paling berharga selainnya, maka apa yang Engkau perintahkan dengannya?. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “Jika engkau menghendaki, maka tahanlah tanahnya dan bersedekah dengannya” [Shahih Muslim 3/1255 no 1632]

Lafaz sedekah yang dimaksud dalam hadis Ibnu Umar di atas adalah wakaf, tanah tersebut diwakafkan dan disedekahkan hasil tanahnya. Kembali ke hadis ‘Amru bin Al Haarits di atas maka maksud sedekah disana adalah tanah tersebut telah diwakafkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] selagi Beliau masih hidup. Hal ini selaras dengan pemahaman para ulama terhadap hadis ‘Amru bin Al Haarits tersebut. Al Baihaqiy telah meriwayatkan hadis Amru bin Al Haarits tersebut dan memasukkannya dalam Kitab Wakaf [Sunan Baihaqiy 6/265 no 11894 & 11895]. Ibnu Hajar berkata tentang hadis ‘Amru bin Al Haarits

لأنه تصدق بمنفعة الأرض فصار حكمها حكم الوقف

Beliau [Rasulullah] menyedekahkan hasil atau manfaat dari tanahnya, maka itu hukumnya menjadi hukum wakaf [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 5/360]

Apa yang dikatakan Ibnu Hajar juga dinukil oleh Mulla Aliy Qaariy dan ia menjelaskan bahwa maknanya tanah itu dijadikan sedekah jariyah oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat Beliau masih hidup.

قال العسقلاني أي تصدق بمنفعة الأرض فصار حكمها حكم الوقف والمعنى أنه جعلها في حياته صدقة جارية

Al Asqallaniy berkata Beliau menyedekahkan manfaat tanahnya maka itu hukumnya menjadi hukum wakaf dan maknanya adalah bahwa Beliau telah menjadikan tanah itu pada masa hidupnya sebagai shadaqah jariyah [Mirqat Al Mafaatih Syarh Al Misykaat Mulla Aliy Qaariy 17/269]

Singkat cerita keliru sekali menjadikan hadis ‘Amru bin Al Haarits sebagai penguat hadis Abu Bakar Nabi tidak mewariskan karena sebenarnya hadis ‘Amru tersebut menceritakan tanah yang diwakafkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] semasa hidupnya. Tidaklah hadis tersebut bermakna setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat maka tanah itu baru menjadi sedekah sebagai konsekuensi dari hadis Abu Bakar bahwa semua peninggalan Nabi adalah sedekah. Intinya hadis ‘Amru bin Al Haarits tidak nyambung dengan hadis Abu Bakar.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy

Studi Kritis Kedudukan Hadis Tawasul Malik Ad Daar

$
0
0

Studi Kritis Kedudukan Hadis Tawasul Malik Ad Daar

Sebelumnya di dalam blog ini sudah pernah dibahas panjang lebar mengenai hadis Malik Ad Daar. Tulisan kali ini bisa dibilang daur ulang dengan sedikit penambahan dan hujjah.

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ قَالَ وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ  قَالَ أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إلَى قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّونَ وَقُلْ لَهُ عَلَيْك الْكَيْسُ عَلَيْك الْكَيْسُ فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Amasy dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar, [Abu Shalih] berkata dan ia seorang bendahara Umar untuk persediaan makanan. [Malik Ad Daar] berkata “Orang-orang mengalami kemarau panjang pada masa Umar. Maka seorang laki-laki datang ke makam Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “wahai Rasulullah mintakanlah hujan untuk umatmu karena sungguh mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi bertemu Rasulullah SAW dan dikatakan kepadanya “datanglah kepada Umar dan sampai salam untuknya, beritahukan kepadanya mereka akan diturunkan hujan. Katakanlah kepadanya “bersikaplah bijaksana, bersikaplah bijaksana”. Maka laki-laki tersebut datang kepada Umar dan menceritakan kepadanya akan hal itu. Maka Umar menangis dan berkata “Ya  Tuhanku aku tidak melalaikan kecuali apa yang aku tidak mampu melakukannya” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/31 no 32600]

Atsar di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh-nya 2/80 no 1818, Al Khaliliy dalam Al Irsyaad 1/313 no 153, Al Baihaqiy dalam Dala’il An Nubuwah 7/47 no 2984, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyiq 56/489 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 1/355 dengan kisah yang lengkap seperti riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas. Al Bukhari menyebutkan riwayat ini secara ringkas dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1295 yaitu hanya lafaz perkataan Umar yang terakhir. Semuanya meriwayatkan dengan jalan sanad yang berujung pada Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad Daar.

.

.

Riwayat ini sanadnya shahih. Abu Mu’awiyah Muhammad bin Hazm Ad Dhariir yaitu perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijliy menyatakan tsiqat, Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat banyak meriwayatkan hadis. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan hafizh mutqin. Disebutkan bahwa ia termasuk salah seorang yang paling tsabit riwayatnya dari Al A’masy. Waki’ berkata “kami tidak pernah menemui orang yang paling alim tentang hadis A’masy selain Abu Mu’awiyah. Ibnu Ma’in berkata “Abu Mu’awiyah lebih tsabit dalam riwayat A’masy daripada Jarir”. Abu Hatim berkata “orang yang paling tsabit dalam riwayat A’masy adalah Sufyaan kemudian Abu Mu’awiyah” [Tahdziib At Tahdziib Ibnu Hajar juz 9 no 192]. Ibnu Hajar berkata tentangnya “tsiqat orang yang paling hafal dalam hadis A’masy dan terkadang keliru dalam riwayat selainnya” [At Taqrib 2/70]

Sulaiman bin Mihran Al ‘Amasy perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Al Ijli dan Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386]. Ibnu Hajar menyebutkannya sebagai mudallis martabat kedua yang ‘an anahnya dijadikan hujjah dalam kitab shahih [Thabaqat Al Mudallisin no 55]. Riwayat ‘an anahnya dari para syaikh-nya seperti Ibrahim, Abu Wail dan Abu Shalih dianggap muttashil [bersambung] seperti yang dikatakan Adz Dzahabi dalam biografi A’masy

وهو يدلس وربما دلس عن ضعيف ولا يدرى به فمتى قال ثنا فلا كلام ومتى قال عن تطرق إليه احتمال التدليس إلا في شيوخ له أكثر عنهم. كإبراهيم وأبي وائل وأبي صالح السمان فإن روايته عن هذا الصنف محمولة على الاتصال

Dan ia melakukan tadlis, dituduh melakukan tadlis dari perawi dhaif yang ia tidak mengetahui dengannya, maka perkataannya “menceritakan kepada kami” tidak ada pembicaraan atasnya dan perkataannya “dari” mengandung kemungkinan tadlis kecuali riwayat dari para Syaikh-nya yang mana ia memiliki banyak riwayat dari mereka seperti Ibrahiim, Abu Wa’il, dan Abu Shalih As Samaan maka riwayatnya disini dianggap bersambung [Mizan Al I’tidal Adz Dzahabiy 2/224 no 3157]

Abu Shalih As Samaan yaitu Dzakwan termasuk perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in berkata tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat shalih al hadits dapat dijadikan hujjah”. Abu Zur’ah berkata “tsiqat hadisnya lurus”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”, As Sajiy berkata tsiqat shaduq, Al Harbiy berkata “termasuk orang tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat dan Al Ijliy berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 417]

Malik Ad Daar adalah Malik bin Iyadh sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas bahwa ia adalah bendahara persediaan makanan di masa Umar. Ibnu Sa’ad menyebutkan biografinya dan berkata

وروى مالك الدار عن أبي بكر الصديق وعمر رحمهما الله روى عنه أبو صالح السمان وكان معروفا

Dan Malik Ad Daar meriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar [rahmat Allah untuk keduanya] dan telah meriwayatkan darinya Abu Shalih As Samaan. Ia seorang yang ma’ruf [dikenal] [Thabaqat Ibnu Sa’ad 5/12]

مالك الدار مولى عمر بن الخطاب رضي الله عنه تابعي قديم متفق عليه اثنى عليه التابعون وليس بكثير الرواية روى عن ابي بكر الصديق وعمر

Malik Ad Daar mawla Umar bin Khaththaab radiallahu ‘anhu tabiin awal muttafaq ‘alaihi telah dipuji oleh para tabiin, ia tidak memiliki banyak riwayat. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar [Al Irsyaad Al Khaliliy 1/313 no 153]

حَدَّثَنَا الأثرم عن أبي عبيدة قَالَ قَالَ مالك الدار مولى عمر بن الخطاب ولاه عمر كيلة عيال عمر فلما قام عثمان ولى مالك الدار دار القسم فسمى مالك الدار

Telah menceritakan kepada kami Al Atsram dari Abu Ubaidah yang berkata Malik Ad Daar maula Umar bin Khaththaab, Umar mengangkatnya sebagai pengurus keluarga Umar ketika Utsman menjadi khalifah, ia mengangkat Malik Ad Daar sebagai darul qasim maka ia dinamakan Malik Ad Daar [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 2/80 no 1819]

Ibnu Hibban menyebutkan biografinya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 5/384 no 5312]. Ibnu Asakir menyebutkan biografinya dalam Tarikh-nya dimana ia berkata tentang Malik Ad Daar

سمع أبا بكر الصديق وعمر بن الخطاب وأبا عبيدة بن الجراح ومعاذ بن جبل وروى عنه أبو صالح السمان وعبد الرحمن بن سعيد بن يربوع وابناه عون بن مالك وعبد الله بن مالك

Mendengar dari Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal dan meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ dan kedua anaknya Aun bin Malik dan Abdullah bin Malik [Tarikh Ibnu Asakir 56/489 no 7180]

Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ adalah tabiin madinah tsiqat thabaqat ketiga [At Taqrib 1/572]. Nampak disini bahwa telah meriwayatkan dari Malik Ad Daar dua perawi tsiqat yaitu Abu Shalih As Samaan dan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’.

أخبرنا أبو البركات بن المبارك أنا أبو طاهر الباقلاني أنا يوسف بن رباح أنا أبو بكر المهندس نا أبو بشر الدولابي نا معاوية بن صالح قال سمعت يحيى بن معين يقول في تسمية تابعي أهل المدينة ومحدثيهم مالك الدار مولى عمر بن الخطاب

Telah mengabarkan kepada kami Abul Barakaat bin Mubaarak yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Thaahir Al Baaqilaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuuf bin Rabbaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Muhandis yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr Ad Duulabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Shaalih yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’iin berkata tentang penamaan tabiin ahlul madinah dan muhaddis mereka yaitu Malik Ad Daar maula Umar bin Khaththaab [Tarikh Dimasyiq Ibnu Asakir 56/491].

Berdasarkan penjelasan di atas maka Malik Ad Daar adalah tabiin awal dan muhaddis di kalangan tabiin madinah dimana para tabiin telah memberikan pujian terhadapnya. Ia merupakan seorang yang ma’ruf, telah dipercaya oleh khalifah Umar dan Utsman sehingga ia dinamakan Malik Ad Daar [seandainya kedua khalifah meragukan kejujurannya maka tidak mungkin mereka mempercayakan amanat kepada Malik Ad Daar]. Telah meriwayatkan darinya dua perawi tsiqat yaitu Abu Shalih As Samaan dan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’. Ibnu Hibban telah memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Semua ini secara bersama-sama menunjukkan bahwa Malik Ad Daar adalah seorang tabiin yang tsiqat atau minimal shaduq.

Sebagian orang mengira bahwa tautsiq Al Khaliliy terhadap Malik Ad Daar bukanlah tautsiq yang mu’tamad dengan alasan Al Khaliliy adalah ulama muta’akhirin dan perkataan Al Khaliliy tidak didahului oleh ulama mutaqaddimin. Alasan ini tidak bisa dijadikan hujjah karena tautsiq baik itu dari kalangan mutaqaddimin ataupun muta’akhirin tetaplah bisa diterima. Pernyataan orang tersebut bahwa tidak ada ulama mutaqaddimin sebelum Al Khaliliy yang memuji Malik Ad Daar juga tidak bernilai hujjah karena ia sendiri berhujjah pula dengan pernyataan Al Khaliliy mengenai penukilan bahwa sebagian orang mengatakan Abu Shalih mengirsalkan hadis Malik Ad Daar. Faktanya penukilan Al Khaliliy ini pun tidak didahului oleh ulama mutaqaddimin.

.

.

.

Ada satu syubhat menarik yang dipertahankan oleh kaum pengingkar mengenai hadis Abu Shalih As Samaan dari Malik Ad Daar yaitu inqitha’ [keterputusan] antara Abu Shalih dan Malik Ad Daar. Seperti yang pernah kami jelaskan sebelumnya bahwa tidak ada satupun ulama mu’tabar yang menetapkan adanya inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Jumhur ulama menetapkan periwayatan Abu Shalih dari Malik Ad Daar tanpa menegaskan penyimakan ataupun menyatakan inqitha’. Oleh karena Abu Shalih As Samaan bukan mudallis maka riwayatnya dengan lafaz ‘an anah bisa diterima.

Satu-satunya hujjah para pengingkar untuk mendukung syubhat inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar adalah perkataan Al Khaliliy setelah menyebutkan hadis Malik Ad Daar, ia berkata.

يقال إن أبا صالح سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون ارسلوه

Dikatakan bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik Ad Daar dan yang lain mengatakan ia telah mengirsalkannya [Al Irsyaad Al Khaliliy 1/313 no 153]

Tidak benar kalau hujjah ini dijadikan dasar untuk menyatakan inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Karena apa yang dinukil dari Al Khaliliy adalah pendapat sebagian orang bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik dan yang lainnya berpendapat Abu Shalih mengirsalkan hadis tersebut. Untuk merajihkan dua pendapat yang berbeda tentu dengan menilai sejauh mana kedudukan para ulama yang mengatakan demikian tetapi karena Al Khaliliy tidak menyebutkan siapakah para ulama yang menyatakan demikian dan tidak ternukil pendapat tersebut dari kalangan mutaqaddimin maka dapat digunakan kaidah al mutsabit muqadam al nafiy [yang menetapkan lebih didahulukan dari menafikan] artinya nukilan Al Khaliliy bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik Ad Daar adalah lebih rajih dibanding nukilan yang mengirsalkannya.

Dan seandainyapun perajihan ini ditolak maka disini tidak ada ruang pula bagi pengingkar untuk berhujjah dengan sebagian nukilan Al Khaliliy dan menafikan nukilan yang lain. Bagaimana bisa mereka menegakkan irsal kemudian menafikan pernyataan yang lain bahwa Abu Shalih mendengar dari Malik Ad Daar. Maka hal ini dikembalikan dengan kaidah ‘an anah yang dikenal dalam ilmu hadis yaitu ‘an anah perawi tsiqat semasa yang bukan mudallis dianggap muttashil sampai ada bukti yang menyatakan irsal atau inqitha’.

Malik Ad Daar tidak diketahui tahun lahir dan tahun wafatnya sedangkan Abu Shalih As Samaan disebutkan oleh Adz Dzahabiy bahwa ia lahir pada masa kekhalifahan Umar [As Siyaar Adz Dzahabiy 5/37]. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa Abu Shalih semasa dengan Malik Ad Daar dan keduanya dikenal sebagai penduduk Madinah.

Para pengingkar membuat syubhat mengais segala macam kemungkinan untuk melemahkan hadis yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka berkata bisa saja Malik Ad Daar wafat pada awal pemerintahan Utsman dan Abu Shalih lahir pada akhir masa khalifah Umar maka usia Abu Shalih tidak memungkinkan dalam menerima riwayat dari Malik Ad Daar. Sebenarnya andai-andai seperti inilah yang harusnya dibuktikan dalam melemahkan suatu hadis karena kalau setiap orang bebas berandai-andai maka hadis apapun bisa saja dilemah-lemahkan.

.

.

Ternukil pendapat ulama yang mengatakan bahwa Dzakwan Abu Shalih As Samaan mendengar dari Ka’ab Al Ahbar yaitu sebagaimana yang dikatakan Ibnu Jauziy, ia berkata

ذكوان أبو صالح السمان‏ سمع من كعب الأحبار

Dzakwaan Abu Shalih As Samaan mendengar dari Ka’ab Al Ahbaar [Al Muntazam Fii Tarikh Ibnu Jauziy 7/69]

كعب الأحبار بن ماتع ويكنى أبا إسحاق وهو من حمير من آل ذي رعين وكان على دين يهود فأسلم وقدم المدينة ثم خرج إلى الشام فسكن حمص حتى توفي بها سنة اثنتين وثلاثين في خلافة عثمان بن عفان

Ka’ab Al Ahbar bin Maata’ kuniyah Abu Ishaaq, ia berasal dari Himyaar dari keluarga Dzii Ra’iin dia awalnya bergama Yahudi kemudian memeluk islam datang ke Madinah kemudian keluar menuju Syam menetap di Himsh dan wafat di sana pada tahun 32 H pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan. [Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/445]

Berdasarkan sirah Ka’ab Al Ahbar maka Abu Shalih As Samaan memungkinkan untuk mendengar dari Ka’ab ketika ia datang ke Madinah pada masa pemerintahan Umar.

حدثنا ابن بشار قال ثنا عبد الرحمن قال ثنا سفيان عن الأعمش عن أبي وائل قال جاء رجل إلى عبد الله ، فقال  من أين جئت ؟ قال من الشأم قال من لقيت؟ قال لقيت كعبا فقال ما حدثك كعب ؟ قال حدثني أن السماوات تدور على منكب ملك

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari A’masy dari Abi Wa’il yang berkata datang seorang laki-laki kepada ‘Abdullah, maka ia berkata “dari mana engkau?” ia menjawab “dari syam”. Abdullah berkata “siapa yang engkau temui?”. Ia menjawab “aku menemui Ka’ab” maka Abdullah berkata “apa yang diceritakan Ka’ab kepadamu?”. Ia menjawab “Ka’ab menceritakan kepadaku bahwa langit berputar di atas pundak malaikat” [Tafsir Ath Thabariy 20/482]

Riwayat ini sanadnya shahih, Abu Wa’il adalah Syaaqiq bin Salamah adalah penduduk Kufah yang paling alim dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud.

وقال عمرو بن مرة قلت لابي عبيدة من أعلم أهل الكوفة بحديث عبدالله ؟ قال أبو وائل

Amru bin Murrah berkata aku berkata pada Abu Ubaidah “siapakah penduduk kufah yang paling alim dalam menceritakan hadis Abdullah?”. Ia berkata ‘Abu Wa’il” [Tahdzib Al Kamal 12/552 no 2767]

Faidah yang didapatkan dari riwayat Ath Thabariy di atas adalah Abu Wa’il menyaksikan bahwa ketika Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah ada seseorang datang kepadanya dan ia baru saja menemui Ka’ab Al Ahbar di Syam. Artinya pada saat Abdullah bin Mas’ud masih di Kufah, Ka’ab Al Ahbar sudah berada di Syam.

Dalam sirah Abdullah bin Mas’ud disebutkan bahwa ia datang ke Kufah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab dan kembali ke Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan lebih kurang tahun 28 atau 29 H. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Ka’ab Al Ahbar sudah berada di Syam sebelum tahun 28 atau 29 H. Dan sebelum pergi ke Syam, Ka’ab Al Ahbar menetap di Madinah yaitu pada masa pemerintahan Umar dan pada awal masa pemerintahan Utsman.

