Quantcast
Channel: Analisis Pencari Kebenaran
Viewing all 147 articles
Browse latest View live

Takhrij Hadis Haram Al Kuubah : Hadis Yang Dijadikan Hujjah Mengharamkan Musik

$
0
0

Takhrij Hadis Haram Al Kuubah : Hadis Yang Dijadikan Hujjah Mengharamkan Musik

Pada awal mula berdirinya blog ini, kami pernah menuliskan kajian singkat mengenai hukum Musik termasuk hadis-hadis yang dijadikan hujjah untuk mengharamkan Musik. Diantara hadis-hadis tersebut terdapat hadis yang matannya menyebutkan tentang pengharaman Al Kuubah. Dan Al Kuubah ini dinyatakan oleh sebagian ulama sebagai salah satu alat musik tabuh seperti gendang.

Tulisan ini akan mengkaji lebih dalam mengenai hadis Al Kuubah dan pendapat yang rajih [di sisi penulis] berdasarkan kaidah ilmiah mengenai makna hadis tersebut.

.

.

.

Hadis ‘Abdullah bin ‘Abbaas

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا أبو أحمد ثنا سفيان عن على بن بذيمة حدثني قيس بن حبتر قال سألت بن عباس عن الجر الأبيض والجر الأخضر والجر الأحمر فقال ان أول من سأل النبي صلى الله عليه و سلم وفد عبد القيس فقالوا انا نصيب من الثفل فأي الاسقية فقال لا تشربوا في الدباء والمزفت والنقير والحنتم واشربوا في الاسقية ثم قال ان الله حرم على أو حرم الخمر والميسر والكوبة وكل مسكر حرام قال سفيان قلت لعلي بن بذيمة ما الكوبة قال الطبل

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari Aliy bin Badziimah yang berkata telah menceritakan kepadaku Qais bin Habtar yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang Al Jarr [wadah air minum dari tembikar] putih, Al Jarr hijau dan Al Jarr merah. Maka Beliau berkata “sesungguhnya yang pertama kali bertanya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang hal itu adalah delegasi [utusan] ‘Abdul Qais, mereka berkata “sesungguhnya kami memperoleh peralatan, maka tempat-tempat air mana [yang boleh digunakan]?. Beliau berkata “Janganlah kalian minum dari Ad Dubaa’, Al Muzaffat, An Naqiir dan Al Hantam, tetapi minumlah dari tempat-tempat air, kemudian Beliau berkata “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasku atau telah mengharamkan khamr, judi, Al Kuubah dan setiap yang memabukkan adalah haram. Sufyaan berkata aku bertanya kepada Aliy bin Badziimah, apakah Al Kuubah itu?. Ia berkata “gendang”. [Musnad Ahmad bin Hanbal 1/274 no 2476, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan hadis di atas dalam kitabnya Al Asyribah hal 79 no 193, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/356 no 3696, Abu Ya’la dalam Musnad-nya 5/114 no 2729, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 12/187 no 5365, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20780, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 41/273-274 semuanya dengan jalan sanad Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari Ibnu ‘Abbas dengan matan yang menyebutkan lafaz haram Al Kuubah. Adapun Ath Thahawiy juga menyebutkan hadis ini dalam kitabnya Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/223 no 6487 dengan sanad yang sama tetapi tanpa menyebutkan lafaz haram Al Kuubah.

Abu Ahmad Az Zubairiy dalam periwayatan dari Sufyaan memiliki mutaba’ah dari Qabiishah bin ‘Uqbah sebagaimana yang disebutkan Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy dalam Al Arba’iin hal 99 no 39 dan Ibnu Muqriy dalam Mu’jam-nya hal 375 no 1257.

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ بَذِيمَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ حَبْتَرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ يَعْنِي الطَّبْلَ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan Ats Tsawriy dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari ‘Ibnu ‘Abbaas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al Kuubah yaitu gendang dan semua yang memabukkan adalah haram. [Al Arba’iin Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy hal 99 no 39]

Sedikit catatan mengenai hadis Qabiishah di atas yaitu lafaz “ya’niy Ath Thabl” setelah lafaz Al Kuubah bukanlah bagian dari lafaz hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi ia adalah perkataan Ali bin Badziimah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan. Jadi telah terjadi idraaj dalam matan hadisnya.

Al Bazzaar meriwayatkan hadis Qabiishah dari Sufyaan dengan sanad dan matan berikut

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَارَةَ بْنِ صُبَيْحٍ ثنا قَبِيصَةُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ عَنْ قَيْسِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ حَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ يَعْنِي الطَّبْلَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Umarah bin Shubaih yang berkata telah menceritakan kepada kami Qabiishah dari Sufyaan dari ‘Abdul Kariim dari Qais bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwasanya Beliau mengharamkan bangkai, judi, Al Kuubah yaitu gendang dan Ibnu ‘Abbas berkata “segala yang memabukkan adalah haram” [Kasyf Al Asytaar 3/349 no 2913]

Hadis riwayat Al Bazzar ini tidak mahfuuzh karena Muhammad bin ‘Umarah bin Shubaih telah menyelisihi Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy dalam riwayat dari Sufyaan. Muhammad bin ‘Umaarah bin Shubaih disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 9/112 no 15474] telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat seperti Ahmad bin ‘Amru Al Bazzaar, Abdullah bin Muhammad bin Naajiyah, Ibnu Abi Dunyaa dan yang lainnya [Mu’jam Syuyuukh Ath Thabariy no 302]. Maka ia seorang yang shaduq hasanul hadis hanya saja ia telah menyelisihi Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy seorang yang dikatakan Abu Hatim tsiqat dan Abu Zur’ah berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/201 no 1129]. Maka riwayat Qabiishah yang tsabit adalah dari Sufyaan dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari Ibnu ‘Abbas.

Sufyaan Ats Tsawriy dalam periwayatan dari Aliy bin Badziimah memiliki mutaba’ah dari

  1. Israiil bin Yunuus sebagaimana disebutkan oleh Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabiir 12/101 no 12598 dan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 8/303 no 17208 dengan matan yang menyebutkan idraaj lafaz Ath Thabl setelah lafaz Al Kuubah.
  2. Qais bin Rabii’ sebagaimana disebutkan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabiir 12/102 no 12599 dengan sanad dari Muhammad bin ‘Abdullah Al Hadhramiy dari Abu Bilal Al Asy’ariy dari Qais bin Rabii’. Hanya saja sanad ini tidak tsabit sebagai mutaba’ah karena Abu Bilal Al Asy’ariy seorang yang dhaif sebagaimana dikatakan Ad Daruquthniy [Sunan Daruquthniy 1/220 no 71]
  3. Muusa bin A’yaan sebagaimana disebutkan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 12/102 no 12600 dengan jalan sanad Muusa bin A’yaan dari Aliy bin Badziimah dari Sa’iid bin Jubair dari Qais bin Habtar dari Ibnu ‘Abbas dengan matan hanya berupa lafaz “semua yang memabukkan adalah haram” tanpa menyebutkan Al Kuubah.

Sanad yang mahfuzh adalah riwayat Sufyaan dan Isra’iil dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari Ibnu ‘Abbaas [tanpa menyebutkan Sa’iid bin Jubair]. Adapun periwayatan Muusa bin A’yaan yang menambahkan Sa’iid bin Jubair antara Aliy bin Badziimah dan Qais bin Habtar mengandung illat [cacat] sebagaimana disebutkan Al Mizziy dalam Tuhfatul Asyraf 4/657-658 no 6333. Al Mizziy membawakan riwayat yang menjadi bukti idhthirab Muusa bin A’yaan dan menukil dari Al Khatib yang mengatakan kalau Muusa bin A’yaan telah tercampur dalam hadis ini dan yang shahih adalah apa yang diriwayatkan Sufyaan dari Aliy bin Badziimah.

Aliy bin Badziimah dalam periwayatan dari Qais bin Habtar memiliki mutaba’ah dari ‘Abdul Kariim bin Maliik Al Jazariy seperti nampak dalam riwayat berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبى قال ثنا أحمد بن عبد الملك وعبد الجبار بن محمد قالا ثنا عبيد الله يعنى بن عمرو عن عبد الكريم عن قيس بن حبتر عن بن عباس عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ان الله حرم عليكم الخمر والميسر والكوبة وقال كل مسكر حرام

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul Malik dan ‘Abdul Jabbaar bin Muhammad, keduanya berkata telah mencritakan kepada kami Ubaidillah yakni bin ‘Amru dari ‘Abdul Kariim dari Qais bin Habtar dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamar, judi, Al Kuubah dan semua yang memabukkan adalah haram [Musnad Ahmad bin Hanbal 1/289 no 2625, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

Ahmad bin ‘Abdul Malik dan ‘Abdul Jabbaar bin Muhammad dalam periwayatan dari Ubaidillah bin ‘Amru memiliki mutaba’ah dari

  1. Zakaria bin ‘Adiy sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 1/350 no 3274 dan dalam kitabnya Al Asyribah hal 35 no 14
  2. ‘Aliy bin Ma’bad sebagaimana disebutkan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/216 no 6445
  3. Jandal bin Waaliq sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/213 no 20732
  4. Yahya bin Yuusuf Az Zammiy sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20779 dan Kitabnya Al Adaab hal 423 no 923

Yahya bin Yuusuf Az Zammiy meriwayatkan dari Ubaidillah bin ‘Amru hadis tersebut dengan lafaz berikut

أخبرنا أبو الحسين بن بشران أنبأ الحسين بن صفوان ثنا عبد الله بن محمد بن أبي الدنيا ثنا يحيى بن يوسف الزمي ثنا عبيد الله بن عمرو عن عبد الكريم هو الجزري عن قيس بن حبتر عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال إن الله تبارك وتعالى حرم عليكم الخمر والميسر والكوبة وهو الطبل وقال كل مسكر حرام

Telah mengabarkan kepada kami Abu Husain bin Busyraan yang berkata telah memberitakan kepada kami Husain bin Shafwaaan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Dunyaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yuusuf Az Zammiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Amru dari ‘Abdul Kariim, ia Al Jazariy dari Qais bin Habtar dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata Allah tabaraka wata’ala telah mengharamkan khamar, judi, Al Kuubah dan ia adalah gendang dan berkata “segala yang memabukkan adalah haram” [Sunan Al Kubra Al Baihaqiy 10/221 no 20779]

Riwayat di atas mengandung illat [cacat] pada matan “wa huwa ath thabl” setelah lafaz Al Kuubah. Yahya bin Yusuf Az Zammiy adalah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 2/319] tetapi dengan lafaz itu ia telah menyelisihi lima perawi tsiqat shaduq yang meriwayatkan dari Ubaidillah bin ‘Amru Ar Raqiy tanpa menyebutkan lafaz tersebut. Mereka adalah

  1. Zakaria bin Adiy seorang yang tsiqat jaliil hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/313]
  2. Aliy bin Ma’bad Ar Raqiy seorang yang tsiqat faqiih [Taqrib At Tahdzib 1/703]
  3. Ahmad bin ‘Abdul Malik Al Asdiy seorang yang tsiqat, telah membicarakan tentangnya tanpa hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/40]
  4. ‘Abdul Jabbaar bin Muhammad Al Khaththaabiy seorang yang jaliil, dan Abu Aruubah telah memujinya dengan kebaikan [Su’alat Hamzah As Sahmiy no 328]
  5. Jandal bin Waaliq seorang yang shaduq pernah melakukan kekeliruan dan kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/167].

Oleh karena itu tambahan lafaz “wa huwa ath thabl” tidaklah tsabit sebagai perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena illat [cacat] tafarrud Yahya bin Yusuf yang menyelisihi riwayat jama’ah bahkan diantaranya terdapat perawi yang lebih tsiqat dan hafizh darinya.

Ubaidillah bin ‘Amru Ar Raqiy adalah perawi yang tsiqat faqih dan pernah melakukan kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/637] dan dalam periwayatan dari ‘Abdul Kariim Al Jazariy, ia memiliki mutaba’ah dari Ma’qil bin ‘Ubaidillah perawi yang shaduq sering keliru [Taqrib At Tahdzib 2/201] dalam penyebutan lafaz haram Al Kuubah, yaitu hadis berikut

حدثنا أحمد بن النضر العسكري ثنا سعيدبن حفص النفيلي قال قرأنا على معقل بن عبيد الله عن عبد الكريم عن قيس بن حبتر الربعي عن عبد الله بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ثمن الخمر حرام ومهر البغي حرام وثمن الكلب حرام والكوية حرام وإن أتاك صاحب الكلب يلتمس ثمنه فأملأ يديه ترابا والخمر والميسر وكل مسكر حرام

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Nadhr Al ‘Askariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Hafsh An Nufailiy yang berkata kami membacakan kepada Ma’qil bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdul Kariim dari Qais bin Habtar Ar Rib’iy dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “hasil penjualan khamar haram, hasil melacur haram, hasil penjualan anjing haram, Al Kuubah haram, dan jika datang kepadamu pemilik anjing meminta hasil penjualan anjingnya maka ia telah memenuhi kedua tangannya dengan tanah, khamar, judi dan segala yang memabukkan adalah haram [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 12/102 no 12601]

Ahmad bin Nadhr Al ‘Askariy disebutkan Ibnu Munadiy bahwa ia termasuk orang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 6/413-315 no 2905]. Sa’id bin Hafsh An Nufailiy adalah seorang yang shaduq tetapi berubah hafalannya di akhir umurnya [Taqrib At Tahdzib 1/350]. Sa’iid bin Hafsh An Nufailiy dalam periwayatannya dari Ma’qil bin Ubaidillah memiliki mutaba’ah dari Muhammad bin Yaziid bin Sinan Al Jazariy sebagaimana disebutkan Daruquthniy dalam Sunan-nya 3/7 no 19.

Qais bin Habtar dalam periwayatan dari Ibnu ‘Abbas memiliki mutaba’ah dari Syaibah bin Musaawir sebagaimana disebutkan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Awsath

حدثنا محمد بن أبان نا إسحاق بن وهب ثنا حفص بن عمر الإمام ثنا هشام الدستوائي عن عباد بن أبي علي عن شيبة بن المساور عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه و سلم حرم ستة الخمر والميسر والمعازف والمزامير والدف والكوبة

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Wahb yang berkata telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ‘Umar Al Imaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad Dustuwa’iy dari ‘Abbaad bin Abi ‘Aliy dari Syaibah bin Musaawir dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengharamkan enam hal yaitu khamar, judi, al ma’azif, seruling, duff dan Al Kuubah [Mu’jam Al Awsath 7/241 no 7388]

Riwayat Ath Thabraniy di atas sanadnya dhaif sehingga tidak bisa dijadikan penguat dengan alasan sebagai berikut

  1. Hafsh bin ‘Umar Al Imam adalah perawi yang dhaif [Taqrib At Tahdzib 1/228].
  2. ‘Abbad bin Abi ‘Aliy tidak dikenal kredibilitasnya, Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia meriwayatkan hadis mungkar dan Ibnu Qaththan berkata “tidak tsabit ‘adalah-nya” [Mizan Al I’tidal Adz Dzahabiy 4/32-33 no 4135]
  3. Syaibah bin Musaawir disebutkan Ibnu Hajar yang menukil dari Ibnu Ma’in [riwayat Ad Duuriy] bahwa ia tsiqat. Dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa riwayatnya dari Ibnu ‘Abbas mursal [Ta’jil Al Manfa’ah 1/646-647 no 461]. Tautsiq Ibnu Ma’in yang dinukil Ibnu Hajar tersebut keliru, dalam Tarikh Ad Duuriy no 4959 Yahya bin Ma’in menyebutkan tentang Syaibah bin Musaawir tetapi tidak menyebutkan tautsiq terhadapnya.

Kembali pada riwayat Aliy bin Badziimah yang dikeluarkan Ahmad bin Hanbal di atas, riwayat tersebut sanadnya shahih para perawinya tsiqat.

  1. Abu Ahmad Az Zubairiy gurunya Ahmad bin Hanbal adalah seorang yang tsiqat tsabit hanya saja sering keliru dalam riwayat Sufyaan Ats Tsawriy [Taqrib At Tahdzib 2/95]. Ia memiliki mutaba’ah dari Qabiishah bin ‘Uqbah seorang yang shaduq terkadang keliru [Taqrib At Tahdzib 2/26]
  2. Sufyan Ats Tsawriy seorang yang tsiqat hafizh faqiih ahli ibadah imam hujjah termasuk pemimpin thabaqat ketujuh, dituduh melakukan tadlis [Taqrib At Tahdzib 1/371]. Ia memiliki mutaba’ah dari Israil bin Yunus seorang yang tsiqat dan ada yang membicarakan tentangnya tanpa hujjah [Taqrib At Tahdzib 1/88]
  3. Aliy bin Badziimah seorang yang tsiqat dan dikatakan tasyayyu’ [Taqrib At Tahdzib 1/688]. Ia memiliki mutaba’ah dari ‘Abdul Kariim bin Malik Al Jazariy seorang yang tsiqat mutqin [Taqrib At Tahdzib 1/611]
  4. Qais bin Habtar yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas adalah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 2/32]

Kesimpulannya hadis ‘Abdullah bin ‘Abbas mengenai pengharaman Al Kuubah memiliki sanad yang shahih. Riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas [radiallahu ‘anahu] memiliki syahid [penguat] dari riwayat ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash [radiallahu ‘anhu] dan Riwayat Qais bin Sa’ad [radiallahu ‘anhu].

.

.

.

Hadis ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَال حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاء

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepada kami Adh Dhahhaak bin Makhlad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Hamiid bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Abi Habiib dari ‘Amru bin Al Waliid bin ‘Abdah dari ‘Abdullah bin ‘Amru yang berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al Kuubah dan Al Ghubairaa’ [Al Asyribah Ahmad bin Hanbal no 207]

Hadis ‘Abdullah bin ‘Amru [radiallahu ‘anhu] di atas juga disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 2/171 no 6591, Al Baihaqiy dalam Sunan-nya 10/221 no 20782. Ya’qub bin Sufyaan dalam Ma’rifat Wal Tarikh 2/519, biografi Walid bin ‘Abdah dan Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhiid 1/247-248 dan At Tamhiid 5/167. Semuanya dengan jalan sanad ‘Abdul Hamiid bin Ja’far dari Yaziid bin Abi Habiib dari ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash.

‘Abdul Hamiid bin Ja’far dalam periwayatan dari Yaziid bin Abi Habiib memiliki mutaba’ah dari

  1. Laits bin Sa’ad sebagaimana disebutkan Ibnu Wahb dengan lafaz sanad ‘Amru bin Waliid berkata telah disampaikan kepadaku dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash [Al Muwatta Ibnu Wahb no 75 dan Sunan Baihaqiy 10/222 no 20784]
  2. ‘Abdullah bin Lahii’ah sebagaimana disebutkan Ibnu Wahb dengan lafaz sanad ‘Amru bin Waliid berkata telah disampaikan kepadaku dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash dan matan yang mengandung tambahan lafaz pengharaman Al Qinniin [Al Muwatta Ibnu Wahb no 75 dan Sunan Baihaqiy 10/222 no 20784]. Ahmad bin Hanbal juga menyebutkan riwayat Yahya bin Ishaaq dari Ibnu Lahii’ah dari Yazid dari ‘Amru bin Walid dengan lafaz ‘an anah dari ‘Abdullah bin ‘Amru dengan matan tanpa menyebutkan lafaz Al Qiniin [Musnad Ahmad bin Hanbal 2/158 no 6478]
  3. Muhammad bin Ishaaq, telah meriwayatkan darinya tiga perawi yaitu pertama Hammaad bin Salamah sebagaimana yang disebutkan Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/353 no 3685, Ath Thahaawiy dalam Syarh Ma’aaniy Al Atsar 4/217 no 6451, Ya’qub bin Sufyaan dalam Ma’rifat Wal Tarikh 2/518, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 20781. Kedua Muhammad bin Salamah Al Harraaniy sebagaimana disebutkan Al Bazzaar dalam Al Bahr Az Zukhaar 6/424-425 no 2454. Kedua perawi ini [Hammad dan Muhammad bin Salamah] meriwayatkan dengan jalan sanad dari Ibnu Ishaq dari Yaziid bin Abi Habiib dari Walid bin ‘Abdah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash. Ketiga adalah Yaziid bin Haruun sebagaimana disebutkan Abu Ubaid Qaasim bin Salaam dalam Ghariib Al Hadiits 5/304 dengan jalan sanad dari Ibnu Ishaaq dari Yaziid bin Abi Habiib dari ‘Abdullah bin ‘Amru [tanpa menyebutkan ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah atau ‘Waliid bin ‘Abdah].

Dari ketiga mutaba’ah tersebut hanya Laits bin Sa’ad yang tsabit sebagai penguat bagi ‘Abdul Hamiid bin Ja’far. Adapun riwayat Muhammad bin Ishaaq tidak mahfuzh dengan alasan sebagai berikut

  1. Adanya idhthirab pada riwayat Muhammad bin Ishaaq yaitu terkadang ia menyebutkan dari Yazid dari Waliid bin ‘Abdah dari Abdullah bin ‘Amru dan terkadang menyebutkan dari Yazid dari ‘Abdullah bin ‘Amru [tanpa menyebutkan Waliid bin ‘Abdah].
  2. Semua riwayat Muhammad bin Ishaaq, ia riwayatkan dengan lafaz ‘an anah padahal ia masyhur melakukan tadlis dari perawi dhaif dan majhul sehingga Ibnu Hajar memasukkan namanya dalam mudallis martabat keempat [Thabaqat Al Mudallisin hal 51 no 125]
  3. Muhammad bin Ishaaq telah menyelisihi riwayat Laits bin Sa’ad dan ‘Abdul Hamiid bin Ja’far dimana Muhammad bin Ishaaq menyebutkan orang yang meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru adalah Waliid bin ‘Abdah. Sedangkan kedua perawi tsiqat yaitu Laits dan ‘Abdul Hamiid [yang lebih tsiqat dari Ibnu Ishaaq] menyebutkan dengan nama ‘Amru bin Walid bin ‘Abdah.

Sedangkan riwayat Abdullah bin Lahii’ah terdapat pembicaraan tentangnya karena mengandung illat [cacat] yang tersembunyi yaitu idhthirab pada sisi Ibnu Lahii’ah. Terkadang ia meriwayatkan dengan sanad berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يحيى ثنا بن لهيعة عن عبد الله بن هبيرة عن أبي هبيرة الكلاعي عن عبد الله بن عمرو بن العاصي قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم يوما فقال ان ربي حرم على الخمر والميسر والمزر والكوبة والقنين

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abi Hubairah Al Kalaa’iy dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui kami pada suatu hari maka Beliau berkata “sesungguhnya Rabb-ku telah mengharamkan khamar, judi, mizr, Al Kuubah dan Al Qinniin” [Musnad Ahmad 2/172 no 6608]

حديث ابن لهيعة عن ابن هبيرة عن أبي هبيرة الكحلاني مولى لعبدالله بن عمرو عن عبدالله بن عمرو أن رسول الله {صلى الله عليه وسلم} خرج إليهم ذات يوم في المسجد فقال إن ربي حرم علي الخمر والميسر والمزر والكوبة والقنين حدثناه طلق بن السمح اللخمي

Hadiist Ibnu Lahii’ah dari Ibnu Hubairah dari Abi Hubairah Al Kahlaaniy maula ‘Abdullah bin ‘Amru dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui mereka pada suatu hari di dalam masjid, maka Beliau berkata “sesungguhnya Rabb-ku mengharamkan atasku khamar, judi, mizr, Al Kuubah dan Al Qinniin. Telah menceritakan kepada kami Thalq bin As Samh Al Lakhmiy [Futuuh Mishr Wa Akhbaruha, Ibnu Abdul Hakam hal 169]

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ أنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ  عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي هُبَيْرَةَ الْكَحْلَانِيِّ عَنْ مَوْلَى لِعَبْدِ اللَّهِ بْن عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَيْهِمْ ذَاتَ يَوْمٍ وَهُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيَّ الْخَمْرَ والْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ والْقِنِّينَ وَالْكُوبَةُ الطَّبْلُ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb kepadaku Ibnu Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abu Hubairah Al Kahlaaniy dari Maula ‘Abdullah bin ‘Amru dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui mereka pada suatu hari dan mereka ada di dalam masjid, maka Beliau berkata “sesungguhnya Rabb-ku ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al Kuubah dan Al Qinniin, Al Kuubah adalah gendang [Al Muwatta Ibnu Wahb no 74]

Riwayat Ibnu Wahb di atas juga disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no 20783 dengan jalan sanad dari Ibnu Wahb dari Ibnu Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abi Hurairah atau Hubairah Al ‘Ajlaaniy dari maula ‘Abdullah bin ‘Amru dari Abdullah bin ‘Amru secara marfu’.

Abdullah bin Lahii’ah adalah perawi yang shaduq hanya saja setelah kitabnya terbakar maka hafalannya berubah dan kedudukannya menjadi dhaif. Yahya yang dimaksud dalam riwayat Ahmad adalah Yahya bin Ishaaq As Sailahiiniy dan ia disebutkan Ibnu Hajar termasuk sahabat Ibnu Lahii’ah yang terdahulu [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 729 biografi Hafsh bin Haasyim]. Dan Ibnu Wahb juga termasuk yang mendengar Abdullah bin Lahii’ah sebelum ikhtilath, sehingga dikatakan bahwa riwayatnya dari Abdullah bin Lahii’ah adalah shahih [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3563].

Thalq bin As Samh disebutkan Adz Dzahabiy bahwa Abu Hatim berkata “Syaikh Mesir tidak dikenal” dan berkata selainnya “tempat kejujuran, insya Allah” [Mizan Al I’tidal 3/472 no 4030]. Di saat lain Adz Dzahabiy berkata “ada kelemahan padanya” [Diwan Adh Dhu’afa no 2023]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/453]. Dan tidak diketahui apakah ia meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Lahii’ah sebelum atau sesudah kitabnya terbakar.

Secara ringkas berikut sanad hadis ‘Abdullah bin ‘Amru tentang pengharaman Al Kuubah yang diriwayatkan Abdullah bin Lahii’ah

  1. ‘Abdullah bin Lahii’ah dari Yazid bin Abi Habiib dari ‘Amru bin Waliid dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash
  2. ‘Abdullah bin Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abu Hubairah Al Kalaa’iy dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash
  3. ‘Abdullah bin Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abu Hubairah dari Maula ‘Abdullah bin ‘Amru dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash

Ketiga sanad ini diriwayatkan oleh perawi-perawi yang mendengar dari Ibnu Lahii’ah sebelum ia mengalami ikhtilath [sebelum kitabnya terbakar] maka tidak bisa dinyatakan riwayat mana yang lebih rajih. Hal ini berarti menunjukkan adanya idhthirab dan nampak bahwa idhthirab tersebut berasal dari ‘Abdullah bin Lahii’ah.

Jika dikatakan bahwa sanad pertama yaitu dari Yazid dari ‘Amru bin Waliid lebih rajih karena dikuatkan oleh riwayat Laits bin Sa’ad maka ini bisa jadi benar, hanya saja perlu diperhatikan bahwa tidak semua matan riwayat ‘Abdullah bin Lahii’ah sama dengan matan riwayat Laits bin Sa’ad. Matan pengharaman lafaz Al Qinniin yang ada pada riwayat Ibnu Lahii’ah tidak terdapat pada riwayat Laits bin Sa’ad maka kedudukannya tidak mafuuzh.

‘Amru bin Waliid dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash memiliki mutaba’ah dari ‘Abdurrahman bin Raafi’ At Tanuukhiy, sebagaimana riwayat berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يزيد أنا فرج بن فضالة عن إبراهيم بن عبد الرحمن بن رافع عن أبيه عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ان الله حرم على أمتي الخمر والميسر والمزر والكوبة والقنين وزادني صلاة الوتر قال يزيد القنين البرابط

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid yang berkata telah menceritakan kepada kami Faraj bin Fadhalah dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Raafi’ dari Ayahnya dari ‘Abdullah bin ‘Amru yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas umatku khamar, judi, mizr, Al Kuubah, Al Qinniin dan menambahkan kepadaku shalat witir. Yazid berkata “Al Qinniin adalah gitar [Musnad Ahmad 2/165 no 6547]

Ahmad bin Hanbal juga menyebutkan hadis ini dalam Musnad-nya 2/167 no 6564 dan Al Asyribah hal 84 no 214. Riwayat ini sanadnya dhaif karena

  1. Faraj bin Fadhalah seorang yang dhaif [Taqrib At Tahdzib 2/8]
  2. Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Rafi’ seorang yang majhul [Ta’jil Al Manfa’ah no 15]
  3. Abdurrahman bin Rafi’ At Tanuukhiy seorang yang dhaif [Taqrib At Tahdzib 1/568]

Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa sanad yang tsabit adalah riwayat Abdul Hamiid bin Ja’far dan Laits bin Sa’ad yang bermuara pada Yazid bin Abi Habiib dari ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah dari ‘Abdullah bin ‘Amru. Para perawinya tsiqat hanya saja terdapat illat [cacat] dengan memperhatikan kedua riwayat

  1. Riwayat Abdul Hamiid menyebutkan ‘Amru bin Walid meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru dengan lafaz ‘an anah
  2. Riwayat Laits bin Sa’ad menyebutkan ‘Amru bin Walid meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru dengan lafaz “telah sampai kepadaku dari”

Jika ditarjih maka riwayat Laits bin Sa’ad lebih rajih karena ia seorang yang tsiqat tsabit faqiih imam masyhur [Taqrib At Tahdzib 2/48] sedangkan ‘Abdul Hamiid bin Ja’far seorang yang shaduq dituduh berpehaman qadariy dan pernah melakukan kesalahan [Taqrib At Tahdzib 1/554]. Dan jika digabungkan maka menunjukkan bahwa lafaz ‘an anah pada riwayat Abdul Hamiid adalah mursal sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat Laits bin Sa’ad. Kesimpulannya hadis ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash di atas ma’lul [cacat] karena mursal.

.

.

.

Hadis Qais bin Sa’ad Al Anshariy

‘Abdullah bin Wahb menyebutkan hadis Qais bin Sa’ad setelah ia menyebutkan hadis Abdullah bin Lahii’ah dari Ibnu Hubairah. Berikut hadis lengkapnya

وأخبرنا أبو زكريا بن أبي إسحاق المزكي وأبو بكر أحمد بن الحسن القاضي قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ محمد بن عبد الله بن عبد الحكم أنبأ بن وهب أخبرني بن لهيعة عن عبد الله بن هبيرة عن أبي هريرة أو هبيرة العجلاني عن مولى لعبد الله بن عمرو عن عبد الله بن عمرو بن العاص أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خرج إليهم ذات يوم وهم في المسجد فقال إن ربي حرم علي الخمر والميسر والكوبة والقنين والكوبة الطبل قال وأنبأ بن وهب أخبرني الليث بن سعد وبن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب عن عمرو بن الوليد بن عبدة عن قيس بن سعد وكان صاحب راية النبي صلى الله عليه و سلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ذلك قال والغبيراء وكل مسكر حرام قال عمرو بن الوليد وبلغني عن عبد الله بن عمرو بن العاص مثله ولم يذكر الليث القنين

Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Zakaria bin Abi Ishaaq Al Muzakkiy dan Abu Bakar Ahmad bin Hasan Al Qaadhiy, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbaas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang berkata telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ibnu Lahii’ah dari ‘Abdullah bin Hubairah dari Abi Hurairah atau Hubairah Al ‘Ajlaaniy dari maula ‘Abdullah bin ‘Amru dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui mereka pada suatu hari dan mereka ada di dalam masjid, Beliau berkata “sesungguhnya Rabb-ku mengharamkan atasku khamr, judi, Al Kubbah dan Al Qinniin, dan Al Kuubah adalah gendang, telah memberitakan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahii’ah dari Yaziid bin Abi Habiib dari ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah dari Qais bin Sa’ad dan ia sahabat yang pernah melihat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan demikian mengatakan “dan ghubairaa’ dan segala yang memabukkan adalah haram”. ‘Amru bin Walid bin ‘Abdah berkata “dan telah sampai kepadaku dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash seperti itu”. Dan Laits tidak menyebutkan Al Qinniin. [Sunan Al Kubra Baihaqiy 10/222 no 20783-20784]

Riwayat di atas juga disebutkan dalam Al Muwatta Ibnu Wahb hal 46 no 74-75. Ibnu ‘Abdul Hakam meriwayatkan dari Ayahnya dari Ibnu Lahii’ah hadis Qais bin Sa’ad di atas sebagai berikut

حديث ابن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب عن عمرو بن الوليد بن عبدة عن قيس بن سعد أن رسول الله {صلى الله عليه وسلم} خرج إليهم ذات يوم وهم في المسجد فقال إن ربي حرم علي الخمر والميسر والكوبة والقنين وكل مسكر حرام حدثناه أبي عبدالله بن عبد الحكم وربما أدخل فيما بين عمرو بن الوليد وبين قيس أنه بلغه

Hadis Ibnu Lahii’ah dari Yaziid bin Abi Habiib dari ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah dari Qais bin Sa’ad bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui mereka pada suatu hari dan mereka di dalam masjd, maka Beliau berkata sesungguhnya Rabb-ku mengharamkan atasku khamr, judi, Al Kuubah dan Al Qinniin dan setiap yang memabukkan adalah haram. Telah menceritakan tentangnya Ayahku ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam dan sepertinya terdapat diantara ‘Amru bin Waliid dan Qais lafaz bahwasanya telah sampai kepadanya [Futuuh Mishr Wa Akhbaruha, Ibnu ‘Abdul Hakam hal 180]

Riwayat Ibnu Wahb dari Ibnu Lahii’ah telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan adanya idhthirab sehingga yang tersisa adalah riwayat Laits bin Sa’ad. Perhatikan matannya

عن قيس بن سعد وكان صاحب راية النبي صلى الله عليه و سلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ذلك قال والغبيراء وكل مسكر حرام

Dari Qais bin Sa’ad dan ia sahabat yang pernah melihat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan demikian mengatakan “dan ghubairaa’ dan segala yang memabukkan adalah haram”.

Lafaz qaala dzalik di atas merujuk pada matan hadis sebelumnya yaitu hadis Ibnu Lahii’ah dari Ibnu Hubairah

عن عبد الله بن عمرو بن العاص أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خرج إليهم ذات يوم وهم في المسجد فقال إن ربي حرم علي الخمر والميسر والكوبة والقنين والكوبة الطبل

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] keluar menemui mereka pada suatu hari dan mereka ada di dalam masjid, Beliau berkata “sesungguhnya Rabb-ku mengharamkan atasku khamr, judi, Al Kubbah dan Al Qinniin” dan Al Kuubah adalah gendang

Hanya saja perlu dipahami [berdasarkan qarinah yang kuat] bahwa lafaz “wal kuubah ath thabl” setelah lafaz qinniin bukan bagian dari hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Qarinahnya adalah sebagai berikut

  1. Riwayat Yahya bin Ishaaq dan Thalq bin As Samh dari Ibnu Lahii’ah menyebutkan hadis ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash di atas tanpa menyebutkan lafaz “wal kuubah ath thabl”
  2. Riwayat ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam dari Ibnu Lahii’ah [sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abdul Hakam] menyebutkan hadis Qais bin Sa’ad tanpa menyebutkan lafaz “wal kuubah ath thabl”. Dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam dikatakan tsiqat oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatiim 5/105-106 no 485]. Hanya saja tidak diketahui apakah ia meriwayatkan dari Abdullah bin Lahii’ah sebelum atau sesudah kitabnya terbakar.
  3. Pada matan riwayat Baihaqiy di atas memang terdapat lafaz dimana perkataan perawi tercampur dengan hadisnya tanpa terdapat keterangan milik siapa lafaz tersebut. Seperti misalnya lafaz ولم يذكر الليث القنين lafaz ini tertulis sesudah lafaz ‘Amru bin Walid berkata “dan telah sampai kepadaku dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Ash seperti itu”. Tidak mungkin lafaz ini masuk dalam perkataan ‘Amru bin Walid bin ‘Abdah dan kemungkinannya lafaz ini adalah milik Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam. Maka lafaz والكوبة الطبل besar kemungkinan juga perkataan Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam terhadap tafsir Al Kuubah.

Maka dapat disimpulkan bahwa lafaz “wal kuubah ath thabl” bukan bagian dari hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Adapun lafaz qinniin, itu hanya ada pada riwayat Ibnu Lahii’ah sedangkan pada riwayat Laits tidak ada. Maka lafaz qaala dzalik itu mencakup pengharaman khamar, judi dan Al Kuubah pada riwayat sebelumnya. Secara keseluruhan matan riwayat Laits bin Sa’ad adalah pengharaman khamar, judi, Al Kuubah, Al Ghubairaa’ dan setiap yang memabukkan adalah haram.

Riwayat Laits bin Sa’ad sebagaimana yang diriwayatkan Al Baihaqiy kedudukan sanadnya jayyid diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq.

  1. Abu Zakariya bin Abu Ishaq Al Muzakkiy seorang yang tsiqat mulia baik zuhud wara’ dan mutqin [Siyar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 17/295-296 no 179]
  2. Ahmad bin Hasan Abu Bakar seorang imam alim musnad khurasan. As Sam’aniy berkata “tsiqat dalam hadis” [Siyar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 17/356 no 221]
  3. Abul ‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub Al ‘Asham seorang Imam muhaddis. Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah menyatakan tsiqat. Abu Nu’aim bin ‘Adiy berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Abi Hatim berkata “tsiqat shaduq” [Siyar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 15/452-458 no 258]
  4. Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam seorang yang faqih tsiqat [Taqrib At Tahdzib 2/96]
  5. Abdullah bin Wahb bin Muslim Al Qurasyiy seorang yang faqiih tsiqat hafizh ahli ibadah [Taqrib At Tahdzib 1/545]
  6. Laits bin Sa’ad Abu Harits Al Mishriy seorang yang tsiqat tsabit faqiih imam masyhur [Taqrib At Tahdzib 2/48]
  7. Yaziid bin Abi Habiib Al Mishriy seorang yang tsiqat faqih [Taqrib At Tahdzib 2/322]
  8. ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/748]. Ibnu Yuunus menyebutkan bahwa ia temasuk seorang yang mempunyai keutamaan dan ahli fiqih [Tarikh Ibnu Yunus 1/378-379 no 1036]

Ibnu ‘Abdul Hakam yaitu ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam dalam kitabnya Futuuh Mishr Wa Akhbaruha hal 180 menyebutkan riwayat dimana seolah ‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah meriwayatkan dari Qais bin Sa’ad secara mursal yaitu dengan lafaz “telah sampai kabar kepadanya dari Qais”. Seandainya saja sanadnya tsabit dan shahih maka riwayat ini bisa menjadi illat [cacat] yang menjatuhkan hadis Qais bin Sa’ad. Riwayat Ibnu ‘Abdul Hakam tersebut adalah riwayat ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam dari Ibnu Lahii’ah maka kedudukannya tidak tsabit sebagai hujjah karena tidak diketahui apakah ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam meriwayatkan sebelum atau setelah Ibnu Lahii’ah ikhtilath dan kitabnya terbakar.

‘Amru bin Waliid bin ‘Abdah dalam periwayatan dari Qais bin Sa’ad [radiallahu ‘anhu] memiliki mutaba’ah dari Bakr bin Sawadah yaitu riwayat berikut

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَال حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ ثنا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زَحْرٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيَّ الْخَمْرَ  وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ وَإِيَّاكُمْ وَالْغُبَيْرَاءَ فَإِنَّهَا ثُلُثُ خَمْرِ الْعَالَمِ قَالَ قُلْتُ لِيَحْيَى  مَا الْكُوبَةُ ؟ قَالَ الطَّبْلُ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayuub dari ‘Ubaidillah bin Zahr dari Bakr bin Sawaadah dari Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah [radiallahu ‘anhu] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla mengharamkan atasku khamar, Al Kuubah dan Qinniin dan jauhilah Al Ghubairaa’ karena itu adalah sepertiga khamr di dunia. Ahmad bin Hanbal berkata aku berkata kepada Yahya “apa itu Al Kuubah?”. Ia berkata “gendang” [Al Asyribah Ahmad bin Hanbal hal 40 no 27]

Riwayat ini juga disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 3/422 no 15519, Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 18/352 no 897, Ibnu ‘Abdul Hakam dalam Futuuh Mishr Wa Akhbaruha hal 180, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 8/141-142 no 24540 dengan tambahan lafaz Qinniin adalah Al ‘Uud, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no 20784 dengan tambahan lafaz, Abu Zakariyaa berkata Al Qinniin adalah Al ‘Uud [Abu Zakariyaa adalah kuniyah Yahya bin Ishaaq maka ini menjelaskan bahwa tambahan lafaz dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah adalah idraaj dari Yahya bin Ishaaq]. Semuanya dengan jalan sanad Yahya bin Ayuub dari Ubaidillah bin Zahr dari Bakr bin Sawaadah dari Qais bin Sa’ad [radiallahu ‘anhu]. Kedudukan riwayat ini dhaif karena

  1. Ubaidillah bin Zahr berdasarkan pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya
  2. Bakr bin Sawaadah berdasarkan qarinah yang kuat, riwayatnya dari Qais bin Sa’ad mursal.

Ubaidillah bin Zahr Al ‘Ifrikiy, Bukhariy berkata “tsiqat” [Ilal Tirmidzi no 335]. Abu Dawud berkata aku mendengar Ahmad mengatakan Ubaidillah bin Zahr tsiqat [Su’alat Abu Ubaid Al Ajurriy no 1523]. Ibnu Hajar mengatakan bahwa Ahmad yang dimaksud disini adalah Ahmad bin Shalih Al Mishriy [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 25]. Nasa’iy berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Hakim berkata “layyin hadisnya”. Al Khatib berkata “seorang yang shalih dan dalam hadisnya layyin [lemah]. Al Harbiy berkata “selainnya lebih terpercaya darinya”. [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 25]

Ahmad bin Hanbal mendhaifkannya, Yahya bin Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”, Aliy bin Madiiniy berkata “munkar al hadiits”. Abu Hatim berkata “layyin [lemah] hadisnya”. Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah, shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/315 no 1499]

Yahya bin Ma’in dalam riwayat Ad Dariimiy berkata “semua hadisnya di sisiku dhaif” [Tarikh Ad Dariimiy no 626]. Yahya bin Ma’in berkata dalam riwayat Ibnu Junaid “dhaif dalam hadis” [Su’alat Ibnu Junaid no 549].

Abu Mushir mengatakan bahwa Ubaidillah bin Zahr pemilik riwayat-riwayat mu’dhal dan karenanya lemah hadisnya. Ibnu Adiy mengatakan bahwa hadis-hadisnya tidak memiliki mutaba’ah [Al Kamil Ibnu Adiy 5/522-5214 no 190]

Ya’qub bin Sufyaan berkata “dhaif” [Ma’rifat Wal Tariikh Ya’quub bin Sufyaan Al Fasawiy 2/424]. Daruquthniy berkata “dhaif” [Al Ilal Daruquthniy no 160]. Al Ijliy berkata “ditulis hadisnya dan tidak kuat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1156]. Ibnu Hibban berkata “mungkar hadis jiddan, ia meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ dari para perawi tsabit” [Al Majruuhin Ibnu Hibban 2/28-29 no 603]

Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib “shaduq sering keliru” [At Taqrib 1/632]. Dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib dikoreksi bahwa kedudukan Ubaidillah bin Zahr adalah dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4290]

Dengan mengumpulkan seluruh perkataan para ulama tentangnya maka pendapat yang rajih tentangnya adalah ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya karena banyak ulama mendhaifkannya dan sebagian jarh terhadapnya bersifat mufassar. Dalam kaidah ilmu hadis jarh mufassar lebih didahulukan dibanding ta’dil, maka dari itu ta’dil sebagian ulama terhadap Ubaidillah bin Zahr hanya mengangkat derajatnya sebagai perawi yang bisa dijadikan i’tibar hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah.

Bakr bin Sawaadah disebutkan oleh Ibnu Hajar yang menukil dari Ibnu Yunuus bahwa ia wafat tahun 128 H [Tahdzib At Tahdzib juz 1 no 888] sedangkan Qais bin Sa’ad disebutkan Ibnu Hajar yang menukil dari Al Haitsam bin Adiy, Al Waqidiy, Khaliifah bin Khayyaath dan yang lainnya bahwa ia wafat pada akhir pemerintahan Mu’awiyah [Tahdzib At Tahdzib juz 8 no 702] berarti tahun 60 atau kurang dari itu. Maka terdapat selisih 68 tahun atau lebih antara wafatnya Qais bin Sa’ad dan Bakr bin Sawaadah, hal ini merupakan qarinah kemungkinan terputusnya sanad.

Qarinah [petunjuk] lain adalah Ibnu Hajar menukil dari An Nawawiy bahwa Bakr bin Sawaadah tidak mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash [Tahdzib At Tahdzib juz 1 no 888]. Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Amru wafat setelah wafatnya Qais bin Sa’ad, ada yang mengatakan tahun 63 H, 65 H, 68 H, 73 H, atau 77 H [Tahdzib At Tahdzib juz 5 no 575]. Jika Bakr bin Sawaadah tidak mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Amru maka lebih mungkin lagi Bakr bin Sawaadah tidak mendengar dari Qais bin Sa’ad.

Berdasarkan keterangan di atas maka hadis Bakr bin Sawaadah tidak tsabit sebagai mutaba’ah bagi ‘Amru bin Walid bin ‘Abdah karena kedhaifan Ubaidillah bin Zahr dan terputusnya sanad antara Bakr bin Sawaadah dan Qais bin Sa’ad [radiallahu ‘anhu].

.

.

Secara ringkas pembahasan di atas tentang hadis yang mengharamkan Al Kuubah dapat dilihat dalam poin berikut

  1. Hadis ‘Abdullah bin ‘Abbaas memiliki sanad yang shahih dengan lafaz pengharaman khamr, judi, Al Kuubah dan segala yang memabukkan
  2. Hadis ‘Abdullah bin ‘Amru diriwayatkan para perawi tsiqat hanya saja mengandung illat [cacat] mursal dengan lafaz pengharaman khamr, judi, Al Kuubah, Al Ghubairaa’
  3. Hadis Qais bin Sa’d memiliki sanad yang shahih dengan lafaz pengharaman khamr, judi, Al Kuubah, Al Ghubairaa’ dan segala yang memabukkan

Kesimpulan takhrij hadis di atas dan pembahasannya adalah hadis pengharaman Al Kuubah memiliki sanad yang shahih dari jalan ‘Abdullah bin ‘Abbaas dan Qais bin Sa’ad. Dan lafaz yang tsabit termasuk di dalamnya pengharaman khamr, judi, Al Kuubah, Al Ghubairaa’ dan segala yang memabukkan. Adapun lafaz Al Qinniin maka kedudukannya tidak tsabit.

.

.

.

Pembahasan Makna Al Kuubah

Terdapat perselisihan soal makna Al Kuubah di sisi para ulama. Sebagian mengatakan bahwa Al Kuubah adalah gendang dan dikatakan juga bahwa Al Kuubah adalah dadu yang dipakai pada permainan judi.

   إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ هي النَّرْدُ وقيل الطَّبْل وقيل البَرْبَطُ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al Kuubah” itu maksudnya adalah dadu, dikatakan itu gendang dan dikatakan itu gitar [An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar Ibnu Atsir hal 815]

وأما الكُوبة فإنّ محمد بن كثير أخبرني أن الكُوبة النرد في كلام أهل اليمن وقال غيره الطبل

Adapun Al Kuubah maka sesungguhnya Muhammad bin Katsiir mengabarkan kepadaku bahwasanya Al Kuubah adalah dadu dalam perkataan penduduk Yaman, dan berkata selainnya bahwa itu adalah gendang [Ghariib Al Hadiits Abu Ubaid Al Haraawiy 5/304]

وفي الحديث إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ قَالَ ابْنُ الأَعْرَابِيِّ  الْكُوبَةُ النَّرْدُ  وَيُقَالُ الطَّبْلُ  وَقِيلَ الْبَرْبَطُ

Dan dalam hadis “sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al Kuubah”. Ibnu Arabiy berkata Al Kuubah adalah dadu, dan ada yang mengatakan itu adalah gendang, dan dikatakan itu adalah gitar [Al Gharibain Fii Al Qur’an Wal Hadiits Abu Ubaid juz 5 hal 1654]

Pendapat yang mengatakan Al Kuubah adalah gendang memiliki hujjah dari perkataan para perawi hadis yang mengharamkan Al Kuubah. [nampak dalam sebagian riwayat bahwa perawi-perawi tersebut menyisipkan penafsiran mereka ke dalam hadis]

  1. Aliy bin Badziimah sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal 1/274 no 2476
  2. Yahya bin Yuusuf Az Zammiy sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20779
  3. Muhammad bin ‘Abdullah bin Abdul Hakam sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no 20783
  4. Yahya bin Ishaaq sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Al Asyribah hal 40 no 27

Terdapat kaidah bahwa tafsir perawi hadis terhadap hadis yang ia riwayatkan lebih didahulukan dibanding tafsir selainnya. Sehingga dengan kaidah ini sebagian ulama merajihkan bahwa makna Al Kuubah adalah gendang.

Kaidah ini benar hanya saja ia tidak bersifat mutlak. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa makna Al Kuubah pada masa sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah nardu atau dadu

حدثنا عصام قال حدثنا حريز عن سلمان الإلهاني عن فضالة بن عبيد وكان بمجمع من المجامع فبلغه أن أقواما يلعبون بالكوبة فقام غضبانا ينهى عنها أشد النهي ثم قال ألا إن اللاعب بها ليأكل قمرها كآكل لحم الخنزير ومتوضىء بالدم يعني بالكوبة النرد

Telah menceritakan kepada kami ‘Ishaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Hariiz dari Salman Al ‘Alhaaniy dari Fadhalah bin ‘Ubaid dan pada saat itu ia berkumpul pada suatu perkumpulan, maka disampaikan kepadanya bahwa sekelompok orang bermain dengan Kuubah maka ia berdiri marah dan melarangnya dengan larangan yang keras kemudian berkata ketahuilah bahwa bermain dengan itu untuk memakan hasilnya maka seperti memakan daging babi dan berwudhu’ dengan darah. Yang dimaksud Kuubah adalah An Nardu [dadu] [Adabul Mufrad Al Bukhariy 1/433 no 1267]

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Fadhalah bin ‘Ubaid dan ia adalah seorang sahabat Nabi [Al Jarh Wat Ta’dil 7/77 no 433].

  1. ‘Ishaam bin Khalid Al Hadhramiy termasuk salah satu guru Bukhariy dalam kitab Shahih-nya. Nasa’iy berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 372]
  2. Hariiz bin ‘Utsman Al Himshiy. Abu Dawud berkata “guru-guru Hariiz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Duhaim menyatakan ia baik sanadnya shahih hadisnya dan tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]
  3. Salman bin Sumair Asy Syammiy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ia termasuk guru Hariiz dan Abu Dawud mengatakan bahwa semua guru Hariiz tsiqat. [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 230]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/374]. Pendapat yang rajih ia seorang yang tsiqat berdasarkan apa yang disebutkan Abu Dawud dan Al Ijliy berkata “tabiin syam yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 651].

Lafaz “ya’niy bilkuubah annardu” [Kuubah yang dimaksud adalah dadu] bisa jadi berasal dari para perawi sanad tersebut termasuk Al Bukhariy. Hanya saja kami tidak menemukan qarinah kuat yang menunjukkan milik siapa lafaz tersebut. Tetapi riwayat tersebut sangat bersesuaian dengan hadis Nabi berikut

حدثني زهير بن حرب حدثنا عبدالرحمن بن مهدي عن سفيان عن علقمة بن مرثد عن سليمان بن بريدة عن أبيه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال من لعب بالنردشير فكأنما صبغ يده في لحم خنزير ودمه

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy dari Sufyaan dari ‘Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya bahwasanya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “barang siapa yang bermain dadu maka ia seperti mencelupkan tangannya dalam daging babi dan darahnya” [Shahih Muslim 4/1770 no 2260]

Maka nampak bahwa makna Al Kuubah dalam riwayat Fadhalah bin ‘Ubaid tersebut adalah An Nardu yaitu dadu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir Al Kuubah sebagai dadu sudah dikenal di masa sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Berdasarkan hal ini maka kami menilai pendapat yang lebih rajih adalah yang menyatakan bahwa makna Al Kuubah adalah dadu [yang dipakai dalam perjudian]. Terbukti bahwa penafsiran tersebut sudah dikenal di masa sahabat sedangkan penafsiran Al Kuubah adalah gendang berasal dari para perawi hadis yang hidup jauh setelah masa sahabat Nabi.

.

.

.

Syubhat Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 285 dalam salah satu bantahannya kepada Syaikh Al Judai’ mengatakan bahwa An Nardu sudah termasuk dalam Judi maka ketika Al Kuubah disebutkan setelah Al Maisir [judi] maka makna Al Kuubah disana pasti bukan An Nardu [dadu] tetapi makna lain yaitu Ath Thabl [gendang]. Syaikh membawakan atsar berikut

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ أَخْبَرَنَا وَهْبُ بْنُ بَيَانٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ النَّرْدُ مِنَ الْمَيْسِرِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Wahb bin Bayaan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb yang berkata telah mengabarkan kepada kami Mu’awiyah bin Shalih dari Yahya bin Sa’iid dari Naafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata “an nardu [dadu] termasuk judi” [Tahriim An Nardu, Abu Bakar Al Ajurriy hal 131 hadis no 21]

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa menyatakan atsar ini shahih [dan memang demikian]. Hanya saja bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa dengan atsar ini tidak tepat, bahkan justru dengan atsar ini malah menguatkan qarinah bahwa Al Kuubah yang dimaksud adalah An Nardu.

وحدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن حاتم قالا حدثنا يحيى ( وهو القطان ) عن عبيدالله أخبرنا نافع عن ابن عمر قال ( ولا أعلمه إلا عن النبي صلى الله عليه و سلم ) قال  كل مسكر خمر وكل خمر حرام

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Haatim keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Yahya [ia Al Qaththaan] dari Ubaidillah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Nafi’ dari Ibnu ‘Umar yang berkata “aku tidak mengetahuinya kecuali dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata semua yang memabukkan adalah khamar dan semua khamar adalah haram” [Shahih Muslim 3/1587 no 2003]

Silakan perhatikan kembali hadis Ibnu ‘Abbaas tentang pengharaman Al Kuubah, dalam matan hadis tersebut ada empat perkara yang diharamkan yaitu

  1. Khamar
  2. Judi
  3. Al Kuubah
  4. Segala yang memabukkan

Telah tsabit dalam hadis shahih bahwa segala yang memabukkan adalah khamar maka pada dasarnya perkara no 4 itu adalah perkara yang sama dengan no 1. Maka wajar pula jika Al Kuubah tersebut bermakna An Nardu [dadu] dan telah tsabit bahwa An Nardu termasuk judi sehingga perkara no 3 itu adalah perkara yang sama dengan no 2. Jadi hujjah Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa menguatkan makna Al Kuubah dalam hadis tersebut sebagai Ath Thabl [gendang] dengan dasar bahwa An Nardu sudah termasuk dalam lafaz judi [maka tidak mungkin Al Kuubah disana bermakna An Nardu] adalah hujjah yang tidak tepat sasaran. Bukankah segala yang memabukkan sudah masuk dalam lafaz “khamar” tetapi tetap saja disebutkan lagi.

Atau mari kita melihat hadis Qais bin Sa’d [radiallahu ‘anhu] dimana terdapat lafaz pengharaman Al Ghubairaa’ setelah pengharaman Khamr. Dan Al Ghubairaa’ sendiri sebenarnya termasuk khamar

قَالَ مَالِك فَسَأَلْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمَ مَا الْغُبَيْرَاءُ فَقَالَ هِيَ الْأُسْكَرْكَة

Maalik berkata aku bertanya kepada Zaid bin Aslam “apakah Al Ghubairaa’, maka ia berkata “ itu adalah Al ‘Uskarkah” [Muwatta Malik riwayat Yahya bin Yahya 2/413 no 2452]

Al ‘Uskarkah yang dimaksud dalam atsar di atas adalah khamar habsyah sebagaimana disebutkan oleh Al Jauhariy [An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar Ibnu Atsiir hal 437]

Maka hal ini sangat bersesuaian, Khamr diharamkan dan setelah itu disebutkan pula Al Ghubairaa’ kemudian Judi diharamkan dan disebutkan pula Al Kuubah yang bermakna An Nardu [dadu].

.

.

.

Kesimpulan

Hadis pengharaman Al Kuubah adalah hadis yang shahih hanya saja tidak tepat jika hadis tersebut dijadikan hujjah untuk mengharamkan musik atau alat musik [yaitu gendang]. Pendapat yang rajih adalah makna Al Kuubah tersebut adalah An Nardu yaitu dadu yang sering dipakai dalam perjudian.

.

Note : Tulisan ini adalah versi yang lebih detail dan rinci [sekaligus revisi] dari tulisan sederhana kami sebelumnya soal Musik yang dapat dilihat disini. Secara keseluruhan makna kedua tulisan tersebut sama


Filed under: Agama

Benarkah Imam Bukhariy Mengambil Hadis Dari Perawi Rafidhah?

$
0
0

Benarkah Imam Bukhariy Mengambil Hadis Dari Perawi Rafidhah?

Salah satu isu yang sering dilontarkan penganut Syi’ah terhadap Ahlus Sunnah adalah ulama Ahlus Sunnah diantaranya Imam Bukhariy juga meriwayatkan dari perawi Syi’ah.

Dan jawaban dari sebagian Ahlus Sunnah biasanya berupa bantahan yaitu Imam Bukhariy memang meriwayatkan dari Syi’ah tetapi Syi’ah yang dimaksud bukan Syi’ah Rafidhah tetapi Syi’ah dalam arti lebih mengutamakan Aliy bin Abi Thalib dari Utsman atau sahabat lainnya, Syi’ah yang tetap memuliakan para sahabat bukan seperti Syi’ah Rafidhah yang mencela para sahabat. Salah satu bantahan yang dimaksud dapat para pembaca lihat disini.

Benarkah demikian?. Tentu saja cara sederhana untuk membuktikan hal itu adalah tinggal menunjukkan adakah perawi Bukhariy yang dikatakan Rafidhah atau dituduh Syiah yang mencela sahabat Nabi. Akan diambil beberapa perawi Bukhariy sebagai contoh yaitu

  1. ‘Abdul Malik bin A’yan Al Kuufiy
  2. ‘Abbaad bin Ya’qub Ar Rawajiniy
  3. Auf bin Abi Jamiilah Al Arabiy
  4. Aliy bin Ja’d Al Baghdadiy

.

.

‘Abdul Malik bin A’yan Al Kuufiy

Ibnu Hajar menyebutkan salah satu perawi dalam Taqrib At Tahdzib hal 621 no 4192 [tahqiiq Abul ‘Asybal Al Baakistaaniy]

Abdul Malik bin A'yan

[perawi kutubus sittah] ‘Abdul Maaalik bin A’yaan Al Kuufiy maula bani Syaibaan, seorang Syi’ah yang shaduq, memiliki riwayat dalam Shahihain satu hadis sebagai mutaba’ah, ia termasuk thabaqat keenam

Dari keterangan di atas maka ‘Abdul Maalik bin A’yaan termasuk perawi Bukhariy dalam Shahih-nya. Adapun soal hadisnya yang hanya satu sebagai mutaba’ah maka itu tidak menjadi soal disini. Lantas Syi’ah seperti apakah dia? Apakah dia seorang rafidhah?. Jawabannya ada pada apa yang disebutkan Al Uqailiy dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabiir hal 792 no 990 [tahqiiq Hamdiy bin ‘Abdul Majiid]

Abdul Malik bin A'yan2

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Humaidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin A’yan, seorang syi’ah ia di sisi kami rafidhah shaahib ra’yu

Atsar di atas sanadnya shahih sampai Sufyan dan ia adalah Ibnu Uyainah. Dalam atsar tersebut ia menyatakan bahwa Abdul Malik bin A’yan seorang rafidhah

  1. Bisyr bin Muusa seorang imam hafizh tsiqat [Siyar A’lam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 13/352 no 170]
  2. Al Humaidiy yaitu Abdullah bin Zubair bin Iisa seorang tsiqat hafizh faqih [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar hal 506 no 3340]
  3. Sufyan bin Uyainah seorang tsiqat hafizh faqiih imam hujjah [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar hal 395 no 2464]

.

.

.

‘Abbaad bin Ya’quub Al Asadiy

Al Mizziy dalam Tahdzib Al Kamal 14/175 no 3104 [tahqiiq Basyaar Awwaad Ma’ruuf] menyebutkan salah satu biografi perawi yang termasuk perawi Bukhariy

Abbad bin Ya'qub4

[perawi Bukhariy, Tirmidzi dan Ibnu Majah] ‘Abbaad bin Ya’quub Al Asadiy Ar Rawaajiniy Abu Sa’iid Al Kuufiy, seorang Syi’ah

Lantas Syiah yang bagaimanakah dia?. Jawabannya bisa dilihat dari pernyataan Shalih bin Muhammad yang dinukil oleh Al Mizziy dalam Tahdzib Al Kamal

'Abbad bin Ya'qub2

Aliy bin Muhammad Al Marwaziy berkata Shalih bin Muhammad ditanya tentang ‘Abbaad bin Ya’quub Ar Rawaajiniy, Maka ia berkata “ia telah mencaci Utsman”

Ibnu Hibban dalam kitabnya Al Majruuhin 2/163 no 794 [tahqiiq Hamdiy bin ‘Abdul Majiid] menyatakan dengan jelas bahwa ia rafidhah

'Abbad bin Ya'qub

‘Abbaad bin Ya’qub Ar Rawaajiniy Abu Sa’iid termasuk penduduk Kuufah, meriwayatkan dari Syariik, telah meriwayatkan darinya guru-guru kami, wafat pada tahun 250 H di bulan syawal, ia seorang Rafidhah yang mengajak ke paham rafadh, dan bersamaan dengan itu ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari para perawi masyhur maka selayaknya ditinggalkan

Bukhariy meriwayatkan darinya dan memasukkannya dalam kitab Shahih-nya. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah salah satu dari guru Imam Bukhariy. Bukhariy hanya meriwayatkan satu hadis darinya dan itu pun sebagai mutaba’ah. Tidak jadi soal berapa jumlah hadis yang diriwayatkan Bukhariy darinya, yang penting telah dibuktikan bahwa ia termasuk perawi Bukhariy yang dikatakan rafidhah.

.

.

.

‘Auf bin Abi Jamiilah Al A’rabiy

Ibnu Hajar menyebutkan salah satu perawi Bukhariy dalam Taqrib At Tahdzib hal 757 no 5250 [tahqiiq Abul ‘Asybal Al Baakistaaniy]

Auf bin Abi Jamilah

[perawi kutubus sittah] Auf bin Abi Jamiilah [dengan fathah pada huruf jiim] Al A’rabiy, Al ‘Abdiy, Al Bashriy, seorang yang tsiqat dituduh dengan faham qadariy dan tasyayyu’ termasuk thabaqat keenam wafat pada tahun 146 atau 147 H pada umur 86 tahun

Bagaimanakah tuduhan tasyayyu’ yang dimaksud?. Adz Dzahabiy menukil dalam kitabnya Mizan Al I’tidal 5/368 no 6536 [tahqiq Syaikh 'Aliy Al Mu'awwadh, Syaikh 'Adil Ahmad dan Ustadz Dr 'Abdul Fattah]

Auf bin Abi Jamilah2

Muhammad bin ‘Abdullah Al Anshaariy berkata aku melihat Dawud bin Abi Hind memukul Auf Al Arabiy dan mengatakan “celaka engkau wahai qadariy”. Dan Bundaar berkata dan ia membacakan kepada mereka hadis Auf “demi Allah sungguh Auf seorang qadariy rafidhah syaithan”

.

.

.

‘Aliy bin Ja’d Al Baghdadiy

Ibnu Hajar menyebutkan salah satu perawi Bukhariy dalam Taqrib At Tahdzib hal 691 no 4732 [tahqiiq Abul ‘Asybal Al Baakistaaniy]

Aliy bin Ja'd

[perawi Bukhariy dan Abu Dawud] Aliy bin Ja’d bin Ubaid Al Jauhariy, Al Baghdadiy seorang tsiqat tsabit dituduh dengan tasyyayyu’, termasuk thabaqat kesembilan dari kalangan sighar, wafat pada tahun 230 H

Aliy bin Ja’d termasuk salah satu guru Bukhariy, tidak ada yang menuduhnya rafidhah tetapi ia pernah menyatakan Mu’awiyah mati tidak dalam agama islam. Dalam Masa’il Ahmad bin Hanbal riwayat Ishaaq bin Ibrahim bin Haani’ An Naisaburiy 2/154 no 1866 [tahqiiq Zuhair Asy Syaawiisy], ia [Ishaaq] berkata

Aliy bin Ja'd2

Dan aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad bin Hanbal], telah berkata kepadanya Dalluwaih “aku mendengar Aliy bin Ja’d mengatakan demi Allah, Mu’awiyah mati tidak dalam agama islam”

Dalluwaih yang dimaksud adalah Ziyaad bin Ayuub Abu Haasyim juga termasuk perawi Bukhariy, seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib hal 343 no 2067]

.

.

.

Ulasan Singkat

Fakta-fakta di atas adalah bukti yang cukup untuk membatalkan pernyataan bahwa Bukhariy tidak mengambil hadis dari perawi Rafidhah atau perawi Syi’ah yang mencela sahabat.

Yang kami sajikan disini hanyalah apa yang tertera dan ternukil dalam kitab Rijal Ahlus Sunnah, kami sendiri pada akhirnya [setelah mempelajari lebih dalam] memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal ini. Pengalaman kami dalam menelaah kitab Rijal menunjukkan bahwa perawi dengan mazhab menyimpang [di sisi ahlus sunnah] seperti khawarij, syiah, qadariy, bahkan nashibiy tetap ada yang dikatakan tsiqat atau shaduq sehingga mazhab-mazhab menyimpang tersebut tidak otomatis menjadi hujjah yang membatalkan keadilan perawi.

Hal ini adalah fenomena yang sudah dikenal dalam mazhab Ahlus Sunnah dan tidak ada yang bisa diperbuat dengan itu, memang kalau dipikirkan secara kritis bisa saja dipermasalahkan [sebagaimana kami dulu pernah mempermasalahkannya] tetapi sekeras apapun dipikirkan tidak akan ada solusinya, tidak ada gunanya berkutat pada masalah yang tidak ada solusinya. Lebih baik menerima kenyataan bahwa memang begitulah adanya.