Pada saat  di Madinah inilah Abu Shalih As Samaan mendengar dari Ka’ab Al Ahbar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa awal pemerintahan Utsman, Abu Shalih As Samaan minimal sudah masuk dalam usia tamyiz yang memungkinkan menerima dan mendengar hadis. Maka seandainya pun Malik Ad Daar wafat pada awal pemerintahan Utsman, Abu Shalih tetap berkemungkinan mendengar dari Malik Ad Daar.

.

.

Qarinah lain yang menunjukkan bahwa Abu Shalih As Samaan berada satu masa dengan Malik Ad Daar adalah bahwa ia Abu Shalih berada dalam satu thabaqat yang sama dengan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ Al Makhzuumiy yang meriwayatkan dari Malik Ad Daar. Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ adalah seorang yang tsiqat, Ibnu Hajar mengatakan dalam biografinya

قال بن سعد توفي سنة تسع ومائة وهو بن ثمانين سنة وكان ثقة في الحديث

Ibnu Sa’ad berkata wafat pada tahun 109 H dan ia umurnya lebih kurang delapan puluh tahunan, ia seorang yang tsiqat dalam hadis [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 6 no 379]

Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ seorang yang tsiqat dan tidak pernah disifatkan ulama dengan tadlis atau irsal maka riwayat ‘an anahnya dari Malik Ad Daar dianggap muttashil [bersambung]. Al Mizziy dalam Tahdzib Al Kamal telah menyebutkan bahwa diantara para syaikh-nya [gurunya] adalah Malik Ad Daar. [Tahdzib Al Kamal 17/147 no 3835].

Dari sini didapatkan faidah bahwa Malik Ad Daar masih hidup sampai akhir pemerintahan Utsman karena pada saat itulah usia Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ minimal sudah mencapai usia tamyiz dan memungkinkan menerima hadis dari Malik Ad Daar.

.

.

Hadis Malik Ad Daar ini telah dishahihkan oleh sebagian Ulama seperti Ibnu Hajar dan Ibnu Katsiir. Ibnu Katsiir berkata “hadis ini sanadnya shahih” [Al Bidayah Wa Nihayah 7/106] dan di tempat lain ia berkata “hadis ini sanadnya jayyid kuat” [Jami’ Al Masanid Wa Sunan 1/223]. Ibnu Hajar berkata

وروى بن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري وكان خازن عمر

Dan telah diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih As Samaan dari Malik Ad Daar bendahara Umar [Fath Al Bariy 2/495]

Sebagian orang yang lemah akalnya dan bergaya sok ulama [padahal jahil] berbasa basi bahwa pernyataan Ibnu Hajar shahih itu maksudnya shahih hanya sampai Abu Shalih saja sehingga masih tersisa kelemahan lain baik inqitha’ antara Abu Shalih dan Malik Ad Daar dan majhulnya Malik Ad Daar.

Ucapan mereka itu tidak lain sia-sia belaka karena mereka tidak memahami perkataan Ibnu Hajar sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar. Jika Ibnu Hajar memaksudkan bahwa hadis tersebut sanadnya shahih hanya sebatas Abu Shalih maka ia akan menggunakan lafaz “diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih sampai Abu Shalih” bukan dengan lafaz di atas yaitu sanad shahih dari riwayat Abu Shalih

Dalam penulisan riwayat di kitab-kitab beliau, Ibnu Hajar sering mengutip riwayat dengan cara yang demikian yaitu menyebutkan kedudukan sanad riwayat kemudian memotong atau meringkas sebagian sanadnya. Misalnya Ibnu Hajar pernah mengutip riwayat dalam biografi salah seorang sahabat yaitu Tsa’labah bin Al Hakaam, Ibnu Hajar berkata

وله في بن ماجة حديث بإسناد صحيح من رواية سماك بن حرب سمعت ثعلبة بن الحكم قال كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم فانتهب الناس غنما فنهى عنها

Dan ia [Tsa’labah bin Hakaam] memiliki riwayat dalam Ibnu Majah hadis dengan sanad shahih dari riwayatnya Simaak bin Harb yang berkata aku mendengar Tsa’labah bin Al Hakaam yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian orang-orang merampas seekor kambing maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarangnya [Al Ishabah Ibnu Hajar 1/517 no 932]

Apakah perkataan Ibnu Hajar di atas bermakna bahwa riwayat Ibnu Majah tersebut hanya shahih sampai Simaak bin Harb saja?. Jawabannya tidak, Ibnu Hajar menyatakan hadis Ibnu Majah tersebut shahih kemudian menyebutkan sebagian sanadnya yaitu dari Simmak dari Tsa’labah. Ibnu Hajar sendiri telah menta’dilkan Simmak bin Harb dalam At Taqrib dan ia mengakui kalau Tsa’labah termasuk shahabat, kemudian Simaak menegaskan pula disini penyimakannya dari Tsa’labah. Jadi disisi Ibnu Hajar hadis tersebut shahih tanpa ada keraguan dan ia jadikan hujjah bukti persahabatan Tsa’labah bin Hakaam.

Selain Ibnu Hajar para ulama lain juga sering menggunakan lafaz seperti yang digunakan Ibnu Hajar misalnya Al Iraaqiy

وروى الطبرانى بإسناد صحيح من رواية عبد الرزاق عن معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس قال أول من أسلم على

Dan diriwayatkan Thabraniy dengan sanad yang shahih dari riwayat ‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas yang berkata “yang pertama memeluk islam adalah Aliy” [Taqyiidh Wal Idhaah Al Iraaqiy 1/310]

Apakah Al Iraaqiy disini memaksudkan bahwa sanad tersebut shahih sampai Abdurrazaaq saja?. Tentu saja tidak, Al Iraaqiy justru menyatakan bahwa sanad tersebut shahih dari awal sanad Thabraniy sampai Ibnu Abbas kemudian ia membawakan sanad Thabraniy tersebut beserta matannya.

.

Kesimpulan : Hadis Tawasul Malik Ad Daar kedudukannya shahih sedangkan syubhat para nashibi terhadap hadis ini hanya kebathilan yang muncul karena bertentangan dengan hawa nafsu mereka.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy

Apakah Ibnu ‘Abbas Meyakini Adanya Tahrif Al Qur’an?

$
0
0

Apakah Ibnu ‘Abbas Meyakini Adanya Tahrif Al Qur’an?

Tulisan ini agak bernada satir, tidak ada sedikitpun niat penulis untuk merendahkan sahabat Nabi yang Mulia Abdullah bin ‘Abbas [radiallahu ‘anhu]. Kami hanya membawakan riwayat yang shahih dan silakan para pembaca menilai dan memahami sendiri riwayat tersebut.

.

.

Riwayat Pertama

Abdullah bin ‘Abbas [radiallahu ‘anhu] menyatakan bahwa ada kesalahan dalam Al Qur’anul Kariim. Menyatakan kesalahan dalam Al Qur’an baik sedikit ataupun banyak sama halnya dengan meyakini adanya tahrif dalam Al Qur’an

حدثنا ابن بشار قال ثنا محمد بن جعفر قال ثنا شعبة  عن أبي بشر عن سعيد بن جُبير عن ابن عباس في هذه الآية( لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ) وقال إنما هي خطأ من الكاتب حتى تستأذنوا وتسلموا

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Bisyr dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas mengenai ayat [Laa tadkhuluu buyuutan ghayra buyuutikum hattaa tasta’nisuu wa tusallimuu ‘alaaa ahlihaa] dan ia berkata “sesungguhnya itu kesalahan dari penulisnya yang benar adalah [hattaa tasta’zinuu wa tusallimuu]. [Tafsir Ath Thabariy 19/145]

Terdapat perselisihan dalam sanad riwayat Syu’bah. Muhammad bin Ja’far [Ghundaar] dalam periwayatan dari Syu’bah di atas memiliki mutaba’ah dari Wahb bin Jarir sebagaimana yang disebutkan Ath Thabariy [Tafsir Ath Thabariy 19/146].

Muhammad bin Ja’far [Ghundaar] adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129]. Wahb bin Jarir bin Hazm adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.Al Ijli menyatakan tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 273]

Keduanya diselisihi oleh Sufyan Ats Tsawriy dimana ia meriwayatkan dari Syu’bah dari Abu Bisyir [Ja’far bin Iyas] dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, sebagaimana disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak 2/430 no 3496, Baihaqiy dalam Syu’aib Al Iman 18/305 no 8534 dan Ath Thahawiy dalam Musykil Al Atsar 2/441. Sufyan Ats Tsawriy memiliki mutaba’ah dari Abdurrahman bin Ziyaad Ar Rashaashiy sebagaimana disebutkan Ath Thahawiy dalam Musykil Al Atsar 2/441. Abdurrahman bin Ziyaad dikatakan Abu Hatim “shaduq”, Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/235]

Diriwayatkan pula oleh Ya’qub bin Ishaq Al Makhraamiy dari Abu Umar Al Hawdhiy dari Syu’bah dari Ayub As Sakhtiyaaniy dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas, sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Syu’aib Al Iman no 8535. Sanad riwayat ini tidak tsabit sampai ke Syu’bah karena Ya’qub bin Ishaq Al Makhramiy seorang yang majhul hal, biografinya disebutkan Adz Dzahabiy dalam Tarikh Al Islam tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Tarikh Al Islam 21/337].

Syu’bah dalam periwayatan dari Ja’far bin Iyaas dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas memiliki mutaba’ah yaitu

  1. Husyaim bin Basyiir sebagaimana disebutkan Ath Thabariy dalam Tafsir-nya 19/145-146 dan Al Baihaqiy dalam Syua’ib Al Iman no 8533.
  2. Abu Awanah sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Syu’aib Al Iman no 8532.
  3. Mu’adz bin Sulaiman sebagaimana disebutkan Ath Thabariy dalam Tafsir-nya 19/146.

Oleh karena itu riwayat yang rajih adalah riwayat Syu’bah dari Ja’far bin Iyaas Abu Bisyir dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Ja’far bin Iyaas Abu Bisyr perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, An Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 129]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan termasuk orang yang paling tsabit dalam riwayat Sa’id bin Jubair, Syu’bah melemahkannya dalam riwayat Habib bin Salim dan Mujahid” [At Taqrib 1/160 no 932]. Sa’id bin Jubair tabiin kutubus sittah seorang yang tsiqat tsabit faqiih [At Taqrib 1/234]. Kesimpulannya riwayat di atas sanadnya shahih. Ibnu Hajar berkata

فأخرج سعيد بن منصور والطبري والبيهقي في الشعب بسند صحيح أن ابن عباس “كان يقرأ حتى تستأذنوا” ويقول أخطأ الكاتب

Telah dikeluarkan oleh Said bin Manshur, Ath Thabari dan Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas membaca [hattaa tasta’zinuu] dan mengatakan kesalahan penulisnya. [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 11/8]

.

.

.

Riwayat Kedua

Ibnu Abbaas berkata mengenai Surat Ar Ra’d ayat 31 ‘Afalam Yay’asilladziina Aamanu

حدثنا أحمد بن يوسف قال حدثنا القاسم قال حدثنا يزيد عن جرير بن حازم عن الزبير بن الخريت أو يعلى بن حكيم عن عكرمة عن ابن عباس أنه كان يقرؤها “أفلم يتبين الذين آمنوا ” قال كتب الكاتب الأخرى وهو ناعس

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qaasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid dari Jarir bin Hazm dari Az Zubair bin Khurait atau Ya’la bin Hukaim dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbaas bahwa ia membacanya ‘Afalam Yatabayyanilladziina Aamanuu, ia berkata penulisnya telah menulis itu dalam keadaan mengantuk [Tafsir Ath Thabariy 16/452]

Riwayat Ath Thabariy di atas sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi tsiqat, dengan perincian sebagai berikut

  1. Ahmad bin Yuusuf At Taghlibiy adalah syaikh [guru] Ath Thabariy yang tsiqat. Abdurrahman bin Yuusuf berkata “tsiqat ma’mun”. Abdullah bin Ahmad berkata “tsiqat” [Tarikh Baghdad Al Khatiib 5/218 no 2693]
  2. Al Qaasim bin Sallaam Abu Ubaid, Abu Dawud berkata “tsiqat ma’mun” [Su’alat Al Ajurriy no 1948]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 9/16 no 14938]. Ibnu Hajar berkata “Imam masyhur tsiqat, memiliki keutamaan, penulis kitab” [At Taqrib 2/19]
  3. Yazid bin Harun Abu Khalid Al Wasithiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim yang dikenal tsiqat. Ibnu Madini berkata “ia termasuk orang yang tsiqat” dan terkadang berkata “aku tidak pernah melihat orang lebih hafizh darinya”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum pernah bertemu orang yang lebih hafizh dan mutqin dari Yazid”. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 11 no 612].
  4. Jarir bin Hazm termasuk perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata shaduq shalih. Ibnu Ady menyatakan kalau ia hadisnya lurus shalih kecuali riwayatnya dari Qatadah. Syu’bah berkata “aku belum pernah menemui orang yang lebih hafiz dari dua orang yaitu Jarir bin Hazm dan Hisyam Ad Dustuwa’i. Ahmad bin Shalih, Al Bazzar dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 111].
  5. Zubair bin Khurait, termasuk perawi Bukhariy dan Muslim. Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, An Nasa’i, dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 582]
  6. Ya’la bin Hukaim Ats Tsaqafiy termasuk perawi Bukhariy dan Muslim. Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, An Nasa’i menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Ya’qub bin Sufyan berkata “hadisnya lurus”. Ibnu Khirasy berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 675].
  7. Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas termasuk perawi Bukhariy. Al Ijli berkata “tsiqat”. Bukhari berkata “tidak seorangpun dari sahabat kami kecuali berhujjah dengan Ikrimah”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Abu Hatim menyatakan tsiqat dan dapat berhujjah dengannya [At Tahdzib juz 7 no 476]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit alim dalam tafsir” [At Taqrib 1/685].

Penyebutan lafaz dari Zubair bin Khurait atau Ya’la bin Hukaim dalam riwayat Ath Thabariy di atas tidaklah memudharatkan sedikitpun karena keduanya dikenal tsiqat. Riwayat ini sanadnya shahih. Ibnu Hajar berkata

وروى الطبري وعبد بن حميد بإسناد صحيح كلهم من رجال البخاري عن بن عباس أنه كان يقرؤها أفلم يتبين ويقول كتبها الكاتب وهو ناعس

Dan diriwayatkan Ath Thabariy dan Abdu bin Humaid dengan sanad shahih, semua perawinya perawi Bukhari dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya ia membaca ‘Afalam Yatabayyani, dan mengatakan penulisnya menulis itu dalam keadaan mengantuk [Fath Al Bariy 8/373]

.

.

.

Riwayat Ketiga

حَدَّثَنِى مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا مَخْلَدٌ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ سَمِعْتُ عَطَاءً يَقُولُ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ » . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَلاَ أَدْرِى مِنَ الْقُرْآنِ هُوَ أَمْ لاَ . قَالَ وَسَمِعْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ ذَلِكَ عَلَى الْمِنْبَرِ

Telah menceritakan kepadaku Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami Makhlad yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij yang berkata aku mendengar ‘Atha’ mengatakan aku mendengar Ibnu ‘Abbas yang mengatakan aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “Sekiranya anak adam memiliki harta sebanyak satu bukit niscaya ia akan mengharapkan satu bukit lagi yang seperti itu dan tidaklah mata anak adam itu dipenuhi melainkan dengan tanah dan Allah menerima taubat siapa saja yang ingin bertaubat”. Ibnu ‘Abbas berkata “aku tidak mengetahui apakah itu termasuk Al Qur’an atau tidak”. [Atha’] berkata dan aku mendengar Ibnu Zubair mengatakan itu di atas mimbar. [Shahih Bukhari no 6437]

Sisi pendalilan hadis ini adalah sebagai berikut. Ibnu Abbas berkata bahwa ia tidak mengetahui apakah ayat itu termasuk Al Qur’an atau tidak. Ayat tersebut jelas tidak ada dalam Al Qur’an yang ada sekarang, apa yang membuat Ibnu ‘Abbas ragu apakah ayat tersebut Al Qur’an atau bukan.

Apakah Ibnu Abbas tidak hafal Al Qur’an sehingga ia tidak tahu ayat tersebut ada dalam Al Qur’an atau tidak?. Rasanya tidak mungkin jika sahabat seperti Ibnu Abbas yang dijuluki Tarjuman Al Qur’an tidak hafal Al Qur’an. Jika dikatakan ayat tersebut telah dinasakh tilawah-nya lantas mengapa Ibnu Abbas ragu apakah ayat tersebut termasuk Al Qur’an atau tidak. Jelas sekali ayat Al Qur’an yang telah dinasakh bukan lagi bagian dari Al Qur’an sekarang. Sejak wafatnya Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] maka Al Qur’an itu telah lengkap dan tidak akan mengalami perubahan maka apa yang ada dalam Al Qur’an itu adalah perkara yang jelas. Maka sangat aneh sekali ketika Ibnu ‘Abbas mengabarkan kepada Atha’ mengenai hadis di atas, ia mengatakan bahwa ia tidak tahu apakah ayat tersebut termasuk Al Qur’an atau tidak.

Kalau ada dalam Al Qur’an maka itu adalah Al Qur’an dan kalau tidak ada dalam Al Qur’an ya dengan mudah dikatakan itu tidak ada dalam Al Qur’an. Ungkapan Ibnu Abbas seolah-olah ia mengetahui Al Qur’an yang ada pada masa itu tetapi ia ragu apakah ayat tersebut termasuk dalam Al Qur’an atau tidak, bukankah ini seolah menunjukkan telah terjadi tahrif Al Qur’an di sisi Ibnu ‘Abbas.

Jika Ibnu Abbas meyakini Al Qur’an yang ada sekarang bebas dari tahrif maka apapun yang tidak ada di dalam Al Qur’an sekarang sudah jelas bukan Al Qur’an. Tidak perlu ada keraguan apakah ayat tersebut termasuk Al Qur’an atau tidak. Hadis ini secara zhahir lafaz memang membingungkan, lain ceritanya kalau kita mencari-cari pembenaran maka seaneh apapun lafaz hadis bisa dibenar-benarkan atau dicari-cari pembelaannya.

.

.

Sikap yang paling baik menghadapi hadis-hadis seperti ini adalah bertawaqquf dengannya, berpaling darinya [meskipun shahih sanadnya] karena bertentangan dengan Al Qur’anul Karim yang jelas-jelas dijaga oleh Allah SWT. Tetapi riwayat ini memang menjadi sasaran empuk bagi para penuduh dan kita berlindung kepada Allah SWT dari segala tuduhan tersebut.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Mengenal Mushaf Fathimah Di Sisi Mazhab Syi’ah?

$
0
0

Mengenal Mushaf Fathimah Di Sisi Mazhab Syi’ah?