  1. Silakan dipikirkan berapa banyak hadis shahih Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mencela khawarij tetapi tetap saja dalam kitab Rijal ditemukan para perawi yang dikatakan khawarij tetapi tsiqat dan shaduq.
  2. Atau jika ada orang yang mau mengatakan bahwa mencela sahabat dapat menjatuhkan keadilan perawi maka ia akan terbentur dengan para perawi tsiqat dari golongan rafidhah yang mencela sahabat tertentu seperti Utsman dan dari golongan nashibiy yang mencela Aliy bin Abi Thalib.
  3. Bukankah ada hadis shahih bahwa tidak membenci Aliy kecuali munafik tetapi dalam kitab Rijal banyak perawi nashibiy yang tetap dinyatakan tsiqat.

Mungkin akan ada yang berpikir, bisa saja perawi yang dikatakan atau dituduh bermazhab menyimpang [rafidhah, nashibiy, qadariy, khawarij] tidak mesti memang benar seperti yang dituduhkan. Jawabannya ya memang mungkin, tetapi apa gunanya berandai-andai, kalau memang begitu maka silakan dipikirkan bagaimana memastikan tuduhan tersebut benar atau keliru. Dalam kitab Rijal secara umum hanya ternukil ucapan ulama yang menyatakan perawi tertentu sebagai rafidhah, nashibiy, qadariy, khawarij tanpa membawakan bukti atau hujjah. Perkara ini sama halnya dengan pernyataan tautsiq terhadap perawi. Kita tidak memiliki cara untuk membuktikan benarkah ucapan ulama bahwa perawi tertentu tsiqat atau shaduq atau dhaif. Yang bisa dilakukan hanyalah menerimanya atau merajihkan atau mengkompromikan perkataan berbagai ulama tentang perawi tersebut.

Lantas mengapa isu ini dibahas kembali disini?. Isu ini menjadi penting ketika ada sebagian pihak yang mengkafirkan orang-orang Syi’ah maka orang-orang Syi’ah melontarkan syubhat bahwa dalam kitab Ahlus Sunnah termasuk kitab Bukhariy banyak terdapat perawi Syi’ah. Kemudian pihak yang mengkafirkan itu membuat bantahan yang mengandung syubhat pula bahwa perawi Syi’ah dalam kitab Shahih bukanlah Rafidhah. Kami katakan bantahan ini mengandung syubhat karena faktanya terdapat sebagian perawi syiah dalam kitab Shahih yang ternyata dikatakan Rafidhah [contohnya sudah disebutkan di atas].


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya

$
0
0

Takhrij Atsar Aliy bin Abi Thalib : Rasulullah Tidak Pernah Berwasiat Tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya

Kepemimpinan Imam Ali telah ditetapkan dalam hadis-hadis shahih, dibenarkan oleh mereka yang mengetahuinya dan diingkari oleh para pengingkar. Di antara pengingkaran mereka adalah mengait-ngaitkan “kepemimpinan Imam Ali” dengan ciri khas kaum Syiah. Sehingga siapapun yang menetapkan kepemimpinan Imam Ali maka ia adalah Syiah Rafidhah dan kafir. Sebagian pengingkar yang sok mengaku-ngaku ahlus sunnah, mengutip atsar dimana Imam Aliy mengakui bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepemimpinan kepada dirinya. Atsar tersebut dhaif sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya. Tulisan kali ini hanya pembahasan ulang yang lebih rinci untuk membuktikan bahwa atsar Imam Aliy tersebut dhaif sekaligus bantahan terhadap orang yang menguatkan atsar ini .

.

.

.

Riwayat Abdullah bin Sabu’

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذَا، فَمَا يَنْتَظِرُ بِي الْأَشْقَى؟ ! قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَخْبِرْنَا بِهِ نُبِيرُ عِتْرَتَهُ، قَالَ: إِذًا تَالَلَّهِ تَقْتُلُونَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: فَاسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَتْرُكُكُمْ إِلَى مَا تَرَكَكُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: فَمَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ؟ وَقَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً: إِذَا لَقِيتَهُ؟ قَالَ: أَقُولُ: ” اللَّهُمَّ تَرَكْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ، ثُمَّ قَبَضْتَنِي إِلَيْكَ وَأَنْتَ فِيهِمْ، فَإِنْ شِئْتَ أَصْلَحْتَهُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَفْسَدْتَهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Aliy [radiallahu ‘anhu] mengatakan Sungguh akan diwarnai dari sini hingga sini, dan tidak menungguku selain kesengsaraan.” Para shahabat bertanya “Wahai Amirul-Mukminiin beritahukan kepada kami orang itu, agar kami bunuh keluarganya”. Ali berkata “Kalau begitu demi Allah, kalian akan membunuh orang selain pembunuhku.” Mereka berkata “Angkatlah khalifah pengganti untuk memimpin kami”. ‘Aliy menjawab “Tidak, tapi aku tinggalkan kepada kalian apa yang telah Rasulullah [shallallaahu 'alaihi wasallam] tinggalkan untuk kalian”. Mereka bertanya “Apa yang akan kamu katakan kepada Rabbmu jika kamu menghadap-Nya?”. Dalam kesempatan lain Wakii’ berkata “Jika kamu bertemu dengan-Nya?” ‘Aliy berkata “Aku akan berkata Ya Allah, Engkau tinggalkan aku bersama mereka sebagaimana tampak bagi-Mu, kemudian Engkau cabut nyawaku dan Engkau bersama mereka. Jika Engkau berkehendak, perbaikilah mereka dan jika Engkau berkehendak maka hancurkanlah mereka [Musnad Ahmad 1/30]

Hadis dengan jalan ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 3/20, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 14/596 & 15/118, Abu Ya’la dalam Musnad-nya no 341, Al Khallaal dalam As Sunnah no 332, Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 594 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538. Semuanya dengan jalan sanad dari Waki’ dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’

.

.

Waki’ mempunyai mutaba’ah dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy sebagaimana disebutkan Al Laalikaa’iy dalam Syarh Ushul Al I’tiqaad 1/664-665 no 1209 dan Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq 42/538-539 dengan jalan Ishaaq bin Ibrahim dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’. Ishaq bin Ibrahim berkata

سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَيَّاشٍ، يَقُولُ: عِنْدِي فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِسْنَادٌ جَيِّدٌ أَخْبَرَنِي الأَعْمَشُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، أَنَّ عَلِيًّا خَطَبَهُمْ بِهَذِهِ الْخُطْبَةِ

Aku mendengar Abu Bakar bin ‘Ayyasy mengatakan “disisiku hadis ini sanadnya jayyid, telah mengabarkan kepadaku Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ bahwa Aliy berkhutbah kepada mereka dengan khutbah ini

Orang itu setelah membawakan hadis ini berkata bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy terhadap sanad ini menunjukkan tautsiq terhadap para perawinya termasuk Abdullah bin Sabu’. Sehingga menurutnya terangkatlah jahatul ‘ainnya Abdullah bin Sabu’. Hujjah ini tertolak dengan alasan tashih tersebut tidaklah benar.

Abu Bakar bin ‘Ayyasy adalah perawi yang diperbincangkan keadaannya sebagian menta’dilkannya dan sebagian menjarh-nya karena terdapat kelemahan pada hafalannya bahkan Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkan hadisnya dari Al A’masy dan selainnya. Abu Bakar buruk hafalannya ketika beranjak tua. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, buruk hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib 2/366].

Ishaq bin Ibrahim yang meriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy wafat pada tahun 257 H sedangkan Abu Bakar bin ‘Ayyasy wafat tahun 194 H. Jadi ada selang waktu sekitar 63 tahun, tidak diketahui apakah Ishaq bin Ibrahim meriwayatkan dari Abu Bakar sebelum atau setelah hafalannya berubah, berdasarkan tahun wafat mereka berdua besar kemungkinan ia mendengar hadis ini dari Abu Bakar setelah ia beranjak tua dan hafalannya berubah. Bagaimana mungkin tashih dari perawi seperti ini dijadikan hujjah?. Selain itu yang menguatkan bahwa tashih Abu Bakar bin ‘Ayyasy ini berasal dari hafalannya yang buruk adalah tadlis Al A’masy merupakan perkara ma’ruf di sisi Abu Bakar maka bagaimana mungkin ia mengatakan hadis tersebut sanadnya jayyid padahal di dalamnya ada ‘an anah dari Al A’masy

وقال عبد الله بن أحمد عن أبيه في أحاديث الأعمش عن مجاهد قال أبو بكر بن عياش عنه حدثنيه ليث عن مجاهد

Abdullah bin Ahmad berkata dari ayahnya tentang hadis-hadis Al A’masy dari Mujahid, Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan darinya [A’masy] berkata “telah menceritakan kepadanya dari Laits dari Mujahid” [At Tahdzib juz 4 no 386]

Apalagi hadis ini juga diriwayatkan oleh Aswad bin ‘Amir dari Abu Bakar bin ‘Ayyasy dengan sanad yang berbeda yaitu dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dan tanpa penyebutan tashih sanad yaitu sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 1/156 dan Fadha’il Ash Shahabah no 1211

نا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ  عَبْدِ  اللَّهِ  بْنِ  سَبُعٍ ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيٌّ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Aamir yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar dan ia adalah Ibnu ‘Ayyasy dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Ali berkhutbah kepada kami”

Aswad bin ‘Aamir wafat tahun 208 H yang berdekatan dengan wafatnya Abu Bakar bin ‘Ayyasy tahun 194 H. Walaupun tidak diketahui apakah Aswad bin ‘Aamir meriwayatkan sebelum atau sesudah Abu Bakar berubah hafalannya tetapi dilihat dari tahun wafat mereka maka Aswad bin ‘Aamir memiliki kemungkinan yang lebih besar meriwayatkan dari Abu Bakar sebelum hafalannya buruk. Maka riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy yang lebih rajih adalah riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir darinya yaitu riwayat  Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’

.

.

Khutbah Imam Ali riwayat Abdullah bin Sabu’ ini juga diriwayatkan oleh Jarir bin ‘Abdul Hamiid dari Al A’masy yaitu sebagaimana disebutkan Abu Ya’la

حَدَّثَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jariir dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Saalim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami [Musnad Abu Ya’la no 590]

Riwayat Jarir ini juga disebutkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dalam Al Mukhtarah no 595, Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 198 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/540. Jarir memiliki mutaba’ah dari Abdullah bin Dawuud Al Khuraibiy sebagai mana disebutkan Ajjuriy dalam Asy Syari’ah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْوَاسِطِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَعْمَشَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Hamiid Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Akhzam yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dawud yang berkata aku mendengar Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari ‘Abdullah bin Sabu’ yang berkata aku mendengar Ali [radiallahu ‘anhu] di atas mimbar [Asy Syari’ah 3/267-268]

Riwayat Abdullah bin Dawud juga disebutkan Al Muhaamiliy dalam Al Amaaliy no 150 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/541

Kalau kita melihat dengan baik maka riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawud dari Al A’masy tidaklah sama dengan riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al A’masy. Keduanya [Jarir dan 'Abdullah bin Dawud] menyebutkan dari Al A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ sedangkan Abu Bakar menyebutkan dari Al A’masy dari Salamah dari Abdullah bin Sabu’ tanpa menyebutkan Salim bin Abil Ja’d. Maka sungguh yang mengatakan bahwa riwayat tersebut sama adalah orang yang dibutakan matanya setelah dibutakan hatinya. Bagaimana tidak dikatakan buta, jika ia sendiri telah menuliskan riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawud tersebut!.

Yahya bin Yaman meriwayatkan dari Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d tanpa menyebutkan ‘Abdullah bin Sabu’

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، قَالَ: قِيلَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yamaan dari Sufyaan Ats Tsawriy dari Al A’masy dari Salim bin Abil Ja’d yang berkata dikatakan kepada Ali [radiallahu ‘anhu] [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1249 & 1317]

Setelah mengutip riwayat ini orang itu berkata “sanad riwayat ini lemah”. Kami katakan Yahya bin Yamaan ini kedudukannya tidak jauh berbeda dengan Abu Bakar bin ‘Ayyasy, Ibnu Hajar berkata tentang Yahya bin Yaman Al Ijliy shaduq ahli ibadah, banyak melakukan kesalahan, hafalannya berubah ketika beranjak tua [At Taqrib 2/319]. Lantas mengapa sebelumnya ia berhujjah dengan Abu Bakar bin ‘Ayyasy dan melemahkan Yahya bin Yamaan. Tidak lain itu karena akal-akalan nafsunya, dengan melemahkan riwayat Yahya bin Yamaan maka berkuranglah riwayat Al A’masy yang idhthirab.

Dan selanjutnya ia akan lebih gampangan mencari qarinah tarjih atas riwayat idhthirab Al A’masy. Orang itu membawakan riwayat tanpa jalur Al A’masy sebagai qarinah tarjih untuk membatalkan hujjah idhthirab Al A’masy dan menguatkan salah satu jalur yang ia inginkan. Berikut riwayat yang ia katakan sebagai qarinah tarjih

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ حَكِيمٍ، قال: ثنا أَبِي، قال: ثنا بَكْرُ بْنُ بَكَّارٍ، قال: ثنا حَمْزَةُ الزَّيَّاتُ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ عَلِيٌّ،

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Muhammad bin Ibrahiim bin Hakiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Bakr bin Bakkaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Hamzah Az Zayyaat dari Hakiim bin Jubair dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy  [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/29]

Riwayat ini lemah karena Bakr bin Bakkaar dan Hakim bin Jubair telah didhaifkan oleh sebagian ulama. Mengenai Bakr bin Bakkaar, Abu Ashim An Nabiil menyatakan ia tsiqat. Ibnu Abi Hatim berkata “dhaif al hadits, buruk hafalannya dan mengalami ikhtilath”. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Nasa’i terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Al Uqailiy, Ibnu Jaruud dan As Saajiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 1 no 882]. Mengenai Hakim bin Jubair, Ahmad berkata “dhaif al hadits mudhtharib”, Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”, Yaqub bin Syaibah berkata “dhaif al hadits”. Abu Zur’ah berkata “shaduq insya Allah”. Abu Hatim berkata “dhaif al hadits mungkar al hadits”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Daruquthni berkata “matruk”. Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya” [At Tahdzib juz 2 no 773]

Aneh bagaimana mungkin riwayat yang kedudukannya dhaif seperti ini dijadikan qarinah tarjih. Sungguh kami dibuat terheran-heran dengan caranyaberhujjah. Hal ini membuktikan bahwa ilmu hadis itu memang unik bisa diutak atik seenaknya demi kepentingan hawa nafsunya. Seandainya pun riwayat ini dijadikan tarjih riwayat A’masy maka itu menguatkan riwayat Yahya bin Yaman dari Ats Tsawriy dari A’masy dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy tanpa menyebutkan Abdullah bin Sabu‘.

Kemudian orang itu mengutip pernyataan Ibnu Asakir bahwa Salim tidak mendengar dari Aliy dan ia hanyalah meriwayatkannya melalui perantara Abdullah bin Sabu’. Tentu saja pernyataan Ibnu Asakir adalah berlandaskan pada  riwayat-riwayat lain sedangkan zhahir riwayat Bakr bin Bakaar di atas adalah tanpa menyebutkan Abdullah bin Sabu’. Jika riwayat Bakr mau dijadikan qarinah tarjih idhthirab A’masy maka berhujjahlah dengan zhahir riwayat Bakr bukan dengan andai-andai riwayat lain. Hal ini menunjukkan bahwa cara berhujjah orang itu benar-benar sembarangan dan seenaknya saja.

Ada satu lagi riwayat Aban bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang dikutipnya yaitu riwayat dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/541, yaitu dengan sanad sebagai berikut

أَنْبَأناهُ أَبُو بَكْرٍ الشِّيرُوِيُّ، وَحَدَّثَنَا أَبُو الْمَحَاسِنِ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْهُ.ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْقَاسِمِ الْوَاسِطِيُّ، أنا أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ، قَالا: أنا الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ الْحِيرِيُّ، نا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الأَصَمُّ، نا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبِيبَةَ الْقُرَشِيُّ، نا يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ الْفُرَاتِ الْعِرَارُ، نا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبْعٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ

Telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Asy Syiiruwiy dan telah menceritakan kepada kami Abu Mahaasin Abdurrazaq bin Muhammad darinya. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Al Waasithiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Khatib. Keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Al Qaadhiy Abu Bakar Al Hirriy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Abbaas Muhammad bin Ya’qub Al Ashaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Hasan Aliy bin Muhammad bin Habiibah Al Qurasyiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hasan bin Furaat Al ‘Iraar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Umar dari Abaan bin Taghlib dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata Aliy bin Abi Thalib berkata [Tarikh Ibnu Asakir 42/541].

Riwayat ini dhaif sanadnya sampai Aban bin Taghlib karena diriwayatkan oleh para perawi majhul sehingga juga tidak bisa dijadikan qarinah tarjih.

  1. Abu Hasan Aliy bin Muhammad bin Habiibah Al Qurasyiy disebutkan Ibnu Makula biografinya dalam Al Ikmal tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Al Ikmal Ibnu Makula 3/120]
  2. Yahya bin Hasan bin Furaat Al ‘Iraar tidak ditemukan biografinya maka ia majhul tidak dikenal kredibilitasnya
  3. Muhammad bin Umar, tidak jelas siapa dirinya tetapi kemungkinan ia adalah Muhammad bin Abi Hafsh Al Athaar sebagaimana disebutkan Al Khatib bahwa ia meriwayatkn dari Aban bin Taghlib dan telah meriwayatkan darinya Yahya bin Hasan bin Furaat [Taliy Talkhiis Al Mutasyaabih 2/534]. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia adalah Muhammad bin Umar Al Anshariy dan mengutip jarh Al Azdiy yang berkata “dibicarakan tentangnya” [Lisan Al Mizan juz 5 no 489].

Seandainya pun riwayat ini dijadikan qarinah tarjih sanad A’masy maka riwayat ini menguatkan riwayat Abu Bakar bin A’yasy dimana A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’. Maka tetap saja dua riwayat yang dijadikan qarinah tarjih oleh orang itu malah semakin menguatkan adanya idhthirab pada sanad A’masy. Kedudukan sebenarnya adalah tidak ada qarinah tarjih yang menguatkan salah satu sanad dalam idhthirab Al Amasy di atas.

  1. Al A’masy meriwayatkan dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’  dari Aliy [riwayat Waki’]
  2. Al A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ dari Aliy [riwayat Abu Bakar bin ‘Ayyasy]
  3.  Al A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ dari Aliy [riwayat Jarir dan Abdullah bin Dawuud]
  4. Al A’masy meriwayatkan dari Salim bin Abil Ja’d dari Aliy tanpa menyebutkan Abdullah bin Sabu’ [riwayat Yahya bin Yamaan dari Ats Tsawriy]

Tidak diragukan lagi kalau hadis ini mudhtharib dan sumbernya adalah Al A’masy dan dalam semua riwayatnya ia meriwayatkan dengan ‘an anah. Abdullah bin Sabu’ hanya dikenal melalui satu hadis ini saja dan ternyata sanadnya mudhtharib maka ia seorang yang statusnya majhul ‘ain dan hadisnya mudhtharib. Kedudukan riwayat Abdullah bin Sabu’ ini sudah jelas dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Kemudian orang itu mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid Al Himmany yang ia katakan sebagai syahid perkataan Abdullah bin Sabu’. Riwayat ini disebutkan dalam Musnad Al Bazzar no 871, Kasyf Al Astaar no 2572, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/542 semuanya dengan jalan sanad dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yaziid. Berikut riwayat Al Bazzar

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْجُنَيْدِ، قَالا: ثنا أَبُو الْجَوَابِ، قَالَ: ثنا عَمَّارُ بْنُ رُزَيْقٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنْ ثَعْلَبَةَ بْنِ يَزِيدَ الْحِمَّانِيِّ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: ” وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذِهِ لِلِحْيَتِهِ مِنْ رَأْسِهِ فَمَا يُحْبَسُ أَشْقَاهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سُبَيْعٍ: وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَوْ أَنَّ رَجُلا فَعَلَ ذَلِكَ أَبَرْنَا عِتْرَتَهُ، قَالَ: قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، أَنْ تَقْتُلَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي، قَالُوا: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنِّي أَتْرُكُكُمْ كَمَا تَرَكَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَمَاذَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ وَقَدْ تَرَكْتَنَا هَمَلا، قَالَ: أَقُولُ لَهُمُ اسْتَخْلَفْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ ثُمَّ قَبَضْتَنِي وَتَرَكْتُكَ فِيهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Sa’iid Al Jawhariy dan Muhammad bin Ahmad bin Al Junaid yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abul Jawaab yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ammaar bin Ruzaiq dari Al A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Tsa’labah bin Yazid Al Himmaniy yang berkata Aliy berkata “Demi Dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan menciptakan semua jiwa. Sungguh akan diwarnai darah dari sini hingga sini, yaitu dari kepala hingga jenggot. dan tidak menungguku selain kesengsaraan”. ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Demi Allah wahai Amiirul-mukminiin, seandainya ada seorang laki-laki yang melakukan hal itu, sungguh akan kami  binasakan keluarganya”. Aliy berkata “Aku bersumpah kepada Allah bahwasannya engkau membunuh orang yang tidak membunuhku”. Mereka berkata “Wahai Amiirul-mukminiin, tidakkah engkau mengangkat khalifah pengganti untuk kami?”. ‘Aliy menjawab “Tidak. Akan tetapi aku akan meninggalkan kalian sebagaimana Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] telah meninggalkan kalian”. ‘Abdullah bin Subai’ berkata “Lalu, apakah yang akan engkau katakan kepada Rabbmu apabila engkau menemui-Nya dimana engkau meninggalkan kami mengurus keadaan kami sendiri?”. Aliy menjawab “Aku berkata Engkau telah mengangkat aku sebagai khalifah di tengah-tengah mereka sesuai kehendak-Mu, kemudian engkau mematikanku dan aku tinggalkan Engkau di tengah-tengah mereka [Musnad Al Bazzaar no 871]

Riwayat ini sanadnya dhaif karena ‘an anah Al A’masy dan Habib bin Abi Tsabit, keduanya dikenal sebagai mudallis. Ad Daruquthni memasukkan riwayat ini sebagai bagian dari idhthirab Al A’masy dan mengatakan tidak dhabit sanadnya [Al Ilal no 396]. Disebutkan oleh Adz Dzahabiy dalam Tarikh Al Islam 3/647 dan Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab 3/1125 yang mengutip riwayat Tsa’labah bin Yazid yaitu sampai lafaz “tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan” tanpa menyebutkan lafaz Abdullah bin Sabu’ berkata. Disini terdapat qarinah yang menunjukkan illat [cacat] bahwa Al A’masy menampuradukkan antara hadis Tsa’labah bin Yazid dan hadis Abdullah bin Sabu’. Maka riwayat Tsa’labah bin Yazid tidak bisa dijadikan syahid riwayat Abdullah bin Sabu’ karena keduanya berasal dari idhthirab Al A’masy.

.

.

.

Riwayat Syu’aib bin Maimun

Riwayat ini disebutkan dalam Musnad Al Bazzar no 565, Mustadrak Al Hakim 3/79, As Sunnah Ibnu Abi ‘Ashim no 1158 & 1221, Sunan Baihaqy 8/149, Ad Dalaa’il Baihaqiy 7/223, Al I’tiqaad Baihaqiy 502, Amaliy Ibnu Bakhtariy no 42 dan Tarikh Ibnu Asakir 42/536-537 dengan sanad dari Syabaabah bin Sawwar dari Syu’aib bin Maimun dari Hushain bin ‘Abdurrahman dari Syaqiiq Abu Waiil dari Aliy [radiallahu ‘anhu]. Berikut riwayat Al Bazzar

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي الْحَارِثِ، قَالَ: نا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ، قَالَ: نا شُعَيْبُ بْنُ مَيْمُونٍ، عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ شَقِيقٍ، قَالَ: قِيلَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَلا تَسْتَخْلِفُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: ” مَا اسْتَخْلَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْتَخْلِفَ عَلَيْكُمْ، وَإِنْ يُرِدِ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالنَّاسِ خَيْرًا، فَسَيَجْمَعُهُمْ عَلَى خَيْرِهِمْ كَمَا جَمَعَهُمْ بَعْدَ نَبِيِّهِمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خَيْرِهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Ismaiil bin Abil Haarits yang berkata telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimun dari Hushain bin ‘Abdurrahman dari Asy Sya’biy dari Syaqiiq yang berkata Dikatakan kepada Aliy “Tidakkah engkau mengangkat pengganti?”. Ia menjawab “Rasululah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] tidak mengangkat pengganti maka haruskah aku mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka [Musnad Al Bazzaar no 565].

Riwayat ini dhaif karena Syu’aib bin Maimun. Abu Hatim dan Al Ijliy berkata “majhul”. Bukhari berkata “fiihi nazhar”. Ibnu Hibban menyatakan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari para perawi masyhur tidak bisa dijadikan hujjah jika menyendiri. [At Tahdzib juz 4 no 68]. Ibnu Hajar berkata “dhaif ahli ibadah” [At Taqrib 1/420]. Daruquthni berkata “tidak kuat” [Al Ilal no 493]. Al Uqailiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa 2/182-183 no 703]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 74]

Selain itu riwayat Syu’aib bin Maimun ini lemah karena idhthirab. Amru bin ‘Aun meriwayatkan hadis ini dari Syu’aib bin Maimun dari Abu Janaab Al Kalbiy dari Abu Wail dari Aliy sebagaimana disebutkan Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa 2/182-183 no 703. Abu Janaab seorang yang diperbincangkan termasuk mudallis thabaqat ketiga dan membawakan riwayat ini dengan ‘an anah.

Ibnu Hajar mengutip perkataan Muhammad bin Abaan Al Washithiy bahwa hadis Syu’aib ini termasuk hadis mungkarnya karena ma’ruf bahwa hadis ini diriwayatkan Hasan bin Umarah dari Washil bin Hayyaan dari Syaqiiq [At Tahdzib juz 4 no 608]. Kemudian orang itu berusaha membuat syubhat dengan mengutip pernyataan Al Bazzar “kami tidak mengetahui hadis tersebut diriwayatkan dari Syaqiiq dari Aliy kecuali dengan sanad ini” [Kasyf Al Astaar no 2484]. Artinya menurut Al Bazzar riwayat Syaqiiq dari Aliy hanya berasal dari jalur Syu’aib bin Maimun bukan dari jalur lain.

Perkataan ini tidak ada artinya karena yang mengetahui menjadi hujjah bagi yang tidak mengetahui. Muhammad bin Aban Al Wasithiy jelas lebih mengetahui dibanding Al Bazzar karena ia meriwayatkan langsung dari Syu’aib bin Maimun dan sezaman dengan Hasan bin Umarah. Apalagi riwayat Hasan bin Umaarah ini telah disebutkan Daruquthni dalam kitabnya Al Ilal [Al Ilal no 493]. Diantara riwayat Hasan bin Umarah telah diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Fadha’il Ash Shahabah no 622

حدثنا الحسين نا عقبة بن مكرم الضبي قثنا يونس بن بكير عن الحسن بن عمارة عن الحكم وواصل عن شقيق بن سلمة قال قيل لعلي الا توصي قال ما أوصى رسول الله صلى الله عليه وسلم فاوصى ولكن ان يرد الله بالناس خيرا فسيجمعهم على خيرهم كما جمعهم بعد نبيهم على خيرهم

Telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Makram Adh Dhabbiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Hasan bin Umarah dari Al Hakam dan Washil dari Syaqiiq bin Salamah yang berkata dikatakan kepada Aliy “tidak engkau berwasiat?”. Aliy berkata “Rasulullah tidak berwasiat maka mengapa aku berwasiat?” tetapi jika Allah menghendaki kebaikan bagi manusia maka ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik diantara mereka sebagaimana Allah menghimpun atas mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik diantara mereka [Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 622]

Yunus bin Bukair dalam periwayatannya dari Hasan bin Umarah memiliki mutaba’ah dari Ja’far bin ‘Aun sebagaimana yang disebutkan Abu Thalib Al Harbiy dalam Fadha’il Abu Bakar no 19. Hasan bin Umaarah adalah seorang yang disepakati dhaif matruk bahkan ia dinyatakan pendusta dan meriwayatkan hadis maudhu’. Maka benarlah apa yang dinukil Ibnu Hajar bahwa hadis Syu’aib bin Maimun ini termasuk diantara hadis-hadis mungkarnya

.

.

.

Riwayat ‘Amru bin Sufyan

Riwayat ‘Amru bin Sufyan ini memiliki banyak jalur periwayatan yang jika dikumpulkan akan nampak idhthirab pada sanad-sanadnya. Orang itu berusaha menguatkan hadis ini dengan menafikan idhthirab pada sanad-sanad riwayat ‘Amru bin Sufyan. Iaberusaha menerapkan metode tarjih untuk menguatkan hujjahnya tapi sayang sekali terlihat jelas bahwa apa yang ia lakukan hanya akal-akalan basi demi membela hadis yang sesuai dengan hawa nafsunya.

Diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/114, Fadha’il Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 477, As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1333, Al Ilal Daruquthni no 442 dengan jalan sanad dari ‘Abdurrazaaq dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy. Berikut riwayat Ahmad dalam Musnad-nya

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْجَمَلِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي إِمَارَةِ، وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ، رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، حَتَّى ضَرَبَ الدِّينُ بِجِرَانِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq yang memberitakan kepada kami Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy [radiallahu ‘anhu] bahwa ia berkata pada saat perang Jamal “Sesungguhnya Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] tidak pernah berwasiat kepada kami satu wasiatpun yang mesti kami ambil dalam masalah kepemimpinan. Akan tetapi hal itu adalah sesuatu yang kami pandang menurut pendapat kami, kemudian diangkatlah Abu Bakar menjadi Khalifah, semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Ia menjalankan dan istiqamah di dalam menjalankannya, kemudian diangkatlah Umar menjadi Khalifah semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Umar maka dia menjalankan dan istiqamah di dalam menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh karenanya [Musnad Ahmad 1/114]

Abdurrazzaq dalam periwayatannya dari Sufyan memiliki mutaba’ah yaitu Zaid bin Hubaab sebagaimana yang disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no 1327 dan Abul Yahya Al Himmaniy sebagaimana disebutkan dalam Al Ilal Daruquthniy no 442. Riwayat ini sanadnya shahih sampai Aswad bin Qais. Tidak diketahui laki-laki yang meriwayatkan dari Aliy maka hadis tersebut kedudukannya dhaif.

Kemudian diriwayatkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1334, Al Ilal Daruquthniy no 442, Ad Dalaa’il Baihaqiy 6/439, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 502-503 dan Tarikh Al Khatib 4/276-277 dengan jalan sanad dari Sufyan dari Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal

حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، عَنْ عِصَامِ بْنِ النُّعْمَانِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، قَالَ: ” خَطَبَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْجَمَلِ

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari ‘Amru bin Sufyan yang berkata “Ali berkhutbah pada saat perang Jamal [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1334]

Dalam riwayat Baihaqiy yaitu dalam Ad Dalaa’il dan Al I’tiqaad disebutkan bahwa Syu’aib bin Ayuub meriwayatkan dari Abu Dawud Al Hafariy dari Sufyan tanpa menyebutkan ‘Ishaam bin Nu’man. Hal ini keliru, karena dalam riwayat Daruquthni disebutkan dari Syu’aib bin Ayuub dari Abu Dawud Al Hafariy dari ‘Ishaam bin Nu’maan dari Sufyan. Kemudian dalam riwayat Al Khatib disebutkan dari Al Hafariy dari ‘Aashim bin Nu’maan dari Sufyan.

Riwayat ini sanadnya dhaif atau tidak tsabit sampai Aswad bin Qais karena ‘Ishaam bin Nu’man atau ‘Aashim bin Nu’man adalah seorang yang majhul tidak diketahui kredibilitasnya bahkan namanya pun tidak jelas apakah ‘Ishaam ataukah ‘Aashim dan yang meriwayatkan darinya hanya satu orang yaitu Abu Dawud Al Hafariy.

‘Ishaam bin Nu’maan dalam periwayatannya dari Sufyaan memiliki mutaba’ah yaitu dari Husain bin Walid sebagaimana disebutkan dalam Amaliy Al Jurjaniy no 13 yaitu dengan jalan sanad berikut

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْحَسَنِ، ثَنا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ السُّلَمِيُّ، ثنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْوَلِيدِ، ثنا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ الْعَبْدِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ الثَّقَفِيِّ

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al Husain bin Al Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yazid As Sulamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waliid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan Ats Tsawriy dari Aswad bin Qais Al ‘Abdiy dari ‘Amru bin Sufyan Ats Tsaqafiy [Amaliy Al Jurjaniy no 13]

Sanad ini dhaif jiddan atau tidak tsabit sanadnya sampai Aswad bin Qais karena Muhammad bin Yazid As Sulamiy, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15677]. Daruquthni berkata “dhaif” [Ma’usuah Qaul Daruquthni no 3424]. Daruquthni juga berkata “ia memalsukan hadis dari para perawi tsiqat” [Ta’liqat Daruquthni ‘Ala Al Majruuhiin Ibnu Hibban 1/277]. Al Khatib berkata “matruk al hadits” [Tarikh Baghdad 2/289].

Kemudian disebutkan dalam As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336, Al Ilal Daruquthni no 442, Al I’tiqaad Baihaqiy hal 503-504, Adh Dhu’afa Al Uqailiy 1/165, Al Mukhtaran Al Maqdisiy no 470 & 471, dengan jalan sanad dari Abu Ashim An Nabiil dari Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari Ayahnya dari Aliy. Berikut sanadnya dalam riwayat Abdullah bin Ahmad

حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ ثِقَةٌ، وَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِيهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Muhammad bin ‘Abdurrahiim tsiqat menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari Sufyaan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1336]

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Aswad bin Qais dan Abu Ashim An Nabiil adalah Dhahhak bin Makhlaad Asy Syaibaniy termasuk perawi Bukhari Muslim yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Al Ijliy dan Ibnu Sa’ad. Umar bin Syabbah berkata “demi Allah aku tidak pernah melihat orang yang sepertinya”. Al Khaliliy berkata disepakati atasnya zuhud, alim, agamanya dan keteguhannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 4 no 793]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat lagi tsabit” [At Taqrib 1/444].

Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan tidak dikenal kredibilitasnya atau majhul, yang meriwayatkan darinya hanya Al Aswad bin Qais yaitu dalam hadis ini. Ibnu Abi Hatim dalam biografi Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan berkata

سعيد بن عمرو بن سفيان روى عن ابيه عمرو بن سفيان روى عنه الاسود بن قيس في حديث تفرد أبو عاصم النبيل في ادخاله سعيدا في الاسناد فيما رواه عن الثوري عن الاسود ولا يتابع عليه

Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari ayahnya ‘Amru bin Sufyan, telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais dalam hadis dimana Abu ‘Aashim An Nabiil bersendirian dalam memasukkan Sa’id dalam sanad yang ia riwayatkan dari Sufyan dari Al Aswad, ia tidak memiliki mutaba’ah [Al Jarh Wat Ta’dil 4/53 no 230]

Kemudian orang itu berkata perkataan Ibnu Abi Hatim ini dapat bermakna penta’lilan menurut ulama mutaqaddimin terutama jika terdapat perselisihan. Perkataan ini tidak ada nilainya, pernyataan Ibnu Abi Hatim “tidak memiliki mutaba’ah” tidak sedikitpun memudharatkan riwayat Abu ‘Aashim An Nabiil karena ia seorang yang tsiqat tsabit. Seandainya pun ada perselisihan maka dilihat siapa yang berselisih dengan Abu ‘Aashim An Nabiil tersebut bukannya sembarangan berkata ma’lul [cacat].

قال قتيبة حدثنا جرير عن سفيان عن الأسود بن قيس عن أبيه عن علي رضى الله تعالى عنهم لم يعهد إلينا النبي صلى الله عليه وسلم في الإمرة شيئا

Qutaibah berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Sufyaan dari Al Aswaad bin Qais dari ayahnya dari Ali radiallahu ta’ala ‘anhum “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada kami sedikitpun tentang kepemimpinan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]

Orang itu setelah mengutip hadis ini berkata sanad riwayat ini lemah karena tidak diketahui apakah Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum atau sesudah masa ikhtilathnya. Pernyataan ini patut diberikan catatan karena riwayat Qutaibah dari Jarir telah disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Maka disini terdapat qarinah yang menguatkan bahwa Qutaibah mendengar dari Jarir sebelum masa ikhtilathnya itu pun jika memang benar Jarir bin Abdul Hamiid mengalami ikhtilath. Sanad riwayat Bukhari ini shahih sampai Al Aswad bin Qais [setidaknya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim]

Yang perlu diperhatikan adalah Bukhari tidak memasukkan hadis ini dalam biografi Qais Al Abdiy ayah Aswad bin Qais sebagaimana bisa dilihat dalam biografi Qais [Tarikh Al Kabir juz 7 no 663]. Bukhari malah memasukkan hadis di atas dalam biografi ‘Amru bin Sufyan [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]. Hal ini menunjukkan bahwa hadis di atas adalah bagian dari idhthirab riwayat ‘Amru bin Sufyan.

Hal ini telah disinyalir oleh Ibnu Hajar. Dalam biografi Qais Al Abdiy ia mengutip riwayatnya dalam Musnad Ali yang dikeluarkan Nasa’i dari Ali tentang kepemimpinan kemudian mengutip berbagai riwayat ‘Amru bin Sufyan [At Tahdzib juz 8 no 733]. Setelah itu dalam At Taqrib ia berkata

قيس العبدي والد الأسود مقبول من الثانية وفي الحديث الذي أخرجه له النسائي اضطراب

Qais Al Abdiy ayahnya Al Aswad maqbul termasuk thabaqat kedua dan hadisnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i idhthirab [At Taqrib 2/36]

Dengan kata lain tidak tsabit periwayatannya dari Ali tentang hadis ini karena hadis ini sendiri idhthirab pada sanadnya. Benarkah demikian? Tentu jika mengumpulkan riwayat yang shahih, yang dhaif dan yang tidak ternukil sanad lengkapnya maka akan banyak sekali bukti bahwa hadis tersebut idhthirab. Dan seandainya kita hanya mengumpulkan riwayat yang sanadnya shahih hingga Al Aswad bin Qais [sebagaimana yang telah dibahas di atas] maka idhthirab itu pun juga nampak jelas

  1. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari seorang laki-laki dari Aliy
  2. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya dari Aliy
  3. Riwayat Sufyan dari Al Aswad bin Qais dari ayahnya dari Aliy

Daruquthni dan Al Khatib menyatakan bahwa hadis ‘Amru bin Sufyan tersebut idhthirab dan menisbatkan hal itu pada Ats Tsawriy. Menurut kami diantara Sufyan Ats Tsawriy dan Al Aswad bin Qais, yang lebih mungkin mengalami idhthirab adalah Al Aswad bin Qais karena tingkat ketsiqatan dan dhabit Sufyan Ats Tsawriy lebih tinggi dari Al Aswad bin Qais.

.

.

Ada riwayat ‘Amru bin Sufyan yang lain tentang hadis ini yang sanadnya tidak melalui jalur Al Aswad bin Qais Al Abdiy yaitu riwayat dengan sanad berikut

وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُسَاوِرٌ الْوَرَّاقُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Marwan yang berkata telah menceritakan kepada kami Musawwir Al Warraaq dari ‘Amru bin Sufyaan [Asy Syari’ah Al Ajjuriy 2/441]

Riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu Marwan bin Mu’awiyah Al Fazaariy ia seorang tsiqat hafizh tetapi sering melakukan tadlis dalam penyebutan nama-nama gurunya [At Taqrib 2/172]. Penyifatan Ibnu Hajar terhadap Marwan ini berdasarkan pernyataan ulama mutaqaddimin seperti Ibnu Ma’in yang menyatakan bahwa ia sering mengubah nama gurunya sebagai bentuk tadlisnya dan pernyataan Abu Dawud bahwa ia sering membolak balik nama, dan Marwan dikenal sering meriwayatkan dari syaikhnya para perawi majhul [At Tahdzib juz 10 no 178].

Apa yang dilakukan Marwan bin Mu’awiyah itu dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah tadlis syuyukh yaitu mengubah nama syaikh [gurunya] untuk menutupi kelemahan hadis yang dibawakan. Hadis di atas termasuk dalam tadlis Marwan bin Muawiyah dengan berbagai qarinah berikut

  1. Tidak dikenal Marwan meriwayatkan dari Musawwir Al Warraaq atau tidak dikenal Marwan sebagai murid Musawwir Al Warraaq, tidak ditemukan baik dalam biografi Marwan bin Muawiyah dan biografi Musawwir Al Warraaq bahwa mereka memiliki hubungan guru dan murid.
  2.  Disebutkan dalam biografi perawi bahwa riwayat di atas adalah milik Musawwir yang tidak dikenal nasabnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dan Al Mizziy. Ibnu Hajar berkata ia adalah syaikh [guru] Marwan bin Mu’awiyah yang majhul [At Taqrib 2/174]. Adz Dzahabiy juga menyatakan ia majhul [Al Mizan no 8448 & Al Mughni no 6183]
  3. Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Marwan bin Mu’awiyah meriwayatkan hadis ini dari Sawwaar perawi yang majhul sebagaimana disebutkan Al Qaasim bin Tsabit dalam Ad Dalaa’il Fii Gharibil Hadits 2/586 no 307 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/104.

Jadi hadis ini sebenarnya diriwayatkan oleh Marwan dari salah satu syaikhnya yang majhul yaitu Musawwir atau Sawwaar [tidak jelas siapa namanya] kemudian Marwan dalam salah satu periwayatannya mengubahnya menjadi Musawwir Al Warraaq sebagai salah satu bentuk tadlis syuyukh-nya.

Terdapat Illat [cacat] lain dalam riwayat Marwan bin Mu’awiyah di atas, Al Mu’allimiy menyebutkan bahwa Marwan bin Mu’awiyah pernah melakukan tadlis taswiyah selain tadlis suyukh [At Tankiil hal 431]. Hal ini juga diisyaratkan Abu Dawud dalam Su’alat Al Ajjury bahwa Marwan pernah meriwayatkan dari Abu Bakar bin ‘Ayasy dari Abu Shalih dan menghilangkan nama seorang perawi di antara keduanya [Su'alat Abu Dawud Al Ajjuriy no 204]. Pentahqiq kitab Su’alat Abu Dawud tersebut berkomentar bahwa Marwan bin Muawiyah melakukan tadlis taswiyah dan tadlis syuyukh. Ibnu Ma’in menyebutkan bahwa perawi yang dihilangkan namanya itu adalah Al Kalbiy [Tarikh Ibnu Ma'in riwayat Ad Duuriy no 2241].

Perawi yang melakukan tadlis taswiyah maka hadisnya diterima jika ia menyebutkan sima’ hadisnya dari Syaikh [gurunya] dan gurunya tersebut juga menyebutkan sima’-nya dari gurunya. Intinya terdapat lafaz tahdits atau sima’ hadis pada dua thabaqat dari perawi yang tertuduh tadlis taswiyah. Bahkan beberapa ulama mensyaratkan bahwa lafaz tahdits atau sima’ itu harus ada pada setiap thabaqat sanad sampai ke sahabat. Dalam riwayat di atas Marwan bin Mu’awiyah memang menyebutkan lafaz sima’ dari syaikh-nya Musawwir tetapi ia tidak menyebutkan lafaz sima’ Musawwir dari ‘Amru bin Sufyan, maka hadisnya tidak bisa diterima. Bisa saja diantara Musawwir dan ‘Amru bin Sufyan terdapat perawi dhaif atau majhul yang dihilangkan namanya oleh Marwan bin Mu’awiyah.

Secara keseluruhan hadis ‘Amru bin Sufyan yang melalui jalan Al Aswad bin Qais dan yang melalui jalan Musawwir kedudukannya dhaif dan bisa dikatakan tidak ada asalnya atau berasal dari perawi majhul. Riwayat Al Aswad bin Qais tersebut mudhtharib dan sumber idhthirabnya adalah Al Aswad bin Qais. Disebutkan bahwa Ali bin Madini menyatakan Al Aswad bin Qais meriwayatkan dari beberapa perawi majhul yang tidak dikenal [At Tahdzib juz 1 no 622]. Jadi sangat mungkin bahwa riwayat ini diambil Aswad dari perawi yang majhul kemudian Al Aswad mengalami kekacauan dalam periwayatannya. Hal ini bersesuaian dengan kelemahan hadis ‘Amru bin Sufyan yang diriwayatkan Marwan bin Mu’awiyah yaitu berasal dari perawi majhul.

.

.

‘Amru bin Sufyan dalam hadis Aliy ini pun juga seorang yang majhul. Orang itu melakukan dalih akrobatik untuk menyatakan ‘Amru bin Sufyan ini tsiqat atau minimal shaduq. Sebelumnya kami pernah menyatakan bahwa ‘Amru bin Sufyan dalam hadis ini yang meriwayatkan dari Aliy berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Hal ini telah dinyatakan oleh Bukhari dan Ibnu Hibban.

عمرو بن سفيان سمع بن عباس رضى الله تعالى عنهما قوله روى عنه الأسود بن قيس

‘Amru bin Sufyan mendengar dari Ibnu Abbas radiallahu ta’ala ‘anhuma dan meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2564]

Disini Bukhari menetapkan bahwa ‘Amru bin Sufyan mendengar dari Ibnu ‘Abbas dan meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais. Sedangkan untuk ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ali, Bukhari berkata

عمرو بن سفيان أن عليا رضى الله تعالى عنه قاله أبو داود الحفري عن الثوري عن الأسود بن قيس وقال أبو عاصم عن سفيان عن الأسود عن سعيد بن عمرو بن سفيان عن أبيه عن علي قال قتيبة حدثنا جرير عن سفيان عن الأسود بن قيس عن أبيه عن علي رضى الله تعالى عنهم لم يعهد إلينا النبي صلى الله عليه وسلم في الإمرة شيئا

‘Amru bin Sufyaan bahwa Aliy [radiallahu ta’ala anhu], dikatakan Abu Dawud Al Hafariy dari Ats Tsawriy dari Al Aswad bin Qais dan berkata Abu ‘Aashim dari Sufyan dari Al Aswad dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dari ayahnya dari Aliy . Qutaibah berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Sufyaan dari Al Aswaad bin Qais dari ayahnya dari Ali radiallahu ta’ala ‘anhum “Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada kami sedikitpun tentang kepemimpinan” [Tarikh Al Kabir Bukhari juz 6 no 2565]

Jadi terlihat jelas bahwa hujjah Bukhari membedakan keduanya adalah berdasarkan fakta bahwa ‘Amru bin Sufyan dalam hadis Aliy itu berasal dari hadis yang idhthirab. Maka disini Bukhari tidak menetapkan bahwa yang meriwayatkan dari ‘Amru bin Sufyan adalah Al Aswad bin Qais. Tentu saja hujjah Bukhari jelas lebih kuat dibandingkan dengan hujjah orang itu yaitu riwayat yang hanya menunjukkan bahwa kedua ‘Amru bin Sufyan [baik dari Ibnu Abbas atau Aliy] telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais.

Hujjah orang itu keliru karena ia menafikan fakta bahwa ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy muncul atau ditetapkan keberadaannya dari hadis yang idhthirab. Penerapan metode tarjih olehnya itu bisa dibilang hanya akal-akalan semata. Karena pentarjihannya itu tidak sesuai dengan kaidah ilmu hadis. Bagaimana tidak dikatakan akal-akalan kalau hasil akhir tarjihnya malah menetapkan riwayat dhaif bahwa Aswad meriwayatkan dari ‘Amru bin Sufyan dari Aliy sebagai riwayat yang tsabit. Riwayat dhaif inilah yang dijadikan sandaran oleh orang itu untuk menetapkan bahwa Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy dan Ibnu Abbas itu adalah orang yang sama.

عمرو بن سفيان يروى عن بن عباس روى عنه الأسود بن قيس

Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 4419]

Disini Ibnu Hibban menetapkan bahwa ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas itu telah meriwayatkan darinya Aswad bin Qais. Hal ini berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy, Ibnu Hibban berkata tentangnya

عمرو بن سفيان يروى عن على روى عنه سعيد بن عمرو بن سفيان

‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari Aliy dan telah meriwayatkan darinya Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 4480]

Hujjah Ibnu Hibban membedakan kedua ‘Amru bin Sufyan tersebut karena berbeda periwayatan keduanya  dan perawi yang meriwayatkan dari keduanya. Hujjah Ibnu Hibban ini terbukti dari riwayat yang telah dibahas di atas. Sebenarnya jika kita memaksakan diri untuk menerapkan metode tarjih maka riwayat yang paling shahih sanadnya sampai Aswad bin Qais dan menetapkan dari mana Aswad bin Qais mengambil riwayat adalah riwayat Abu ‘Aashim An Nabiil yang menetapkan bahwa Aswad meriwayatkan dari Sa’id bin ‘Amru bin Sufyan dan Sa’id bin ‘Amru meriwayatkan dari ayahnya ‘Amru bin Sufyan. Maka baik dengan metode tarjih atau jamak berbagai riwayat ‘Amru bin Sufyan didapatkan kesimpulan bahwa ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas.

.

.
Orang itu mengutip bahwa Ibnu Abi Hatim menyatukan kedua ‘Amru bin Sufyan tersebut dalam kitabnya Al Jarh Wat Ta’dil dan mengoreksi Bukhari yang membedakan kedua perawi tersebut. Pernyataannya ini patut ditinjau kembali, inilah yang ditulis Ibnu Abi Hatim

عمرو بن سفيان روى عن ابن عباس قوله عزوجل (تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا) روى عنه الاسود بن قيس، سمعت ابى يقول ذلك

‘Amru bin Sufyan meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas firman Allah ‘azza wajalla “kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik” telah meriwayatkan darinya Al Aswad bin Qais, aku mendengar ayahku berkata demikian [Al Jarh Wat Ta’dil 6/234 no 1297]

Apa yang ditulis oleh Ibnu Abi Hatim adalah biografi ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ibnu Abi Hatim menggabungkan kedua perawi ‘Amru bin Sufyan tersebut. Jadi pernyataan bahwa Ibnu Abi Hatim mengoreksi apa yang ditulis Bukhari itu adalah asumsi orang itu sendiri.

Kalau memang Ibnu Abi Hatim menggabungkan kedua ‘Amru bin Sufyan maka ia akan menyebutkan dalam biografinya bahwa ‘Amru bin Sufyan itu meriwayatkan dari Aliy dan Ibnu Abbas dan telah meriwayatkan darinya Aswad bin Qais. Itulah yang namanya menggabungkan. Atau mungkin Ibnu Abi Hatim akan menyatakan secara langsung bahwa Bukhari keliru karena membedakan keduanya, hal ini yang sering dilakukan Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya, ia pernah berkata

وفرق البخاري بين موسى الشوعبى وموسى ابى عمر الذي يروى عن القاسم بن مخيمرة روى عنه معاوية بن صالح فسمعت ابى يقول: هما واحد

Dan Bukhari telah membedakan antara Musa Asy Syar’abiy dan Musa Abi Umar yang meriwayatkan dari Qaasim bin Mukhaimarah yang meriwayatkan darinya Muawiyah bin Shalih, maka aku mendengar ayahku berkata “keduanya adalah orang yang sama” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/169 no 750]

Bukhari memang membedakan keduanya dalam Tarikh Al Kabir. Bukhari menyebutkan Musa Asy Syar’abiy dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1218 &  dan menyebutkan Musa Abi Umar dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1239.

الوليد بن ابى الوليد مولى عبد الله بن عمر أبو عثمان المدنى، ويقال مولى لآل عثمان بن عفان روى عن ابن عمر وعثمان بن عبد الله بن سراقة وعبد الله بن ديناروعقبة بن مسلم روى عنه بكير بن الاشج وابن الهاد والليث بن سعد وحيوة بن شريح سمعت ابى يقول ذلك. نا عبد الرحمن قال سئل أبو زرعة عنه فقال: ثقة. قال أبو محمد جعله البخاري اسمين فسمعت ابى يقول هو واحد

Walid bin Abi Walid maula ‘Abdullah bin Umar Abu Utsman Al Madaniy, dikatakan ia maula keluarga Utsman bin ‘Affan, meriwayatkan dari Ibnu Umar, Utsman bin ‘Abdullah bin Suraaqah, Abdullah bin Diinar, dan Uqbah bin Muslim. Telah meriwayatkan darinya Bukair bin Al Asyaj, Ibnu Haad, Laits bin Sa’ad dan Haywah bin Syuraih, aku mendengar ayahku mengatakan demikian. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata Abu Zur’ah ditanya tentangnya, ia berkata “tsiqat”. Abu Muhammad berkata Bukhari menjadikannya sebagai dua nama maka aku mendengar ayahku mengatakan sebenarnya dia adalah satu orang yang sama [Al Jarh Wat Ta’dil 9/19-20 no 83]

Bukhari menyebutkan biografi Walid maula keluarga Utsman dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2545 & menyebutkan biografi Walid bin Abi Walid dalam Tarikh Al Kabir juz 8 no 2546. Dengan contoh-contoh di atas maka dapat dipahami bahwa jika memang Ibnu Abi Hatim ingin mengoreksi Bukhari dengan menggabungkan kedua perawi yang dipisahkan Bukhari maka Ibnu Abi Hatim akan menyebutkan dengan jelas penggabungannya [misalnya dalam kasus ‘Amru bin Sufyan, jika memang Ibnu Abi Hatim menggabungkan kedua ‘Amru bin Sufyan maka Ibnu Abi Hatim akan menyebutkan bahwa ‘Amru meriwayatkan dari Aliy dan Ibnu Abbas atau menyatakan dengan jelas bahwa Bukhari keliru.

Dalam kitabnya Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim hanya menyebutkan biografi ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan telah meriwayatkan darinya Aswad bin Qaais tanpa menyebutkan kalau ‘Amru bin Sufyan tersebut meriwayatkan dari Aliy. Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan biografi ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy bin Abi Thalib. Hal ini bisa saja dipahami bahwa Ibnu Abi Hatim bertawaqquf tentang Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy.

Pendapat yang rajih adalah ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas berbeda dengan ‘Amru bin Sufyan yang meriwayatkan dari Aliy. Yang pertama telah tsabit bahwa Aswad bin Qais meriwayatkan darinya sedangkan yang kedua tidak tsabit Aswad bin Qais meriwayatkan darinya karena hadisnya mudhtharib.

.

.

.

Telah shahih Riwayat dimana Imam Ali mengakui bahwa dirinya adalah pemimpin atau berhak akan khilafah.

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan akulah yang paling berhak dalam urusan ini. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka cenderung antara aku dan Muawiyah” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294 dengan sanad shahih]

وعن ابن عباس أن عليا كان يقول في حياة رسول الله صلى الله عليه و سلم  إن الله عز و جل يقول { أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم } والله لا ننقلب على أعقابنا بعد إذ هدانا الله تعالى والله لئن مات أو قتل لأقاتلن على ما قاتل عليه حتى أموت والله إني لأخوه ووليه وابن عمه ووارثه فمن أحق به مني رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح

Dan dari Ibnu Abbas bahwa Aliy berkata ketika semasa hidup Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] bahwa Allah ‘azza wajalla berfirman “maka apakah jika dia mati atau terbunuh kalian berbalik kebelakang”. Demi Allah kami tidak akan berbalik ke belakang setelah Allah memberikan hidayah kepada kami. Demi Allah jika Beliau wafat atau terbunuh maka aku akan berperang di atas jalan yang Beliau berperang sampai aku wafat. Demi Allah aku adalah Saudaranya, Waliy-nya, anak pamannya, dan pewarisnya maka siapakah yang lebih berhak terhadapnya daripada aku. Diriwayatkan Ath Thabraniy dan para perawinya perawi shahih [Majma' Az Zawaid Al Haitsamiy 9/134]

Riwayat Ath Thabrani memang diriwayatkan oleh para perawi tsiqat atau shaduq hanya saja riwayat tersebut mengandung illat [cacat]. Riwayat tersebut dibawakan oleh Simmak bin Harb dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Simmak telah diperbincangkan oleh sebagian ulama karena buruk hafalannya dan sebagian ulama telah memperbincangkan riwayatnya dari Ikrimah. Maka riwayat Ibnu Abbas tersebut sanadnya lemah tetapi bisa dijadikan i’tibar. Matan riwayat Ibnu Abbas juga mengandung makna yang jelas diantaranya bahwa Aliy merasa lebih berhak atas Nabi karena Beliau adalah Wali-nya. Makna Waliy disini tidak tepat dikatakan sebagai penolong atau teman karena jika memang begitu maka semua kaum mukminin adalah Waliy bagi Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam]. Padahal penyebutan Waliy disana oleh Imam Aliy adalah keutamaan dan kekhususan dirinya atas yang lain sehingga Beliau lebih berhak atas Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]. Maka tidak lain makna Waliy tersebut adalah kedudukan Waliy yang diberikan oleh Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] sebagaimana nampak dalam beberapa hadis diantaranya hadis berikut

حدثنا يوسف بن موسى ، قال : ثنا عبيد الله بن موسى ، عن فطر بن خليفة ، عن أبي إسحاق ، عن عمرو ذي مر ، وعن سعيد بن وهب ، وعن زيد بن يثيع ، قالوا : سمعنا عليا ، يقول : نشدت الله رجلا سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول يوم غدير خم لما قام ، فقام إليه ثلاثة عشر رجلا ، فشهدوا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم ، قالوا : بلى يا رسول الله ، قال : فأخذ بيد علي ، فقال : من كنت مولاه فهذا مولاه ، اللهم وال من والاه ، وعاد من عاداه ، وأحب من أحبه ، وأبغض من أبغضه ، وانصر من نصره ، واخذل من خذله

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa dari Fithr bin Khaliifah dari Abu Ishaaq dari ‘Amru Dziy Murr dan dari Sa’id bin Wahb dan dari Zaid bin Yutsai’, mereka berkata “kami mendengar Ali mengatakan aku meminta dengan nama Allah agar laki-laki yang mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata pada hari ghadir kum untuk berdiri, maka berdirilah tiga belas orang, mereka bersaksi bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “bukankah aku lebih berhak atas kaum muslimin lebih dari diri mereka sendiri”, mereka menjawab “benar wahai Rasulullah” [perawi] berkata maka Beliau memegang tangan Aliy dan berkata “barang siapa yang aku adalah maulanya maka dia ini adalah maulanya, ya Allah belalah orang yang membelanya, musuhilah yang memusuhinya, cintailah yang mencintainya, bencilah yang membencinya, tolonglah yang menolongnya dan hinakanlah yang menghinakannya. [Musnad Al Bazzar 1/460 no 786]

أخبرنا احمد بن شعيب ، قال : اخبرنا الحسين بن حريث المروزي ، قال : اخبرنا الفضل بن موسى ، عن الاعمش ، عن ابي اسحاق عن سعيد بن وهب قال : قال علي كرم الله وجهه في الرحبة : أنشد بالله من سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم غدير خم يقول : ان الله ورسوله ولي المؤمنين ، ومن كنت وليه فهذا وليه ، اللهم وال من والاه وعاد من عاداه ، وانصر من نصره

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Syu’aib yang berkata telah mengabarkan kepada kami Husain bin Huraits Al Marwaziy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Fadhl bin Muusa dari Al A’masy dari Abu Ishaaq dari Sa’id bin Wahb yang berkata Ali [karamallahu wajhah] berkata di tanah lapang “aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah waliy [pemimpin] bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai waliy [pemimpinnya] maka dia ini [Aliy] menjadi pemimpinnya, ya Allah  belalah orang yang membelanya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang menolongnya [Tahdzib Al Khasa’ais no 93]

Hadis ghadir kum adalah hujjah kepemimpinan Imam Aliy, terlepas apakah itu ditafsirkan kepemimpinan dalam agama ataupun pemerintahan, hadis tersebut menyatakan dengan jelas dimana Imam Ali sebagai maula bagi kaum muslimin. Perselisihan mengenai hadis ini terletak pada makna dari lafaz “maula”. Mereka para pengingkar menolak makna maula atau waliy disana sebagai pemimpin, menurut mereka maula disana bermakna penolong.

Memang benar bahwa lafaz “maula” memiliki banyak makna tetapi tentu tidak boleh seseorang seenaknya menolak satu makna dan beralih pada makna lain yang sesuai dengan hawa nafsunya. Makna “maula” dalam hadis Ghadir kum harus dipahami sesuai dengan konteks kalimat yang digunakan bukan dengan konteks asal-asalan atau dibuat-buat untuk menyebarkan syubhat. Maula atau Waliy pada hadis ghadir kum di atas bermakna orang yang berhak atau memegang urusan orang banyak, hal ini nampak dari kalimat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

ألست أولى بالمؤمنين من أنفسهم

“bukankah aku lebih berhak atas kaum muslimin lebih dari diri mereka sendiri”

Kemudian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melanjutkan “maka barang siapa yang aku adalah maulanya maka Aliy adalah maulanya”. Lafaz ini jelas terikat dengan pernyataan Beliau sebelumnya bahwa Beliau lebih berhak atas kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri. Dan siapa yang menganggap Nabi sebagai maulanya yaitu sebagai orang yang berhak atas dirinya maka ia hendaknya menganggap Aliy juga sebagai maulanya. Artinya sebagaimana Nabi lebih berhak atas kaum muslimin dibanding diri mereka maka Aliy pun lebih berhak atas kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri. Tentu saja makna “maula” atau “waliy” yang sesuai dengan makna ini adalah pemimpin bukan penolong.

Hal ini dikuatkankan pula oleh hadis marfu’ Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Imam Ali adalah waliy atau khalifah bagi setiap muslim sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ أَبِي بَلْجٍ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ لِعَلِيٍّ : ” أَنْتَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِي

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah dari Abi Balj dari ‘Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda kepada Aliy “engkau Waliy setiap mukmin sepeninggalku” [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752]

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “Kedudukanmu di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya aku pergi kecuali engkau sebagai khalifahku untuk setiap mukmin sepeninggalku [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188]

Ini adalah hadis yang jelas menyatakan bahwa Imam Aliy adalah khalifah atau waliy [pemimpin] bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Bisa dimaklumi kalau para pengingkar akan berusaha keras menolak hadis ini dan menyebarkan syubhat untuk mentakwilkan hadis ini karena tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Silakan saja, memang sudah menjadi tingkahpara pengingkar, jika ada hadis Ibnu Abbas yang matannya tidak jelas tentang khalifah dan sesuai dengan hawa nafsunya maka ia akan mengambilnya tetapi jika hadis Ibnu Abbas yang jelas-jelas menyatakan khalifah dan menentang hawa nafsunya maka ia akan mencari-cari cara untuk menolak atau menyebarkan syubhat. Orang seperti ini tidak pantas bicara sok soal dalil karena hakikat sebenarnya dirinya hanya berpegang pada hawa nafsunya.

Diantara orang yang kami maksud ada yang berpegang pada atsar Imam Aliy yang sebenarnya tidak sedang membicarakan soal khilafah atau wasiat khilafah.

حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، قَالَ: انْطَلَقْتُ أَنَا وَالْأَشْتَرُ إِلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقُلْنَا: هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً؟ قَالَ: لَا، إِلَّا مَا فِي كِتَابِي هَذَا، قَالَ: وَكِتَابٌ فِي قِرَابِ سَيْفِهِ، فَإِذَا فِيهِ: ” الْمُؤْمِنُونَ تَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، أَلَا لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ، مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata Aku pergi bersama Al-Asytar menuju ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Kami bertanya “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat sesuatu kepadamu yang tidak beliau wasiatkan kepada kebanyakan manusia?”. Ia berkata “Tidak, kecuali apa-apa yang terdapat dalam kitabku ini”. Perawi berkata “dan kitab yang terdapat dalam sarung pedangnya dimana padanya bertuliskan ‘Orang-orang mukmin sederajat dalam darah mereka. Mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dimana orang-orang yang paling rendah dari kalangan mereka berjalan dengan jaminan keamanan mereka. Ketahuilah, tidak boleh dibunuh seorang mukmin karena membunuh orang kafir. Tidak pula karena membunuh orang kafir yang punya perjanjian dengan kaum muslimin. Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru atau melindungi orang yang jahat, maka laknat Allah atasnya, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya” [Musnad Ahmad bin Hanbal 1/122]

Pertanyaan Qais bin ‘Ubaad di atas bukan tentang wasiat khilafah atau imamah melainkan tentang perjalanan Imam Aliy dalam perang Jamal tersebut. Hal ini nampak dalam riwayat Yunuus dari Hasan Al Bashriy dari Qais bin ‘Ubaad berikut

حدثنا عبد الله حدثني إسماعيل أبو معمر ثنا بن علية عن يونس عن الحسن عن قيس بن عباد قال قلت لعلي أرأيت مسيرك هذا عهد عهده إليك رسول الله صلى الله عليه و سلم أم رأى رأيته قال ما تريد إلى هذا قلت ديننا ديننا قال ما عهد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فيه شيئا ولكن رأى رأيته

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Isma’iil Abu Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Yunus dari Al Hasan dari Qais bin ‘Ubaad yang berkata aku berkata kepada Aliy “apakah keberangkatanmu ini adalah wasiat dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadapmu ataukah berasal dari pendapatmu?. Aliy berkata “apa yang kamu inginkan dengan hal ini?”. Aku berkata “agama kami, agama kami”. Aliy berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak berwasiat sesuatu tentangnya tetapi ini adalah pendapat dariku” [Musnad Ahmad 1/148 no 1270]

Jadi maksud dari Hadis Hasan Bashriy  dari Qais bin ‘Ubaad di atas adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewasiatkan kepada Imam Ali tentang keberangkatannya dalam perang Jamal. Hal itu berasal dari pendapat Imam Ali sendiri. Tidak ada hadis ini bicara soal khalifah atau imamah, orang itu [baca : Abul Jauzaa'] yang berhujjah dengan hadis ini hanya menunjukkan kelemahan akalnya saja. Sebagai informasi saja, riwayat Yunus dari Hasan itu lebih tsabit dibanding riwayat Qatadah dari Hasan dengan dua alasan

  1. Para ulama telah menguatkan riwayat Yunus dari Hasan sebagaimana Abu Zur’ah berkata Yunus lebih aku sukai dari Qatadah dalam riwayat dari Hasan
  2. Qatadah telah disifatkan sebagian ulama dengan tadlis maka riwayatnya disini mengandung illat [cacat] karena ia membawakannya dengan ‘an anah apalagi jika terdapat perselisihan.

Kemudian orang itu mengutip pula riwayat Abu Juhaifah yang sebenarnya juga tidak berbicara soal khalifah atau imamah.

أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مَا فِي أَيْدِي النَّاسِ؟ قَالَ: لَا، إلَّا أَنْ يُؤْتِيَ اللَّهُ عَبْدًا فَهْمًا فِي الْقُرْآنِ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ، قُلْتُ: وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ؟ قَالَ: الْعَقْلُ وَفِكَاكُ الْأَسِيرِ، وَأَنْ لَا يُقْتَلَ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ

Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Mutharrif, dari Sya’biy, dari Abu Juhaifah, ia berkata Aku bertanya kepada ‘Aliy [radliyallaahu ‘anhu] “Apakah di sisimu ada sesuatu dari Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] yang tidak diketahui oleh orang-orang?”. Tidak, kecuali Allah memberikan kepada seorang hamba pemahaman dalam Al-Qur’an dan apa yang terdapat dalam shahiifah”. Aku bertanya  “Apakah yang terdapat dalam shahiifah tersebut?”. Aliy menjawab “Pembayaran diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuhnya orang mukmin karena membunuh orang kafir” [Al Umm Syafi’i 7/195]

حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ، قَالَ: نا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ: هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ؟ قَالَ: ” لا، إِلا مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ فَإِذَا فِيهَا: فِكَاكُ الأَسِيرِ، وَلا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ، الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

Telah menceritakan kepada kami Khalaf bin Khaliifah, ia berkata telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan bin ‘Uyainah, dari Ismaa’iil, dari Asy-Sya’biy, dari Abu Juhaifah, ia berkata Aku bertanya kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib “Apakah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepadamu sesuatu yang tidak beliau wasiatkan kepada orang-orang?”. Ia menjawab “Tidak, kecuali yang ada dalam shahiifah ini”. Dalam shahiifah itu tertulis ‘pembebasan tawanan, tidak boleh dibunuh seorang mukmin karena membunuh orang kafir, dan kaum muslimin sederajat dalam darah-darah mereka” [Musnad Al Bazzar no 486]

Maksud pertanyaan Abu Juhaifah kepada Aliy [radiallahu ‘anhu] adalah apakah di sisi Aliy ada wasiat berupa wahyu atau catatan tertulis yang tidak diketahui dan tidak diwasiatkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada orang-orang. Hal ini nampak lebih jelas dalam riwayat Abu Juhaifah berikut

حدثنا أحمد بن منيع حدثنا هشيم أنبأنا مطرف عن الشعبي حدثنا ابو حجيفة قال قلت لعلي يا أمير المؤمنين هل عندكم سوداء في بيضاء ليس في كتاب الله ؟ قال لا والذي فلق الحبة وبرأ النسمة ما علمته إلا فهما يعطيه الله رجلا في القرآن وما في الصحيفة قلت وما في الصحيفة ؟ قال العقل فكاك الأسير وأن لا يقتل مؤمن بكافر

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah memberitakan kepada kami Mutharrif dari Asy Sya’bi yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Juhaifah yang berkata aku berkata kepada Aliy “wahai amirul mukminin apakah disisimu ada catatan hitam diatas putih yang tidak ada dalam kitab Allah?” Aliy berkata “tidak, demi Yang menciptakan biji-bijian dan menciptakan jiwa, aku tidak mengetahui kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada seseorang tentang Al Qur’an dan shahifah. Aku berkata “apa yang ada dalam shahifah?”. Aliy menjawab “diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuh seorang mu’min karena membunuh orang kafir” [Sunan Tirmidzi 4/24 no 1412, shahih]

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُمْ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنْ الْوَحْيِ إِلَّا مَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ لَا وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلًا فِي الْقُرْآنِ وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قُلْتُ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَأَنْ لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Mutharrif bahwa ‘Aamir menceritakan kepada mereka dari Abi Juhaifah [radiallahu ‘anhu] yang berkata aku berkata kepada Aliy [radiallahu ‘anhu] “apakah di sisimu ada wahyu selain apa yang ada dalam kitab Allah?”. Aliy berkata “tidak demi Yang menciptakan biji-bijian dan menciptakan jiwa, aku tidak mengetahui kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada seseorang tentang Al Qur’an dan shahifah. Aku berkata “apa yang ada dalam shahifah?”. Aliy menjawab “diyat, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuh seorang mu’min karena membunuh orang kafir” [Shahih Bukhari 4/69 no 3047]

Jadi kalau kita mengumpulkan keseluruhan riwayat Abu Juhaifah dari Aliy maka didapatkan bahwa Abu Juhaifah sebenarnya tidak sedang menanyakan wasiat khalifah atau Imamah tetapi wasiat berupa wahyu yang tidak disampaikan kepada orang-orang. Hal ini dikuatkan pula oleh hadis selain riwayat Abu Juhaifah

وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب وأبو كريب جميعا عن أبي معاوية قال أبو كريب حدثنا أبو معاوية حدثنا الأعمش عن إبراهيم التيمي عن أبيه قال خطبنا علي بن أبي طالب فقال من زعم أن عندنا شيئا نقرأه إلا كتاب الله وهذه الصحيفة ( قال وصحيفة معلقة في قراب سيفه ) فقد كذب فيها أسنان الإبل وأشياء من الجراحات وفيها قال النبي صلى الله تعالى عليه وسلم المدينة حرم ما بين عير إلى ثور فمن أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا وذمة المسلمين واحدة يسعى بها أدناهم ومن ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb dan Abu Kuraib, semuanya dari Abu Mu’awiyah. Abu Kuraib berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Ibrahim At Taimiy dari ayahnya yang berkata Ali bin Abi Thalib berkhutbah kepada kami “Barang siapa mengatakan bahwa kami memiliki sesuatu yang kami baca selain Kitab Allah dan Shahifah ini [berkata Ayah Ibrahim : lembaran yang tergantung di sarung pedangnya] maka sungguh dia telah berdusta. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang umur unta dan diyat. Di dalamnya juga terdapat perkataan Nabi SAW “Madinah itu adalah tanah haram dari ‘Air hingga Tsaur. Barang siapa yang membuat maksiat di Madinah atau membantu orang yang membuat maksiat maka dia akan mendapat laknat Allah, para malaikat dan umat manusia seluruhnya dan tidak akan diterima taubat dan tebusannya di hari kiamat kelak. Jaminan perlindungankaum muslimin itu sama dan berlaku pula oleh orang yang terendah dari mereka. Barangsiapa menasabkan diri kepada orang yang bukan ayahnya atau menisbatkan diri kepada selain maulanya maka dia akan mendapat laknat Allah, para malaikat dan umat manusia seluruhnya dan tidak akan diterima taubat dan tebusannya di hari kiamat kelak [Shahih Muslim 2/994 no 1370]

Jadi yang diingkari Imam Aliy dalam hadis Muslim di atas adalah anggapan bahwa Beliau memiliki kitab lain yang Beliau baca selain Kitab Allah dan shahifah yang dimaksud. Lagi-lagi tidak ada dalam hadis Muslim di atas keterangan soal khilafah atau imamah.

.

.

Dari semua ini kita dapatkan kesimpulan yang pasti bahwa Imam Ali mengakui kepemimpinannya dan tidak pernah mengingkari kalau Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menetapkan kepemimpinannya. Disini terbukti pula bahwa para pengingkar hanya mencari syubhat basa basi kemudian membungkusnya dengan slogan ilmiah palsu untuk mengecoh kaum awam mereka. Sungguh mereka berharap bahwa seandainya semua orang bodoh seperti pengikut mereka sehingga bisa tertipu oleh dalil-dalil palsu yang mereka buat. Pembahasan di atas tidak lain untuk membuktikan kedustaan mereka dan tentu saja akan menambah kedongkolan hati mereka para. Ada baiknya kita mengingat firman Allah SWT yang sangat sesuai untuk mereka

هَا أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ

Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah [kepada mereka] “Matilah kamu karena kemarahanmu itu” [QS. Aali ‘Imraan : 119].

Sebelum kami menutup pembahasan kali ini maka kami akan menyatakan dengan jelas pandangan kami dalam perkara ini untuk menutup syubhat pengingkar dan pendengki. Tidak dipungkiri kalau keyakinan Imamah Aliy bin Abi Thalib adalah bagian dari Aqidah Syiah tetapi kami bukanlah penganut Syiah. Pandangan kami berdasarkan analisis kami sendiri terhadap hadis-hadis yang kami pelajari sebagaimana dalam pembahasan di atas.

Kami tidak pula menetapkan Kepemimpinan dua belas Imam Syiah seperti yang telah dikenal menjadi dasar bagi Aqidah Syiah, karena kami belum menemukan dalil shahih tentang nama dua belas Imam yang dimaksud. Kami tidak pula berpandangan bahwa para sahabat yang membaiat Abu Bakr, Umar dan Utsman sebagai kafir, cukuplah kami berpandangan sebagaimana Imam Aliy yang walaupun mengakui bahwa dirinya yang paling berhak dalam masalah khalifah tetapi Beliau tidak mengkafirkan para sahabat yang menerima kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Inilah pandangan kami dan kami tidak peduli dengan lisan busuk para pengingkar yang gemar menuduh kami sebagai Syiah Rafidhah. Jika kami yang membela Ahlul Bait dikatakan Syiah Rafidhah maka mereka para penuduh itu hakikatnya adalah Nashibi.

.

.

Note : Tulisan ini merevisi tulisan sebelumnya dengan pokok bahasan yang sama. Secara keseluruhan kesimpulan tulisan di atas tidak jauh berbeda dengan tulisan sebelumnya hanya saja ada beberapa perincian yang ditambahkan.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Takhrij Hadis Dua Suara Yang Dilaknat : Hadis Yang Dijadikan Hujjah Untuk Mengharamkan Musik

$
0
0

Takhrij Hadis Dua Suara Yang Dilaknat : Hadis Yang Dijadikan Hujjah Untuk Mengharamkan Musik

Hadis ini termasuk salah satu hadis yang dijadikan hujjah oleh sebagian ulama untuk mengharamkan musik. Kedudukan hadis ini berdasarkan pendapat yang rajih [sesuai dengan kaidah ilmu hadis] adalah dhaif. Berikut pembahasan rinci tentangnya.

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ  ثنا أَبُو عَاصِمٍ  ثنا شَبِيبُ بْنُ بِشْرٍ الْبَجَلِيُّ  قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَة

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim yang berkata telah menceritakan kepada kami Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy yang berkata aku mendengar Anas bin Malik mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat, yaitu suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika mendapat musibah” [Musnad Al Bazzar 14/62 no 7513]

Riwayat ini juga disebutkan dalam Kasyf Al Astaar 1/377 no 795, Al Ahaadiits Al Mukhtaarah Dhiyaa’ Al Maqdisiy no 2200 dan 2201, At Targhiib Wat Tarhiib Abul Qaasim Al Ashbahaniy 3/238-239 no 2433. Semuanya dengan jalan sanad dari Syabiib bin Bisyr dari Anas bin Malik secara marfu’.

Riwayat ini sanadny dhaif karena Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy, pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 3265]. Al Bukhariy berkata “munkar al hadiits” [Tartib Ilal Tirmidzi no 106]. Abu Hatim berkata “[layyin] lemah hadisnya dan hadisnya adalah hadis syuyukh [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/357 no 1564]. Ibnu Hibban berkata

شَبيب بْن بشر البَجلِيّ يَرْوِي عَن أنس بن مَالك يخطىء كثيرا رَوَى عَنْهُ أَبُو عَاصِم النَّبِيل وَإِسْرَائِيل

Syabiib bin Bisyr Al Bajalliy meriwayatkan dari Anas bin Maalik, banyak melakukan kesalahan, telah meriwayatkan darinya Abu ‘Aashim An Nabiil dan Israiil [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 4/359 no 3343]

Ibnu Syahiin memasukkan namanya dalam perawi tsiqat dengan mengutip tautsiq Yahya bin Ma’in [Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat no 540]. Ibnu Khalfuun memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ikmal Tahdzib Al Kamal Al Mughlathay 6/211 no 2342]. Ibnu Jauziy memasukkannya ke dalam perawi dhaif dengan mengutip jarh Abu Hatim [Adh Dhu’afa Ibnu Jauziy no 1610]. Adz Dzahabiy memasukkannya dalam kitabnya Diiwaan Adh Dhu’afa Wal Matruukin dengan mengutip jarh Abu Hatim [Diiwan Adh Dhu’afa Wal Matruukin no 1861].

Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib bahwa ia shaduq sering keliru tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Syabiib bin Bisyr dhaif, tidak ada yang menyatakan tsiqat selain Ibnu Ma’in. Kemudian penulis menyebutkan jarh Bukhariy, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 2738].

.

.

Syaikh Abdullah Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 407-409 menyatakan hadis di atas dhaif karena Syabiib bin Bisyr perawi yang dhaif jika tafarrud. Apa yang dikatakan Syaikh tersebut benar dan sesuai dengan pembahasan di atas.

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa membantah Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Ar Radd Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 329-333 dimana Syaikh berhujjah dengan tautsiq Yahya bin Ma’in, Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun kemudian menyatakan bahwa Abu Hatim dan Ibnu Hibban termasuk ulama yang terlalu ketat dalam jarh. Sehingga Syaikh menyimpulkan sanad Al Bazzaar di atas hasan.

Bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru. Ulama yang menyatakan jarh [celaan] terhadap Syabiib bin Bisyr tidak hanya Abu Hatim dan Ibnu Hibban [yang keduanya dikenal ketat dalam jarh] tetapi juga Al Bukhariy dengan lafaz jarh “munkar al hadiits”. Ibnu Hajar menjelaskan soal lafaz jarh Bukhariy ini dalam biografi Aban bin Jabalah Al Kuufiy

وقال البخاري منكر الحديث ونقل بن القطان ان البخاري قال كل من قلت فيه منكر الحديث فلا تحل الرواية عنه انتهى وهذا القول مروي بإسناد صحيح عن عبد السلام بن أحمد الخفاف عن البخاري

Dan Bukhariy berkata “munkar al hadiits” dan Ibnu Qaththan menukil bahwa Bukhariy berkata “semua yang aku katakan tentangnya munkar al hadiits maka tidak halal meriwayatkan darinya”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari ‘Abdus Salaam bin Ahmad Al Khaffaaf dari Bukhariy [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 1 no 6]

Imam Bukhariy termasuk ulama yang tergolong mu’tadil [pertengahan] dalam jarh tidak terlalu mudah menjarh dan tidak pula tasahul. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabiy

و المعتدل فيهم أحمد بن حنبل و البخاري و أبو زرعة

Dan golongan mu’tadil diantara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, Bukhariy dan Abu Zur’ah [Al Muuqidzhah Fi Musthalah Al Hadiits Adz Dzahabiy hal 63]

Selain itu apa yang dikatakan Abu Hatim terhadap Syabiib bin Bisyr adalah jarh atau kelemahan pada dhabit-nya yaitu dengan lafaz jarh “layyin al hadiits”. Dan hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ibnu Hibban bahwa Syabiib banyak melakukan kesalahan. Jika kita menggabungkan fakta ini dengan jarh Al Bukhariy dan tautsiq Ibnu Ma’in maka pendapat yang rajih adalah Syabiib bin Bisyr perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga mengutip tautsiq dari Ibnu Syahiin dan Ibnu Khalfun terhadap Syabiib tetapi hal ini tidak berpengaruh untuk mengangkat derajat Syabiib. Tautsiq Ibnu Syahiin pada dasarnya adalah berpegang pada tautsiq Yahya bin Ma’in sebagaimana dengan jelas disebutkan Ibnu Syahiin dalam kitabnya Tarikh Asmaa’ Ats Tsiqat.

Sedangkan Ibnu Khalfun dan kitabnya Ats Tsiqat tidak lagi ditemukan di masa sekarang dan biasanya tautsiq Ibnu Khalfun dikutip oleh Al Hafizh Al Mughlathay dan Ibnu Hajar dalam kitab mereka. Ibnu Khalfun termasuk ulama muta’akhirin dan ia sering menukil tautsiq dari ulama terdahulu maka kemungkinan tautsiqnya disini berdasarkan ulama terdahulu yang mentautsiq Syabiib [dalam hal ini adalah Yahya bin Ma’in].

Kalau kita juga mengandalkan ulama muta’akhirin maka ternukil pula ulama muta’akhirin yang melemahkan Syabiib bin Bisyr seperti Ibnu Jauziy dan Adz Dzahabiy, dimana keduanya juga berpegang pada jarh ulama mutaqaddimin yaitu jarh Abu Hatim. Maka dengan mengumpulkan perkataan ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin tentang Syabiib bin Bisyr tetap akan menghasilkan kesimpulan bahwa ia perawi dhaif jika tafarrud.

.

.

.

Hadis Anas di atas dengan matan yang sama memiliki syahid dari hadis Ibnu ‘Abbaas. Hanya saja sanad hadis Ibnu ‘Abbaas ini maudhu’

حدثنا بن ياسين ثنا محمد بن معاوية ثنا محمد بن زياد ثنا ميمون عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال صوتان ملعونان في الدنيا والاخره صوت مزمار عند نعمه وصوت رنة عند مصيبة

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasiin yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mu’awiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu ‘Abbaas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat adalah suara seruling ketika mendapat nikmat dan suara jeritan ketika mendapat musibah [Al Kamil Ibnu Adiy 7/298-299]

Riwayat ini maudhu’ [palsu] karena Muhammad bin Ziyaad Ath Thahhaan Al Yasykuriy. Yahya bin Ma’in mengatakan ia pendusta. Ahmad bin Hanbal mengatakan ia pendusta pemalsu hadis. Al Bukhariy berkata “matruk al hadiits”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata “matruk al hadiits munkar al hadiits” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/296-298 no 1632]

.

.

.

Ada hadis lain yang dijadikan hujjah untuk menguatkan hadis Anas bin Malik di atas yaitu hadis berikut

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَّدَثَنَا الحُسَيْنُ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبَى لَيْلَى , عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَمَزَامِيرُ شَيْطَانٍ وَصَوْتٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ  خَمْشُ وُجُوهٍ  وَشَقُّ جُيُوبٍ  وَرَنَّةُ شَيْطَانٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman Al Ijliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Laila dari ‘Atha’ dari Jabir bin ‘Abdullah dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “aku melarang dua suara yang bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, mencakar wajah, merobek pakaian dan jeritan syaithan [Dzammul Malaahiy Ibnu Abi Dunyaa hal 59-60 no 64]

Riwayat ‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy dari Ibnu Abi Laila di atas juga disebutkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63. Abdullah bin Numair memiliki mutaba’ah dari

  1. Nadhr bin Ismaiil sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 1/114-115, Al Bazzar dalam Musnad-nya 3/214 no 1001, Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63, Ahmad bin Mani’ dalam Musnad-nya sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Mathalib Al ‘Aliyyah hal 359 no 844
  2. Isra’iil bin Yunuus sebagaimana disebutkan Ath Thahawiy dalam Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/293 no 6975, Abu Ya’la dalam Al Maqshad Al ‘Aliy Fii Zawaid Abu Ya’la Al Haitsamiy no 441 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 4/43 no 6825
  3. Yunuss bin Bukair sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Syu’aab Al Iimaan 7/241 no 10163 dan Al Ajurriy dalam Tahrim An Nardu hal 201 hadis 63
  4. Aliy bin Mushir sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhiid 24/442-443
  5. ‘Imraan bin Muhammad bin ‘Abi Laila sebagaimana disebutkan Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/437-438 no 1535 dengan matan ringkas tanpa menyebutkan lafaz “dua suara yang bodoh lagi fajir”.

Mereka semua meriwayatkan dengan jalan sanad dari Ibnu ‘Abi Laila dari Atha’ bin Abi Rabah dari Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf secara marfu’. Dan mereka diselisihi oleh sebagian perawi lain yang meriwayatkan dari Ibnu Abi Laila dari Atha’ dari Jabir [tanpa menyebutkan dalam sanadnya ‘Abdurrahman bin ‘Auf] yaitu

  1. Abu ‘Awanah Al Yasykuriy sebagaimana disebutkan Abu Dawud Ath Thayalisiy dalam Musnad-nya 3/262-263 no 1788, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 4/69 no 6943, Syu’ab Al Iimaan 7/242 no 10164, dan Al ‘Adaab hal 472 no 1068, Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 5/430-431 no 1530.
  2. Ubaidillah bin Muusa sebagaimana disebutkan Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/129-130 no 1004
  3. ‘Aliy bin Haasyim sebagaimana disebutkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 4/569 no 12243
  4. Iisa bin Yunus sebagaimana disebutkan At Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/328 no 1005 hanya saja matannya tidak menyebutkan lafaz “suara ketika mendapat nikmat hiburan permainan seruling-seruling syaithan”. Tetapi lafaz ini disebutkan dalam riwayat lain Iisa bin Yunus oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 2/253

Maka nampak bahwa terjadi idhthirab pada sanad tersebut yaitu pada Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila dimana terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis Jabir dan terkadang ia menjadikan hadis ini sebagai hadis’Abdurrahman bin ‘Auf.

Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila berdasarkan pendapat yang rajih adalah perawi dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar hadisnya, sebagian ulama khususnya telah melemahkan hadisnya dari Atha’ bin Abi Rabah.

Ahmad bin Hanbal berkata “buruk hafalannya”. Ahmad mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id menyerupakannya dengan Mathar Al Warraaq yaitu dalam buruk hafalannya. Ahmad bin Hanbal berkata “mudhtharib al hadiits”. Ahmad bin Hanbal juga berkata “fiqih Ibnu Abi Laila lebih aku sukai daripada hadisnya, di dalam hadisnya terdapat idhthirab”. Terkadang Ahmad menyatakan ia dhaif dan terkadang berkata “tidak bisa berhujjah dengannya”. Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif dan dalam riwayat Atha’ ia banyak melakukan kesalahan”. Ahmad bin Hanbal juga mengatakan Yahya telah mendhaifkan Ibnu Abi Laila dan Mathar dalam riwayatnya dari Atha’ [Mausu’ah Aqwaal Ahmad hal 285-287 no 2373]

Yahya bin Ma’in berkata “bukan seorang yang tsabit dalam hadis”. Yahya bin Ma’in juga pernah berkata “Ibnu Abi Laila dhaif”. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Laila yaitu apa yang diriwayatkannya dari Atha’. [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in hal 218-219 no 3501].

Daruquthniy berkata “buruk hafalannya” terkadang berkata “ia tsiqat terdapat sesuatu dalam hafalannya” terkadang berkata “ia banyak melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “bukan seorang hafizh” [Mausu’ah Aqwaal Daruquthniy hal 596 no 3198]

Al Ijliy berkata “orang kufah shaduq tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat hal 243 no 1618]. Syu’bah berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih jelek hafalannya dari Ibnu Abi Laila”. Abu Hatim mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila tempat kejujuran jelek hafalannya tetapi tidak dituduh dengan dusta, ia diingkari karena banyak melakukan kesalahan, ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Abu Zur’ah berkata “shalih tidak kuat” [Al Jarh Wat Ta’dil 7/322-323 no 1739]. Nasa’iy berkata “tidak kuat dalam hadis” [Adh Dhu’afa An Nasa’iy hal 214 no 550]. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ibnu Abi Laila buruk hafalannya banyak melakukan kesalahan dan banyak hal-hal mungkar dalam riwayatnya sehingga selayaknya ditinggalkan, Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in meninggalkannya [Al Majruhin Ibnu Hibban 2/251 no 918]

Ibnu Jarir Ath Thabariy berkata “tidak berhujjah dengannya”. Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat terdapat pembicaraan pada sebagian hadisnya dan ia layyin al hadiits di sisi para ulama. Ibnu Madiniy berkata “buruk hafalannya dan lemah hadisnya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “sebagian besar hadis-hadisnya terbalik”. As Sajiy mengatakan bahwa ia jelek hafalannya tetapi bukan pendusta, ia terpuji dalam keputusannya, adapun dalam hadis maka tidak menjadi hujjah. Ibnu Khuzaimah mengatakan ia bukan seorang yang hafizh tetapi faqih lagi alim [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 9 no 503]

Dengan mengumpulkan semua perkataan ulama tentangnya maka Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Laila adalah perawi yang dhaif tidak bisa dijadikan hujjah karena hafalannya yang sangat buruk dan banyaknya kesalahan serta riwayat-riwayat mungkarnya. Tetapi ia bisa dijadikan i’tibar hadisnya dengan dasar pernyataan sebagian ulama bahwa ia tsiqat atau shaduq. Khusus untuk riwayatnya dari Atha’ bin Abi Rabah maka kedudukannya dhaif sebagaimana dinyatakan oleh Yahya bin Sa’id dan ditegaskan oleh Ahmad bin Hanbal bahwa riwayatnya dari Athaa’ banyak terdapat kesalahan. Ibnu Hibbaan dalam Al Majruuhin memasukkan hadis Ibnu Abi Laila dari Atha’ di atas sebagai bagian dari riwayat mungkarnya.

Hadis Ibnu Abi Laila di atas dhaif dan tidak bisa dijadikan i’tibar karena termasuk bagian dari kemungkaran atau kesalahan Ibnu Abi Laila. Hadis Ibnu Abi Laila tidak bisa dikuatkan dengan hadis Syabib bin Bisyr sebelumnya, begitu pula sebaliknya hadis Syabib bin Bisyr tidak pula dikuatkan oleh hadis Ibnu Abi Laila. Apalagi tidak ada bukti atau qarinah yang menunjukkan bahwa hadis Syabib bin Bisyr tersebut adalah hadis yang sama dengan hadis Ibnu Abi Laila atau ringkasan dari hadis Ibnu Abi Laila karena dari segi matan lafaz kedua hadis tersebut tidak sama.

.

.

.

Hadis riwayat Anas bin Malik yang matannya lebih tepat sebagai syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila adalah hadis yang disebutkan oleh Syaikh Al Albaniy dan Syaikh Al Judai’. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadiits Ash Shahihah hal 190 no 2157 mengatakan

Silsilah Shahihah 2157

“Aku menemukan jalan lain tentangnya, Ibnu As Sammaak berkata dalam Al ‘Awwal Min Hadiits-nya 2/87 telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaid bin ‘Abdurrahman At Tamiimiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas seperti hadis Ibnu Abi Laila di atas”

Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 410 juga menyebutkan hadis Anas ini dan menyebutkan sebagian matannya

Al Musiiq Syaikh Judai' hal 410

“Aku menyebutkan mutaba’ah yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu ‘Amru Utsman bin Ahmad Ibnu As Sammaak dalam Al ‘Awwaal Min Hadiits-nya 2/87 dari Jalan Ubaid bin ‘Abdurrahman At Taimmiy yang berkata telah menceritakan kepadaku Iisa bin Thahmaan dari Anas yang berkata [maka ia menyebutkan kisah wafatnya Ibrahim putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam] dan di dalamnya terdapat lafaz “maka meneteslah air matanya, sahabatnya berkata kepadanya “wahai Nabi Allah bukankah engkau telah melarannangis?. Maka Beliau berkata “aku tidak melarangnya, sesungguhnya aku hanya melarang dua suara bodoh lagi fajir yaitu suara ketika mendapat musibah ratapan dan nyanyian, kami sangat bersedih atasmu wahai Ibrahim”

Perkataan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini mutaba’ah bagi hadis Syabiib bin Bisyr keliru karena matannya tidak sama, yang benar adalah ia menjadi syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila sebelumnya. Dan hadis ini tidaklah tsabit sebagai syahid karena sanadnya dhaif [Syaikh Al Judai' juga melemahkan hadis ini dan menyatakan tidak baik sebagai mutaba'ah]. Ubaid bin ‘Abdurrahman yang meriwayatkan dari Iisa bin Thahmaan adalah perawi majhul. Abu Hatim berkata “aku tidak mengenalnya dan hadis riwayatnya dusta” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/410 no 1905]

.

.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 402-407 menjelaskan secara detail takhrij hadis Ibnu Abi Laila di atas dan penjelasan akan kelemahannya. Hal ini sesuai dengan pembahasan kami di atas bahwa hadis Ibnu Abi Laila dhaif dan tidak bisa dijadikan mutaba’ah bagi hadis Anas bin Malik.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam Ar Radd Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 333-335 ketika membantah Syaikh Al Judai’, ia menyatakan bahwa idhthirab Ibnu Abi Laila di atas tidak bersifat menjatuhkan karena perselisihan sanad itu hanya seputar sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut yaitu dari Jabir yang menyebutkan kisah ‘Abdurrahman bin ‘Auf atau Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang menceritakan kisahnya sendiri. Kesimpulannya menurut Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa kedua sanad tersebut benar.

Apa yang dikatakan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa soal idhthirab tersebut memang benar dengan catatan idhthirab tersebut bukanlah menjadi sebab yang melemahkan sanad tersebut. Kelemahan riwayat Ibnu Abi Laila di atas bukan terletak pada sebab sanadnya yang terbukti idhthirab tetapi pada kelemahan hafalan atau dhabit Ibnu Abi Laila.

Adapun idhthirab sanad tersebut hanya menjadi qarinah yang menunjukkan bahwa dhabit [hafalan] Ibnu Abi Laila dalam hadis ini bermasalah. Sehingga dengan statusnya yang buruk hafalannya dan mudhtharib hadisnya serta ia banyak melakukan kesalahan [khususnya riwayat dari Atha’] maka menjadi lengkaplah bahwa hadis Ibnu Abi Laila disini dhaif dan bagian dari kesalahan atau kemungkarannya. Seandainya Ibnu Abi Laila ini seorang yang tsiqat tsabit maka tidak ada celah untuk mengatakan bahwa idhthirab tersebut adalah kelemahan dalam dhabitnya tetapi faktnya Ibnu Abi Laila memang seorang yang buruk hafalannya maka idhthirab tersebut menjadi qarinah kuat akan kelemahan dhabitnya.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal Judai’ hal 339-340 mengutip pernyataan Tirmidzi dan Al Baghawiy yang menyatakan hadis ini hasan kemudian Beliau mengatakan sekelompok ulama hadis menyebutkan hadis ini tanpa menyatakan mungkar.

Bantahan Syaikh tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat. Ulama hadis mengutip suatu hadis dalam kitabnya tanpa menyebutkan kelemahan atau kemungkaran hadis tersebut adalah fenomena yang wajar, tidak ada hujjah yang bisa diambil dari sini. Hujjah hanya bisa diambil dari pernyataan sharih [jelas] ulama terhadap hadis yang dikutipnya, apakah hadis tersebut shahih, dhaif atau mungkar. Adapun penghasanan Tirmidzi dan Al Baghawiy telah diselisihi oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Thahir [sebagaimana dikutip Syaikh Al Judai’ dalam Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 407].

Anehnya Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawi Wal Judai’ hal 346 seolah ingin membantah Ibnu Hibban dengan menyatakan bahwa ia termasuk ulama yang terlalu mudah dalam menjarh perawi. Pernyataan ini benar tetapi keliru jika menjadikan seolah-olah semua perkataan jarh Ibnu Hibban terhadap perawi tertolak karena ia dikenal mudah dalam menjarh. Harus ada qarinah yang menunjukkan bahwa Ibnu Hibban memang berlebihan dalam mencela perawi tertentu.

Misalkan jika perawi yang bersangkutan adalah perawi kitab Shahih yang dikenal tsiqat kemudian Ibnu Hibban mencela dengan mengatakan ia meriwayatkan hadis palsu. Maka sudah jelas jarh Ibnu Hibban bertentangan dengan para ulama hadis lain yang lebih mu’tabar darinya.

Dalam kasus hadis Ibnu Abi Laila di atas apa yang dikatakan Ibnu Hibban sudah sesuai dengan pendapat para ulama hadis bahwa Ibnu Abi Laila termasuk perawi yang lemah dalam dhabitnya [buruk hafalannya] dan banyak melakukan kesalahan bahkan Yahya bin Sa’id dan Ahmad bin Hanbal secara khusus melemahkan hadis Ibnu Abi Laila dari Atha’. Jadi tidak ada alasan menuduh Ibnu Hibban disini terlalu mudah menjarh.

Justru yang nampak adalah At Tirmidzi yang menghasankan hadis Ibnu Abi Laila di atas menunjukkan sikap tasahul-nya dalam menguatkan hadis. Dan At Tirmidzi memang dikenal ulama yang tasahul dalam tashih dan tahsin hadis dalam kitab Sunan-nya. Bagaimana mungkin dikatakan hasan jika Ibnu Abi Laila adalah perawi yang buruk hafalannya dan banyak melakukan kesalahan. Jika yang dimaksudkan Tirmidzi dengan hasan dalam hadis Ibnu Abi Laila itu adalah hasan lighairihi maka mengapa ia tidak menyebutkan syahid bagi hadis Ibnu Abi Laila yang ia kutip. Bukankah At Tirmidzi seringkali menyebutkan syahid pada sebagian hadis yang ia sebutkan dalam kitab Sunan-nya.

Kesimpulannya disini adalah apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis ini dhaif adalah pendapat yang benar, adapun pembelaan dan bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy

Kedudukan Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib Tentang Bendera Hitam

$
0
0

Kedudukan Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib Tentang Bendera Hitam

Atsar ini nampaknya menjadi bahan pembicaraan terkait dengan pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa mereka yang dibicarakan oleh Imam Aliy dalam atsar tersebut adalah orang-orang yang di zaman sekarang menyebut diri mereka ISIS.

Kami tidak sedikitpun membela ISIS dan tidak pula kami merendahkan siapapun yang berhujjah dengan atsar Imam Aliy tersebut. Tulisan ini kami buat sebagai jawaban dari salah satu pembaca blog ini yang menanyakan shahih tidaknya atsar tersebut dimana ia menukil dari kitab Kanz Al ‘Ummaal Muttaqiy Al Hindiy no 31530.