Di antara tuduhan busuk para pencela Syiah [yaitu para Nashibi di jagad maya] adalah Syi’ah memiliki Al Qur’an sendiri yang berbeda dengan Al Qur’an yang ada sekarang tebalnya tiga kali dari Al Qur’an sekarang dan disebut Mushaf Fathimah. Tuduhan ini hanya muncul dari kejahilan yang bercampur dengan kedengkian. Apa sebenarnya Mushaf Fathimah?. Berikut riwayat shahih di sisi Syi’ah mengenai Mushaf Fathimah

Diriwayatkan dalam sebuah riwayat yang panjang dari Abu Bashiir dari Abu ‘Abdillah [‘alaihis salaam] dimana Beliau berkata

وَ إِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفَ فَاطِمَةَ ( عليها السلام ) وَ مَا يُدْرِيهِمْ مَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ ( عليها السلام ) قَالَ قُلْتُ وَ مَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ ( عليها السلام ) قَالَ مُصْحَفٌ فِيهِ مِثْلُ قُرْآنِكُمْ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَ اللَّهِ مَا فِيهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ قَالَ قُلْتُ هَذَا وَ اللَّهِ الْعِلْمُ

Dan sesungguhnya di sisi kami terdapat Mushaf Fathimah [‘alaihas salaam] dan tidaklah mereka mengetahui apa itu Mushaf Fathimah. Aku [Abu Bashiir] berkata dan apakah Mushaf Fathimah [‘alaihas salaam] itu?. Beliau berkata “Mushaf yang di dalamnya tiga kali seperti Al Qur’an kalian, demi Allah tidak ada di dalamnya satu huruf pun Al Qur’an kalian”. Aku berkata “demi Allah, ini adalah ilmu”…[Al Kafiy Al Kulainiy 1/239]

Sanad riwayat ini dalam Al Kafiy adalah sebagai berikut

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَجَّالِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ عُمَرَ الْحَلَبِيِّ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عليه السلام

Beberapa dari sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dari Abdullah bin Hajjaal dari Ahmad bin ‘Umar Al Halabiy dari Abi Bashiir dari Abi ‘Abdillah [‘alaihis salaam].. [Al Kafiy Al Kulainiy 1/238]

Sebagian orang mengira bahwa sanad di atas dhaif karena terdapat lafaz “dari sahabat kami” yang seolah-olah perawi-perawi tersebut majhul. Anggapan ini tidak benar karena An Najasyiy dalam biografi Al Kulainiy menyebutkan

وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم

Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, beberapa sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]

Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]

  1. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
  2. Abdullah bin Hajjaal adalah Abdullah bin Muhammad Al Hajjaal seorang yang tsiqat tsiqat tsabit [Rijal An Najasyiy hal 226 no 595]
  3. Ahmad bin ‘Umar Al Halabiy adalah Ahmad bin ‘Umar bin Abi Syu’bah Al Halabiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 98 no 245]
  4. Abu Bashiir adalah Yahya bin Qasim dikatakan juga Yahya bin Abi Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]

Sanad riwayat Al Kafiy di atas shahih sesuai dengan ilmu Rijal Syi’ah. Hal ini telah dinyatakan oleh Al Majlisiy dalam Mirat Al ‘Uqul bahwa sanadnya shahih [Mirat Al ‘Uqul 3/54]

Matan hadis di atas menyebutkan bahwa Mushaf Fathimah ukurannya tiga kali dari Al Qur’an dan tidak ada di dalamnya ayat-ayat Al Qur’an. Hal ini ditegaskan dalam lafaz

وَ اللَّهِ مَا فِيهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ

Demi Allah, tidak ada di dalamnya satu hurufpun dari Al Qur’an kalian

Lafaz “Qur’anikum” artinya “Al Qur’an kalian”, makna kum disana sesuai dengan yang diajak bicara oleh Imam Ja’far [Abu ‘Abdullah] saat itu adalah Abu Bashiir yang notabene adalah Syiah-nya sendiri. Maka maksudnya adalah tidak ada di dalam Mushaf Fathimah, Al Qur’an yang dipegang oleh Syi’ah. Adapun lafaz perkataan Abu ‘Abdullah “dan sesuangguhnya di sisi kami terdapat Mushaf Fathimah” maka disini terdapat faedah bahwa Mushaf Fathimah dimiliki oleh para Imam Ahlul Bait tidak disebarkan kepada Syi’ah mereka.

Jadi apa kandungan sebenarnya Mushaf Fathimah?. Hal itu dijelaskan dalam riwayat Al Kafiy selanjutnya dari Abu Ubaidah dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam]

قَالَ فَمُصْحَفُ فَاطِمَةَ (عليها السلام) قَالَ فَسَكَتَ طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ لَتَبْحَثُونَ عَمَّا تُرِيدُونَ وَ عَمَّا لَا تُرِيدُونَ إِنَّ فَاطِمَةَ مَكَثَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ (صلي الله عليه وآله وسلم) خَمْسَةً وَ سَبْعِينَ يَوْماً وَ كَانَ دَخَلَهَا حُزْنٌ شَدِيدٌ عَلَى أَبِيهَا وَ كَانَ جَبْرَئِيلُ (عليه السلام) يَأْتِيهَا فَيُحْسِنُ عَزَاءَهَا عَلَى أَبِيهَا وَ يُطَيِّبُ نَفْسَهَا وَ يُخْبِرُهَا عَنْ أَبِيهَا وَ مَكَانِهِ وَ يُخْبِرُهَا بِمَا يَكُونُ بَعْدَهَا فِي ذُرِّيَّتِهَا وَ كَانَ عَلِيٌّ (عليه السلام) يَكْتُبُ ذَلِكَ فَهَذَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ عليها السلام

[salah seorang] berkata “maka apa itu Mushhaf Faathimah?”. Abu ‘Abdillah terdiam beberapa lama, lalu berkata “Sesungguhnya kalian benar-benar ingin mempelajari apa-apa yang kalian inginkan dan tidak kalian inginkan. Sesungguhnya Faathimah hidup selama 75 hari sepeninggal Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] Ia sangat merasakan kesedihan atas kematian ayahnya. Maka pada waktu itu, Jibriil datang kepadanya dan mengucapkan ta’ziyyah atas kematian ayahnya, menghiburnya, serta mengabarkan kepadanya tentang keadaan ayahnya dan kedudukannya [di sisi Allah]. Jibril juga mengabarkan kepadanya tentang apa yang akan terjadi terhadap keturunannya setelah Faathimah meninggal. Dan selama itu ‘Aliy mencatatnya. Inilah Mushaf Faathimah ['alaihas salaam] [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/241]

Sanad riwayat ini dalam Al Kafiy adalah sebagai berikut

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنِ ابْنِ رِئَابٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ قَالَ سَأَلَ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (عليه السلام) بَعْضُ أَصْحَابِنَا

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Ibnu Mahbuub dari Ibnu Ri’aab dari Abu Ubaidah yang berkata Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] pernah ditanya oleh sebagian sahabat kami…[Al Kaafiy Al Kulainiy 1/241]

Riwayat Al Kaafiy di atas sanadnya shahih sesuai dengan ilmu Rijal Syi’ah

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa seorang yang tsiqat [Mu’jam Rijal Al Hadits Sayyid Al Khu’iy 3/85 no 902]
  3. Hasan bin Mahbuub seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  4. Aliy bin Ri’aab Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 151]
  5. Abu Ubaidah adalah Ziyad bin Iisa Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 170 no 449]

Muhammad Baqir Al Majlisiy dalam Mirat Al ‘Uqul menyatakan hadis di atas shahih [Mirat Al ‘Uqul 3/59]. Riwayat Al Kaafiy di atas menjelaskan bahwa Mushaf Fathimah bukanlah Al Qur’an melainkan kabar yang dibawa Jibril kepada Sayyidah Fathimah dan dicatat oleh Imam Aliy [‘alaihis salaam], diantara kandungannya adalah kabar mengenai apa yang terjadi pada keturunan Sayyidah Fathimah [‘alaihis salaam]. Maka dustalah para pencela yang menyatakan bahwa Mushaf Fathimah adalah Al Qur’an versi Syi’ah yang tebalnya tiga kali Al Qur’an yang kita pegang sekarang.


Filed under: Kritik Syiahphobia, Sirah

Ahlus Sunnah Mengambil Hadis Dari Pengikut Saba’iyyah?

$
0
0

Ahlus Sunnah Mengambil Hadis Dari Pengikut  Saba’iyyah?

Tulisan ini tidak usah dianggap serius, hanya sekedar selingan untuk menyentil akal para nashibiy yang sudah keracunan Abdullah bin Saba’. Nashibiy tidak henti-hentinya menuduh bahwa Syi’ah adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’ tetapi mereka tidak menyadari bahwa dalam kitab hadis Ahlus Sunnah [yang entah menjadi pegangan mereka atau tidak] juga terdapat perawi hadis yang ternyata dikatakan sebagai pengikut Saba’iyyah.

Menurut sebagian ulama ahlus sunnah, Saba’iyyah adalah penisbatan terhadap kaum atau kelompok yang mengikuti Abdullah bin Saba’. Tidak usah berpanjang lebar berikut nukilan dari Al Jauzjaniy dalam salah satu kitab-nya

ثم السبئية غلت في الكفر فزعمت أن علياً إلهاً حتى حرقهم بالنار إنكاراً عليهم

Kemudian As Saba’iyyah ghuluw dalam kekufuran, mereka menganggap Aliy sebagai Tuhan  sehingga [Aliy] membakar mereka dengan api sebagai pengingkaran terhadap mereka [Ahwal Ar Rijaal Abu Ishaaq Al Jauzjaaniy hal 37]

Kami tidak perlu meneliti nukilan ini karena para nashibi sangat mempercayainya dan berhujjah dengan nukilan ini untuk merendahkan Syi’ah. Bahkan Asy Sya’biy pernah berkata tentang As Saba’iyyah

فلم أر قوما أحمق من هذه السبئية

Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih tolol dari kelompok Saba’iyyah ini [Al Kamil Ibnu Adiy 6/116]

Jadi menurut anggapan para nashibi tersebut pengikut Saba’iyyah tergolong orang yang tolol dan ghuluw dalam kekufuran. Kemudian perhatikan apa yang ditulis Bukhariy berikut

عبد الله بن محمد ابن الحنفية ومحمد هو ابن على بن ابى طالب الهاشمي أبو هاشم اخو الحسن، سمع اباه، يعد في اهل المدينة، قال عبد الله بن محمد عن ابن عيينة حدثنا الزهري كان الحسن اوثقهما في انفسنا وكان عبد الله يتبع السبائية

‘Abdullah bin Muhammad Ibnu Al Hanafiah -dan Muhammad ia putra Aliy bin Abi Thalib Al Haasyimiy- Abu Haasyim saudara Hasan, mendengar dari Ayahnya termasuk penduduk Madiinah, Abdullah bin Muhammad berkata dari Ibnu Uyainah yang berkata telah menceritakan kepada kami Az Zuhriy yang berkata Al Hasan yang paling tsiqat diantara keduanya bagi diri kami dan Abdullah ia mengikuti As Saba’iyyah [Tarikh Al Kabir Al Bukhariy 5/187]

Sanad riwayat Bukhari kedudukannya shahih, para perawinya tsiqat termasuk Az Zuhriy dan dia adalah murid Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah

  1. Abdullah bin Muhammad, gurunya Bukhariy adalah Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Al Ju’fiy seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib Ibnu Hajar 1/321]
  2. Sufyan bin Uyainah adalah seorang imam tsiqat, termasuk sahabat Az Zuhriy yang paling tsabit dan ia lebih alim dalam riwayat ‘Amru bin Diinar daripada Syu’bah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 1/35]
  3. Az Zuhriy adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihaab Az Zuhriy seorang faqih hafizh disepakati kebesaran dan keitqanannya termasuk pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib Ibnu Hajar 1/506]

Faktanya Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah atau Abdullah bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib adalah perawi hadis kutubus sittah [Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah], sebagaimana telah ditegaskan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/321]

Bukankah Saba’iyyah itu kelompok orang-orang tolol dan ghuluw dalam kekufuran lantas mengapa Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah diambil hadisnya dalam kutubus sittah?. Kalau ada yang berdalih hadisnya hanya sebagai mutaba’ah dan ia dikuatkan oleh saudaranya Hasan bin Muhammad Al Hanafiah, maka itupun tetap bermasalah. Untuk apa mengambil hadis sebagai mutaba’ah perawi yang tolol dan ghuluw dalam kekufuran.

Dan masalah utamanya adalah Abdullah bin Muhammad Al Hanafiah ini telah ditsiqatkan oleh para ulama ahlus sunnah seperti

  1. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat sedikit hadisnya” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/322]
  2. Al Ijliy mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad tsiqat dan dia seorang syi’ah [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/58]
  3. An Nasa’iy berkata bahwa Abdullah bin Muhammad tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar 5/612]
  4. Ibnu Hibban memasukkan Abdullah bin Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/2]
  5. Adz Dzahabiy menyatakan ia tsiqat dalam Al Miizan [Miizan Al I’tidal Adz Dzahabiy 2/483 no 4533]

Jika dikatakan mereka yang menyatakan tsiqat kepada Abdullah bin Muhammad tidak mengetahui bahwa ia pengikut As Saba’iyyah maka inipun keliru, Ibnu Hajar dalam At Tahdzib telah menukil riwayat dari Az Zuhriy kalau ia pengikut Saba’iyyah tetapi dalam At Taqrib ia tetap menyatakan tsiqat. Dan Az Zuhriy sebagai muridnya yang mengakui kalau ia pengikut Saba’iyyah tetap meriwayatkan hadis Abdullah bersama saudaranya Hasan sebagaimana dapat dilihat dalam kitab hadis diantaranya Shahih Bukhariy.

Mungkin dalam pandangan mereka menjadi pengikut As Saba’iyyah tidak menjatuhkan kredibilitas Abdullah bin Muhammad, ia tetap seorang yang tsiqat. Sebagaimana banyak perawi hadis yang ternyata khawarij, nashibi, rafidhah, murji’ah, qadariyah dan sebagainya yang dianggap sebagai firqah sesat tetapi tetap diambil hadisnya jika mereka termasuk orang-orang tsiqat. Hal ini juga ditemukan dalam kitab hadis Syi’ah yaitu perawi yang dikenal bermazhab menyimpang seperti waqifiy, fathhiy tetap diambil hadisnya jika yang bersangkutan memang tsiqat.

Tetapi masalah-nya firqah-firqah sesat di sisi Ahlus Sunnah seperti khawarij, nashibi, rafidhah, murjiah dan firqah sesat di sisi Syi’ah seperti waqifiy dan fathahiy, semuanya tetap menyembah Allah SWT, tidak ada yang dikatakan menuhankan Imam Aliy seperti apa yang dinisbatkan pada As Saba’iyyah.

Atau akan ada dalih bahwa As Saba’iyyah disana bukan bermakna sebagai pengikut Abdullah bin Saba’ yang menuhankan Imam Aliy. Kalau begitu ada berapa macam makna As Saba’iyyah dan Abdullah bin Muhammad ini termasuk As Saba’iyyah jenis yang mana?. Akhir kata seperti yang kami katakan tulisan ini cuma sekedar selingan dan kalau dipikirkan dengan serius hanya menimbulkan kebingungan saja.


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Benarkah Samurah bin Jundub Mati Terbakar?

$
0
0

Benarkah Samurah bin Jundub Mati Terbakar?

Tedapat hadis shahih berikut mengenai Samurah bin Jundub, sebelumnya hadis ini sudah pernah dibahas

أخبرنا أبو الحسين بن الفضل القطان ببغداد أخبرنا عبد الله بن جعفر حدثنا يعقوب بن سفيان حدثنا عبيد الله بن معاذ حدثنا أبي حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة عن أبي هريرة ان النبي قال لعشرة في بيت من أصحابه آخركم موتا في النار فيهم سمرة بن جندب قال أبو نضرة فكان سمرة آخرهم موتا

Telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Fadhl Al Qaththan di Baghdad yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Sufyan yang berkata menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abu Nadhrah dari Abu Hurairah bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepada sepuluh orang sahabatnya di dalam rumah “orang yang terakhir wafat diantara kalian akan berada di dalam neraka” dan diantara mereka ada Samurah bin Jundub. Abu Nadhrah berkata “Samurah adalah orang yang terakhir wafat diantara mereka” [Dala’il An Nubuwah Baihaqi 6/458]

.

Al Baihaqiy berkata setelah menukil hadis ini

رواته ثقات إلا أن أبا نضرة العبدي لم يثبت له عن أبي هريرة سماع

Para perawinya tsiqat kecuali bahwa Abu Nadhrah Al ‘Abdiy tidak tsabit memiliki riwayat dengan sima’ [mendengar langsung] dari Abu Hurairah [Dala’il An Nubuwah Baihaqi 6/458]

Pernyataan Al Baihaqiy tidak tsabit sebagai bukti inqitha’ antara Abu Nadhrah dari Abu Hurairah. Betapa banyak perawi yang tidak dikenal memiliki bukti riwayat dengan sima’ langsung tetapi ‘an anah-nya diterima karena kedua perawi tersebut tsiqat bukan mudallis dan berada dalam satu masa. Inilah kaidah yang ma’ruf dan menjadi pegangan jumhur ulama hadis. Abu Nadhrah perawi tsiqat dan bukan mudallis serta ia semasa dengan Abu Hurairah maka ‘an anah-nya diterima.

Pernyataan Al Baihaqiy juga tidak dikenal di kalangan mutaqaddimin, tidak ada ulama mu’tabar yang menyatakan atau mengisyaratkan bahwa Abu Nadhrah tidak mendengar dari Abu Hurairah. Bahkan ternukil yang sebaliknya dimana Ibnu Hibban memasukkan riwayat Abu Nadhrah dari Abu Hurairah dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Hibban no 5583]. Hal ini menunjukkan bahwa di sisi Ibnu Hibban, ‘an anah Abu Nadhrah dari Abu Hurairah dianggap muttashil.

.

.

Adz Dzahabiy dalam biografi Samurah bin Jundub, menukil hadis riwayat Baihaqiy di atas dan berkata

هَذَا حَدِيْثٌ غَرِيْبٌ جِدّاً وَلَمْ يَصِحَّ لأَبِي نَضْرَةَ سَمَاعٌ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَلَهُ شُوَيْهِدٌ

Hadis ini gharib jiddan, tidak shahih Abu Nadhrah mendengar dari Abu Hurairah, dan riwayat ini memiliki banyak penguat [As Siyaar Adz Dzahabiy 3/185]

Tetapi pernyataan Adz Dzahabiy ini diselisihi oleh Abu Sa’id Al Ala’iy yang dengan jelas menyatakan dalam biografi Abu Nadhrah bahwa Abu Nadhrah mendengar dari Abu Hurairah

وقد سمع من بن عباس وأبي هريرة وأبي سعيد الخدري وطبقتهم رضي الله عنهم

Dan sungguh ia mendengar dari Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Khudriy dan yang satu thabaqat dengan mereka radiallahu ‘anhum [Jami’ Al Tahshiil Fii Ahkam Al Maraasiil no 800, Abu Sa’id Al Ala’iy]

Yang menetapkan lebih didahulukan dari yang menafikan apalagi hal ini dikuatkan fakta bahwa Abu Nadhrah tabiin tsiqat bukan mudallis dan berada dalam satu masa dengan Abu Hurairah.

Maka pendapat yang rajih adalah riwayat ‘an anah Abu Nadhrah dari Abu Hurairah dianggap muttashil sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hibban dan Abu Sa’id Al Ala’iy serta sesuai dengan kaidah jumhur ulama hadis bahwa ‘an anah perawi tsiqat bukan mudallis dan berada dalam satu masa dianggap muttashil. Maka hadis Baihaqiy di atas kedudukannya shahih tanpa keraguan.