Al Kanz

Al Kanz no 31530

عن علي قال إذا رأيتم الرايات السود فالزموا الأرض ولا تحركوا أيديكم ولا أرجلكم! ثم يظهر قوم ضعفاء لا يوبه لهم، قلوبهم كزبر الحديد، هم أصحاب الدولة، لا يفون بعهد ولا ميثاق، يدعون إلى الحق وليسوا من أهله، أسماؤهم الكنى ونسبتهم القرى، وشعورهم مرخاة كشعور النساء حتى يختلفوا فيها بينهم ثم يؤتي الله الحق من يشاء. (نعيم

Dari ‘Aliy yang berkata “jika kamu melihat bendera-bendera hitam, maka tetaplah di tanah [mu] dan janganlah menggerakkan tangan dan kakimu, kemudian muncul kaum yang lemah, tidak ada yang menghiraukan mereka, hati mereka seperti potongan besi, mereka adalah shahibul daulah, mereka tidak menepati perjanjian dan kesepakatan, mereka mengajak kepada kebenaran tetapi mereka bukan termasuk ahlinya, nama mereka adalah kuniyah dan nisbat mereka kepada desa, rambut mereka terjuntai seperti rambut wanita hingga akhirnya mereka berselisih di antara mereka kemudian Allah akan mendatangkan kebenaran kepada orang yang Dia kehendaki [riwayat Nu’aim]

Asal riwayat ini sebagaimana yang tertulis dalam kitab Kanz Al ‘Ummaal adalah riwayat Nu’aim bin Hammaad. Nu’aim bin Hammaad menyebutkan dalam kitabnya Al Fitan riwayat di atas dengan sanad berikut

Al Fitan

Al Fitan no 573

حدثنا الوليد ورشدين عن ابن لهيعة عن أبي قبيل عن أبي رومان عن علي بن أبي طالب قال إذا رايتم الرايات السود فالزموا الأرض ولا تحركوا أيديكم ولا أرجلكم ثم يظهر قوم ضعفاء لا يؤبه لهم قلوبهم كزُبَرِ الحديد هم أصحاب الدولة لا يفون بعهد ولا ميثاق يدعون إلى الحق وليسوا من أهله، أسماؤهم الكنى ونسبتهم القرى وشعورهم مرخاة كشعور النساء حتى يختلفوا فيما بينهم ثم يؤتي الله الحق من يشاء

Telah menceritakan kepada kami Al Waliid dan Risydiin dari Ibnu Lahii’ah dari Abi Qabiil dari Abi Ruuman dari ‘Aliy bin Abi Thalib yang berkata “jika kamu melihat bendera-bendera hitam, maka tetaplah di tanah [mu] dan janganlah menggerakkan tangan dan kakimu, kemudian muncul kaum yang lemah, tidak ada yang menghiraukan mereka, hati mereka seperti potongan besi, mereka adalah shahibul daulah, mereka tidak menepati perjanjian dan kesepakatan, mereka mengajak kepada kebenaran tetapi mereka bukan termasuk ahlinya, nama mereka adalah kuniyah dan nisbat mereka kepada desa, rambut mereka terjuntai seperti rambut wanita hingga akhirnya mereka berselisih di antara mereka kemudian Allah akan mendatangkan kebenaran kepada orang yang Dia kehendaki [Al Fitan Nu’aim bin Hammaad hal 210 no 573]

Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib di atas sanadnya dhaif dengan beberapa kelemahan berikut

  1. Nu’aim bin Hammaad ia seorang yang dhaif tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud
  2. Walid bin Musliim seorang mudallis dengan tadlis taswiyah dan riwayatnya disini dengan ‘an anah. Ia memiliki mutaba’ah dari Risydiin bin Sa’d seorang yang dhaif [berdasarkan pendapat yang rajih].
  3. Ibnu Lahii’ah diperbincangkan hafalannya setelah kitabnya terbakar, riwayatnya jayyid jika yang meriwayatkan darinya adalah para perawi yang mendengar darinya sebelum kitabnya terbakar seperti ‘Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Mubarak dan yang lainnya. Disini yang meriwayatkan darinya adalah Waliid bin Muslim dan Risydiin bin Sa’d. Keduanya tidak diketahui kapan mereka meriwayatkan dari Ibnu Lahii’ah maka riwayatnya dhaif
  4. Abu Ruuman yang meriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thalib adalah perawi yang majhul dan ternukil hanya Abu Qabiil yang meriwayatkan darinya maka kedudukannya majhul ‘ain.

Berikut pembahasan rinci tentang kelemahan-kelemahan tersebut. Nu’aim bin Hammaad termasuk salah satu dari guru Imam Bukhariy. Sebagian ulama memujinya dan sebagian yang lain telah mencelanya.

.

.

.

Kelemahan Pertama Nu’aim bin Hammaad

Ahmad bin Hanbal berkata tentang Nu’aim bin Hammaad “sungguh dia termasuk orang-orang tsiqat”. Dan ia juga berkata “orang pertama yang kami kenal menulis musnad adalah Nu’aim bin Hammaad” [Mausu’ah Aqwaal Ahmaad 4/23-24 no 3332]

Yahya bin Ma’in berkata tentang Nu’aim bin Hammad “tsiqat”. Ia juga berkata bahwa Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dari orang-orang yang tidak tsiqat. Yahya bin Ma’in pernah mengingkari hadis Nu’aim bin Hammaad dan menyatakan tidak ada asalnya tetapi ia tetap menyatakan Nu’aim tsiqat. Yahya bin Ma’in pernah berkata “hadisnya tidak ada apa-apanya tetapi ia shahibus sunnah” [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in no 4024]

Al Ijliy berkata “Nu’aim bin Hammaad Al Marwaziy tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/316 no 1858]. Abu Hatim berkata “tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/463-464 no 2125]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia melakukan kesalahan dan kekeliruan” [Ats Tsiqat 9/219 no 16099]

An Nasa’iy berkata “dhaif” [Adh Dhu’afa Wal Matrukin no 217]. Terkadang Nasa’iy juga berkata “tidak tsiqat” [Tarikh Baghdad 15/428 no 7237]. Al Mizziy mengutip Abu ‘Aliy An Naisaburiy Al Hafizh yang mendengar Nasa’iy menyebutkan keutamaan Nu’aim bin Hammaad dan ia mendahulukannya dalam ilmu dan sunnah hanya saja dalam hal hadis, An Nasa’iy menyatakan bahwa Nu’aim banyak meriwayatkan secara tafarrud hadis-hadis yang tidak bisa dijadikan hujjah [Tahdzib Al Kamal 29/476 no 6451]

Abu Zur’ah Ad Dimasyiq mengatakan “ia menyambungkan hadis-hadis yang dimauqufkan oleh orang-orang”. Shalih bin Muhammad pernah menyatakan suatu hadis Nu’aim dari Ibnu Mubarak sebagai tidak ada asalnya dan ia berkata “Nu’aim menceritakan hadis dari hafalannya dan di sisinya banyak terdapat riwayat-riwayat mungkar yang tidak ada mutaba’ah atasnya”. Abu Ubaid Al ‘Ajurriy berkata dari Abu Daud “di sisi Nu’aim terdapat dua puluh hadis dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang tidak ada asalnya” [Tahdzib Al Kamal 29/471 & 475 no 6451]

Daruquthniy berkata tentang Nu’aim bin Hammaad “imam dalam sunnah banyak melakukan kesalahan” [Su’alat Al Hakim no 503]. Ibnu Hammaad berkata bahwa An Nasa’iy mendhaifkannya dan Ibnu Hammad berkata bahwa selainnya berkata bahwa ia [Nu’aim] pamalsu hadis dalam berpegang pada Sunnah dan hikayat para ulama tentang Abu Hanifah. [Al Kamil Ibnu Adiy 8/251 no 1959]. Ibnu Adiy dalam Al Kamil menyebutkan berbagai hadis mungkar Nu’aim bin Hammaad kemudian ia mengatakan “sebagian besar apa yang diingkari atasnya adalah apa yang telah aku sebutkan, dan aku harap hadis-hadisnya yang lain lurus” [Al Kamil Ibnu Adiy 8/256 no 1959]

Ibnu Yunus berkata “ia memiliki kefahaman dalam hadis dan meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari para perawi tsiqat” Abu Ahmad Al Hakim berkata “melakukan kesalahan dalam sebagian hadisnya”. Maslamah bin Qasim berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan dan memiliki hadis-hadis mungkar”. Al Azdiy mengatakan bahwa ia pemalsu hadis dalam berpegang pada Sunnah dan hikayat para ulama tentang Abu Hanifah [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 833]. Ibnu Hajar berkata “adapun Nu’aim sungguh telah tsabit keadilan dan kejujurannya akan tetapi dalam hadisnya terdapat kekeliruan-kekeliruan yang telah dikenal” [Tahdzib At Tahdzib juz 10 no 833]. Ibnu Hajar juga berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan, faqih arif dalam ilmu faraidh” [Taqrib At Tahdzib 2/250]. Dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Nu’aim adalah perawi yang dhaif [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 7166]

Dengan mengumpulkan semua pendapat para ulama tentang Nu’aim bin Hammaad maka dapat disimpulkan bahwa ia seorang yang tsiqat atau shaduq tetapi lemah dalam dhabitnya [hafalannya] sehingga banyak hadis-hadisnya yang mungkar bahkan karena kemungkarannya ada yang menyatakan bahwa ia memalsukan hadis. Nampaknya disini adalah ia mengambil hadis dari para perawi dhaif kemudian hafalannya tercampur sehingga ia sering meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat padahal hadis tersebut ia ambil dari perawi dhaif. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Al Mu’allimiy ketika menjelaskan jarh Shalih bin Muhammad terhadap Nu’aim

وقال صالح بن محمد كان نعيم يحدث من حفظه وعنده مناكير كثيرة لا يتابع عليها فلكثرة حديث نعيم عن الثقات وعن الضعفاء واعتماده على حفظه كان ربما اشتبه عليه ما سمعه من بعض الضعفاء بما سمع من بعض الثقات فيظن أنه سمع الأول بسند الثاني فيرويه كذلك

Dan Shalih bin Muhammad berkata “Nu’aim menceritakan hadis dari hafalannya dan di sisinya banyak terdapat riwayat-riwayat mungkar yang tidak ada mutaba’ah atasnya”. Maka Nu’aim banyak menceritakan hadis dari para perawi tsiqat dan dari para perawi dhaif, dan ia berpegang pada hafalannya. Mungkin terjadi kekacauan padanya mengenai apa yang ia dengar dari sebagian perawi dhaif dengan apa yang ia dengar dari sebagian perawi tsiqat, ia mengira bahwa ia mendengar hadis golongan pertama [perawi dhaif] dengan sanad golongan kedua [perawi tsiqat], maka ia meriwayatkannya seperti itu [At Tankiil Al Mu’allimiy 2/733]

Oleh karena itu kedudukan perawi seperti ini walaupun ia seorang yang dinyatakan tsiqat atau shaduq oleh sebagian ulama tetap tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud maka hadisnya dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Adapun kitabnya Al Fitan telah dikatakan oleh Adz Dzahabiy bahwa ia mengandung riwayat-riwayat mungkar. Adz Dzahabiy berkata tentang Nu’aim bin Hammaad

لا يجوز لأحد أن يحتج به وقد صنف كتاب الفتن فأتى فيه بعجائب ومناكير

Tidak diperbolehkan seorangpun untuk berhujjah dengannya dan sungguh ia telah menulis kitab Al Fitan maka ia mendatangkan di dalamnya riwayat-riwayat yang mengherankan dan riwayat-riwayat mungkar [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 10/609]

Dalam meriwayatkan atsar Aliy bin Abi Thalib di atas, Nu’aim bin Hammaad tidak memiliki mutaba’ah sehingga kedudukannya dhaif.

.

.

.

Kelemahan Kedua Waliid bin Muslim dan Risydiin bin Sa’d

Waliid yaitu Syaikh [guru] Nu’aim bin Hammaad dalam atsar di atas adalah Waliid bin Muslim Al Qurasyiy Abul ‘Abbaas Ad Dimasyiqiy. Dan ia meriwayatkan atsar di atas dari Ibnu Lahii’ah dengan lafaz ‘an anah, padahal ia seorang mudallis. Ibnu Hajar memasukkannya dalam mudalis thabaqat keempat

الوليد بن مسلم الدمشقي معروف موصوف بالتدليس الشديد مع الصدق

Al Waliid bin Muslim Ad Dimasyiqiy ma’ruf disifatkan dengan tadlis yang parah bersamaan dengan kejujurannya [Thabaqat Al Mudallisin Ibnu Hajar hal 51 no 127]

Adz Dzahabiy dalam biografi Waliid bin Muslim menukil dari Abu Mushir tentang sifat tadlis tersebut

وقال أبو مسهر ربما دلس الوليد بن مسلم عن كذابين

Dan Abu Mushir berkata “Walid bin Muslim terkadang melakukan tadlis dari para pendusta” [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 9/216]

Selain itu Waliid bin Muslim disifatkan dengan tadlis taswiyah, yaitu jenis tadlis dimana Walid meriwayatkan dari gurunya kemudian gurunya meriwayatkan dari perawi dhaif dari perawi tsiqat [yang dikenal sebagai syaikh dari gurunya Waliid], kemudian Walid menghilangkan nama perawi dhaif diantara gurunya dan perawi tsiqat tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Daruquthniy dan dinyatakan oleh Ibnu Hajar

الوليد بن مسلم يرسل، يروي عن الأوزاعي أحاديث الأوزاعي عن شيوخ ضعفاء عن شيوخ قد أدرکهم الأوزاعي مثل نافع وعطاء والزهري فيسقط أسماء الضعفاء ويجعلها عن الأوزاعي عن عطاء يعني مثل عبد الله بن عامر الأسلمي وإسماعيل بن مسلم

Al Waliid bin Muslim sering melakukan irsal, ia meriwayatkan dari Al ‘Auza’iy hadis-hadis Al ‘Auza’iy dari guru-guru yang dhaif dari guru-guru yang biasa ditemui Al ‘Auza’iy seperti Naafi’, Athaa’ dan Az Zuhriy. Maka ia menghilangkan nama-nama perawi dhaif tersebut kemudian menjadikan sanadnya sebagai dari Al ‘Auza’iy dari ‘Athaa’. [nama para perawi dhaif] yaitu seperti ‘Abdullah bin ‘Aamir Al Aslamiy dan Isma’iil bin Muslim [Adh Dhu’afa Wal Matruukin Daruquthniy hal 415 no 631]

الوليد بن مسلم القرشي مولاهم أبو العباس الدمشقي ثقة لكنه كثير التدليس والتسوية

Al Waliid bin Muslim Al Qurasyiy maula mereka Abul ‘Abbaas Ad Dimasyiqiy seorang yang tsiqat akan tetapi ia banyak melakukan tadlis dan taswiyah [Taqrib At Tahdzib 2/289]

Kedudukan perawi seperti Waliid bin Muslim diterima hadisnya jika ia menjelaskan penyimakan terhadap hadis tersebut dari Syaikh [guru]-nya kemudian Syaikh-nya juga menjelaskan penyimakan hadis itu dari Syaikh-nya pula. Dan syarat tersebut tidak terpenuhi dalam atsar Aliy bin Abi Thalib di atas. Waliid meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah dari Ibnu Lahii’ah dan Ibnu Lahii’ah meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah dari Abu Qabiil. Maka sanad Waliid dhaif

Waliid bin Muslim dalam periwayatannya dari ‘Abdullah bin Lahii’ah memiliki mutaba’ah yaitu Risydiin bin Sa’d Abul Hajjaaj Al Mishriy hanya saja Risydiin bin Sa’d berdasarkan pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif.

  1. Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat mendhaifkannya, kemudian ia juga pernah berkata “aku harap ia shalih al hadiits” dan disaat lain ia berkata “seorang yang shalih dan telah ditsiqatkan oleh Haitsam bin Kharijah” [Mausu’ah Aqwaal Ahmad 1/375-376 no 793]
  2. Yahya bin Ma’in pernah berkata tentang Risydiin bin Sa’d “tidak ada apa-apanya”. Di saat lain ia berkata “tidak ditulis hadisnya” dan di saat lain berkata “dhaif” [Mausu’ah Aqwaal Yahya bin Ma’in no 1148]
  3. Daruquthniy berkata “dhaif” [Adh Dhu’afaa Wal Matruukin hal 209 no 220]. Ibnu Numair berkata “tidak ditulis hadisnya”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata “dhaif al hadiits”. Abu Hatim mengatakan munkar al hadiits meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat dan dhaif al hadiits. Abu Zur’ah berkata “dhaif al hadiits” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/513 no 2320]
  4. Ibnu Yunus berkata “seorang yang shalih, tidak diragukan keshalihan dan keutamaannya”. Ibnu Sa’ad berkata “dhaif”. Ibnu Qaani’ berkata “dhaif al hadiits”. Al Ajurriy dari Abu Dawud berkata “dhaif al hadiist” [Tahdzib At Tahdzib juz 3 no 526]. Ibnu Hajar berkata “dhaif” [Taqrib At Tahdzib 1/301].

Sanad Risydiin bin Sa’d dan sanad Waliid bin Muslim tidaklah saling menguatkan satu sama lain karena Risydiin bin Sa’d adalah perawi yang dhaif dan sanad Waliid bin Muslim dhaif karena tadlis bahkan dikatakan bahwa Waliid kadang melakukan tadlis dari para pendusta maka bisa saja lafaz ‘an anah Waliid disini berasal dari seorang pendusta. Maka jika benar demikian tidak mungkin riwayat pendusta bisa menguatkan riwayat Risydiin yang dikenal dhaif.

.

.

Kelemahan Ketiga ‘Abdullah bin Lahii’ah

Kelemahan lain atsar di atas adalah pada sisi Abdullah bin Lahii’ah. Ia seorang yang shaduq sebelum kitabnya terbakar adapun setelah kitabnya terbakar maka ia mengalami ikhtilath sehingga kedudukannya menjadi dhaif jika tafarrud. Ibnu Hajar berkata tentangnya

عبد الله بن لهيعة بفتح اللام وكسر بن عقبة الحضرمي أبو عبد الرحمن المصري القاضي صدوق من السابعة خلط بعد احتراق كتبه ورواية بن المبارك وابن وهب عنه أعدل من غيرهما

’Abdullah bin Lahii’ah [fathah pada huruf laam, dan kasrah] bin ‘Uqbah Al Hadhramiy Abu ‘Abdurrahman Al Mishriy Al Qaadhiy seorang yang shaduq termasuk thabaqat ketujuh, mengalami ikhtilath setelah kitabnya terbakar, riwayat Ibnu Wahb dan Ibnu Mubarak darinya lebih adil daripada riwayat selain keduanya [Taqrib At Tahdzib 1/526]

Kemudian dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib disebutkan bahwa Abdullah bin Lahii’ah seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar hadisnya, dan hadisnya shahih jika yang meriwayatkan darinya Al ‘Abadillah yaitu ‘Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid Al Muqriiy dan ‘Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabiy [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3563]

Atsar di atas adalah riwayat Waliid bin Muslim dan Risydiin bin Sa’d dari ‘Abdullah bin Lahii’ah dan tidak diketahui apakah keduanya termasuk yang mengambil hadis dari Ibnu Lahii’ah sebelum kitabnya terbakar atau setelah kitabnya terbakar. Maka riwayat ‘Abdullah bin Lahii’ah disini dhaif dan ia tidak memiliki mutaba’ah.

.

.

.

Kelemahan Keempat Abu Ruumaan

Kelemahan terakhir atsar Imam Aliy di atas adalah Abu Ruumaan, tidak ditemukan keterangan tentangnya kecuali dari apa yang disebutkan Ibnu Mandah dalam Fath Al Baab Fii Al Kunaa Wal ‘Alqaab

Al Fath Ibnu Mandah no 2882

Abu Ruumaan, menceritakan hadis dari Aliy bin Abi Thalib dalam Al Fitan, dan telah meriwayatkan hadisnya ‘Abdullah bin Lahii’ah dari Abu Qabiil dari Abu Ruumaan [Fath Al Baab Fii Al Kunaa Wal ‘Alqaab hal 328 no 2882]

Tidak ada jarh dan ta’dil terhadapnya dan hanya diketahui seorang perawi yang meriwayatkan darinya yaitu Abu Qabiil maka Abu Ruumaan adalah perawi yang majhul ‘ain.

.

.

.

Kesimpulan

Atsar Imam Aliy bin Abi Thalib di atas kedudukannya dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah maka mereka yang telah berhujjah dengan atsar di atas telah jatuh dalam kekeliruan.


Filed under: Hadis

Benarkah Nyanyian Diharamkan Dan Diberi Rukhshah Saat Pernikahan?

$
0
0

Benarkah Nyanyian Diharamkan Dan Diberi Rukhshah Saat Pernikahan?

Ada salah satu golongan dalam islam [yang menyebut diri mereka salafiy] telah menyatakan bahwa Nyanyian dan memukul duff diharamkan dalam islam kemudian diberikan rukhshah pada saat pernikahan. Mereka berdalil dengan atsar berikut

أخبرنا علي بن حجر قال حدثنا شريك عن أبي إسحق عن عامر بن سعد قال دخلت على قرظة بن كعب وأبي مسعود الأنصاري في عرس وإذا جوار يغنين فقلت أنتما صاحبا رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن أهل بدر يفعل هذا عندكم فقال اجلس إن شئت فاسمع معنا وإن شئت اذهب قد رخص لنا في اللهو عند العرس

Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy bin Hujr yang berkata telah menceritakan kepada kami Syariik dari Abi Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d yang berkata aku masuk menemui Qarazhah bin Ka’b dan Abi Mas’ud Al Anshariy dalam suatu pernikahan, dan disana terdapat anak-anak perempuan yang sedang bernyanyi. Maka aku berkata “kalian berdua adalah sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari ahli badar, dan hal ini dilakukan di sisi kalian?”. Maka [salah seorang] berkata “duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami dan pergilah jika engkau mau, sungguh Beliau telah memberi rukhshah kepada kami mengenai hiburan dalam pernikahan [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 5/241 no 5539]

 

.

.

Syubhat Salafiy Atas Dalil

Dengan atsar di atas yaitu pada lafaz “rukhkhisha lana” mereka berdalil bahwa lafaz tersebut menunjukkan hukum nyanyian saat pernikahan adalah pengecualian dari dalil yang jelas [yaitu keharamannya]. Lafaz tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut sebelum diberi rukhshah hukumnya adalah haram. Mereka memberi contoh dengan hadis berikut

حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا أبو أسامة عن سعيد بن أبي عروبة حدثنا قتادة أن أنس بن مالك أنبأهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخص لعبدالرحمن بن عوف والزبير ابن العوام في القمص الحرير في السفر من حكة كانت بهما أو وجع كان بهما

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Alaa’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Sa’iid bin Abi Aruubah yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah bahwa Anas bin Malik memberitakan kepada mereka bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan rukhshah kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwaam untuk mengenakan baju dari sutera dalam perjalanan karena keduanya terserang penyakit gatal atau penyakit lain [Shahih Muslim 3/1646 no 2076]

Telah ma’ruf bahwa sutra hukumnya haram bagi laki-laki dan dihalalkan bagi wanita, oleh karena itu mereka mengatakan bahwa lafaz rukhshah di atas adalah pengecualian atas keharaman sutra bagi laki-laki.

.

.

.

Rukhshah Tidak Selalu Atas Perkara Yang Telah Diharamkan

Jawaban atas mereka adalah sebagai berikut, pertama-tama kami akan mengatakan bahwa penjelasan mereka benar yaitu pada sisi bahwa rukhshah bisa muncul dari perkara yang sudah diharamkan sebelumnya. Tetapi hal ini tidak bersifat mutlak, terdapat kasus dalam berbagai hadis bahwa lafaz rukhshah digunakan tetapi tidak menunjukkan pengharaman sebelumnya.

Misalnya lafaz rukhshah yang bisa bermakna memberikan penekanan kemudahan dengan tujuan tertentu atas suatu perkara walaupun perkara tersebut status asal hukumnya adalah mubah. Silakan perhatikan hadis berikut

حدثنا نصر بن علي أنا أبو أحمد يعني الزبيري أخبرنا إسرائيل عن أبي العنبس عن الأغر عن أبي هريرة أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن المباشرة للصائم فرخص له وأتاه آخر فسأله فنهاه فإذا الذي رخص له شيخ والذي نهاه شاب

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad yaitu Az Zubairiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Isra’iil dari Abul ‘Anbas dari Al ‘Aghar dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya tentang bercumbu pada saat berpuasa, maka Beliau memberikan rukhshah kepadanya, dan datang orang lain menanyakan hal itu kepada Beliau maka Beliau melarangnya. Ternyata orang yang Beliau berikan rukhshah adalah orang yang sudah tua dan yang Beliau larang adalah orang yang masih muda [Sunan Abu Dawud 1/726 no 2387]

Hadis riwayat Abu Dawud di atas sanadnya shahih berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Nashr bin ‘Aliy bin Nashr bin Aliy Al Jahdhamiy adalah seorang yang tsiqat tsabit termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/243]
  2. Abu Ahmad Az Zubairiy yaitu Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair seorang yang tsiqat tsabit tetapi sering keliru dalam hadis Ats Tsawriy, termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/95]
  3. Isra’iil bin Yunus bin Abi Ishaaq, seorang yang tsiqat, ada yang membicarakannya tanpa hujjah, termasuk thabaqat ketujuh [Taqrib At Tahdzib 1/88]
  4. Abul ‘Anbas Al Kuufiy yaitu Al Haarits bin Ubaid, seorang yang maqbul termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 2/444]. Yang benar ia seorang yang tsiqat sebagaimana dikatakan Yahya bin Ma’iin [Tarikh Ad Darimiy dari Ibnu Ma’iin no 916].
  5. Al ‘Aghar Abu Muslim Al Madiiniy tinggal di Kuufah seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/108].

Dalam hadis Abu Dawud di atas, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah mengenai bercumbu pada saat berpuasa. Apakah hal itu menunjukkan bahwa sebelumnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengharamkan bercumbu pada saat berpuasa?. Jawabannya tidak, karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri melakukannya

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata dari Syu’bah dari Al Hakam dari Ibrahim dari Al Aswad dari ‘Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mencium dan bercumbu sedang Beliau dalam keadaan berpuasa, dan ia orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian [Shahih Bukhariy 3/30 no 1927]

Bercumbu pada saat berpuasa hukum asalnya adalah dibolehkan tetapi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melarang orang muda melakukannya karena dikhawatirkan ia tidak mampu menahan nafsunya sehingga ia bisa jadi jatuh dalam perkara yang yang dapat membatalkan puasanya yaitu jima’ saat berpuasa. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah kepada orang yang sudah tua karena ia mampu menahan nafsunya dan  dengan melakukannya ia tidak akan terjatuh dalam perkara yang membatalkan puasanya yaitu jima’ saat berpuasa.

Terdapat juga contoh lain yang menunjukkan bahwa lafaz “rukhshah” bermakna membolehkan atau mengizinkan [dengan tujuan memberikan kemudahan] dan tidak pernah ada larangan atau pengharaman atas perkara tersebut sebelumnya.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَرَخَّصَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Muhammad bin Aliy dari Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhum] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melarang pada hari khaibar dari memakan daging keledai dan memberikan rukhshah memakan daging kuda [Shahih Bukhariy 7/95 no 5520]

Dan sebelumnya tidak pernah ada larangan atau pengharaman memakan daging kuda. Telah diriwayatkan oleh sahabat selain Jabir bahwa memakan daging kuda itu halal di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ فَاطِمَةَ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَتْ نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَاهُ

Telah menceritakan kepada kami Al Humaidiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam dari Fathimah dari Asmaa’ yang berkata kami menyembelih kuda pada zaman hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami memakannya [Shahih Bukhariy 7/95 no 5519]

Dan Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhu] sendiri di saat lain menyatakan bahwa di masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] para sahabat telah memakan daging kuda

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ حدثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ عَمْرٍو قَالَ حدثَنَا عَبْدُ الْكَرِيمِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَأْكُلُ لُحُومَ الْخَيْلِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Aliy bin Hujr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah dan ia adalah Ibnu ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Kariim dari Atha’ dari Jabir yang berkata kami memakan daging kuda di masa hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 4/482 no 4823]

Hadis Jabir riwayat An Nasa’iy di atas memiliki sanad yang shahih. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. ‘Aliy bin Hujr Abu Hasan Al Marwaziy seorang tsiqat hafizh termasuk kalangan sighar dari thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 1/689]
  2. Ubaidillah bin ‘Amru Ar Raqiy seorang yang tsiqat faqih pernah melakukan kesalahan, termasuk thabaqat kedelapan [Taqrib At Tahdzib 1/637]
  3. ‘Abdul Kariim bin Malik Al Jazariy seorang yang tsiqat mutqin termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 1/611]
  4. Atha’ bin Abi Rabah seorang yang tsiqat faqiih fadhl tetapi banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/675]

Lafaz yang digunakan Asmaa’ dan Jabir di atas secara zhahir bermakna bahwa di zaman hidup Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], memakan daging kuda itu halal dan tidak pernah diharamkan.

Contoh lain lafaz “rukhshah” terhadap suatu perkara dan perkara tersebut tidak pernah diharamkan sebelumnya adalah rukhshah dalam melakukan haji tamattu.

حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan rukhshah untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberi rukhshah tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan rukhshah tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238]

Contoh-contoh di atas hanya ingin menunjukkan bahwa tidak setiap lafaz rukhshah bermakna bahwa perkara tersebut telah diharamkan sebelumnya baru kemudian diberi rukhshah untuk melakukannya.

.

.

.

Rukhshah Dalam Atsar Adalah Nyanyian dan Tangisan

Kembali pada atsar mengenai rukhshah hiburan dalam pernikahan. Apa makna rukhshah dalam atsar tersebut?. Untuk mengetahui dengan jelas maknanya, ada baiknya melihat terlebih dahulu atsar berikut

حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن أبي إسحاق قال سمعت عامر بن سعد البجلي يقول شهدت ثابت بن وديعة وقرظة بن كعب الأنصاري في عرس وإذا غناء فقلت لهم في ذلك فقالا انه رخص في الغناء في العرس والبكاء على الميت في غير نياحة

Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaaq yang berkata aku mendengar ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy mengatakan aku menyaksikan Tsaabit bin Wadii’ah dan Qarazhah bin Ka’b Al Anshariy dalam suatu pernikahan dan terdapat nyanyian disana, maka aku mengatakan kepada mereka tentang hal itu, keduanya berkata bahwasanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah dalam mendengar nyanyian saat pernikahan dan menangisi orang yang meninggal bukan nihayah [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy 1/169 no 1221]

حدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلْت عَلَى أَبِي مَسْعُودٍ وَقَرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ فَقَالاَ إنَّهُ رُخِّصَ لَنَا فِي الْبُكَاءِ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ حدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ وَثَابِتِ بْنِ يَزَيْدٍ نَحْوَهُ

Telah menceritakan kepada kami Syariik dari Abu Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d yang berkata aku masuk menemui Abi Mas’ud dan Qarazhah bin Ka’b, keduanya berkata “bahwasanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan rukhshah kepada kami mengenai menangis ketika mendapat musibah”. Telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah dari Abu Ishaaq dari ‘Aamir bin Sa’d dari Abi Mas’ud dan Tsaabit bin Yaziid seperti itu [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 4/572 no 12253 & 12254]

Riwayat Syu’bah ini lebih shahih dibandingkan riwayat Syariik yang disebutkan di awal pembahasan di atas karena Syarik diperbincangkan hafalannya. Dalam riwayat ini dapat dilihat bahwa rukhshah yang dimaksud itu tertuju pada dua perkara yaitu

  1. Nyanyian saat pernikahan
  2. Menangis ketika ada orang yang meninggal atau ketika mendapat musibah

Jadi rukhshah itu diberikan untuk dua perkara yaitu nyanyian dan tangisan. Apakah menangis atau menangisi seseorang termasuk perkara yang diharamkan?. Tidak. Apakah menangisi orang yang meninggal [bukan nihayah] adalah sesuatu yang haram? Tidak, bahkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah melakukannya

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا قُرَيْشٌ هُوَ ابْنُ حَيَّانَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَبِي سَيْفٍ الْقَيْنِ وَكَانَ ظِئْرًا لِإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِبْرَاهِيمَ فَقَبَّلَهُ وَشَمَّهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِبْرَاهِيمُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَجَعَلَتْ عَيْنَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَذْرِفَانِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Abdul ‘Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hassaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Quraisy yaitu Ibnu Hayyaan dari Tsabit dari Anas bin Maalik [radiallahu ‘anhu] yang berkata Kami bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemui Abu Saif Al Qain yang [isterinya] telah mengasuh Ibrahim [‘alaihissalam]. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian kami mengunjunginya setelah itu sedangkan Ibrahim telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berlinang air mata. Maka ‘Abdurrahman bin ‘Auf [radhiallahu ‘anhu] berkata kepada beliau, “ada apa dengan anda, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya [tangisan] ini adalah rahmat” kemudian diikuti dengan tangisan. Setelah itu Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata, “Sungguh kedua mata telah berlinang air mata, hati telah bersedih, hanya saja kami tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sesungguhnya kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim” [Shahih Bukhariy 2/83 no 1303]

Menangis pada saat kematian orang yang dicintai adalah perkara yang fitrah. Dan agama islam tidak pernah mengharamkan seseorang menangis karena ada orang yang meninggal atau mendapat musibah. Yang diharamkan adalah nihayah yaitu berteriak, merobek pakaian, mencakar muka dan sebagainya. Nihayah memang diiringi dengan tangisan tetapi tangisan tidak berarti nihayah. Keduanya adalah perkara yang berbeda. Nihayah diharamkan dan menangis dibolehkan. Apalagi yang dimaksud “menangis” dalam atsar di atas telah ditegaskan bahwa itu bukan nihayah?.