.

.

Sebagian ulama berusaha menakwilkan makna hadis di atas bahwa mungkin yang dimaksud adalah api dunia bukan neraka. Jadi maksudnya adalah Samurah bin Jundub akan mati dalam keadaan terbakar. Benarkah demikian?. Terdapat riwayat yang menjadi dasar penakwilan ini

وَقَالَ هِلاَلُ بنُ العَلاَءِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بنُ مُعَاوِيَةَ، عَنْ رَجُلٍ: أَنَّ سَمُرَةَ اسْتَجْمَرَ، فَغَفِلَ عَنْ نَفْسِهِ، حَتَّى احْتَرَقَ فَهَذَا إِنْ صَحَّ، فَهُوَ مُرَادُ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعْنِي نَارَ الدُّنْيَا

Hilaal bin Al A’laa berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari seorang laki-laki bahwa Samurah sedang menyalakan api kemudian ia lalai terhadap dirinya hingga akhirnya ia terbakar. [Adz Dzahabiy] berkata jika riwayat ini shahih maka yang dimaksudkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah api dunia [As Siyaar Adz Dzahabiy 3/187]

Sayang sekali, riwayat yang dinukil Adz Dzahabiy tersebut kedudukannya dhaif karena berasal dari perawi mubham yang tidak dikenal siapa dirinya. Dan terdapat riwayat shahih yang membuktikan bahwa Samurah bin Jundub mati karena sakit yang dideritanya bukan mati karena terbakar.

حدثنا شيبان نا جرير بن حازم قال: سمعت أبا يزيد قال: لما مرض سمرة بن جندب مرضته التي مات فيها وأخذه القر، فأوقد له كانون من بين يديه ومن خلفه وكانون عن يمينه وكانون عن شماله فجعل لا ينفعه وجعل يقول: كيف أصنع بما في جوفي حتى مات

Telah menceritakan kepada kami Syaiban yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazam yang berkata aku mendengar Abu Yaziid mengatakan ketika Samurah bin Jundub sakit dan sakit tersebut yang menyebabkan kematiannya, diambilkan untuknya tungku dan dinyalakan di depannya, di belakangnya, di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, maka ternyata hal itu tidak bermanfaat untuknya dan ia berkata “bagaimana dengan apa yang ada di dalam perutku” sampai akhirnya ia wafat [Mu’jam Ash Shahabah Al Baghawiy 3/209 no 1137]

Riwayat Al Baghawiy di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat

  1. Syaiban bin Faruukh termasuk perawi Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’iy. Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat, Abu Zur’ah berkata “shaduq”. As Sajiy berkata “ia seorang qadariy hanya saja ia shaduq” [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 639]
  2. Jarir bin Hazm termasuk perawi kutubus sittah. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijliy berkata “tsiqat”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “shaduq shalih”. Ibnu Adiy berkata “lurus riwayatnya shalih kecuali riwayatnya dari Qatadah dimana ia meriwayatkan darinya [Qatadah] sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya” [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 111]
  3. Abu Yaziid Al Madiiniy termasuk perawi Bukhariy dan Nasa’iy. Ia meriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Asma’ binti Umais, Ummu ‘Aiman, Ikrimah dan yang lainnya. Abu Hatim mengatakan bahwa ia syaikh, ditulis hadisnya. Malik tidak mengenalnya. Yahya bin Ma’in menyatakan ia tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 12 no 1283]. Pendapat yang rajih dia seorang yang tsiqat seperti yang dikatakan Ibnu Ma’in, adapun yang tidak mengenalnya maka dikalahkan oleh yang mengenalnya.

Riwayat Al Baghawiy di atas dengan jelas menyatakan bahwa Samurah bin Jundub mati karena sakit yang ia derita bukan karena mati terbakar. Adapun dinyalakan tungku api di depan, belakang, kanan dan kirinya maka itu bukan berarti bahwa ia mati terbakar sebagaimana riwayat Al Baghawiy menetapkan bahwa ia mati karena sakit tersebut. Seandainya ia mati terbakar pasti dalam riwayat tersebut akan disebutkan bahwa Samurah bin Jundub mati karena terbakar tetapi zhahir riwayat menyatakan bahwa kematiannya disebabkan sakit yang ia derita.

.

.

Kesimpulannya Samurah bin Jundub mati karena sakit bukan mati terbakar. Oleh karena itu ulama yang menakwilkan hadis Baihaqiy sebagai mati terbakar jelas telah keliru. Maksud hadis Baihaqiy sebagaimana zhahir-nya adalah Samurah bin Jundub akan berada di dalam neraka.


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Studi Kritis Hadis Ghadir Khum : Apakah Asbabul Wurud Hadis Karena Ekspedisi Yaman?

$
0
0

Studi Kritis Hadis Ghadir Khum : Apakah Asbabul Wurud Hadis Karena Ekspedisi Yaman?

Hadis Ghadir Khum adalah hadis yang menjadi puncak perselisihan antara Islam Sunni dan Islam Syiah. Hadis ini telah dijadikan hujjah oleh Syiah sebagai dalil Imamah atau kepemimpinan Imam Aliy, sedangkan Sunni berpandangan bahwa hadis ini adalah keutamaan Imam Aliy sebagai seorang sahabat yang dicintai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan sebagai bukti Imamah atau kepemimpinan Imam Aliy.

Sebagian orang mengatakan bahwa asababul wurud hadis Ghadir Khum adalah terkait dengan ekspedisi Yaman dimana Imam Aliy yang diutus Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai pemimpin ekspedisi tersebut telah mendapat kecaman dari sebagian sahabat. Untuk meredakan kecaman sahabat terhadap Imam Aliy maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengucapkan hadis Ghadir Khum. Benarkah demikian? Atau justru pernyataan ini yang berusaha mendistorsi hadis Ghadir Khum?.

.

.

Faktanya adalah tidak ada riwayat shahih hadis Ghadir Khum yang menyebutkan bahwa di Ghadir Khum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berbicara soal para sahabat yang mengecam Imam Aliy saat ekspedisi Yaman.

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا الفضل بن دكين قال قال بن أبي غنية عن الحكم عن سعيد بن جبير عن بن عباس عن بريدة قال غزوت مع علي الى اليمن فرأيت منه جفوة فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكرت عليا فتنقصته فرأيت وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم يتغير فقال يا بريدة ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم قلت بلى يا رسول الله فقال من كنت مولاه فعلي مولاه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Fadhl bin Dukain yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Ghaniah dari Al Hakam dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Buraidah yang berkata “aku berperang bersama Aliy di Yaman, aku melihat sikap kasar darinya maka ketika aku datang ke hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], aku menyebutkan Aliy dan mencelanya maka aku melihat wajah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berubah, Beliau berkata “wahai Buraidah, bukankah aku lebih berhak atas kaum mukminin lebih dari diri mereka sendiri” aku berkata “benar wahai Rasulullah”. Beliau berkata “maka siapa yang menganggap aku sebagai maulanya maka Aliy adalah maulanya” [Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 989]

Riwayat di atas sanadnya shahih dan Kisah Buraidah di atas tidaklah terjadi di Ghadir Khum. Orang yang menyatakan demikian hanyalah mengada-ada tanpa dalil. Terdapat dalil shahih yang menunjukkan bahwa kisah di atas terjadi sebelum Haji wada’

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنِي أَجْلَحُ الْكِنْدِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ بُرَيْدَةَ قَال َبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثَيْنِ إِلَى الْيَمَنِ عَلَى أَحَدِهِمَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَعَلَى الْآخَرِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَقَالَ إِذَا الْتَقَيْتُمْ فَعَلِيٌّ عَلَى النَّاسِ وَإِنْ افْتَرَقْتُمَا فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْكُمَا عَلَى جُنْدِهِ قَالَ فَلَقِينَا بَنِي زَيْدٍ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَاقْتَتَلْنَا فَظَهَرَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ فَقَتَلْنَا الْمُقَاتِلَةَ وَسَبَيْنَا الذُّرِّيَّةَ فَاصْطَفَى عَلِيٌّ امْرَأَةً مِنْ السَّبْيِ لِنَفْسِهِ قَالَ بُرَيْدَةُ فَكَتَبَ مَعِي خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْبِرُهُ بِذَلِكَ فَلَمَّا أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَعْتُ الْكِتَابَ فَقُرِئَ عَلَيْهِ فَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا مَكَانُ الْعَائِذِ بَعَثْتَنِي مَعَ رَجُلٍ وَأَمَرْتَنِي أَنْ أُطِيعَهُ فَفَعَلْتُ مَا أُرْسِلْتُ بِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقَعْ فِي عَلِيٍّ فَإِنَّهُ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيُّكُمْ بَعْدِي وَإِنَّهُ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِيُّكُمْ بَعْدِي

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindiy Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad hadis no 22908 dan sanadnya hasan].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يحيى بن سعيد ثنا عبد الجليل قال انتهيت إلى حلقة فيها أبو مجلز وبن بريدة فقال عبد الله بن بريدة حدثني أبي بريدة قال أبغضت عليا بغضا لم يبغضه أحد قط قال وأحببت رجلا من قريش لم أحبه إلا على بغضه عليا قال فبعث ذلك الرجل على خيل فصحبته ما أصحبه الا على بغضه عليا قال فأصبنا سبيا قال فكتب إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ابعث إلينا من يخمسه قال فبعث إلينا عليا وفي السبي وصيفة هي أفضل من السبي فخمس وقسم فخرج رأسه مغطى فقلنا يا أبا الحسن ما هذا قال ألم تروا إلى الوصيفة التي كانت في السبي فإني قسمت وخمست فصارت في الخمس ثم صارت في أهل بيت النبي صلى الله عليه و سلم ثم صارت في آل على ووقعت بها قال فكتب الرجل إلى نبي الله صلى الله عليه و سلم فقلت ابعثني فبعثني مصدقا قال فجعلت اقرأ الكتاب وأقول صدق قال فأمسك يدي والكتاب وقال أتبغض عليا قال قلت نعم قال فلا تبغضه وان كنت تحبه فازدد له حبا فوالذي نفس محمد بيده لنصيب آل على في الخمس أفضل من وصيفة قال فما كان من الناس أحد بعد قول رسول الله صلى الله عليه و سلم أحب إلى من على قال عبد الله فوالذي لا إله غيره ما بيني وبين النبي صلى الله عليه و سلم في هذا الحديث غير أبي بريدة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jaliil yang berkata aku datang ke suatu halaqah [pertemuan] dan disana ada Abu Miljaz dan Ibnu Buraidah. Maka Abdullah bin Buraidah berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku Buraidah yang berkata Aku pernah membenci Aliy dengan kebencian yang tidak pernah dimiliki seorangpun, dan aku mencintai seorang Quraisy, tidaklah aku mencintainya kecuali karena ia juga membenci Aliy. [Buraidah] berkata “maka orang itu diutus dengan mengendarai kuda dan aku menemaninya tidak lain karena kebencian kepada Aliy”. Kami pernah memiliki tawanan maka kami menulis kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] agar mengutus kepada kami orang yang akan membaginya. [Buraidah] berkata maka Beliau mengutus Aliy kepada kami, diantara tawanan tersebut terdapat Washiifah ia adalah tawanan yang terbaik. Ali pun membagi kemudian ia keluar dengan kepala tertutup. Kami berkata “wahai Abal Hasan apakah ini?”. Ia menjawab “tidakkah kalian lihat Washifah yang ada di dalam tawanan, aku telah membaginya seperlima dan kemudian menjadikaanya berada dalam seperlima itu dan menjadikannya untuk ahlul bait Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan menjadikannya untuk keluarga Aliy dan aku telah memilikinya”. [Buraidah] berkata “maka laki-laki tesebut menulis surat kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Akupun [Buraidah] berkata “Utuslah aku”. Maka Ia mengutusku sebagai orang yang membenarkan. [Buraidah] berkata “maka aku pun membacakan surat itu dan mengatakan bahwa hal itu benar”. [Buraidah] berkata Beliau [Rasulullah] memgang tanganku dan surat itu dan berkata “apakah engkau membenci Aliy?”. Aku berkata “ya”. Beliau berkata “janganlah membencinya dan jika engkau mencintainya maka tambahlah kecintaanmu itu, Demi yang jiwa Muhammad ada di tangannya sesungguhnya bagian seperlima bagi keluarga Aliy adalah lebih baik dari Washiifah”. [Buraidah] berkata “setelah Rasulullah mengatakan hal itu maka tidak ada seorangpun yang paling aku cintai kecuali Aliy”. Abdullah [bin Buraidah] berkata “Demi yang tidak Tuhan selainnya tidak ada orang lain antara aku dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam hadis ini kecuali Ayahku Buraidah” [Musnad Ahmad 5/350 no 23017, Syaikh Al Arnauth berkata hadis shahih dan sanadnya hasan].

Hujjah dalam riwayat Ahmad di atas adalah Buraidah diutus oleh laki-laki Quraisy dan ia adalah Khalid bin Waliid untuk membawa surat dan mengadukan perihal tindakan Aliy di Yaman. Jadi ketika Buraidah menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Aliy bin Abi Thalib masih berada di Yaman. Dalam riwayat shahih disebutkan bahwa Aliy bin Abi Thalib kembali dari Yaman pada saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunaikan ibadah Haji wada di Makkah. Dalam hadis shahih yang panjang tentang haji wada yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata

وقدم علي من اليمن ببدن النبي صلى الله عليه و سلم فوجد فاطمة رضي الله عنها ممن حل ولبست ثيابا صبيغا واكتحلت فأنكر ذلك عليها فقالت إن أبي أمرني بهذا

Dan Aliy baru datang dari Yaman dengan membawa hewan Qurban untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka ia mendapati Fathimah termasuk mereka yang telah berihlal dan memakai pakaian bercelup dan memakai celak mata, maka ia mengingkari hal itu atasnya, kemudian Fathimah berkata “sesungguhnya Ayahku yang memerintahkan hal ini” [Shahih Muslim  2/886 no 1218-147]

.

.

Jika Imam Aliy baru kembali dari Yaman pada saat Haji wada maka kisah dimana Buraidah datang mengadu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terjadi sebelum Haji Wada’. Terdapat sebagian sahabat yang kembali dari Yaman terlebih dahulu sebelum Imam Aliy tiba diantaranya adalah ‘Amru bin Syaasi Al Aslamiy.

وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ  وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو  قَالا حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا أَبَانُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ الأَسْلَمِيِّ عَنْ خَالِهِ عَمْرِو بْنِ شَاسٍ الأَسْلَمِيِّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْحُدَيْبِيَةِ  قَالَ كُنْتُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي خَيْلِهِ الَّتِي بَعَثَهُ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ فَجَفَانِي عَلِيٌّ بَعْضَ الْجَفَاءِ ، فَوَجَدْتُ فِي نَفْسِي عَلَيْهِ ، فَلَمَّا قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ اشْتَكَيْتُهُ فِي مَجَالِسِ الْمَدِينَةِ  وَعِنْدَ مَنْ لَقِيتُهُ وَأَقْبَلْتُ يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَلَمَّا رَآنِي أَنْظُرُ إِلَى عَيْنَيْهِ نَظَرَ إِلَيَّ حَتَّى جَلَسْتُ إِلَيْهِ فَلَمَّا جَلَسْتُ قَالَ ” إِنَّهُ وَاللَّهِ يَا عَمْرُو بْنُ شَاسٍ لَقَدْ آذَيْتَنِي ” فَقُلْتُ  إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَالإِسْلامِ أَنْ أُؤْذِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقَالَ ” مَنْ آذَى عَلِيًّا فَقَدْ آذَانِي

Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Abdullah dan Abu Sa’id bin Abi ‘Amru, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul Jabbaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Ibnu Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Aban bin Shaalih dari ‘Abdullah bin Diinar Al Aslaamiy dari ‘Amru bin Syaasi Al Aslaamiy dan ia termasuk sahabat yang hadir di Hudaibiyah, ia berkata “aku pernah bersama Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] dalam pasukan berkuda yang diutus Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] ke Yaman. Ia bersikap kasar kepadaku sehingga aku marah kepadanya, ketika aku datang ke Madinah aku mengadukan hal itu dalam setiap perkumpulan di Madinah dan juga dengan siapa saja yang aku temui. Suatu hari aku bertemu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang sedang duduk, ketika itu aku melihat kedua matanya terus memperhatikanku sampai aku berada di dekatnya. Ketika aku duduk, Beliau berkata “demi Allah wahai ‘Amru bin Syaasi sungguh engkau telah menyakitiku”. Maka aku berkata “Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepadanya, aku berlindung kepada Allah dan islam dari menyakiti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau berkata “siapa yang menyakiti Aliy maka ia menyakitiku” [Ad Dalaa’il An Nubuwah Baihaqiy 5/394-395]

Riwayat di atas sanadnya hasan dan menunjukkan bahwa peristiwa dimana sebagian sahabat membicarakan Aliy dalam perjalanannya ke Yaman berlangsung sebelum Haji wada. Sebagaimana nampak dalam riwayat di atas bahwa ‘Amru bin Syaasi kembali dari Yaman dan menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang saat itu masih berada di Madinah.

Yang ingin kami tunjukkan dari berbagai riwayat di atas adalah pengaduan sebagian sahabat kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] perihal Imam Aliy di Yaman itu terjadi sebelum haji wada. Dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] langsung membela Aliy saat itu juga. Tidak ditemukan dalil shahih hadis Ghadir kum yang menyebutkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kembali menyebut-nyebut soal apa yang dilakukan Imam Aliy di Yaman.

.

.

Jika dikatakan bahwa masih ada segelintir orang yang membicarakan perihal tindakan Imam Aliy di Yaman ketika Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat sampai di Khum maka harus ada bukti yang menunjukkan hal itu. Justru kemungkinan ini sangat jauh sekali karena terdapat hadis shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkhutbah membela Imam Ali di hadapan orang-orang dan hadis tersebut diucapkan sebelum hadis Ghadir Kum.

قال ابن إسحاق : فحدثني عبد الله بن عبد الرحمن بن معمر بن حزم عن سليمان بن محمد بن كعب بن عجرة عن عمته زينب بنت كعب وكانت عند أبي سعيد الخدري ، عن أبي سعيد الخدري قال اشتكى الناس عليا رضوان الله عليه فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم فينا خطيبا ، فسمعته يقول أيها الناس لا تشكوا عليا ، فوالله إنه لأخشن في ذات الله أو في سبيل الله من أن يشكى

Ibnu Ishaaq berkata maka telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Ma’mar bin Hazm dari Sulaiman bin Muhammad bin Ka’ab bin ‘Ujrah dari bibinya Zainab binti Ka’ab dan ia pernah di sisi Abu Sa’id Al Khudriy dari Abu Sa’id Al Khudriy yang berkata “orang-orang mengeluhkan Aliy radiallahu ‘anhu maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri diantara kami dan berkhutbah, maka aku mendengarnya mengatakan “wahai manusia janganlah mengeluhkan tentang Aliy, demi Allah ia adalah orang yang sangat keras [teguh] dalam urusan Allah atau dalam perjuangan di jalan Allah dari apa yang kalian keluhkan” [Sirah Ibnu Hisyaam 2/603].

Khutbah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di atas dinukil oleh Ibnu Ishaaq dan ia mengisyaratkan bahwa khutbah itu diucapkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Makkah pada saat haji wada tepat setelah Imam Ali tiba kembali dari Yaman. Syaikh Al Albaniy telah menshahihkan hadis riwayat Ibnu Ishaq di atas dalam kitabnya Silsilah Ahadits Ash Shaahihah no 2479.

Berdasarkan riwayat Ibnu Ishaaq ini maka jauh sekali kemungkinannya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan mengucapkan kembali pembelaan terhadap tindakan Imam Aliy di Yaman pada saat Beliau berada di Ghadir Kum.

.

.

Dalil-dalil shahih menyebutkan bahwa memang sebagian sahabat mengeluhkan tindakan Imam Aliy di Yaman. Mereka yang mengeluhkan tindakan Imam Aliy ini terbagi menjadi dua kelompok

  1. Kelompok pertama adalah mereka yang terlebih dahulu kembali menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari Yaman sebelum Imam Aliy tiba [yaitu sebelum Haji wada]. Untuk mereka ini Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] langsung membantah mereka dan membela Imam Aliy.
  2. Kelompok kedua adalah mereka yang tiba dari Yaman atau menemui Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersama Imam Aliy yaitu pada saat Haji wada. Untuk mereka ini Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] langsung berkhutbah di hadapan orang-orang untuk membantah mereka, membela Imam Aliy sekaligus menutup jalan timbulnya desas-desus di kalangan para sahabat.

.

.

Jadi perkara keluhan terhadap Imam Aliy itu sudah beres masalahnya pada saat Haji wada dan tidak ada kepentingannya harus diucapkan kembali pada saat Ghadir Kum. Lagipula kalau kita melihat berbagai riwayat shahih hadis Ghadir Kum maka tidak ada sedikitpun yang menyinggung soal sahabat yang mengeluhkan tindakan Imam Aliy di Yaman. Berikut hadis Ghadir Kum yang diriwayatkan oleh Imam Aliy.

حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ قَالَ ثنا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ قَالَ ثنا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرَ الشَّجَرَةَ بِخُمٍّ فَخَرَجَ آخِذًا بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ  يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا  بَلَى قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ ؟ قَالُوا بَلَى قَالَ فَمَنْ كُنْت مَوْلَاهُ فَإِنَّ هَذَا مَوْلَاهُ أَوْ قَالَ فَإِنَّ عَلِيًّا مَوْلَاهُ شَكَّ ابْنُ مَرْزُوقٍ إنِّي قَدْ تَرَكْت فِيكُمْ مَا إنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ وَأَهْلَ بَيْتِي

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Marzuq yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amir Al Aqadiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Katsir bin Zaid dari Muhammad bin Umar bin Ali dari Ayahnya dari Ali bahwa Nabi SAW berteduh di Khum kemudian Beliau keluar sambil memegang tangan Ali. Beliau berkata “wahai manusia bukankah kalian bersaksi bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian lebih dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata “benar”. Beliau SAW berkata “maka barangsiapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya maka dia ini juga sebagai mawlanya” atau [Rasul SAW berkata] “maka Ali sebagai mawlanya” [keraguan ini dari Ibnu Marzuq]. Sungguh telah Aku tinggalkan bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah yang berada di tangan kalian dan Ahlul Bait-Ku” [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 3/56, sanadnya shahih]“

Hadis Ghadir Khum riwayat Imam Aliy di atas telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Al Mathalib Al ‘Aliyyah no 4043 dan Al Buushiriy dalam Ittihaaful Khairah no 6683. Tidak ada keterangan sedikitpun yang menyebutkan soal Yaman. Dengan mengumpulkan semua hadis Ghadir Kum dapat diketahui bahwa hadis Ghadir Khum berisikan wasiat Nabi berupa peninggalan Ats Tsaqalain yang merupakan pegangan umat agar tidak tersesat dan penyebutan Imam Aliy sebagai Maula.

Perhatikan hadis Ghadir Khum riwayat Muslim [yang hanya menyebutkan soal Ats Tsaqalain] dari Zaid bin Arqam [radiallahu ‘anhu], ia berkata

قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال “أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب

[Zaid bin Arqam] berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri diantara kami dan berkhutbah di suatu tempat bernama Khum diantara Mekkah dan Madinah, Beliau memuji Allah memberikan nasihat dan peringatan, Beliau berkata “wahai sekalian manusia sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, sebentar lagi utusan Rabbku akan datang dan ia akan diperkenankan” [Shahih Muslim no 2408]

Nampak dalam riwayat Muslim di atas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkhutbah di Khum karena ingin berwasiat sehubungan dengan sebentar lagi ia akan segera wafat. Wasiat tersebut adalah berpegang teguh pada Ats Tsaqalain dan mengangkat Imam Aliy sebagai Maula bagi kaum mukminin. Jadi hal yang mendorong Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkhutbah di Khum bukanlah desas-desus sebagian sahabat yang mengeluhkan Aliy, perkara itu sudah selesai sebelumnya melainkan karena memang Beliau ingin berwasiat kepada umatnya.

.

.

Analogi yang pas untuk syubhat nashibi ini adalah sebagai berikut. Ada seorang guru [syaikh] yang memiliki banyak murid dan diantara sekian banyak muridnya tersebut terdapat murid yang bernama Abdullah yang sangat baik perilakunya dan yang paling alim [berilmu] dibanding yang lain. Syaikh tersebut sangat menyayangi dan melebihkannya sehingga membuat iri sebagian murid. Suatu ketika ada sebagian murid yang mengadukan perihal buruk tentang ‘Abdullah kepada Syaikh tersebut maka Syaikh itu berkata “jangan kalian menyakitinya karena ia adalah bagian dariku dan ia adalah penggantiku sepeninggalku kelak”. Kemudian tidak lama kemudian Syaikh tersebut sakit keras dan sebelum ia wafat ia mengumpulkan semua muridnya dan berwasiat “sesungguhnya Abdullah adalah penggantiku maka berpeganglah kalian dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat”.

Kemudian datang salah satu murid  idiot yang berkata sebab perkataan guru tersebut karena kita pernah menyakiti Abdullah maka maksudnya kita harus mencintainya dan jangan menyakitinya bukan mengangkatnya sebagai pengganti guru. Padahal siapapun yang berakal akan paham maksudnya bahwa Abdullah sudah dari jauh-jauh hari disiapkan oleh gurunya sebagai pengganti sepeninggal gurunya oleh karena itu ketika ada yang berusaha menyakitinya, gurunya berpesan agar tidak menyakitinya karena ia nanti akan jadi pengganti gurunya. Tentu saja perkara jangan menyakiti Abdullah adalah benar dan justru yang menjadi sebab jangan menyakiti Abdullah karena Abdullah adalah pengganti gurunya. Jadi wasiat utama guru tersebut adalah mengangkat Abdullah sebagai pengganti, kemudian perkara mencintai dan jangan menyakiti Abdullah adalah hal niscaya sebagai konsekuensi Abdullah sebagai pengganti gurunya. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan murid idiot itu bahwa yang dimaksud Gurunya adalah jangan menyakiti atau harus mencintai Abdullah dan tidak perlu mengangkatnya sebagai pengganti.

Apa yang dikatakan murid idiot itu sama seperti yang dikatakan para nashibi, yaitu berusaha menolak hadis Nabi dengan dalih asbabul wurud yang dimasukkan seenaknya. Seperti murid idiot tersebut yang menyimpangkan makna wasiat gurunya yang tidak sesuai dengan keinginannya begitu pula para Nashibi yang menyimpangkan makna hadis Ghadir Khum karena tidak sesuai dengan keyakinannya.

.

.

Apa makna Maula dalam hadis Ghadir Khum?. Tidak dipungkiri bahwa lafaz maula mengandung banyak makna oleh karena itu makna yang tepat adalah dengan melihat penggunaannya dalam kalimat hadis tersebut bukan dengan konteks yang diada-adakan sesuai dengan hawa nafsu sebagian orang. Perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menyebutkan soal Maula

قَالَ أَلَسْتُمْ تَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أَوْلَى بِكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولَهُ مَوْلَيَاكُمْ

[Rasulullah] berkata “Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih berhak atas kalian dibanding dari diri kalian sendiri dan Allah azza wajalla dan Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?”

Lafaz Maula dalam kalimat tersebut terikat dengan kalimat “lebih berhak atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri”. Jadi Maula yang dimaksud adalah Orang yang lebih berhak atas kaum Muslimin dibanding diri mereka sendiri. Lafaz Maula seperti ini pernah diungkapkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam hadis berikut

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَمْرَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَأَنَا أَوْلَى بِهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ {النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ} فَأَيُّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا فَلْيَرِثْهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلَاهُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir yang berkata telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Hilaal bin ‘Aliy dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah dari Abi Hurairah [radiallahu ‘anhu] bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Tidak ada seorang mu’min kecuali aku lebih berhak atasnya dalam dunia dan akhirat, bacalah jika kalian mau “Nabi itu lebih berhak dari orang-orang mukmin dibanding diri mereka sendiri”. Maka sesungguhnya seorang mukmin jika wafat dan meninggalkan harta maka itu akan diwariskan kepada ahli warisnya yang terdekat dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau keluarga yang terlantar maka datanglah kepadaku karena aku adalah Maula-nya [Shahih Bukhari 3/118 no 2399]

Makna kedudukan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai Maula bagi kaum mu’min adalah bahwa Beliau sebagai orang yang paling berhak atas mereka lebih dari diri mereka sendiri. Beliau adalah orang yang mengatur urusan kaum mu’min termasuk melunasi hutang bagi kaum mu’min yang tidak bisa membayar hutangnya dan mengurus keluarga yang terlantar. Hal yang demikian itu adalah tugas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagai pemimpin bagi kaum mu’min. Maka makna Maula yang dimaksud disana adalah Pemimpin atau orang yang mengatur urusan kaum mu’min.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia, Sirah

Apakah Abu Musa Bukan Seorang Munafik? Bantahan Untuk Nashibiy

$
0
0

Apakah Abu Musa Bukan Seorang Munafik? Bantahan Untuk Nashibiy

Nashibiy yang kami maksud adalah penulis berikut. Dan pembaca tidak perlu heran mengapa kami menyebutnya nashibi, jika ia tidak keberatan menuduh kami sebagai orang Syi’ah maka harusnya ia tidak keberatan pula jika ia dikatakan nashibiy. Kami akui tujuannya untuk membantah itu baik sekali tetapi sayangnya kualitas tulisannya tidak menunjukkan kualitas orang yang mengerti metodologi atau cara berhujjah dengan baik.

Tulisan ini hanya ingin menunjukkan kepadanya betapa rapuhnya bantahan yang ia tulis dan silakan ia pikirkan dengan baik [kalau ia memang punya kemampuan untuk berpikir] setelah membaca tulisan ini apakah bantahannya yang sok itu memang berkualitas atau tidak

Secara umum tulisannya tidaklah membantah keseluruhan tulisan yang kami tulis tentang Abu Musa. Sebelumnya kami membawakan tiga keberatan mengenai pribadi Abu Musa yaitu

  1. Riwayat shahih bahwa Huzaifah [radiallahu ‘anhu] menyatakan kalau Abu Musa munafik
  2. Riwayat shahih bahwa Abu Musa termasuk dalam ahlul aqabah dimana ahlul aqabah yang dimaksud adalah orang yang ingin membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat pulang dari perang Tabuk
  3. Riwayat shahih Imam Aliy mendoakan keburukan bagi Abu Musa dalam qunut Beliau.

.

.

Adakah nashibiy tersebut membahas tiga riwayat tentang Abu Musa di atas?. Tidak ada, ia hanya sibuk menukil keutamaan Abu Musa yang mungkin menurut anggapannya dapat membatalkan ketiga riwayat shahih di atas. Maka kita lihat apakah keutamaan Abu Musa yang dimaksud bernilai hujjah untuk membatalkan ketiga riwayat shahih di atas.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا عبدالله بن نمير ح وحدثنا ابن نمير حدثنا أبي حدثنا مالك ( وهو ابن مغول ) عن عبدالله بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن عبدالله بن قيس أو الأشعري أعطي مزمارا من مزامير آل داود

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik [ia adalah Ibnu Maghul] dari ‘Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata sesungguhnya Abdullah bin Qais atau Al Asy’ariy diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [Shahih Muslim 1/546 no 793]

Riwayat ini shahih tetapi jika dijadikan pembatal ketiga riwayat shahih yang kami tulis maka itu namanya terburu-buru. Silakan pembaca lihat keutamaan Abu Musa apa yang dinyatakan dalam hadis di atas, tidak lain itu keutamaannya yang memiliki suara yang indah ketika membaca Al Qur’an. Maka dimana letak hujjahnya. Apakah seorang yang bersuara indah tidak bisa menjadi seorang yang murtad atau munafik akibat perbuatan atau maksiatnya kelak?. Ya tidak nyambung itu dua sisi yang berbeda

Jika nashibiy tersebut mengatakan lihatlah keutamaan Abu Musa tersebut yang begitu besar bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyandingkannya dengan nama seorang Nabi [Daud ‘alaihis salaam]. Ini pun hujjah yang aneh cuma permainan bahasa [kata-kata] yang tidak bernilai, silakan lihat keutamaan yang lebih dari itu dimana keutamaan itu disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri.

حدثنا سعيد بن أبي مريم: حدثنا محمد بن مطَّرف: حدثني أبو حازم، عن سهل بن سعد قال قال النبي صلى الله عليه وسلم: إني فرطكم على الحوض، من مر علي شرب، ومن شرب لم يظمأ أبدا، ليردنَّ علي أقوام أعرفهم ويعرفونني، ثم يحال بيني وبينهم قال أبو حازم: فسمعني النعمان بن أبي عياش فقال: هكذا سمعت من سهل؟ فقلت: نعم، فقال: أشهد على أبي سعيد الخدري، لسمعته وهو يزيد فيها: فأقول: إنهم مني، فيقال: إنك لا تدري ما أحدثوا بعدك، فأقول: سحقاً سحقاً لمن غيَّر بعدي

Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’iid, ia berkata Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda “Sesungguhnya akulah yang pertama-tama mendatangi Haudh. Barangsiapa yang menuju kepadaku akan minum, dan barangsiapa yang minum niscaya tidak akan haus selama-lamanya. Sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi”. Abu Haazim berkata : “kemudian An Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy mendengarku, lalu berkata ‘Beginikah kamu mendengar dari Sahl ?’. Aku berkata ‘Benar’. Lalu ia berkata ‘Aku bersaksi atas Abu Sa’iid Al-Khudriy, bahwasannya aku benar-benar telah mendengarnya dimana ia menambah lafaz : “Lalu aku [Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam] berkata “Mereka adalah bagian dariku”. Namun dikatakan “Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” Maka aku berkata “Menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah [agama] sepeninggalku” [Shahih Al Bukhaariy no. 6583-6584].

Silakan lihat, sahabat Nabi yang terusir dari Haudh tersebut adalah para sahabat yang disifatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan keutamaan “mereka adalah bagian dariku”. Menurut bahasa nashibiy tersebut maka ini adalah keutamaan yang besar bahkan disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Tetapi keutamaan mereka ini batal atau terhapus akibat perbuatan mereka sendiri dimana mereka dikatakan mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis Haudh di atas menjadi hujjah bahwa sahabat Nabi yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri sebagai “bagian dariku” tetap bisa mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Maka bagaimana bisa nashibiy yang dimaksud asal berhujjah dengan keutamaan Abu Musa yang dikatakan diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [‘alaihis salaam]. Apalagi sangat mungkin Huzaifah yang hidup di masa Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan Abu Musa juga mengetahui keindahan suara Abu Musa dalam membaca Al Qur’an dan ternyata hal itu tidak mencegahnya untuk menyatakan Abu Musa munafik.

.liumh8

.

Kemudian nashibiy yang dimaksud membawakan hadis keutamaan Abu Musa Al Asy’ariy yang diriwayatkannya sendiri dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakannya. Dalam sebuah riwayat panjang dari Abu Musa, ia berkata

فقلت ولي يا رسول الله فاستغفر فقال النبي صلى الله عليه و سلم اللهم اغفر لعبدالله بن قيس ذنبه وأدخله يوم القيامة مدخلا كريما

Maka aku [Abu Musa] berkata “wahai Rasulullah mohonkanlah ampun untukku”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti di tempat yang mulia” [Shahih Muslim 4/1943 no 2498].

Seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, ini adalah riwayat Abu Musa Al Asy’ariy sendiri. Kami katakan tidak kuat sebagai hujjah karena jika memang Abu Musa adalah seorang munafik seperti yang dikatakan Huzaifah maka riwayatnya tertolak, bukankah salah satu ciri munafik adalah tidak segan-segan berdusta dalam perkataannya. Maka jika Abu Musa memang munafik maka riwayatnya tertolak.

Duduk perkara disini adalah kami pribadi tidak menetapkan bahwa Abu Musa munafik tetapi kami menilai sejauh mana sebuah riwayat bisa dijadikan hujjah menentang riwayat lain. Riwayat Abu Musa sendiri tidaklah kuat sebagai hujjah karena justru yang sedang dipermasalahkan adalah kedudukan Abu Musa sendiri. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir objektif yang sudah alami sifatnya, hanya orang-orang yang tidak bisa berpikir yang mempermasalahkan “objektif macam apa ini”.

Bukti bahwa perkara ini alami sifatnya adalah seorang yang tertuduh melakukan kejahatan baik pembunuhan, pencurian dan sebagainya tidak bisa dinyatakan bahwa ia bukan pelakunya hanya dengan sekedar perkataannya sendiri. Apalagi jika ada saksi yang menyatakan bahwa ia pelakunya.

Sama halnya dengan kasus Abu Musa di atas, Huzaifah bersaksi bahwa ia munafik dan terdapat riwayat yang menguatkannya yaitu keikutsertaannya sebagai ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Imam Aliy yang mendoakan keburukan baginya di dalam qunut. Lantas apakah dengan riwayat keutamaan Abu Musa yang ia katakan sendiri bisa menjadi hujjah?. Jawabannya secara objektif adalah tidak kuat sebagai hujjah.

.

.