Apakah akan ada orang bodoh yang berkata berdasarkan atsar ‘Aamir bin Sa’d di atas maka hukum asal “menangis” itu haram tetapi telah diberikan rukhshah boleh menangis ketika ada orang yang meninggal atau mendapat musibah. Alangkah anehnya pandangan seperti ini.

Maka lafaz “rukhshah” dalam atsar tersebut lebih layak untuk dikatakan bermakna membolehkan atau mengizinkan [dengan tujuan tidak menyulitkan atau memberi kemudhan] dan tidak pernah ada larangan atau pengharaman atas perkara tersebut sebelumnya.

.

.

.

Hadis Nyanyian Bukan Dalam Pernikahan

Qarinah atau petunjuk lain bahwa nyanyian tidak diharamkan adalah terbukti dalam riwayat shahih bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mendengarkan nyanyian dan itu bukan pada saat pernikahan. Sebagaimana dapat dilihat pada hadis-hadis berikut

Hadis Pertama

أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ نا الْجُعَيْدُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ  يَا عَائِشَةُ تَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ قَالَتْ لا  يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ فَغَنَّتْهَا

Telah mengabarkan kepada kami Haruun bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Ju’aid dari Yaziid bin Khushaifah dari As Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], maka Beliau berkata “wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”. [Aisyah] berkata “tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “wanita ini adalah penyanyi dari bani fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi untukmu” maka ia menyanyi [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 8/184 no 8911]

Hadis riwayat An Nasa’iy di atas memiliki sanad yang shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Haruun bin ‘Abdullah bin Marwan Al Baghdadiy seorang perawi tsiqat termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/259]
  2. Makkiy bin Ibrahiim At Tamiimiy seorang yang tsiqat tsabit, termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/211]
  3. Al Ju’aid bin ‘Abdurrahman seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqrib At Tahdzib 1/159]
  4. Yaziid bin ‘Abdullah bin Khushaifah seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqrib At Tahdzib 2/327]
  5. As Saa’ib bin Yaziid termasuk kalangan sighar dari sahabat Nabi [Taqrib At Tahdzib 1/338]

Riwayat shahih di atas menunjukkan bahwa ketika ada seorang penyanyi wanita yang datang ke rumah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Beliau memintanya bernyanyi untuk istrinya Aisyah [radiallahu ‘anha]. Dan tentu saja kisah ini bukan pada saat walimah atau pernikahan.

Hadis Kedua

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ ، فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ ، وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ  اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لأُحِبُّكُنَّ

Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Auf dari Tsumaamah bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati sebagian kota madinah, maka Beliau [bertemu] dengan anak-anak perempuan yang menabuh duff dan bernyanyi, dan mereka mengatakan “kami anak-anak perempuan bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian” [Sunan Ibnu Majah 3/92 no 1899]

Riwayat di atas memiliki sanad yang jayyid, berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Hisyaam bin ‘Ammar seorang yang shaduq, berubah hafalannya ketika tua sehingga ia ditalqinkan, maka hadisnya dahulu lebih shahih daripada ketika tua, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 2/268].
  2. Iisa bin Yunus bin Abi Ishaq seorang yang tsiqat ma’mun, termasuk thabaqat kedelapan [Taqrib At Tahdzib 1/776]
  3. ‘Auf bin Abi Jamiilah Al A’rabiy, seorang yang tsiqat, dituduh qadariy dan tsyayyu’, termasuk thabaqat keenam [Taqrib At Tahdzib 1/759]
  4. Tsumamah bin ‘Abdullah seorang yang shaduq, termasuk thabaqat keempat [Taqrib At Tahdzib 1/150]

Hisyam bin ‘Ammaar dalam periwayatan dari Iisa bin Yuunus memiliki mutaba’ah dari Abu Khaitsamah Mush’ab bin Sa’iid sebagaimana diriwayatkan Ath Thabraniy berikut

حدثنا أبو جعفر أحمد بن النضر بن موسى العسكري حدثنا أبو خيثمة مصعب بن سعيد المصيصي حدثنا عيسى بن يونس عن عوف الأعرابي عن تمامة بن عبد الله بن أنس عن أنس بن مالك قال مر النبي صلى الله عليه و سلم على حي من بني النجار فإذا جواري يضربن بالدف ويقلن نحن قينات من بني النجار فحبذا محمد من جار فقال النبي صلى الله عليه و سلم الله يعلم أن قلبي يحبكم لم يروه عن عوف إلا عيسى تفرد به مصعب بن سعيد

Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Ahmad bin An Nadhr bin Muusa Al ‘Askariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Mush’ab bin Sa’iid Al Mishshiishiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Iisa bin Yuunus dari ‘Auf Al A’rabiy dari Tsumamah bin ‘Abdullah bin Anas dari Anas bin Malik yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati perkampungan bani Najjaar maka Beliau [bertemu] dengan anak-anak perempuan yang menabuh duff mereka mengatakan “kami para penyanyi dari bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Allah mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian”. Tidak diriwayatkan dari Auf kecuali Iisa, diriwayatkan tafarrud oleh Mush’ab bin Sa’iid [Mu’jam Ash Shaghiir Ath Thabraniy 1/65 no 78]

Abu Ja’far Ahmad bin An Nadhr Al Askariy dikatakan Ibnu Munadiy bahwa ia termasuk orang yang paling tsiqat [Tarikh Baghdad Al Khatib 6/415 no 2905] dan Mush’ab bin Sa’iid Abu Khaitsamah, dikatakan Abu Hatim “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/309 no 1428]. Ibnu Adiy mengatakan ia meriwayatkan dari para perawi tsiqat hadis-hadis mungkar. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengatakan pernah melakukan kesalahan, hadisnya dijadikan i’tibar jika meriwayatkan dari perawi tsiqat dan menjelaskan sama’ [pendengarannya] karena ia mudallis [Lisan Al Mizan Ibnu Hajar juz 6 no 167]. Kesimpulannya Mush’ab bin Sa’iid termasuk perawi yang bisa dijadikan mutaba’ah hadisnya dan dalam hadis di atas ia telah menyebutkan dengan jelas penyimakannya.

Kisah di atas dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melewati sebagian kota Madinah dan melewati perkampungan Bani Najjar itu terjadi pada saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah. lafaz “datang ke Madinah” mengisyaratkan bahwa peristiwa ini terjadi ketika hijrah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dari Makkah ke Madinah. Berikut riwayat yang menyebutkan dengan lafaz “datang ke Madinah”

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِرْدَاسٍ نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ هَكَذَا وَجَدْتُهُ فِي كِتَابِي بِخَطِّي عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ  وَلا نَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ إِلَّا رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُوسَى بْنُ حَيَّانَ لا يُحْتَجُّ بِقَوْلِهِ ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مِرْدَاسٍ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ صَدُوقًا ، فَرَأَيْتُهُ فِي كِتَابِي بِخَطِّي عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ عَوْفٍ عَنْ ثُمَامَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ تَلَقَّاهُ جَوَارِي الأَنْصَارِ فَجَعَلْنَ يَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارِي مِنْ بَنِي النَّجَّارْ يَا حَبَّذَا مُحَمَّد مِنْ جَارْ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mirdaas yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Adiy dari ‘Auf dari Tsumamah dari Anas, demikianlah yang kutemukan dalam kitabku dengan tulisan tanganku yaitu dari Tsumamah dari Anas. Dan berkata selainnya yaitu dari Tsumamah bin ‘Abdullah bin Anas. Aku tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan dari Ibnu Abi ‘Adiy dari Auf dari Tsumamah dari Anas kecuali orang yang bernama Muusa bin Hayyan dan ia tidak bisa dijadikan hujjah perkataannya, dan Muhammad bin Mirdaas tidak ada masalah padanya shaduq, maka aku melihatnya dalam kitabku dengan tulisan tanganku dari Ibnu Abi ‘Adiy dari ‘Auf dari Tsumamah dari Anas yang berkata “ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, anak-anak perempuan Anshar menghampirinya dan mereka mengatakan “kami anak-anak perempuan bani Najjaar, alangkah beruntungnya kami bertetangga dengan Muhammad” [Musnad Al Bazzar 13/504-505 no 7334]

Hadis Al Bazzar di atas sanadnya juga jayyid. Muhammad bin Mirdaas dikatakan Abu Hatim “majhul” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/97 no 417]. Ibnu Hibban berkata “mustaqiim al hadiits” [Ats Tsiqat Ibnu Hibbaan 9/107 no 15445]. Adz Dzahabiy menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari Kharijah bin Mush’ab kabar-kabar batil, tetapi dibantah Ibnu Hajar bahwa kemungkinan hal itu berasal dari gurunya [Tahdzib At Tahdzib juz 9 no 714].

Pendapat yang rajih adalah Muhammad bin Mirdaas seorang yang shaduq sebagaimana tautsiq Ibnu Hibban dan ta’dil Al Bazaar di atas yang dengan jelas menyatakan “shaduq tidak ada masalah padanya”. Perkataan “majhul” Abu Hatim terangkat dengan adanya tautsiq dari Ibnu Hibbaan dan Al Bazzar. Tuduhan Adz Dzahabiy bahwa ia meriwayatkan kabar batil, lebih tepat berasal dari gurunya Muhammad bin Mirdaas yaitu Kharijah bin Mush’ab karena ia seorang yang matruk, sering melakukan tadlis dari para pendusta [Taqrib At Tahdzib 1/254-255]. Adapun Muhammad bin Abi ‘Adiy adalah seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesembilan [Taqrib At Tahdzib 2/50]

Hadis shahih di atas menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mendengarkan anak-anak perempuan bani Najjar bernyanyi dan menabuh duff untuk menyambut kedatangan Beliau di Madinah. Kisah ini jelas bukan pada saat pernikahan.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq wal Ghinaa’ fii Mizan Al Islam hal 228-229 menjadikan hadis ini sebagai dalil dibolehkannya nyanyian dan musik saat pernikahan. Apa yang Syaikh katakan tersebut keliru, tidak ada dalil atau qarinah yang menunjukkan bahwa kisah tersebut terkait dengan pernikahan, bahkan kuat petunjuknya bahwa itu terjadi saat kedatangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pertama kali ke Madinah [sebagaimana ditunjukkan oleh bukti riwayat]. Adapun Syaikh Al Judai’ membawakan hadis berikut

حدثني أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب جميعا عن ابن علية ( واللفظ لزهير ) حدثنا إسماعيل عن عبدالعزيز ( وهو ابن صهيب ) عن أنس أن النبي صلى الله عليه و سلم رأى صبيانا ونساء مقبلين من عرس فقام نبي الله صلى الله عليه و سلم ممثلا فقال اللهم أنتم من أحب الناس إلي اللهم أنتم من أحب الناس إلي يعني الأنصار

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya dari Ibnu ‘Ulayyah [dan ini lafaz Zuhair] telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Abdul ‘Aziz [dan ia adalah Ibnu Shuhaib] dari Anas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihat anak-anak dan wanita anshar datang dari suatu pernikahan, maka Nabi Allah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri sambil mengatakan “Ya Allah sesungguhnya mereka adalah orang yang paling aku cintai, Ya Allah sesungguhnya mereka adalah orang yang paling aku cintai” yaitu kaum Anshar [Shahih Muslim 4/1948 no 2508]

Hadis riwayat Muslim ini adalah kisah yang berbeda dengan hadis sebelumnya tentang anak perempuan bani Najjaar yang bernyanyi dan menabuh duff. Hadis riwayat Muslim menceritakan kisah saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sudah berada di Madinah dan dalam hadis tersebut tidak ada disebutkan soal nyanyian dan tabuhan duff sedangkan hadis tentang perempuan bani Najjar itu terjadi saat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] baru datang ke Madinah dan melintasi sebagian kota Madinah yaitu perkampungan bani Najjar.

Hadis Ketiga

حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَسَرَّةَ قَالَ ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ ثنا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْوَرْدِ  قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ  يَقُولُ  قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَيْنَا أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسَانِ فِي الْبَيْتِ اسْتَأْذَنَتْ عَلَيْنَا امْرَأَةٌ كَانَتْ تُغَنِّي فَلَمْ تَزَلْ بِهَا عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَتَّى غَنَّتْ فَلَمَّا غَنَّتِ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُمَرُ ، أَلْقَتِ الْمُغَنِّيَةُ مَا كَانَ فِي يَدِهَا  وَخَرَجَتْ وَاسْتَأْخَرَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ مَجْلِسِهَا ، فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَضَحِكَ ، فَقَالَ  بِأَبِي وَأُمِّي مِمَّ تَضْحَكُ ؟ فَأَخْبَرَهُ مَا صَنَعَتِ الْقَيْنَةُ , وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  وَأَمَّا وَاللَّهِ لا ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَقُّ أَنْ يُخْشَى يَا عَائِشَةُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Yahya bin Abi Masarrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbaar bin Wardi yang berkata aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah mengatakan Aisyah [radiallahu ‘anha] berkata “suatu ketika aku dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk berdua di rumah, maka seorang wanita yang sering bernyanyi meminta izin kepada kami, tidak henti-hentinya Aisyah bersama dengannya sampai akhirnya ia menyanyi. Ketika ia bernyanyi Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] datang meminta izin. Ketika Umar meminta izin maka penyanyi itu melemparkan apa yang ada di tangannya dan keluar, Aisyah [radiallahu ‘anha] pun ikut keluar dari sana. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberikan izin kepadanya [Umar] dan tertawa. [Umar] berkata “demi Ayah dan Ibuku, mengapa anda tertawa?”. Maka Beliau memberitahunya apa yang dilakukan penyanyi itu dan Aisyah [radiallahu ‘anha]. Umar [radiallahu ‘anhu] berkata “Demi Allah tidak [begitu], hanya Allah dan Rasul-nya [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang lebih berhak untuk ditakuti wahai Aisyah” [Akhbaaru Makkah Al Fakihiy 3/32 no 1740]

Hadis Aisyah di atas sanadnya jayyid para perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah Abdullah bin Ahmad bin Zakariya Abu Yahya Al Makkiy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 8/369 no 13923]. Ibnu Abi Hatim berkata “aku menulis hadis darinya di Makkah dan ia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/6 no 28]. Ibnu Quthlubugha memasukkannya ke dalam perawi tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Quthlubugha 5/468 no 5687]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Waliid seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqrib At Tahdzib 1/45].
  3. Abdul Jabbaar bin Wardi Al Makkiy seorang yang shaduq terkadang keliru, termasuk thabaqat ketujuh [Taqrib At Tahdzib 1/553]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 3745]
  4. ‘Abdullah bin Abi Mulaikah seorang yang tsiqat faqih termasuk thabaqat ketiga [Taqrib At Tahdzib 1/511]

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 225 mengatakan hadis ini hasan dan sanadnya kuat. Pernyataan Syaikh tersebut benar. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 452 membantah Syaikh Al Judai’ yang menguatkan hadis ini.

Bantahan pertama Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa adalah Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah perawi yang majhul hal tidak ada tautsiq dari ulama yang dijadikan pegangan tautsiq-nya. Syaikh hanya menukil Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menurutnya itu tidak mu’tamad.

Tentu saja bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa ini keliru. Telah ditunjukkan bahwa Ibnu Abi Hatim juga memberikan ta’dil kepada Abu Yahya bin Abi Masarrah dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Quthlubugha.

Qarinah lain yang menguatkan kedudukan Abu Yahya bin Abi Masarrah adalah ia termasuk syaikh [guru] Abu Awanah dalam kitabnya Mustakhraj ‘Ala Shahih Muslim yang dikenal juga dengan Shahih Abu Awanah [Mustakhraj Abu Awanah 2/246 no 3024]. Adz Dzahabiy berkata tentang Abu Yahya bin Abi Masarrah bahwa ia Al Imam Muhaddis Musnid [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 12/632 no 252]. Al Faakihiy berkata tentangnya

أول من أفتى الناس من أهل مكة وهو ابن أربع وعشرين سنة، أو نحوه أبو يحيى بن أبي مسرة، وهو فقيه أهل مكة إلى يومنا هذا

Orang pertama yang memberikan fatwa kepada penduduk Makkah dan ia berumur 24 tahun atau semisalnya yaitu Abu Yahya bin Abi Masarrah, dan ia faqih penduduk Makkah hingga hari ini [Akhbaaru Makkah Al Faakihiy 3/241-242]

Dan Qasim bin Asbagh pernah berkata ketika meriwayatkan hadis darinya “telah menceritakan kepada kami Abu Yahya ‘Abdullah bin Abi Masarrah seorang faqiih Makkah” [At Tamhiid Ibnu Abdil Barr 6/25]

Jadi tidak mungkin dikatakan kalau ia seorang yang majhul hal, melihat berbagai qarinah di atas maka jika bukan seorang yang tsiqat minimal Abu Yahya bin Abi Masarrah seorang yang shaduq.

Anehnya Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mempermasalahkan perawi seperti Abu Yahya bin Abi Masarrah tetapi ia tidak mempermasalahkan perawi seperti ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy perawi yang meriwayatkan atsar “rukhshah nyanyian saat pernikahan di atas”. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 308 malah menyetujui Syaikh Al Judai’ bahwa sanad atsar ‘Aamir bin Sa’d tersebut shahih

‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy tidak ternukil tautsiq dari ulama mutaqaddimin selain dari Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat 5/189 no 4496]. Oleh karena itu Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/461]. Harusnya dengan metode milik Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa perawi seperti ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy kedudukannya hanya bisa dijadikan mutaba’ah tetapi tidak bisa dijadikan hujjah.

Adapun kami berpandangan bahwa ‘Aamir bin Sa’d Al Bajalliy perawi yang shaduq hasanul hadis dengan dasar Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan terdapat qarinah yang menguatkan seperti

  1. Muslim mengeluarkan hadis ‘Amir bin Sa’d Al Bajalliy walaupun sebagai penguat [Shahih Muslim 4/1826 no 2352]
  2. At Tirmidzi mengeluarkan hadis ‘Amir bin Sa’d Al Bajalliy dan mengatakan “hadis hasan shahih” [Sunan Tirmidzi 5/605 no 3653]

Bantahan kedua Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa, Beliau menyebutkan bahwa Al Khatib dalam Tarikh Baghdad telah menukil hadis Aisyah tersebut dengan sanadnya dan mengatakan bahwa asal hadis tersebut batil.

Al Khatib menukil riwayat dari Abul Fath Al Baghdadiy dari Muusa bin Nashr bin Jariir dari Ishaq bin Rahawaih dari ‘Abdurrazaaq dari Bakkaar bin ‘Abdullah dari Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah dengan matan yang mirip dengan riwayat Al Fakihiy di atas. Kemudian Al Khatib melemahkan Abul Fath dan Muusa bin Nashr dan mengatakan hadis tersebut batil [Tarikh Baghdad 15/59-60 no 6983]

Apa yang dikatakan Al Khatib tersebut keliru, walaupun Abul Fath dan Muusa bin Nashr adalah perawi yang lemah tetapi hadis Ishaq bin Rahawaih tersebut memang shahih sebagaimana diriwayatkan pula oeh Ibnu Syirawaih seorang imam hafizh faqiih dari Ishaq bin Rahawaih dengan sanad tersebut sampai Aisyah [radiallahu ‘anha]. Riwayat Ishaaq bin Rahawaih tersebut dapat ditemukan dalam Musnad Ishaaq bin Rahawaih 3/664-665 no 1258, dan berkata pentahqiq kitab [‘Abdul Ghafuur bin ‘Abdil Haaq Al Baluusiy] “shahih semua perawinya tsiqat”

Jika dikatakan hadis Ishaaq tersebut batil, maka dari sisi manakah kebatilannya, pada sanadnya atau matannya?. Bagaimana mungkin sanadnya dikatakan batil jika para perawinya tsiqat. Apakah karena matannya menyebutkan bolehnya nyanyian maka matan hadis tersebut dikatakan batil?. Bukankah telah tsabit dalam dua hadis sebelumnya mengenai bolehnya nyanyian, kalau hal ini dikatakan batil maka betapa mudahnya menolak hadis shahih hanya dengan mengatakan batil. Kesimpulannya apa yang dikatakan Al Khatib itu tidak bisa dijadikan hujjah untuk melemahkan hadis Aisyah di atas.

Bantahan ketiga, Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengutip Al Bukhariy, Daruquthniy dan Ibnu Hibban yang menyebutkan jarh kepada ‘Abdul Jabbaar bin Wardi.

Abdul Jabbaar bin Ward adalah perawi yang tsiqat dan memang ternukil pula sedikit ulama yang melemahkannya.

  1. Ahmad bin Hanbal berkata tentangnya “tsiqat tidak ada masalah padanya. Abu Hatim berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/31 no 161]. Abu Dawud berkata “tsiqat”. Aliy bin Madiiniy berkata “tidak ada masalah padanya”. Yaqub bin Sufyaan berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 214]. Al Ijliy berkata ‘tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 2/69 no 1007]. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” dan Ibnu Adiy berkata “di sisiku tidak ada masalah padanya ditulis hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/15-16 no 1476]
  2. Al Bukhariy berkata “keliru pada sebagian hadisnya” [Al Kamil Ibnu Adiy 7/15 no 1476]. Ibnu Hibban berkata “sering salah dan keliru”[Ats Tsiqat Ibnu Hibban 7/136 no 9348] dan ia juga berkata “ahli ibadah termasuk penduduk Makkah yang paling baik, sering salah dalam sesuatu setelah sesuatu” [Masyaahir Ulamaa’ Al ‘Amshaar no 1147]. Daruquthniy berkata “layyin” [Su’alat As Sulamiy hal 84 no 217].

Jarh yang ternukil pada ‘Abdul Jabbaar bin Ward adalah jarh yang ringan yaitu kesalahan pada sebagian hadisnya. Hal ini tidak menjatuhkan kedudukan perawi kederajat dhaif kecuali jika perawi tersebut memang banyak melakukan kesalahan dan buruk hafalannya. Oleh karena itu kedudukan ‘Abdul Jabbaar bin Ward tidak jauh dari derajat shaduq.

Kesimpulannya adalah apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ bahwa hadis Aisyah [riwayat Al Faakihiy] tersebut hasan adalah pendapat yang benar. Adapun bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa terhadap Syaikh Al Judai’ adalah keliru.

.

.

.

Kesimpulan

Riwayat ‘Aamir bin Sa’d Al Bajally dari Abu Mas’ud [radiallahu 'anhu] dan selainnya yang menyebutkan “rukhshah nyanyian saat pernikahan” memiliki makna “dibolehkan nyanyian saat pernikahan”. Riwayat ini tidak menunjukkan keharaman atas nyanyian sebelumnya, hal ini sebagaimana rukhshah dibolehkannya “tangisan atas orang yang meninggal” tidak menunjukkan keharaman atas tangisan sebelumnya. Dan terbukti dalam hadis shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah membolehkan nyanyian selain pada saat pernikahan.


Filed under: Hadis

Bolehkah Menabuh Alat Musik Duff Selain Pada Saat Pernikahan?

$
0
0

Bolehkah Menabuh Alat Musik Duff Selain Pada Saat Pernikahan?

Tulisan ini masih merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya berkenaan dengan hukum nyanyian dan musik dalam Islam. Terdapat sebagian ulama yang mengharamkan memainkan duff atau alat musik lainnya kecuali dalam situasi khusus yaitu pernikahan dan hari raya Id. Sebagian ulama lain menyelisihi mereka dan menyatakan bahwa memainkan duff walaupun bukan pada saat pernikahan dan hari raya Id adalah perkara yang mubah.

.

.

Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan kekeliruan pendapat ulama yang mengharamkan duff kecuali pada saat pernikahan. Hadis yang menjadi hujjah pemutus dalam masalah ini adalah hadis berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو تميلة يحيى بن واضح أنا حسين بن واقد حدثني عبد الله بن بريدة عن أبيه قال رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم من بعض مغازيه فجاءت جارية سوداء فقالت يا رسول الله انى كنت نذرت ان ردك الله تعالى سالما ان أضرب على رأسك بالدف فقال ان كنت نذرت فافعلي وإلا فلا قالت انى كنت نذرت قال فقعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فضربت بالدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Tamiilah Yahya bin Waadhih yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waaqid yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah [shallallhu ‘alaihi wasallam] kembali dari perperangannya maka budak wanita hitam datang kepadanya dan berkata “wahai Rasulullah, aku telah bernazar jika Allah ta’ala mengembalikanmu dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh duff di hadapanmu”. Beliau berkata “jika engkau telah bernadzar maka lakukanlah tetapi jika tidak maka jangan kau lakukan”. Ia berkata “aku telah bernadzar”. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk dan ia menabuh duff [Musnad Ahmad 5/356 no 23601, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]

Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal di atas sanadnya jayyid, para perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan tentangnya

  1. Yahya bin Wadhih Al Anshariy Abu Tamiilah seorang yang tsiqat termasuk dalam thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 2/317]
  2. Husain bin Waqid Al Marwadziy seorang yang tsiqat memiliki beberapa kesalahan, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/220]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqriib At Tahdziib bahwa ia seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 1358]
  3. ‘Abdullah bin Buraidah Al Aslamiy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/480]

.

.

.

Hadis Ahmad bin Hanbal di atas adalah hujjah kuat dibolehkannya menabuh duff bukan pada saat pernikahan dan perbuatan menabuh duff tersebut bukan termasuk perbuatan yang haram. Dasarnya adalah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan budak wanita hitam tersebut untuk memenuhi nadzarnya menabuh duff. Dan disebutkan dalam hadis shahih bahwa tidak ada nadzar dalam perbuatan maksiat atau yang diharamkan.

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin ‘Abdul Malik dari Al Qaasim dari Aisyah [radiallahu ‘anha] dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata “barang siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah maka hendaklah mentaati-Nya dan barang siapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya maka janganlah bermaksiat kepada-Nya [Shahih Bukhariy 8/142 no 6696]

حدثنا داود بن رشيد ثنا شعيب بن إسحاق عن الأوزاعي عن يحيى بن أبي كثير قال حدثني أبو قلابة قال حدثني ثابت بن الضحاك قال نذر رجل على عهد النبي صلى الله عليه و سلم أن ينحر إبلا ببوانة فأتى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إني نذرت أن أنحر إبلا ببوانة فقال النبي صلى الله عليه و سلم هل كان فيها وثن من أوثان الجاهلية يعبد ؟ ” قالوا لا قال ” هل كان فيها عيد من أعيادهم ؟ ” قالوا لا قال النبي صلى الله عليه و سلم ” أوف بنذرك ” فإنه لا وفاء لنذر في معصية الله ولا فيما لا يملك ابن آدم

Telah menceritakan kepada kami Dawud bin Rasyiid yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Ishaaq dari Al ‘Awza’iy dari Yahya bin Abi Katsiir yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Qilaabah yang berkata telah menceritakan kepadaku Tsabit bin Dhahhaak yang berkata seorang laki-laki bernadzar pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]  untuk menyembelih unta di Buwaanah, maka ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih unta di buwaanah. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasalam] berkata “apakah disana terdapat berhala dari berhala-berhala jahiliah yang disembah?” mereka berkata “tidak”. Beliau berkata “apakah disana terdapat hari raya dari hari raya hari raya mereka?”. Mereka berkata “tidak”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “penuhilah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar dalam perkara maksiat kepada Allah dan tidak pula atas perkara yang tidak dimiliki anak Adam” [Sunan Abu Dawud 5/200-201 no 3313 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Muhammad Kaamil, pentahqiq berkata “sanadnya shahih”]

Hadis Abu Dawud di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berikut keterangan tentang mereka

  1. Dawud bin Rasyiid Al Haasyimiy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/279]
  2. Syu’aib bin Ishaaq bin ‘Abdurrahman Al Bashriy seorang yang tsiqat dituduh dengan paham irja’, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/418]
  3. ‘Abdurrahman bin ‘Amru Al Awza’iy seorang yang faqiih tsiqat jaliil, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/584]
  4. Yahya bin Abi Katsiir Ath Tha’iy seorang yang tsiqat tsabit pernah melakukan tadlis dan irsal, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 2/313].
  5. Abdullah bin Zaid Abu Qilaabah Al Bashriy seorang yang tsiqat fadhl banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/494]

Kedua hadis shahih di atas yaitu riwayat Bukhariy dan Abu Dawud menunjukkan bahwa tidak dibolehkan memenuhi nadzar atas perkara maksiat kepada Allah SWT. Melakukan suatu perkara yang diharamkan Allah SWT adalah perkara maksiat maka jika memang menabuh duff tersebut diharamkan sudah pasti Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak akan mengizinkan budak wanita hitam tersebut melakukannya.

Jadi hukum asal menabuh duff adalah mubah sehingga ketika budak tersebut bernadzar menabuh duff di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan budak wanita hitam tersebut untuk memenuhi nadzarnya.

.

.

.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Mizan Al Islam hal 222 menyatakan bahwa hadis Buraidah Al Aslamiy tersebut merupakan hujjah kuat bolehnya alat musik dan nyanyian selain pada pernikahan. Syaikh juga berdalil dengan hadis larangan memenuhi nazar dalam bermaksiat kepada Allah. Apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ tersebut benar dan sesuai dengan pembahasan di atas.

Kemudian muncullah bantahan ajaib dan mengherankan dari Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa kepada Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 481-486. Kami akan menunjukkan betapa aneh dan lucunya bantahan tersebut.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengatakan justru hadis Buraidah Al Aslamiy menunjukkan keharaman menabuh duff, yaitu pada lafaz

فقال ان كنت نذرت فافعلي وإلا فلا

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “jika engkau telah bernadzar maka lakukanlah tetapi jika tidak maka jangan kau lakukan”.

Menurut Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa, lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah larangan yaitu jika budak wanita hitam itu tidak bernadzar maka jangan melakukannya. Syaikh kemudian berhujjah dengan kaidah bahwa dalam ilmu ushul fiqih larangan merupakan dalil akan keharamannya.

Hujjah Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut keliru bahkan sangat jelas bathil. Larangan memang bisa menunjukkan keharaman, itu perkara yang benar tetapi ada juga larangan terhadap sesuatu yang ternyata tidak menunjukkan keharaman perbuatan tersebut.

Contoh yang sederhana adalah seorang yang wara’ dan zuhud biasanya akan melarang dirinya sendiri dari perkara-perkara mubah [yang biasa dilakukan orang awam] yang menurutnya tidak layak ia lakukan atau ia anggap akan melalaikan dirinya dari mengingat Allah SWT. Tetapi larangan ini tentu tidak bisa dianggap bahwa ia mengharamkan perkara-perkara mubah tersebut.

Kami tidak akan menjadikan contoh sederhana tersebut sebagai hujjah bagi orang-orang yang akalnya sudah tertutupi dengan kebathilan dan fanatisme golongan. Cukup akan kami tunjukkan hadis shahih dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang suatu perkara tetapi perkara tersebut ternyata tidak haram hukumnya.

.

.

.

Hadis Pertama

حدثنا نصر بن علي أنا أبو أحمد يعني الزبيري أخبرنا إسرائيل عن أبي العنبس عن الأغر عن أبي هريرة أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن المباشرة للصائم فرخص له وأتاه آخر فسأله فنهاه فإذا الذي رخص له شيخ والذي نهاه شاب

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad yaitu Az Zubairiy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Isra’iil dari Abul ‘Anbas dari Al ‘Aghar dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya tentang bercumbu pada saat berpuasa, maka Beliau memberikan rukhshah kepadanya, dan datang orang lain menanyakan hal itu kepada Beliau maka Beliau melarangnya. Ternyata orang yang Beliau berikan rukhshah adalah orang yang sudah tua dan yang Beliau larang adalah orang yang masih muda [Sunan Abu Dawud 4/62 tahqiq Syaikh Al Arnauth dan Muhammad Kamil no 2387, pentahqiq berkata “sanadnya shahih”]

Dalam tulisan sebelumnya telah kami tunjukkan bahwa hadis Abu Dawud di atas sanadnya shahih para perawinya tsiqat. Apakah larangan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap pemuda tersebut menunjukkan bahwa hukum bercumbu pada saat berpuasa itu haram [atau membatalkan puasanya]?. Tentu saja tidak, banyak hadis yang menunjukkan bolehnya bercumbu [termasuk mencium] istri saat berpuasa dan itu tidak membatalkan puasanya. Yang diharamkan [karena dapat membatalkan puasa] adalah jima’ [bersetubuh]

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata dari Syu’bah dari Al Hakam dari Ibrahim dari Al Aswad dari ‘Aisyah [radiallahu ‘anha] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mencium dan bercumbu sedang Beliau dalam keadaan berpuasa, dan Beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian [Shahih Bukhariy 3/30 no 1927]

عبد الرزاق عن معمر عن أيوب عن أبي قلابة عن مسروق قال سألت عائشة ما يحل للرجل من امرأته صائما قالت كل شيء إلا الجماع

‘Abdurrazaaq dari Ma’mar dari Ayuub dari Abi Qilaabah dari Masruuq yang berkata aku bertanya kepada Aisyah “apa yang halal dari seorang laki-laki terhadap istrinya saat berpuasa”. Aisyah berkata “segala sesuatu kecuali jima’ [bersetubuh]” [Mushannaf ‘Abdurrazaaq 4/190 no 7439]

Atsar Aisyah di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan merupakan penjelasan yang menguatkan dalil dibolehkannya bercumbu saat berpuasa

  1. ‘Abdurrazaaq bin Hammaam seorang tsiqat hafizh penulis terkenal, buta di akhir usianya sehingga hafalannya berubah, ia bertasyayyu’ termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/599]
  2. Ma’mar bin Rasyiid Al ‘Azdiy seorang tsiqat tsabit fadhl kecuali riwayatnya dari Tsabit, A’masyiy dan Hisyam bin Urwah, begitu pula hadisnya di Bashrah, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/202].
  3. Ayuub bin Abi Tamiimah Al Bashriy seorang tsiqat tsabit hujjah termasuk ulama fuqaha besar dan ahli ibadah, dari thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/116]
  4. Abdullah bin Zaid Abu Qilaabah Al Bashriy seorang yang tsiqat fadhl banyak melakukan irsal, termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 1/494]
  5. Masruuq bin Al ‘Ajdaa’ Al Hamdaniy seorang tsiqat faqiih ahli ibadah, mukhadhdhramun, termasuk thabaqat kedua [Taqriib At Tahdziib 2/175].