Nashibiy tersebut membawakan riwayat yang dalam anggapannya menguatkan hujjahnya bahwa kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَادَةَ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا سَلِيمٌ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فَيُصَلِّي بِهِمْ الصَّلَاةَ فَقَرَأَ بِهِمْ الْبَقَرَةَ قَالَ فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلَاةً خَفِيفَةً فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا وَنَسْقِي بِنَوَاضِحِنَا وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ فَزَعَمَ أَنِّي مُنَافِقٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلَاثًا اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَنَحْوَهَا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abadah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Yaziid yang berkata telah mengabarkan kepada kami Saliim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinar yang berkata telah menceritakan kepada kami Jaabir bin ‘Abdullah bahwa Mu’adz bin Jabal [radiallahu ‘anhu] shalat bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian ia datang kepada kaumnya dan shalat bersama mereka. Dalam shalatnya ia membaca surat Al Baqarah. [Jabir] berkata maka seorang laki-laki keluar dan shalat sendiri, maka hal itu disampaikan kepada Mu’adz. Maka ia berkata “sesungguhnya ia seorang munafik”. Maka disampaikan hal itu kepada orang tersebut, ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja menyiram ladang dan Mu’adz shalat bersama kami membaca Al Baqarah maka aku keluar dan ia menganggapku munafik”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Mu’adz apakah engkau hendak membuat fitnah”. Beliau mengucapkannya sampai tiga kali, maka bacalah “wasysyamsi wa dhuhaahaa dan sabbihisma rabbukal a’laa dan yang semisalnya [Shahih Bukhariy no 6106]

Riwayat ini dijadikan hujjah oleh nashibiy tersebut bahwa kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima. Pernyataan ini terlalu terburu-buru, riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara ini dengan dasar berikut

  1. Riwayat ini jalan sanadnya shahih sampai Jabir bin ‘Abdullah seorang sahabat Nabi jadi bukan riwayat dari orang yang tertuduh munafik itu sendiri
  2. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengetahui apakah perkataan orang tersebut akan dirinya adalah benar atau tidak. Nampak bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membela orang tersebut yang berarti bahwa Beliau mengetahui kalau orang tersebut jujur atas dirinya dan Mu’adz telah keliru atas tuduhannya.

Jadi hadis ini bukan diartikan kesaksian seorang yang dituduh munafik bisa diterima tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengetahui bahwa ia jujur atas perkataannya maka tertolaklah tuduhan Mu’adz kalau ia munafik. Hal yang sama tidak bisa diterapkan atas kasus Abu Musa mengingat keutamaan yang dimaksudkan berasal dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] itu berasal dari perkataan Abu Musa sendiri dan ia tertuduh munafik.

.

.

Seandainya riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan Abu Musa agar diampuni Allah dan mendapat tempat yang mulia di hari kiamat itu berasal dari jalan sanad shahih selain riwayat Abu Musa maka hadis ini akan menjadi hujjah yang kuat dan tentu kami akan merajihkan kedudukan Abu Musa yang mulia dan menolak atsar Huzaifah.

Sejauh ini kami telah berhujjah dengan objektif, kami menimbang berbagai riwayat shahih yang memberatkan Abu Musa dan berbagai riwayat shahih yang menunjukkan keutamaan Abu Musa. Hasilnya sejauh ini adalah kami bertawaqquf atas kedudukan Abu Musa karena kami tidak bisa merajihkan riwayat mana yang lebih kuat. Sedangkan nashibiy tersebut pembelaannya tidak memiliki nilai hujjah di sisi kami karena seperti yang kami katakan ia tidak memiliki kualitas berpikir yang baik dan objektif dalam menilai hujjah.

Kami juga tersenyum lucu dengan ulah nashibiy tersebut terkait dengan tuduhannya terhadap kami. Ia mengatakan bahwa cara berpikir kami terbalik, Abu Musa adalah seorang mu’min dan mendapatkan keutamaan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] semasa hidupnya maka perkataan siapapun yang menyelisihi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tertolak.

Perkataan nashibiy tersebut memang benar tetapi ia lah yang sebenarnya tidak memahami hakikat persoalan. Seseorang bisa saja seorang muslim dan beriman kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian setelah itu atau sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wassalam] ia bisa saja menjadi munafik atau murtad. Hal ini bukan perkara yang mustahil dan hadis shahih telah menunjukkannya [seperti hadis Al Haudh di atas].

Kemudian keutamaan dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dimaksud juga tidak selalu bersifat mutlak sehingga seolah-olah orang tersebut pasti masuk surga dan membuatnya kebal akan tuduhan walaupun telah nyata-nyata bermaksiat. Banyak hadis shahih yang menunjukkannya

  1. Keutamaan seseorang sebagai penulis wahyu, terdapat hadis shahih bahwa seorang penulis wahyu bisa menjadi kafir atau mati dalam keadaan kafir
  2. Keutamaan seseorang sebagai utusan Nabi, terdapat hadis shahih bahwa seorang utusan Nabi ternyata bisa menjadi seorang yang fasiq
  3. Dan hadis Al Haudh di atas menunjukkan keutamaan para sahabat yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “mereka bagian dariku” tetapi pada hakikatnya sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka akhirnya mengubah [agama]

Memang benar bahwa perkataan siapapun yang menyelisihi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tertolak tetapi tentu perkataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang dimaksud harus bernilai shahih tanpa keraguan baik sanad maupun matannya. Bagaimana mungkin pujian Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap bacaan Al Qur’an seseorang membuat dirinya kebal terhadap tuduhan bahwa ia pada akhirnya ternyata ikut serta dalam ahlul aqabah yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahkan Huzaifah menuduhnya munafik.

.

.

Kemudian nashibiy tersebut dengan sok mengatakan bahwa kami licik alias malu-malu serigala, ia mempermasalahkan judul tulisan yang kami buat dengan bentuk pertanyaan “Apakah Abu Musa munafik?”. Kami tidak mengerti apa masalah nashibiy tersebut kecuali memang pikirannya yang dipenuhi dengan kebenciannya terhadap Syi’ah sehingga tulisan kami yang kami buat sebisanya dengan menghindarkan kata-kata celaan terhadap sahabat Abu Musa malah ia nilai sebagai licik atau malu-malu serigala. Kalau begitu maka apa yang akan ia katakan terhadap Huzaifah yang dengan jelas menyatakan Abu Musa munafik. Apa ia akan menuduh Huzaifah zindiq? Atau menuduh Huzaifah rafidhah?. Tentu saja ia akan menutup mata atas perkataan Huzaifah dan lebih nyaman baginya menuduh yang bukan-bukan terhadap kami bahwa kami Syi’ah rafidhah yang licik.

Sungguh lucu ia mengagung-agungkan sahabat Nabi padahal banyak hadis shahih membuktikan bahwa tidak semua sahabat layak untuk diagungkan. Kita bisa sebutkan beberapa diantaranya, Abu Ghadiah sahabat Nabi yang membunuh Ammar bin Yasir, Mu’awiyah yang berdusta atas Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Mughirah bin Syu’bah yang mencela Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] dan pernah dituduh berzina, Samurah bin Jundub yang dikatakan akan masuk neraka, Walid bin Uqbah seorang yang dinyatakan fasiq, Umarah bin Uqbah yang juga dikatakan masuk neraka, Abu A’war As Sulamiy yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis-hadis dan riwayat shahih telah membuktikan perkara ini dan bagi seorang yang objektif mereka akan menerimanya tetapi bagi mereka yang terikat doktrin salafy nashibi maka mereka akan selalu berdalih untuk menolaknya.

Seperti biasa tuduhan bahwa kami Syi’ah rafidhah hanya muncul dari orang-orang yang kerdil akalnya, apakah kami sedang berhujjah dengan hadis-hadis rafidhah?. Lama-kelamaan pengertian rafidhah akan berubah sehingga setiap siapapun yang mengkritik sahabat terlepas apapun maksiat sahabat yang dimaksud maka ia akan dituduh rafidhah. Atau Siapapun yang mengutamakan Ahlul Bait di atas sahabat Nabi maka ia akan dituduh rafidhah.

.

.

Kembali kepada kedudukan Abu Musa di atas maka kami simpulkan pandangan kami dalam masalah ini adalah kami bertawaqquf atas kedudukannya dan kami tidak segan-segan mengubah pandangan kami jika terdapat riwayat yang kuat mengenai keutamaan Abu Musa yang dapat mengalahkan riwayat celaan terhadap Abu Musa.

.

.

Note : Tulisan ini sudah lama dibuat tetapi baru ditampilkan sekarang, pertimbangannya dulu agar orang tidak salah paham terhadap penulis blog ini tetapi ternyata tanpa ditampilkanpun kesalahpahaman itu tetap terjadi. So, tulisan ini mungkin hanya bermanfaat bagi orang-orang yang berpikiran kritis dan terbuka.


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Selubung Makar Syi’ah Dibalik Blog Secondprince?

$
0
0

Selubung Makar Syi’ah Dibalik Blog Secondprince?

Ada orang aneh yang datang ke blog secondprince dan mempromosikan blog baru-nya dengan judul fitnah “selubung makar syi’ah dibalik nama secondprince”. Nampak bahwa yang bersangkutan memang mengidap waham paranoid seolah-olah kami blog secondprince adalah pengikut Syi’ah yang membuat makar. Orang seperti ini sudah jelas bukan orang yang berpikiran kritis dan ilmiah, bahkan nampak bahwa dia tidak mengerti apa itu “kaidah ilmiah”.

Para pembaca bisa melihat langsung tulisan pertamanya yang ia buat dengan tujuan membantah kami tapi ternyata hanya menunjukkan kerendahan kualitas akal pikirannya. Kami akan menunjukkan secara rinci kepada pembaca apa yang kami maksud dengan “kualitas akal pikirannya yang rendah” yaitu dengan menganalisis bantahan yang ia buat dalam tulisan pertamanya “Aqidah Syi’ah Meyakini Fir’aun Adalah Abu Bakar dan Haman Adalah Umar”. Tulisannya ini ia buat dengan tujuan membantah tulisan kami disini. Mari langsung kita lihat

.

.

Baru membaca kalimat awal sudah nampak kerendahan tulisan tersebut, penulis berkata “Inilah tulisan Jakfari dalam bentuk screen shoot”. Siapakah Jakfari yang ia maksud?. Apakah blog jakfari.wordpress.com?. Kalau begitu apa hubungannya dengan blog secondprince. Lucu, mau membantah blog secondprince kok salah alamat bawa-bawa jakfari. Apa menurutnya penulis blog jakfari dan blog secondprince adalah orang yang sama?. Apa buktinya atau paling tidak apa qarinah-nya?. Apa hanya karena blog jakfari yang merupakan blog syi’ah dan penulis tersebut menganggap bahwa blog secondprince juga syi’ah maka tidak bisa tidak kedua blog itu pasti ditulis orang yang sama. Wah cara berpikir yang maaf rendah sekali.

Inilah Faktanya, Pemilik blog secondprince bukan penganut mazhab Syi’ah Rafidhah. Blog secondprince tidak ada sangkut paut-nya dengan blog jakfari. Kami pribadi memang pernah mengunjungi blog jakfari dan yah cuma itu, kami tidak mengenal siapa penulis blog jakfari tersebut. Kemudian penulis tersebut berkata setelah menampilkan tulisan kami

Sebenarnya dari artikel mereka ini kita telah mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman para pendahulu kaum syi’ah terhadap para sahabat

Komentar yang ini agaknya salah sambung atau yang bersangkutan sedang menulis sambil berkhayal. Bukankah yang sedang ia bicarakan ini adalah tulisan kami, terus bagian mana dari tulisan kami tersebut menunjukkan “pemahaman para pendahulu Syi’ah terhadap para sahabat”. Yang kami bahas adalah kedudukan riwayat yang dikutip salah seorang ulama Syi’ah dalam kitabnya yaitu riwayat Syi’ah yang menyebutkan Fir’aun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar. Pembahasan kami menunjukkan kedudukan riwayat ini berdasarkan kaidah ilmu Rijal Syi’ah adalah dhaif. Jadi apanya yang ia maksud dengan pemahaman para pendahulu syi’ah terhadap para sahabat.

Atau mungkin yang ia maksud, ulama syi’ah Syaikh Ali Yazdiy Al Hairiy dan Al Majlisiy yang membawakan riwayat tersebut dalam kitab-nya. Itukah pendahulu syi’ah yang ia maksud, kalau begitu apa pemahaman mereka terhadap para sahabat dalam tulisan kami yang ia bantah. Mungkin saja keduanya punya pemahaman tertentu terhadap para sahabat tetapi ya itu mungkin dalam literatur atau tulisan-tulisan lain bukan dari tulisan kami yang ia kutip dan ia bantah. Makanya kami katakan saat ia menulis bantahan, penulis menyedihkan itu membantah sambil mengkhayalkan tulisan orang lain, makanya kata-kata yang digunakan gak kena alias salah sambung.

Sekaligus secondprince telah mengakui bahwa para pendahulunya adalah penganut agama yang didirikan diatas pencelaan kepada Sahabat

Sepertinya kami sedang berhadapan dengan orang yang sudah parah penyakit wahamnya. Bagian mana dari tulisan kami berisi pengakuan soal apa yang ia sebut “pendahulu kami”. Pendahulu kami yang mana?. Dan apa pula maksudnya agama yang didirikan atas pencelaan kepada sahabat?. Apa maksud kalimat itu kami mengakui bahwa pendahulu kami [yaitu ulama syi’ah] adalah penganut agama yang didirikan atas pencelaan kepada sahabat [yaitu agama Syi’ah]?. Ayolah fokus wahai penulis, apakah karena kami mengutip riwayat yang mencela Abu Bakar dan Umar dari kitab Ulama Syi’ah [walaupun faktanya kami tunjukkan riwayat tersebut dhaif] lantas anda dengan seenaknya menuduh yang bukan-bukan.

Kalau begitu bagaimana jadinya dengan tulisan kami yang lain dimana kami mengutip riwayat shahih pencelaan terhadap sahabat dari kitab Ulama Ahlus sunnah seperti berikut

  1. Riwayat Aisyah [radiallahu ‘anha] melaknat Amru bin ‘Ash
  2. Riwayat Hudzaifah [radiallhu ‘anhu] menyatakan Abu Musa munafik
  3. Riwayat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Samurah bin Jundub masuk neraka
  4. Riwayat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Walid bin Uqbah dan Umaarah bin Uqbah masuk neraka
  5. Riwayat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melaknat Abul A’war As Sulamiy
  6. Riwayat Ibnu ‘Abbas [radiallahu ‘anhu] bahwa Mu’awiyah berdusta atas Allah dan Rasul-Nya
  7. Riwayat Mughirah bin Syu’bah yang mencela Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu]
  8. Riwayat Abu Bakrah [radiallahu ‘anhu] yang bersaksi bahwa Mughirah bin Syu’bah berzina
  9. Riwayat Urwah bin Zubair mencaci sahabat Nabi Hassan bin Tsabit
  10. Riwayat Mufadhdhal bin Ghassaan Al Ghulabiy [Ulama ahlus sunnah] menyatakan Al Harits bin Suwaid salah seorang sahabat Badar adalah munafik

Kalau menuruti jalan pikiran penulis tersebut maka tulisan-tulisan kami di atas menunjukkan bahwa pendahulu kami [salafus shalih] adalah penganut agama yang didirikan atas pencelaan kepada sahabat [yaitu Ahlus sunnah]. Inilah konsekuensi dari cara berpikir penulis tersebut.

.

.

Adapun pembelaan syi’ah dengan mendhaifkan riwayat tersebut tidak ada artinya sama sekali terhadap kedudukan syi’ah, karena toh dalam riwayat tersebut meskipun dhaif jiddan dan pastinya memang itu adalah tidak mungkin satu perkataan dari Imam Ja’far Ash Shaadiq, akan tetapi kemudian bukan dalam hal kedhaifannya yang dipermasalahkan, akan tetapi justru itu menjadi dalil bagi Ahlussunnah bahwa Ulama Syi’ah gemar mengais riwayat-riwayat palsu untuk membangun aqidan mereka atas pencelaan kepada para Sahabat terkhusus Abu Bakr dan Umar Radhiallahu Anhuma.

Penulis blog menyedihkan itu memang tidak mengerti mengapa kami menulis tulisan tersebut. Tulisan tersebut tidak kami buat sebagai pembelaan buta terhadap Syi’ah. Perkara ada ulama Syi’ah mencela Abu Bakar dan Umar, kami pribadi sudah pernah melihat tulisan yang menyebutkan demikian. Tetapi yang jadi inti permasalahan adalah munculnya orang-orang bodoh yang menyatakan bahwa Aqidah Syi’ah Rafidhah meyakini Fir’aun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar. Walaupun kami bukan penganut Syi’ah tetapi kami pernah mempelajari Syi’ah dan bagaimana Aqidah mereka. Sejak kapan dalam aqidah Syi’ah terdapat keyakinan Fir’aun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar. Itulah yang kami teliti dan ternyata si penuduh dan pencela membawakan riwayat tersebut sebagai bukti. Sebagai peneliti yang objektif maka riwayat yang dikutip itulah yang harus diteliti kebenarannya [tentu berdasarkan kaidah ilmu hadis Syi’ah]. Tujuan pembahasan kami adalah apa benar Syi’ah beraqidah demikian, terbukti bahwa riwayat yang dijadikan bukti itu adalah riwayat dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Adapun pernyataan penulis tersebut bahwa tulisan kami menunjukkan bahwa Ulama Syi’ah gemar mengais riwayat palsu untuk membangun aqidah mereka atas celaan kepada para sahabat khususnya Abu Bakar dan Umar, maka itu adalah persepsi penulis itu sendiri. Faktanya ulama Syi’ah tersebut Syaikh Ali Yazdiy memang mengutip riwayat dhaif di atas dalam kitabnya tetapi kalau hanya dengan satu riwayat di atas kemudian dikatakan bahwa ia gemar mengais riwayat palsu untuk membangun aqidah mereka yang mencela sahabat maka itu berlebihan. Anda tidak bisa menuduh seorang ulama gemar mengais riwayat palsu hanya dengan bukti satu riwayat.

Begitu pula Al Majlisiy, ia mengutip riwayat tersebut dalam kitab-nya Bihar Al Anwar yang merupakan kitab hadis-hadis ahlul bait di sisi Syi’ah. Adanya riwayat tersebut dalam kitabnya bukanlah bukti bahwa Al Majlisiy gemar mengais riwayat palsu untuk membangun aqidah mencela sahabat. Lagipula tidak ada keterangan dalam kitab Al Majlisi bahwa ia hanya mengumpulkan riwayat yang shahih saja disisinya. Adanya riwayat dhaif palsu dalam kitab hadis tidak hanya terjadi dalam kitab Syi’ah tetapi juga banyak terjadi dalam kitab Ahlus Sunnah. Kalau hanya dengan satu riwayat dhaif di atas Al Majlisiy dikatakan gemar mengais riwayat palsu untuk membangun aqidah mereka maka banyak ulama ahlus sunnah [seperti Al Hakim] yang bisa dikatakan mengais riwayat palsu untuk membangun aqidah mereka.

Adapun jikalau ada pengikut-pengikutnya yang mencoba menutupi kebusukan ulamanya. dengan berbagai jalan termasuk apa yang dilakukan oleh secondprince, kami katakan bahwa sebelum kalian menyebutkan bahwa riwayat itu dhaif, kami telah terlebih dahulu meyakini bahwa periwayatan kaum rafidhah sebagaimana yang dijelaskan Ulama-ulama Ahlussunnah,tentang kedustaannya, dan bagaimana untuk mensikapinya, maka hal tersebut dikembalikan kepada perkataan beliau para Ulama Ahlussunnah tersebut, yaitu tidaklah diterima persaksian kaum rafidhah. sebagaimana yang dikatakan Imam Malik:

Ucapan ini juga tidak jelas arah dan tujuannya, kami disini tidak menutupi kebusukan siapapun. Apa yang kami tulis adalah pembahasan yang objektif dan ilmiah tanpa tendensi kearah mazhab tertentu. Bukankah kami dalam tulisan tersebut mengembalikan permasalahannya ke dalam kaidah ilmiah yang diakui dalam kitab Syi’ah yaitu kaidah ilmu Rijal Syi’ah. Bukankah cara berpikir ilmiah untuk membuktikan benar atau tidaknya tuduhan yang dinisbatkan terhadap mazhab tertentu adalah dengan memverifikasinya berdasarkan kaidah yang diakui mazhab tersebut. Kalau dalam hal ini Syi’ah maka tuduhan terhadap Syi’ah harus dinilai kebenarannya berdasarkan kaidah yang diakui di sisi keilmuan Syi’ah.

.

.

Adapun komentar penulis bahwa disisi Ahlus Sunnah bahwa kaum rafidhah adalah pendusta maka itu tidak ada hubungannya disini. Klaim sepihak mazhab yang satu terhadap mazhab yang lain hanya menjadi hujjah bagi mazhab itu sendiri tidak menjadi hujjah bagi mazhab yang dituduh. Ahlus Sunnah boleh saja menuduh Rafidhah pendusta dan sebaliknya Rafidhah boleh saja menuduh Ahlus Sunnah pendusta tetapi dalam diskusi ilmiah tuduhan tersebut tidak bernilai.

Kita Tanya pada pencela atau penulis blog tersebut, apa sebenarnya yang sedang anda bicarakan disini?. Bukankah anda sedang menuduh bahwa Aqidah Syiah meyakini Firaun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar sebagaimana yang nampak dalam judul tulisan anda. Apa bukti tuduhan anda?. Kalau anda katakan riwayat Mufadhdhal yang dikutip ulama Syi’ah tersebut, maka bukankah sangat wajar untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan anda adalah dengan memverifikasi langsung riwayat tersebut dengan kaidah yang diakui di sisi Syi’ah. Itulah yang kami lakukan di atas. Kami menilai bagaimana kedudukan riwayat Syi’ah tersebut di sisi mazhab Syi’ah bukan menilai kedudukan riwayat Syi’ah tersebut di sisi mazhab Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah boleh saja mendustakan semua riwayat dalam kitab Syi’ah termasuk riwayat di atas tetapi kalau bicara soal bagaimana status riwayat Syi’ah tersebut di sisi mazhab Syi’ah maka berdasarkan kaidah ilmu Rijal Syi’ah riwayat tersebut dhaif.

Kalau anda ujung-ujungnya cuma mau menuduh syiah pendusta sehingga menolak semua perkataan Syi’ah ya harusnya dari awal anda gak usah membawa-bawa riwayat Syi’ah. Toh bukankah di sisi anda syi’ah itu pendusta jadi bukti riwayat apapun yang anda kutip dari Syi’ah adalah dusta. Bagaimana mungkin anda menuduh Syiah begini begitu dengan bukti dusta.

.

.

Adapun apa yang dikutip penulis tersebut mengenai pandangan Imam Malik, maka inilah yang dinukil Ibnu Taimiyyah dalam kitab Minhaj As Sunnah

قال أبو حاتم الرازي سمعت يونس بن عبد الأعلى يقول قال أشهب بن عبد العزيز سئل مالك عن الرافضة فقال لا تكلمهم ولا ترو عنهم فإنهم يكذبون

Abu Hatim Ar Raaziy berkata aku mendengar Yunus bin ‘Abdul A’laa mengatakan Asyhab bin ‘Abdul ‘Aziiz berkata aku bertanya kepada Malik tentang Raafidhah maka ia berkata “Jangan berbicara kepada mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka karena mereka sering berdusta” [Minhaj As Sunnah Ibnu Taimiyyah 1/26]

Atsar Imam Malik di atas dijadikan hujjah oleh penulis tersebut dimana ia berkata

Begitulah sikap Ahlussunnah terhadap syi’ah dalam menerima kabar darinya, dan apabila setiap yang menjelaskan kesesatan syi’ah kemudian disebut Wahhabi, maka berapa banyak Ulama-ulama ma’ruf dari kalangan Ahlussunnah telah masuk dalam lingkaran Wahhabi karena mereka telah mengkafirkan syi’ah, dan tentunya kami sangat bangga menjadi seorang Wahhabi.

Keterbatasan ilmu memang sering membuat seseorang berhujjah dengan cara yang konyol. Boleh saja Imam Malik mengatakan agar jangan berbicara dan meriwayatkan dari Rafidhah karena mereka pendusta tetapi jika menisbatkannya secara umum pada Ahlus Sunnah maka hal itu bertentangan dengan fakta. Apa faktanya? Banyak ulama hadis termasuk dalam kutubus sittah juga meriwayatkan hadis dari Rafidhah bahkan ada diantaranya yang dinyatakan tsiqat, seperti

  1. Abbad bin Ya’qub Ar Rawajiniy perawi Bukhariy, Ibnu Majah, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ahmad bin Hanbal
  2. Sulaiman bin Qarm Al Kuufiy perawi Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi
  3. Harun bin Sald Al Ijliy perawi Muslim
  4. Abdul Malik bin A’yun perawi Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah
  5. Hasyim bin Barid Al Kuufiy perawi Abu Dawud dan Nasa’i
  6. Musa bin Qais Al Hadhraamiy perawi Abu Dawud

Dan seperti yang telah kami katakan sebelumnya, tidak ada masalah kalau Ahlus Sunnah berpandangan Syi’ah pendusta karena itu tidak ada hubungan langsung dalam pembahasan riwayat Mufadhdhal di atas. Kita kan bicara bagaimana status riwayat Mufadhdhal itu di sisi Syi’ah bukan di sisi Ahlus Sunnah.

.

.

Tidak hanya tulisan bahkan komentar kami di kolom komentar juga ia buat bantahannya tetapi sayang sekali ia sebenarnya tidak paham apa yang kami katakan dalam kolom komentar tersebut. Bagaimana bisa ia membantah padahal ia tidak memahami apa yang ia bantah?. Ia berkata

Kami juga sempat membaca sebuah komentar yang ditujukan kepada secondprince dalam tulisannya tersebut, dan sungguh tidak kami dapati jawaban yang ilmiah darinya, lihat

Lucu sekali, orang yang tidak paham apa itu ilmiah berlagak bicara “sungguh tidak kami dapai jawaban yang ilmiah”. Ilmiah macam apa yang ia maksud? Jangan-jangan ilmiah dalam pandangan penulis itu adalah waham khayal yang ada dalam pikirannya. Penulis itu mengutip komentar kami dan berlagak bicara begini begitu padahal kualitas akalnya tidak mampu untuk memahami apa yang kami tulis. Istilah kasarnya “otaknya belum nyampe kesana”. Buktinya dapat dilihat dari perkataannya

Nah dari jawaban secondprince,kita lihat bahwa dia mengakui / tidak mengingkari bahwa ada ulama-ulama mereka yang berkata demikian, apa artinya? apa yang dikatakannya ? tentunya kita semua tahu bahwa ulama mereka berkata tentang pencelaanya kepada Sahabat Abu Bakar dan Umar Radhiallahu anhum

Kami tidak mengingkari ada ulama Syi’ah yang mencela Abu Bakar dan Umar. Lagipula dari awal juga pokok masalahnya adalah bukan itu, yang kami bahas dalam tulisan kami adalah tuduhan bahwa Syi’ah beraqidah Firaun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar. Kalau tidak mengerti bedanya maka kami sarankan agar penulis tersebut belajar bahasa dan logika yang baik.

Lalu dia (secondprince) katakan kalau berhujjah yaitu dengan bukti bukan dengan klaim dan pengakuan, apa maksudnya perkataan dia ? Bukankah ulama mereka yang telah mengatakan demikian adalah hujjah atau bukti bahwa aqidah mereka adalah diatas pencelaan kepada Sahabat

Nah ini buktinya kalau kualitas akalnya tidak mampu memahami komentar kami sebelumnya. Komentar kami yang ia kutip tersebut dapat dilihat disini. Bukankah kami dengan jelas menuliskan kata-kata berikut di kolom komentar :

Maka saya katakan wahai pencela yang rendah akalnya. Apakah anda pikir seorang ulama itu pasti benar setiap perkataannya. Kami tidak menafikan ulama Syi’ah yang berkata demikian. Tetapi dalam berhujjah yang menjadi hujjah adalah bukti bukannya klaim atau pengakuan. Siapapun bisa mengatakan bahwa suatu hadis shahih tetapi hujjahny adalah apa bukti bahwa hadis itu shahih, maka begitu pula perkataan ulama di atas, justru perkataannya itu yang harus ditimbang dengan kaidah ilmu [dalam hal ini ilmu hadis Syi'ah], apakah benar ia berpegang pada riwayat shahih saja dan para perawi tsiqat seperti yang ia katakan.

Komentar kami di atas sedang menanggapi bantahan pencela [blog Jaser Leonheart] yang membawakan perkataan Syaikh Ali Yazdiy dalam kitabnya bahwa ia bersandar pada perawi tsiqat atau riwayat shahih. Kami tidak menafikan bahwa Syaikh Ali Yazdiy berkata demikian tetapi yang menjadi hujjah adalah bukti bukan klaim atau pengakuan. Apa benar Syaikh Ali Yazdiy tersebut berpegang pada riwayat shahih dan perawi tsiqat saja, jawabannya ternyata tidak karena faktanya riwayat Mufadhdhal yang ia kutip dhaif jiddan dan para perawinya dhaif. Itulah yang kami katakan yang menjadi hujjah adalah bukti. Perkataan ulama harus ditimbang dengan bukti dan dalil. Dalam hal ini apa yang disebutkan Syaikh Ali Yazdiy dalam kitabnya itu tidak terbukti.

Fenomena ini juga banyak dalam kitab Ahlus Sunnah seperti kami sebutkan sebelumnya Ibnu Abi Hatim dalam tafsir-nya juga mengklaim hal yang sama bahwa ia hanya bersandar pada riwayat shahih tetapi faktanya jika ditimbang dengan kaidah ilmu hadis ahlus sunnah terdapat juga riwayat dhaif. Al Hakim dalam kitab Mustadrak-nya banyak menshahihkan hadis yang jika ditimbang dengan kaidah ilmu hadis ternyata dhaif.

Lucunya setelah membaca komentar kami, penulis itu malah berbicara Bukankah ulama mereka yang telah mengatakan demikian adalah hujjah atau bukti bahwa aqidah mereka adalah diatas pencelaan kepada Sahabat. Lain yang kami katakan, lain pula yang dia sambung

.

.

Dan dalam jalan pikirannya yang tidak nyambung itu juga nampak sekali rusaknya. Apa yang akan ia katakan dengan berbagai riwayat shahih yang kami kutip sebelumnya dimana salafus shalih mencela para sahabat [seperti Aisyah, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Urwah bin Zubair dan lainnya]. Sesuai dengan jalan pikirannya maka semua itu adalah hujjah atau bukti bahwa aqidah ahlus sunnah di atas pencelaan kepada sahabat. Inilah konsekuensi dari caranya berpikir dan berhujjah. Menggelikan, sok berhujjah tapi hanya menunjukkan kekacauan berpikir saja

Kalaupun kemudian mereka mengadakan pembelaan kepada Ulamanya dengan menyebutkan kedhaifan riwayat tersebut, maka itu justru memperkuat lagi bukti bahwa ulama-ulama mereka berdiri diatas dalil-dalil lemah dan palsu dalam mencela Sahabat, dan itu tidak membersihkan nama sang penhujat Sahabat tersebut.

Tidak ada yang perlu dibersihkan, siapapun yang menghujat tanpa dalil atau dengan dalil lemah dan palsu adalah keliru. Kami tidak sedang menjadi pengacara Syi’ah yang membela membabi buta terhadap ulama Syi’ah. Kami sedang berhujjah dengan objektif dan menunjukkan bahwa anda para penuduh tidak memiliki akal yang cukup dalam berhujjah. Mana buktinya Syi’ah beraqidah bahwa Firaun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar?. Apa seenaknya anda mau berkata lha itu ulama syi’ah seperti Syaikh Ali Al Yazdiy dan Al Majlisi mengatakannya?. Lho duduk persoalannya kan  mereka sedang membawakan riwayat Mufadhdhal bukan membawakan perkataan mereka sendiri maka riwayat itulah yang harus dibahas kedudukannya. Bagaimana kedudukannya di sisi Syi’ah?. Jawabannya dhaif jiddan. Maka tuduhan Syi’ah beraqidah Fir’aun adalah Abu Bakar dan Haman adalah Umar merupakan tuduhan dusta.

Menyamakan atau menganalogikan ta’biyah busuk ulama-ulama mereka yang gemat berdalil dengan riwayat-riwayat dhaif dan palsu dengan Ulama-ulama Ahlussunnah yang kebetulan mengutif riwayat dhaif dalam kitab beliau adalah semakin menambah lucu argumentasi mereka.

Justru yang lucu adalah komentarnya. Dengan satu riwayat di atas ia menuduh ulama-ulama Syi’ah sebagai gemar berdalil dengan riwayat dhaif dan palsu. Terlepas benar tidak tuduhannya, yang jelas satu riwayat di atas tidak menjadi bukti untuk menyatakan ulama-ulama syiah gemar berdalil dengan riwayat dhaif dan palsu. Dan yang lebih lucu perkataan “ulama ahlus sunnah yang kebetulan mengutip riwayat dhaif”. Apa maksudnya dengan kebetulan?. Apa ulama-ulama ahlus sunnah itu seperti penulis tersebut yang mengidap waham khayal sering bicara ngelantur dan ketika menulis hadis atau riwayat mereka kebetulan mengutip riwayat dhaif.

Kami melihat perkara ini dengan objektif. Riwayat Mufadhdhal di atas membuktikan bahwa seorang ulama Syi’ah [dalam kasus di atas adalah Syaikh Ali Yazdiy] terkadang keliru dalam penilaiannya terhadap riwayat atau terkadang tidak konsisten dengan metode yang ia terapkan dalam kitabnya. Dan perkara ini banyak terjadi pada para ulama termasuk ulama Ahlus Sunnah seperti yang kami contohkan di atas Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim.

Tidak hanya itu, bahkan berhujjah dengan riwayat dhaif sering dilakukan oleh sebagian ulama Ahlus Sunnah dan juga Syi’ah. Jadi kalau hal ini dikatakan busuk maka busuklah ulama-ulama tersebut. Mengapa ada pencela yang sok mencela Syi’ah dalam hal ini padahal perkara yang sama juga dilakukan Ahlus Sunnah. Kami pribadi tidak akan menyibukkan diri dengan tuduh menuduh, oleh karena itu kami lebih fokus pada perkara yang objektif yaitu perkataan ulama baik ahlus sunnah dan syi’ah harus ditimbang dengan kaidah ilmu yang diakui pada masing-masing mazhab. Apa susahnya memahami itu?. Kecuali jika memang penulis tersebut hakikatnya seperti yang kami katakan “otaknya belum nyampe kesana”.

Apakah bisa disamakan antara Ulama-ulama Ahlussunnah yang dalam tulisannya mungkin terdapat dalil dhaif untuk mendalili sebuah amalan, dengan tokoh-tokoh syi’ah yang MENCELA SAHABAT dengan dalil dhaif, sekali lagi…..MENCELA SAHABAT NABI dengan dalil dhaif

Bisa dong disamakan bahkan hakikatnya memang sama, baik ulama ahlus sunnah dan syi’ah yang berhujjah dengan dalil dhaif ya keliru. Soal perkara mencela sahabat maka kami katakan tidak perlu jauh-jauh mengurusi Syi’ah silakan urusi sebagian salafus shalih yang terbukti telah mencela sahabat dan dalilnya shahih di sisi Ahlus Sunnah.

Apakah sama pula antara seorang yang salah dalam mengamalan suatu amalan karena dalil yang dipakainya ternyata dhaif, dengan yang MENCELA SAHABAT yang ternyata kemudian salah menggunakan dalil, karena riwayat yang ia bawakan adalah dhaif

Ya sama-sama salah. Bagi kami, dalil yang dhaif tidaklah menjadi hujjah terserah apakah itu mau dipakai sebagai amalan, keyakinan, mencela sahabat atau yang lainnya. Kalau menurut anda wahai penulis itu berbeda ya silakan, persepsi anda tidak menjadi hujjah buat kami.

.

.

apakah berlaku qaidah pula wahai kaum rafidhah, orang-orang yang mencela Nabi yang dikemudian oleh para penerusnya diketahui bahwa dasar pijakan yang ia pakai adalah salah dan lemah, kemudian dimaafkan dalam syari’at. Maka kaum syi’ah adalah yang paling besar kedustaannya, dan makarnya kepada kaum Muslimin.

Wah ngelanturnya malah semakin jauh, kami lihat anda wahai penulis memang tendensius dalam membantah. Anda terlalu yakin atau bernafsu meyakini bahwa kami adalah syi’ah rafidhah, bahwa kami sedang mati-matian membela ulama syi’ah. Faktanya itu hanya ada dalam waham khayal anda sendiri sehingga ocehan anda melantur kemana-mana. Di sisi kami, siapapun yang mencela Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jelas berdosa dan siapapun yang mencela sahabat Nabi tanpa dalil juga berdosa. Apa pernah kami membenarkan jika ada penganut Syi’ah mencela Abu Bakar dan Umar?. Tidak pernah bahkan kami berlepas diri dari mereka. Perkara anda mau mengatakan Syi’ah paling besar kedustaannya dan makarnya kepada kaum muslimin ya silakan saja, itu kan perkataan atau persepsi anda, benar dalam pandangan anda dan belum tentu benar dalam pandangan orang lain.

Kami katakan bahwa persaksian kalian untuk menutupi kebusukan syi’ah sama sekali tidak berarti apa-apa, bagi Ahlussunnah kecuali satu saja yaitu semakin kuatnya keyakinan kami terhadap agama kalian

Kami tidak peduli dengan ocehan anda soal kebusukan Syi’ah. Bagi kami yang namanya “busuk” akan ada saja diantara penganut mazhab dan agama tertentu. Dan saran kami tidak perlu sok mengatasnamakan Ahlus Sunnah apalagi dalam mencela Syi’ah. Sebelum anda beringasan menuduh Syi’ah mencela sahabat lebih baik anda palingkan mata anda pada sebagian Ahlus Sunnah yang mencela sahabat. Yah daripada anda malu di rumah orang lain lebih baik anda kejang-kejang di rumah sendiri.

.

.

Note : Tulisan ini adalah tanggapan terhadap blog aneh yang sepertinya bertujuan membantah kami tetapi yang nampak justru membuat fitnah terhadap kami. Perkataan pemilik blog tersebut adalah yang kami “blockquote” dalam tulisan di atas.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Qunut Shubuh Termasuk Sunnah Ahlul Bait?

$
0
0

Qunut Shubuh Termasuk Sunnah Ahlul Bait?

Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Imam Ali [radiallahu ‘anhu] pernah melakukan Qunut nazilah yaitu ketika berperang dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Lantas bagaimanakah dengan Qunut Shubuh?. Terdapat dalil yang menunjukkan kalau Imam Aliy juga melakukan Qunut Shubuh

وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ حَمْشَاذَ الْعَدْلُ حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ الأَسْفَاطِىُّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ الْعَبْدِىُّ حَدَّثَنَا الْعَلاَءُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنِى بُرَيْدُ بْنُ أَبِى مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو الْحَوْرَاءِ قَالَ : سَأَلْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ مَا عَقِلْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-؟ فَقَالَ : عَلَّمَنِى دَعَوَاتٍ أَقُولُهُنَّ :« اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ». أُرَاهُ قَالَ :« إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ ». قَالَ : فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِمُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ فَقَالَ : إِنَّهُ الدُّعَاءُ الَّذِى كَانَ أَبِى يَدْعُو بِهِ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ فِى قُنُوتِهِ. قَالَ الشَّيْخُ : بُرَيْدٌ يَقُولُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِمُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ

Dan telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Al Haafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Aliy bin Hamsyaadz Al ‘Adlu yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Abbas bin Fadhl Al Asfaathiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Alaa’ bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Buraid bin Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Hawraa’ yang berkata aku bertanya kepada Hasan bin Aliy “apa yang paling engkau ingat dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Ia berkata “Beliau mengajariku doa yang aku baca Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau menunjuki orang yang mendapat petunjuk-Mu. Jagalah aku sebagaimana Engkau menjaga orang yang mendapat penjagaan-Mu.Peliharalah aku sebagaimana orang yang mendapat pemeliharaan-Mu. Berkahilah apa yang Engkau berikan kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan. Karena sesungguhnya Engkau-lah yang menetapkannya dan tidak lah Engkau dikenai ketetapan itu. Sesungguhnya tidak akan terhina orang yang Engkau cintai. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, wahai Rabb kami”. [Buraid] berkata maka aku menyebutkan hal itu kepada Muhammad Ibnu Al Hanafiyyah, maka ia berkata bahwasanya itu adalah doa dimana Ayahku sering berdoa dengannya dalam shalat shubuh dalam Qunutnya. Syaikh berkata “Buraid yang mengatakan aku menyebutkan hal itu kepada Muhammad Ibnu Al Hanafiyyah” [Sunan Al Kubra Baihaqiy no 3264]

Doa yang disebutkan Hasan bin Aliy [radiallahu ‘anhu] tersebut adalah doa yang diajarkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadanya dalam Qunut witir [Hal ini sebagaimana nampak dalam riwayat yang sama dengan lafaz berikut

حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثني عمرو بن محمد الناقد ثنا أبو أحمد الزبيري ثنا العلاء بن صالح عن بريد بن أبي مريم عن أبي الحوراء عن الحسن بن علي رضي الله عنهما قال علمني رسول الله أن أقول في قنوت الوتر فذكر نحو حديث شعبة

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Muhammad An Naaqd yang berkata telah menceirtakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubairiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Alaa’ bin Shaalih dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Hawraa’ dari Hasan bin Aliy radiallahu ‘anhum yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengajarkan kepadaku kalimat dalam Qunut witir, maka ia menyebutkan seperti hadis Syu’bah [Ad Du’aa’ Ath Thabraniy no 748]

 

Hanya saja dalam riwayat Baihaqiy terdapat tambahan ilmu dimana Buraid menyebutkan hadis tersebut kepada Muhammad bin Aliy Al Hanafiyyah kemudian Muhammad bin Aliy menjawab bahwa Ayahnya Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] sering membaca doa tersebut dalam Qunut shalat shubuh. Hadis riwayat Baihaqiy tersebut sanadnya jayyid, berikut analisis para perawinya

  1. Abu ‘Abdullah Al Hafizh adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al Hakim Adh Dhaabiy. Al Khatib menyebutkan bahwa ia adalah penduduk Naisabur seorang yang alim memiliki keutamaan dan hafizh, Al Khatib menyatakan ia tsiqat [Tarikh Baghdad 3/93-94 no 1096]
  2. Aliy bin Hamsyaadz, Abu Hasan An Naisaburiy, Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia seorang hafizh yang tsiqat imam syaikh Naisabur [As Siyaar Adz Dzahabiy 15/399]
  3. Abbas bin Fadhl Al Asfaathiy, Daruquthniy menyatakan bahwa ia shaduq [Su’alat Al Hakim no 143]. Ash Shafadiy berkata tentangnya “shaduq hasanul hadis” [Al Wafiy Ash Shafadiy 5/343]
  4. Ahmad bin Yunus bin Musayyab Adh Dhabiy, Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa kedudukannya di sisi kami shaduq [Tarikh Baghdad 5/223 no 2699]. Ibnu ‘Imaad Al Hanbaliy menyatakan tsiqat [Syadzratu Adz Dzahab Ibnu ‘Imaad Al Hanbaliy 2/153]
  5. Muhammad bin Bisyr Al ‘Abdiy, Yahya bin Ma’in menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Nasa’i dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar 9/64 no 90]
  6. Al ‘Alaa’ bin Shalih At Taimiy, Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 6/356-357 no 1971]. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1279], Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/268]. Yaqub bin Sufyan berkata “tsiqat” [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 3/132].
  7. Buraid bin Abi Maryam Malik bin Rabi’ah As Saluuliy Al Bashriy, Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih”. Daruquthniy berkata “atas syarat shahih” [At Tahdzib Ibnu Hajar 1/378 no 796]
  8. Abul Hawraa’ adalah Rabi’ah bin Syaiban As Sa’diy. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijliy berkata “tabi’in kufah tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 3/221 no 487]
  9. Muhammad Ibnu Al Hanafiyyah adalah Muhammad bin Aliy bin Abi Thalib. Al Ijliy berkata tentangnya “seorang yang shalih tabiin tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat Al Ijliy no 1631].

Maka dari Riwayat Baihaqiy tersebut dapat dikatakan bahwa telah tsabit dari Hasan bin Aliy [‘alaihis salaam] dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bacaan doa tersebut dalam Qunut witir dan telah tsabit dari Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] bacaan doa tersebut dalam Qunut Shubuh.

.

.

.

Terdapat riwayat yang seolah-olah bertentangan dengan riwayat diatas dimana riwayat tersebut menegaskan bahwa Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] tidak melakukan Qunut dalam shalat Shubuh.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ أَبِى مَالِكٍ الأَشْجَعِىِّ قَالَ قُلْتُ لأَبِى يَا أَبَةِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ هَا هُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ قَالَ أَىْ بُنَىَّ مُحْدَثٌ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haruun dari Abi Malik Al ‘Asyja’iy yang berkata aku berkata kepada Ayahku “wahai Ayahku sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aliy bin Abi Thalib di sini di Kufah selama lebih kurang lima tahun, apakah mereka semua melakukan Qunut?. Ia berkata “wahai anakku itu adalah perkara baru yang diada-adakan”. Abu ‘Iisa berkata “hadis ini hasan shahih” [Sunan Tirmidzi no 404]

Secara zhahir nampak riwayat ini bertentangan dengan riwayat Baihaqiy di atas.Tetapi pada hakikatnya tidak, karena Thariq bin Asyyam hanya menyatakan apa yang ia saksikan tetapi kesaksiannya tidak menafikan kesaksian orang lain. Thariq bin Asyyam tidak selalu shalat di belakang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aliy. Apalagi dalam riwayat di atas disebutkan bahwa Thariq shalat di belakang mereka selama lebih kurang lima tahun dan ma’ruf diketahui bahwa masa pemerintahan Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] dan keempat khalifah jauh lebih lama dari itu. Ada dua bukti yang menjadi qarinah bahwa Thariq tidak selalu shalat di belakang mereka yaitu

  1. Telah tsabit dari Aliy bahwa Beliau terkadang melakukan Qunut Shubuh dan ini tidak disaksikan oleh Thariq bin Asyyam
  2. Telah tsabit dari Umar bahwa Beliau juga terkadang melakukan Qunut Shubuh dan ketika itu Thariq bin Asyyam tidak shalat di belakangnya

.

.

Adapun bukti riwayat dari Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] salah satunya kesaksian Muhammad bin Ali Al Hanafiyyah di atas sedangkan bukti riwayat dari Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] adalah sebagai berikut

حدثنا وكيع قال حدثنا مسعر عن عبد الملك بن ميسرة عن زيد بن وهب قال ربما قنت عمر في صلاة الفجر

Telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Mis’ar dari ‘Abdul Malik bin Maisarah dari Zaid bin Wahb yang berkata Umar terkadang melakukan Qunut dalam shalat shubuh [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/104 no 7006]

Riwayat Zaid bin Wahb sanadnya shahih hingga Umar. Waki’ bin Jarrah adalah seorang tsiqat hafizh ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/283-284]. Mis’ar bin Kidaam seorang yang tsiqat tsabit memiliki keutamaan [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/176]. ‘Abdul Malik bin Maisarah Al Hilaaliy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/621]. Zaid bin Wahb Al Juhaniy adalah seorang mukhadhramun yang tsiqat jaliil [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/225].

حدثنا أبو بكر قال حدثنا وكيع بن الجراح قال حدثنا سفيان عن مخارق عن طارق بن شهاب أنه صلى خلف عمر بن الخطاب الفجر فلما فرغ من القراءة كبر ثم قنت ثم كبر ثم ركع

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ bin Jarrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari Mukhaariq dari Thaariq bin Syihaab bahwasanya ia shalat shubuh di belakang Umar bin Khaththab maka ketika Umar selesai membaca surat ia bertakbir kemudian membaca Qunut, kemudian takbir kemudian ruku’ [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/107 no 7033]

Riwayat ini sanadnya shahih hingga Umar bin Khaththab. Sufyaan Ats Tsawriy adalah seorang tsiqat faqih ahli ibadah imam hujjah [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/371]. Mukhariq bin Khaliifah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/165]. Thariq bin Syihaab Al Ahmasiy ia seorang yang pernah melihat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi tidak mendengar hadis darinya [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/447]

وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِى عَمْرٍو قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا أَسِيدُ بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ أَبِى عُثْمَانَ النَّهْدِىُّ قَالَ : صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ سِتَّ سِنِينَ فَكَانَ يَقْنُتُ.  وَرَوَاهُ سُلَيْمَانُ التَّيْمِىُّ عَنْ أَبِى عُثْمَانَ : أَنَّ عُمَرَ قَنَتَ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ

Dan sungguh telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Al Haafizh dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Asiid bin ‘Aashiim yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Aamir yang berkata telah menceritakan kepada kami Auf dari Abu ‘Utsman An Nahdiy yang berkata aku shalat di belakang Umar [radiallahu ‘anhu] selama enam tahun dan ia membaca Qunut”. Dan riwayatnya Sulaiman At Taimiy dari Abu Utsman bahwa Umar membaca Qunut dalam shalat Shubuh [Sunan Al Kubra Baihaqiy no 3240]

Riwayat Baihaqiy di atas sanadnya shahih hingga Umar, para perawinya tsiqat, berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abu ‘Abdullah Al Hafizh adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al Hakim Adh Dhaabiy. Al Khatib menyebutkan bahwa ia adalah penduduk Naisabur seorang yang alim memiliki keutamaan dan hafizh, Al Khatib menyatakan ia tsiqat [Tarikh Baghdad 3/93-94 no 1096]
  2. Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru adalah Muhammad bin Musa bin Fadhl bin Syadzaan seorang Syaikh tsiqat ma’mun [As Siyaar Adz Dzahabi 17/350]
  3. Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub Al Asham adalah seorang Imam Muhaddis Musnad, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah menyatakan ia tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 15/453-458]
  4. Asiid bin ‘Aashim Ats Tsaqafiy seorang hafizh muhaddis imam, Ibnu Abi Hatim menyatakan ia tsiqat [As Siyaar Adz Dzahabiy 12/379]
  5. Sa’id bin ‘Aamir Al Bashriy, Yahya bin Ma’in berkata tentangnya “tsiqat ma’mun”. Ahmad bin Hanbal berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama darinya” [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/385]
  6. Auf bin Abi Jamiilah, Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat shalih al hadits” Yahya bin Ma’in berkata tsiqat. Abu Hatim berkata shaduq shalih. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 8/148 no 302]
  7. Abu Utsman An Nahdiy. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 6/249-250 no 549]

نَا عُقْبَةُ ، أَخْبَرَنِي الأَوْزَاعِيُّ ، عَنْ عَبَدَةَ ، حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى ، عَنْ أَبِيه ، أَنَّهُ ” قَنَتَ خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي صَلاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الْقِرَاءَةِ قَبْلَ الرُّكُوعِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Uqbah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Al Awza’iy dari ‘Abdah yang berkata telah menceritakan kepadaku Sa’id bin ‘Abdurrahman bin Abzaa dari Ayahnya bahwasanya ia membaca Qunut di belakang Umar bin Khaththab pada shalat shubuh setelah membaca surat sebelum ruku’[Atsaniy Min Hadits Abi ‘Abbaas Al ‘Asham no 69]

Riwayat ini sanadnya jayyid hingga Umar.‘Uqbah bin ‘Alqamah Al Ma’aafiriy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/395]. Al Awza’iy Abdurrahman bin ‘Amru seorang yang tsiqat jaliil [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/347]. ‘Abdah bin Abi Lubabah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/369]. Sa’id bin ‘Abdurrahman bin ‘Abzaa seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/238]. ‘Abdurrahman bin ‘Abzaa termasuk seorang sahabat Nabi [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/336].

Kesaksian Zaid bin Wahb, Thariq bin Syihaab, Abu Utsman An Nahdiy dan ‘Abdurrahman bin ‘Abzaa bahwa Umar bin Khaththaab membaca Qunut dalam shalat shubuh menggugurkan apa yang dikatakan Thariq bin Asyyam karena ia hanya menyaksikan sebagian shalat shubuh Umar bin Khaththab yang tidak membaca Qunut dan sebagian yang lain telah menetapkan bahwa Umar terkadang membaca Qunut dalam shalah shubuh. Maka dari itu hadis Thariq bin Asyyam tidak bisa dijadikan hujjah menentang riwayat Baihaqiy sebelumnya yang menetapkan bahwa Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] membaca Qunut dalam shalat shubuh.

.

.Selain Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dan Umar bin Khaththaab [radiallahu ‘anhu], Abdullah bin ‘Abbas [radiallahu ‘anhu] diriwayatkan juga membaca Qunut dalam Shalat Shubuh

عبد الرزاق عن جعفر عن عوف قال حدثني أبو رجاء العطاردي قال صلى بنا بن عباس صلاة الغداة في إمارته على البصرة فقنت قبل الركوع

‘Abdurrazaaq dari Ja’far dari ‘Auf yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Rajaa’ Al ‘Uthaaridiy yang berkata kami shalat di belakang Ibnu ‘Abbaas shalat shubuh pada masa kepemimpinannya di Bashrah maka ia membaca Qunut sebelum ruku’ [Al Mushannaf ‘Abdurrazaaq no 4973]

Riwayat di atas sanadnya shahih hingga Abdullah bin ‘Abbaas. Ja’far adalah Ja’far bin Sulaiman Adh Dhabiy adalah perawi yang shaduq zuhud dan tasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/163]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 792]. ‘Auf bin Abi Jamilah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/759].Abu Raja’ Al Uthaaridiy adalah ‘Imraan bin Milhaan perawi kutubus sittah yang tsiqat, seorang mukhadharamun. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 1/753].

.

.

Mungkin akan ada sekelompok pengingkar yang mengatakan bahwa Qunut yang dilakukan Aliy bin Abi Thalib, Umar dan Ibnu ‘Abbas di atas adalah Qunut nazilah pada saat shalat shubuh. Pernyataan ini tertolak dengan alasan sebagai berikut

  1. Riwayat Baihaqiy di atas mengenai Qunut Shubuh Imam Aliy bukanlah qunut nazilah karena lafaz doa yang diucapkan pada qunut tersebut bukan mendoakan keselamatan atau keburukan suatu kaum yang masyhur dalam lafaz qunut nazilah.
  2. Zhahir lafaz atsar atau riwayat di atas tidak ada yang menyebutkan qunut nazilah tetapi hanya menyebutkan qunut pada shalat shubuh. Jika lafaz “qunut shubuh” seenaknya diartikan qunut nazilah maka hadis riwayat Thariq bin Asyyam juga bisa diartikan sebagai qunut nazilah sehingga jadilah status hadis Thariq bin Asyyam mungkar karena terdapat dalil shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah membaca qunut nazilah selama satu bulan.

Mengenai riwayat Ibnu ‘Abbas maka terdapat qarinah yang menguatkan bahwa qunut yang ia baca tersebut bukan qunut nazilah melainkan qunut shubuh. Abdullah bin ‘Abbas telah meriwayatkan hadis berikut mengenai qunut nazilah

حدثنا عبد الله بن معاوية الجمحي حدثنا ثابت بن يزيد عن هلال بن خباب عن عكرمة عن ابن عباس قال قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم شهرا متتابعا في الظهر والعصر والمغرب والعشاء وصلاة الصبح في دبر كل صلاة إذا قال سمع الله لمن حمده من الركعة الآخرة يدعو على أحياء من بني سليم على رعل وذكوان وعصية ويؤمن من خلفه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Mu’aawiyyah Al Jumahiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Tsaabit bin Yaziiddari Hilaal bin Khabbaabdari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata “Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] melakukan qunut selama sebulan penuh pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isyaa’, dan Shubuh pada akhir setiap shalat, yaitu saat beliau berkata ‘sami’allaahu liman hamidah’ di raka’at terakhir. Beliau mendoakan kejelekan pada orang-orang Bani Sulaim, Bani Ri’l, Bani Dzakwaan, dan Bani ‘Ushayyah.Dan diaminkan orang-orang yang di belakang beliau [Sunan Abu Daawud no. 1443, Syaikh Al Albaniy berkata “hasan”].

Nampak bahwa Ibnu ‘Abbas menyaksikan bahwa qunut nazilah yang dilakukan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dilakukan setelah Ruku’ maka jika memang Ibnu Abbas akan melakukan qunut nazilah, Beliau pasti akan mengikuti tuntunan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut yaitu qunut sesudah ruku’. Riwayat ‘Abdurrazaq di atas justru menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas membaca qunut shubuh tersebut sebelum ruku’ maka disini terdapat qarinah yang menguatkan bahwa qunut tersebut bukan qunut nazilah.

.

.

Akhir kata Qunut Shubuh telah dilakukan oleh sebagian sahabat dan Ahlul Bait yaitu Umar, Ibnu ‘Abbas dan Aliy bin Abi Thalib maka sungguh tidak layak jika qunut shubuh dinyatakan bid’ah. Adapun perkataan Thariq bin Asyyam bahwa itu adalah bid’ah tidak bisa dijadikan hujjah karena dasar ia mengatakan bid’ah karena ia tidak menyaksikan bahwa itu pernah dilakukan padahal telah terbukti dalam riwayat-riwayat shahih di atas bahwa Aliy bin Abi Thalib dan Umar pernah melakukannya.

Dalam riwayat-riwayat di atas tidak disebutkan keterangan mengenai pelaziman terus-menerus qunut shubuh bahkan dengan mengumpulkan semua riwayat termasuk riwayat Thariq bin Asyyam di atas akan didapat kesimpulan bahwa terkadang qunut shubuh tersebut dilakukan dan terkadang tidak dilakukan tetapi bukankah melakukan perkara yang sunah secara terus-menerus adalah perkara yang dibolehkan. Hal ini sama saja dengan shalat tarawih berjama’ah di masjid, tidak ada dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Beliau melakukannya sebulan penuh tetapi menjadikannya sebulan penuh termasuk perkara yang dibolehkan oleh sebagian sahabat di masa Umar.


Filed under: Fiqh, Kritik Salafy
Viewing all 147 articles
Browse latest View live