Zhahir sanad atsar Aisyah di atas shahih, hanya saja mengandung sedikit illat [cacat] yaitu Ma’mar dalam hadisnya di Bashrah terdapat beberapa kekeliruan dan Ayub bin Abi Tamiimah adalah orang Bashrah. Tetapi riwayat Ma’mar dari Ayub telah dikeluarkan oleh Bukhariy dan Muslim dalam kitab Shahih mereka. Riwayat ‘Abdurrazaaq di atas dikuatkan oleh riwayat Ath Thahawiy berikut

حدثنا ربيع المؤذن قال ثنا شعيب قال ثنا الليث عن بكير بن عبد الله بن الأشج عن أبى مرة مولى عقيل عن حكيم بن عقال أنه قال سألت عائشة رضي الله عنها ما يحرم على من امرأتي وأنا صائم قالت فرجها

Telah menceritakan kepada kami Rabii’ Al Mu’adzin yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’aib yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits dari Bukair bin ‘Abdullah Al ‘Asyja dari Abi Murrah maula ‘Aqiil dari Hakiim bin ‘Iqaal bahwasanya ia bertanya kepada Aisyah [radiallahu ‘anha] “apa yang haram bagiku atas istriku ketika aku berpuasa?”. Beliau menjawab “kemaluannya” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 2/95 no 3400]

Riwayat Ath Thahawiy di atas memiliki sanad yang shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan tentang mereka

  1. Rabii’ bin Sulaiman Al Muraadiy seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kesebelas [Taqriib At Tahdziib 1/294].
  2. Syu’aib bin Laits bin Sa’d seorang yang tsiqat nabiil faqiih termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/420]
  3. Laits bin Sa’d Al Mishriy seorang yang tsiqat tsabit faqiih imam masyhur termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/48]
  4. Bukair bin ‘Abdullah Al ‘Asyja seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/137]
  5. Yaziid Abu Murrah maula ‘Aqiil seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat ketiga [Taqriib At Tahdziib 2/335]
  6. Hakiim bin ‘Iqaal seorang tabiin yang tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat Al Ijliy hal 317 no 348]

.

.

Hadis Kedua

حدثنا أحمد بن حنبل ثنا عبد الرحمن بن مهدي عن سفيان عن عبد الرحمن بن عابس عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال حدثني رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن الحجامة والمواصلة ولم يحرمهما إبقاء على أصحابه فقيل له يارسول الله إنك تواصل إلى السحر فقال ” إني أواصل إلى السحر وربي يطعمني ويسقيني

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdiy dari Sufyaan dari ‘Abdurrahman bin ‘Aabis dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila yang berkata telah menceritakan kepadaku seorang sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang berbekam dan puasa wishal tidak mengharamkan keduanya sebagai belas kasih kepada para sahabatnya. Dikatakan pada Beliau “wahai Rasulullah, sesuangguhnya anda melakukan puasa wishal hingga sahur”. Beliau menjawab “aku melakukan wishal hingga sahur dan Rabb-Ku memberiku makan dan minum” [Sunan Abu Dawud 4/52 no 2374, tahqiq Syaikh Al Arnauth dan Muhammad Kaamil, pentahqiq berkata “sanadnya shahih”]

Hadis riwayat Abdu Dawud di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya.

  1. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam tsiqat faqiih hafizh hujjah dan ia pemimpin thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/44]
  2. ‘Abdurrahman bin Mahdiy Al ‘Anbariy seorang tsiqat tsabit hafiiz, ‘arif dalam Rijal dan Hadis, Ibnu Madiiniy berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih alim darinya”, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/592]
  3. Sufyaan bin Sa’iid Ats Tsawriy seorang tsiqat hafiiz faqiih ahli ibadah imam hujjah termasuk pemimpin thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/371]
  4. ‘Abdurrahman bin ‘Aabis An Nakha’iy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat keempat [Taqriib At Tahdziib 1/576]
  5. ‘Abdurrahman bin Abi Laila Al Anshariy seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kedua [Taqriib At Tahdziib 1/588]

Hadis Abu Dawud di atas adalah sebaik-baik hujjah untuk membantah syubhat Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa. Lafaz hadis Abu Dawud tersebut dengan jelas telah menunjukkan bahwa ada larangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang tidak bersifat mengharamkan.

.

.

Hadis Ketiga

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا غندر عن شعبة ح وحدثنا محمد بن المثنى وابن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن منصور عن عبدالله بن مرة عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه نهى عن النذر وقال إنه لا يأتي بخير وإنما يستخرج من البخيل

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyaar [lafaz ini milik Ibnu Mutsanna] telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Manshuur dari ‘Abdullah bin Murrah dari Ibnu ‘Umar dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwasanya Beliau melarang nadzar dan berkata “sesungguhnya itu tidak mendatangkan kebaikan, dan itu hanya dikeluarkan oleh orang yang bakhiil” [Shahih Muslim 3/1260 no 1639]

Hadis shahih di atas dengan jelas menyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melarang nadzar. Maka apakah itu menunjukkan bahwa hukum nadzar diharamkan?. Tentu saja tidak banyak dalil shahih mengenai bolehnya melakukan nadzar seperti yang sudah ditunjukkan diatas hadis shahih bahwa barang siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah SWT maka hendaklah ia menunaikannya.

.

.

Hadis Keempat

وحدثني أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا كثير بن هشام عن هشام الدستوائي عن أبي الزبير عن جابر قال نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن أكل البصل والكراث فغلبتنا الحاجة فأكلنا منها فقال من أكل من هذه الشجرة المنتنة فلا يقربن مسجدنا فإن الملائكة تأذى مما يتأذى منه الإنس

Telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Hisyaam dari Hisyaam Ad Dustuwaa’iy dari Abu Zubair dari Jabir yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang memakan bawang merah dan bawang bakung, maka kami mendapat keperluan yang menyebabkan kami memakannya. Beliau berkata “barang siapa yang memakan tumbuhan yang berbau busuk ini maka janganlah mendekati masjid kami karena malaikat terganggu sebagaimana manusia terganggu dengannya” [Shahih Muslim 1/394 no 563]

حدثنا محمد بن المثنى وابن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد ابن جعفر حدثنا شعبة عن سماك بن حرب عن جابر بن سمرة عن أبي أيوب الأنصاري قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا أتي بطعام أكل منه وبعث بفضله إلي وإنه بعث إلي يوما بفضلة لم يأكل منها لأن فيها ثوما فسألته أحرام هو ؟ قال ( لا ولكني أكرهه من أجل ريحه ) قال فإني أكره ما كرهت

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basyaar [dan ini lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Simmaak bin Harb dari Jaabir bin Samurah dari Abu Ayyuub Al Anshariy yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] apabila diberi makanan maka Beliau memakannya dan memberikan kelebihan sisanya. Dan suatu ketika Beliau memberikan kepadaku tanpa Beliau memakannya karena di dalamnya terdapat bawang putih. Maka aku bertanya kepada Beliau “apakah itu diharamkan?”. Beliau berkata “tidak, akan tetapi aku membencinya karena baunya”. [Abu Ayyuub] berkata “maka aku membenci apa yang engkau benci” [Shahih Muslim 3/1623 no 2053]

Hadis shahih di atas menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang memakan bawang dan membencinya tetapi Beliau menyatakan bahwa makanan itu tidak haram. Hal ini membuktikan bahwa tidak setiap yang dilarang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berstatus haram hukumnya.

.

.

.

Jika telah diketahui ada larangan yang bersifat mengharamkan dan ada larangan yang tidak bersifat mengharamkan. Maka masuk dalam kategori manakah larangan dalam hadis Buraidah Al Aslamiy tentang menabuh duff [jika ia tidak bernadzar]?.

Jawabannya sudah jelas, larangan tersebut tidak bersifat mengharamkan karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] malah mengizinkan budak wanita hitam itu melakukannya untuk memenuhi nadzarnya. Adalah sesuatu yang mustahil jika perkara yang diharamkan menjadi dibolehkan hanya karena orang tersebut telah bernadzar. Justru nadzar tersebut sudah bathil dengan sendirinya karena nadzar dengan melakukan perkara yang diharamkan adalah maksiat kepada Allah SWT dan  hadis shahih telah melarangnya.

Kalau begitu mengapa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika budak tersebut tidak bernadzar maka jangan melakukannya?. Jawabannya tidak ada yang pasti [karena tidak ada dalil yang menyebutkan alasan pastinya] semuanya bersifat kemungkinan. Bisa saja kemungkinan alasannya adalah

  1. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan orang yang menyukai hal-hal seperti itu. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah orang yang paling wara’ dan zuhud
  2. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] baru pulang dari perperangan dan merasa lelah sehingga lebih menginginkan istirahat dari pada mendengar tabuhan duff
  3. Karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memiliki keperluan lain yang lebih mendesak sehingga pada saat itu Beliau merasa bukan saat yang tepat untuk mendengar tabuhan duff

Kami tidak akan memastikan apa alasannya tetapi dalil shahih telah jelas menyatakan bahwa larangan itu tidak bersifat mengharamkan maka dari itu pasti ada alasan khusus yang mendasarinya. Dan apapun alasan itu di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dikalahkan oleh kewajiban memenuhi nadzar, oleh karena itu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan budak wanita hitam tersebut menabuh duff.

.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa menyebutkan syubhat kedua bahwa nadzar budak wanita hitam menabuh duff tersebut adalah khusus untuk Nabi saja sebagaimana lafaz

فقالت يا رسول الله انى كنت نذرت ان ردك الله تعالى سالما ان أضرب على رأسك بالدف

Budak wanita hitam itu berkata “wahai Rasulullah, aku telah bernazar jika Allah ta’ala mengembalikanmu dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh duff di hadapanmu”

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga mengutip penjelasan dari Syaikh Al Albaniy mengenai hadis Buraidah tersebut

والذي يبدو لي في ذلك أن نذرها لما كان فرحا منها بقدومه عليه السلام صالحا منتصرا ، اغتفر لها السبب الذي نذرته لإظهار فرحها ، خصوصية له صلى الله عليه وسلم دون الناس جميعا ، فلا يؤخذ منه جواز الدف في الأفراح كلها ، لأنه ليس هناك من يُفرح به كالفرح به صلى الله عليه وسلم

Dan nampak bagiku tentang hal itu adalah bahwa nadzar-nya [budak wanita hitam tersebut] disebabkan kegembiraan karena kedatangan Beliau [shallallaahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan selamat, sehat, dan menang. Beliau memaafkannya atas penyebab nadzarnya untuk meluapkan kegembiraannya. Hal ini adalah kekhususan bagi Beliau [shallallaahu ‘alaihi wasallam], bukan untuk seluruh manusia. Maka tidak boleh dijadikan dalil kebolehan memukul duff pada setiap kegembiraan. Hal ini karena tidak ada yang lebih menggembirakan seperti kegembiraan atas datangnya Beliau [shallallaahu ’alaihi wasallam] [Silsilah Al ‘Ahaadiits Ash Shahiihah 4/142 no 1609]

Syubhat ini tidak ada nilai hujjahnya sedikitpun. Apakah karena nadzar tersebut khusus untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka hal itu bisa membolehkan perkara yang haram?. Mari kita berandai-andai, Bagaimana kalau ada sahabat yang bernadzar akan meminum khamar di hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika Beliau pulang dengan selamat dari perperangan. Apakah karena pengkhususan sebab kegembiraan karena keselamatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau pengkhususan melakukannya di hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka meminum khamar itu akan menjadi perkara yang dibolehkan. Tentu ini hanya andai-andai tetapi pengandaian ini akan membantu siapapun yang akalnya masih baik akan berhati-hati menisbatkan pembolehan sesuatu yang haram secara khusus karena sebab Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Bagaimana mungkin dikatakan saking gembiranya atas keselamatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka dibolehkan melakukan perkara yang haram atau diberikan udzur untuk melakukan hal yang diharamkan. Dalam syariat islam tidak ada perasaan baik kegembiraan dan kesedihan yang menjadi uzur untuk membolehkan perkara yang haram. Bukankah ketika kematian putra Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] Ibrahim, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sangat bersedih tetapi Beliau tetap menjaga diri dari hal-hal yang melanggar syari’at

فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata, “Sungguh kedua mata telah berlinang air mata, hati telah bersedih, hanya saja kami tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kami. Dan sesungguhnya kami sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim” [Shahih Bukhariy 2/83 no 1303]

Sebenarnya tidak ada hujjah mengenai pengkhususan dalam kasus ini. Kalau memang hukum asal menabuh duff itu haram dan menabuh duff tersebut memang terjadi di hadapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sebagian orang yang berada atau tinggal di dekat tempat tabuhan duff juga akan mendengar suara tabuhan duff tersebut. Jadi baik sedikit ataupun banyak akan ada orang-orang yang mendengar suara tabuhan duff tersebut. Membolehkan budak wanita tersebut menabuh duff tidak hanya membolehkan wanita tersebut melakukan yang haram tetapi juga membolehkan orang-orang lain untuk melakukan hal yang haram pula yaitu mendengar suara tabuhan duff. Apakah hal ini tidak terpikirkan oleh Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa dan para pengikutnya [dalam masalah ini]?.

Ataukah ada yang ingin mengatakan bahwa budak wanita hitam tersebut punya kemampuan ketika menabuh duff maka suaranya tidak akan menyebar kemana-mana hanya ke telinga Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Atau ketika budak wanita hitam tersebut menabuh duff, semua orang di sekitarnya mendadak tuli selain Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Atau ketika budak wanita hitam tersebut menabuh duff maka area batas terdengarnya suara duff telah dikosongkan oleh orang-orang selain Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Daripada repot-repot membolehkan budak wanita hitam tersebut melakukan yang haram bukankah lebih baik menasehati budak wanita hitam tersebut bahwa nadzar yang ia lakukan tersebut bathil dan tidak boleh dilakukan [alias gugur dengan sendirinya].

Makin dipikirkan maka syubhat pengkhususan ini malah semakin aneh dan semakin batil. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal dalam menjelaskan kisah ini adalah karena menabuh duff itu sendiri adalah perkara yang mubah atau tidak diharamkan sedangkan menunaikan nadzar itu hukumnya wajib.

.

.

Hal aneh lain dari Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa adalah Beliau justru menganggap bathil cara berdalil Syaikh Al Judai’ yang berhujjah dengan hadis larangan bernadzar atas perkara maksiat. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa membawakan contoh hukum-hukum pengecualian seperti

  1. Meminum khamar dan bangkai saat sekarat karena kehausan dan kelaparan dan tidak ditemukan apa-apa yang bisa diminum dan dimakan selain khamar dan bangkai tersebut.
  2. Memakai sutra yang dibolehkan pada laki-laki karena penyakit tertentu pada kulitnya.

Menurut Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa, pengecualian dan pengkhususan seperti ini tidaklah dikatakan maksiat. Begitu pula tindakan menabuh duff tersebut bukanlah maksiat karena merupakan kasus pengecualian atau pengkhususan.

Justru bantahan inilah yang bathil, contoh-contoh yang disebutkan oleh Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa adalah kasus yang sifatnya darurat dimana sang pelaku akan mengalami mudharat jika tidak melakukannya dengan kata lain tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang pelaku untuk menghilangkan kemudharatan itu kecuali dengan melakukan perkara haram tersebut. Pengecualian dan pengkhususan seperti ini jelas bukan maksiat bahkan itulah syariat yang sudah Allah SWT tetapkan.

Dimana letak kesamaannya kasus-kasus tersebut dengan kasus budak wanita hitam dan tabuhan duff-nya?. Situasi darurat apa yang ia alami?. Kalau memang menabuh duff haram, itu berarti sudah dari awal budak wanita hitam tersebut berniat melakukan perkara yang haram [sesuai dengan nadzar-nya] dan setelah ia mengadu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Beliau tidak mengingkari nadzar wanita itu malah memerintahkan wanita itu untuk memenuhi nadzarnya. Tidak ada unsur keterpaksaan pada diri budak wanita tersebut. Tidak ada pula unsur mudharat yang akan menimpanya disini. Jadi alangkah bathilnya bantahan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tersebut dan bertambah besar kebathilannya ketika ia malah mengatakan penjelasan Syaikh Al Judai’ [yang sudah benar] sebagai hal yang bathil.

.

.

Kesimpulannya adalah jika memang hukum asal menabuh duff haram maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentu tidak akan mengizinkan untuk memenuhi nadzar tersebut. Dalil shahih telah menunjukkan bahwa tidak boleh memenuhi nadzar untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Apalagi jika penyebab nadzar tersebut adalah kegembiraan atas keselamatan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka sebab seperti ini lebih tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan perkara yang diharamkan.


Filed under: Fiqh, Hadis, Kritik Salafy

Tinjauan Atas Hadis Menabuh Alat Musik Duff Saat Pernikahan

$
0
0

Tinjauan Atas Hadis Menabuh Alat Musik Duff Saat Pernikahan

Masih seputar hukum musik dan nyanyian, tulisan ini berusaha untuk menjelaskan kedudukan yang sebenarnya mengenai hadis kebolehan menabuh duff saat pernikahan. Salah satu hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Dzakwan dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuiku di pagi hari ketika pernikahanku maka Beliau duduk di atas tempat tidur seperti duduknya engkau [yaitu Khalid bin Dzakwan] dariku. Kemudian datanglah dua anak perempuan menabuh duff sambil bersenandung tentang orang-orang yang terbunuh dari orang tua kami saat perang Badar, hingga akhirnya salah satu dari mereka berkata “dan diantara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “janganlah kamu mengatakan hal ini, ucapkanlah apa yang engkau katakan sebelumnya” [Shahih Bukhariy 5/82 no 4001]

.

.

.

Takhrij Hadis

Hadis di atas juga diriwayatkan Al Bukhariy dalam Shahih-nya 7/19 no 5147, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 13/189 no 5878, Abu Dawud dalam Sunan-nya 7/283 no 4922, At Tirmidzi dalam Sunan-nya 2/385 no 1090, An Nasa’iy dalam Sunan-nya 5/240 no 5538, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 7/288 no 14465, Al Baghawiy dalam Syarh As Sunnah 9/46-47 no 2265, Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 24/275 no 698 semuanya dengan jalan sanad Bisyr bin Mufadhdhal dari Khalid bin Dzakwaan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz.

Bisyr bin Mufadhdhal dalam periwayatan dari Khalid bin Dzakwaan memiliki mutaba’ah dari Hammaad bin Salamah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah berikut

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي الْحُسَيْنِ اسْمُهُ : الْمَدَنِيُّ ، قَالَ : كُنَّا بِالْمَدِينَةِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، وَالْجَوَارِي يَضْرِبْنَ بِالدَّفِّ وَيَتَغَنَّيْنَ ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ، فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهَا ، فَقَالَتْ : دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ صَبِيحَةَ عُرْسِي ، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ ، وَتَقُولاَنِ فِيمَا تَقُولاَنِ : وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدِ ، فَقَالَ : أَمَّا هَذَا فَلاَ تَقُولُوهُ ، مَا يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ إِلاَّ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah dari Abi Husain, namanya Al Madaniy, yang berkata kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi, maka kami masuk menemui Rubayyi’ binti Mu’awwidz dan kami menyebutkan hal itu kepadanya. Beliau berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah masuk menemuiku yaitu pada hari pernikahanku dan disisiku terdapat dua anak perempuan yang bernyanyi memuji orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar, dan keduanya mengatakan apa yang mereka katakan “dan diantara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “adapun hal ini jangan kalian katakan, tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah” [Sunan Ibnu Majah 3/91 no 1897]

Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Sunan Ibnu Majah berkata tentang hadis di atas “sanadnya shahih” [Sunan Ibnu Majah 3/91 no 1897 tahqiq Syu’aib Al Arnauth]. Begitu pula Basyaar Awwaad Ma’ruuf dalam tahqiqnya terhadap Sunan Ibnu Majah juga berkata “sanadnya shahih” [Sunan Ibnu Majah 3/339 no 1897 tahqiq Basyaar Awwaad Ma’ruuf]. Sanad riwayat Ibnu Majah tersebut memang jayyid. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abu Bakr bin Abi Syaibah adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah seorang tsiqat hafizh memiliki tulisan termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdzib 1/528]
  2. Yaziid bin Harun Al Wasithiy seorang yang tsiqat mutqin ahli ibadah, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 2/333]
  3. Hammaad bin Salamah bin Diinar seorang yang tsiqat ahli ibadah, orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Tsaabit, hafalannya berubah di akhir umurnya, termasuk thabaqat kedelapan [Taqriib At Tahdziib 1/238]. Yaziid bin Haruun termasuk perawi yang mengambil hadis dari Hammaad bin Salamah sebelum hafalannya berubah. Muslim telah mengeluarkan riwayat Yaziid dari Hammaad dalam kitab Shahih-nya dan disebutkan Ibnu Abi Hatim dari Ahmad bin Sinaan dari ‘Affaan bin Muslim yang mengatakan kalau Yaziid bin Haruun mengambil dari Hammaad riwayat yang terjaga. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/295 no 1257]
  4. Abu Husain Al Madaniy yaitu Khaalid bin Dzakwaan seorang yang shaduq, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 1/257]

Yaziid bin Haruun dalam periwayatannya dari Hammaad bin Salamah memiliki mutaba’ah dari

  1. ‘Affan bin Muslim sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 6/360 no 27072. Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabir 24/273 no 695 menyebutkan dengan jalan sanad dari Zakariya bin Hamdawaih Ash Shaffaar dari ‘Affan dari Hammad dari Abu Ja’far Al Khaththamiy dari Rubayyi’. Sanad Ath Thabraniy tidak mahfuuzh [terjaga] karena Zakariya bin Hamdawaih tidak dikenal kredibilitasnya dan telah menyelisihi Ahmad bin Hanbal seorang yang dikenal ketinggian dan keilmuannya dalam hadis.
  2. Hasan bin Muusa ‘Abu ‘Aliy Al Baghdadiy sebagaimana disebutkan ‘Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/422 no 1587
  3. ‘Abdush Shamad bin ‘Abdul Waarits sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 6/359 no 27066 dan Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 5/143 no 2266
  4. Muhanna’ bin ‘Abdul Hamiid sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 6/359 no 27066.
  5. Muusa bin Isma’iil Al Munqariy sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’d dalam Thabaqat Ibnu Sa’d 10/416

.

.

.

Penjelasan Matan Hadis

Hal yang perlu diperhatikan dari riwayat Hammaad bin Salamah adalah riwayat tersebut mengandung tambahan sebab munculnya hadis tersebut dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Hal ini dapat dilihat dari riwayat Yaziid bin Haruun, ‘Affaan dan Hasan bin Muusa dari Hammaad bin Salamah

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا عفان قال ثنا حماد بن سلمة قال ثنا أبو حسين قال كان يوم لأهل المدينة يلعبون فدخلت على الربيع بنت معوذ بن عفراء فقالت دخل على رسول الله صلى الله عليه و سلم فقعد على موضع فراشي هذا وعندي جاريتان تندبان آبائي الذين قتلوا يوم بدر تضربان بالدفوف وقال عفان مرة بالدف فقالتا فيما تقولان وفينا نبي يعلم ما يكون في غد فقال أما هذا فلا تقولاه

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain yang berkata pada suatu hari penduduk Madinah bermain-main [bersenang-senang] maka aku menemui Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menemuiku kemudian duduk di atas tempat tidurku ini dan disisiku terdapat dua anak perempuan bersenandung tentang orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar sambil mereka menabuh duff-duff. [‘Affan terkadang berkata “dengan duff”]. Kemudian keduanya mengatakan apa yang mereka katakan “dan diantara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka Beliau berkata “adapun ini jangan kalian katakan” [Musnad Ahmad 6/360 no 27072, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Muslim”]

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ خَالِدِ بْنِ ذَكْوَانَ أَبِي الْحُسَيْنِ قَالَ كَانَتِ النِّسَاءُ يَضْرِبْنَ بِالدُّفُوفِ  فَذَكَرْتُ ذَلِكَ للرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ  فَقَالَتْ ” دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي ، فَقَعَدَ عِنْدَ مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا ، وَعِنْدَنَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولانِ فِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا فَلا تَقُولاهُ

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah dari Khalid bin Dzakwaan Abu Husain yang berkata “Para wanita menabuh duff maka aku menyebutkan hal itu kepada Rubayyi’ binti Mu’awwidz, kemudian ia berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuiku pada hari pernikahanku kemudian Beliau duduk di atas tempat tidurku ini, dan di sisi kami terdapat dua anak perempuan yang menauh duff dan bersenandung tentang orang tua kami yang terbunuh pada perang Badar. Maka keduanya mengatakan apa yang mereka katakan “di antara kami terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “adapun ini jangan kalian katakan” [Al Muntakhab Min Musnad ‘Abdu bin Humaid 2/422 no 1587]

Khalid bin Dzakwaan atau Abu Husain Al Madaniy suatu ketika melihat penduduk Madinah bermain-main dimana para wanita dan anak-anak perempuan bernyanyi sambil menabuh duff yaitu pada hari ‘Asyuura’, maka Khalid mendatangi Rubayyi’ binti Mu’awwidz dan menanyakan hal tersebut kepadanya. Rubayyi’ binti Mu’awwidz menceritakan hadis tersebut sebagai hujjah bahwa hal itu boleh dilakukan.

Hadis yang disebutkan Rubayyi’ tersebut adalah hadis dimana anak perempuan menabuh duff di sisi Nabi yaitu pada hari pernikahannya kemudian ia jadikan hadis tersebut sebagai hujjah membolehkan apa yang dilakukan penduduk Madinah pada hari ‘Aasyuuraa’. Hal itu menunjukkan bahwa hadis menabuh duff pada saat pernikahan Rubayyi’ bukanlah pembatas atau pengkhususan bahwa itu hanya boleh dilakukan pada saat pernikahan saja. Hukum yang dapat diambil dari hadis Rubayyi’ tersebut adalah menabuh duff dibolehkan dan tidak dibatasi pada saat pernikahan saja.

Biasanya syubhat para pengingkar [yang begitu semangat mengharamkan musik] terhadap hadis riwayat Ibnu Majah [yang menyebutkan lafaz hari ‘Aasyuuraa’] adalah bisa saja pada saat itu adalah hari pernikahan seseorang dari penduduk Madinah.

Jawaban atas syubhat ini cukup sederhana, sebagai suatu kemungkinan maka kami katakan apapun bisa dibuat mungkin apapun bisa diandai-andaikan. Pertanyaannya adalah “manakah hujjah atau qarinah yang menguatkan bahwa hari itu adalah saat pernikahan”. Kami cukup berhujjah dengan zhahir riwayat Ibnu Majah yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada hari Aasyuuraa’. Kalau memang saat itu adalah hari pernikahan maka Khalid bin Dzakwaan pasti akan menyebutkannya.

Qarinah lain yang menguatkan adalah pada riwayat ‘Affaan terdapat lafaz “penduduk Madinah bermain-main”. Lafaz ini lebih menguatkan bahwa hal itu bukan saat pernikahan karena lafaz tersebut menyiratkan sebagian besar penduduk Madinah bersenang-senang dalam permainan termasuk di dalamnya para wanita dan anak perempuan menabuh duff.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد أنا حميد قال سمعت أنس بن مالك قال قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية قال أن الله عز و جل قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid yang berkata aku mendengar Anas bin Malik berkata “Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, mereka [penduduk Madinah] memiliki dua hari dimana mereka bermain-main. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “dua hari apakah ini?”. Mereka mengatakan “kami biasa bermain-main di hari tersebut pada masa jahiliyah”. Beliau berkata “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah memberikan kepada kalian dua hari yang lebih baik dari kedua hari tersebut yaitu Idul Fitri dan Idul Kurban” [Musnad Ahmad 3/250 no 13647, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim”]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سهل بن يوسف يعني المسمعي عن حميد ويزيد بن هارون أنا حميد عن أنس قال قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة ولأهل المدينة يومان يلعبون فيهما فقال قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما فإن الله قد أبدلكم يومين خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Yuusuf yaitu Al Misma’iy dari Humaid dan Yaziid bin Haaruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah dan penduduk Madinah memiliki dua hari dimana mereka bermain-main. Beliau berkata “aku datang kepada kalian dan kalian telah memiliki dua hari dimana kalian bermain-main, maka sesungguhnya Allah telah mengganti bagi kalian dua hari yang lebih baik dari keduanya yaitu Idul Fitri dan Idul Kurban [Musnad Ahmad 3/178 no 12850, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhariy Muslim”]

Dalam hadis riwayat Ahmad di atas terdapat petunjuk bahwa penduduk Madinah gemar bermain-main pada hari tertentu. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang ke Madinah, Beliau telah mengganti kedua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri.

Tetapi sepertinya seiring dengan berlalunya waktu, penduduk Madinah juga menjadikan hari Aasyuuraa’ sebagai hari untuk bermain. Terdapat hadis yang menunjukkan bahwa hari ‘Aasyuraa’ dikenal oleh penduduk Madinah sebagai hari yang besar atau baik

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ السَّخْتِيَانِيُّ عَنْ ابْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub As Sakhtiyaaniy dari Ibnu Sa’id bin Jubair dari Ayahnyadari Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] bahwasanya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ketika datang ke Madinah maka Beliau menemui mereka berpuasa pada hari ‘Aasyuraa’, mereka berkata “ini adalah hari yang besar yaitu hari dimana Allah menyelamatkan Muusa dan menenggelamkan Fir’aun, maka Muusa berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami lebih berhak atas Muusa daripada kalian, maka Beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa” [Shahih Bukhariy 4/153 no 3397]

Dalam hadis di atas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari ucapan mereka [kaum Yahudiy] bahwa hari ‘Aasyuuraa’ tersebut adalah hari yang besar atau baik bahkan Beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar penduduk Madinah untuk berpuasa juga di hari itu

وحدثني أبو بكر بن نافع العبدي حدثنا بشر بن المفضل بن لاحق حدثنا خالد بن ذكوان عن الربيع بنت معوذ بن عفراء قالت أرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار التي حول المدينة من كان أصبح صائما فليتم صومه ومن كان أصبح مفطرا فليتم بقية يومه فكنا بعد ذلك نصومه ونصوم صبياننا الصغار منهم إن شاء الله ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناها إياه عند الإفطار

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Naafi’ Al ‘Abdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal bin Lahiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Dzakwaan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afraa’ yang berkata Rasulullah [shalallahu ‘alaihi wa sallam] mengirim utusan pada pagi hari ‘Aasyuuraa’ ke kampung-kampung kaum Anshar di sekitar Madinah, [dan menyerukan] Barang siapa yang berpuasa pada pagi ini, hendaklah menyempurnakan puasanya, dan barang siapa yang tidak berpuasa, hendaklah berpuasa pada sisa harinya. Maka setelah itu kami berpuasa serta mengajak anak-anak kecil kami untuk ikut berpuasa, insya Allah. Kemudian kami pergi menuju masjid dan membuatkan mereka mainan dari bulu, jika salah seorang dari mereka menangis minta makanan, kami berikan mainan tersebut [agar mereka lalai dari rasa lapar] hingga tiba waktu berbuka. [Shahih Muslim 2/798 no 1136]

Terlepas dari kontroversi soal hadis-hadis puasa hari ‘Aasyuuraa’, hadis shahih di atas menunjukkan bahwa penduduk Madinah menganggap hari ‘Aasyuuraa’ sebagai hari baik dimana dianjurkan untuk berpuasa [bagi yang ingin berpuasa] dan mereka mengajak anak-anak mereka untuk berpuasa dan bermain-main dengan mereka sampai waktu berbuka.

Kami tidak akan memastikan bahwa memang itulah yang terjadi pada saat Khalid bin Dzakwaan bertanya kepada Rubayyi’ binti Mu’awwidz [radiallahu ‘anha] tetapi zhahir lafaz memang menyebutkan hari itu adalah hari ‘Aasyuuraa’ dan qarinah [seperti yang kami sebutkan di atas] menunjukkan bahwa penduduk Madinah memang menganggap hari tersebut sebagai hari baik dan mereka bermain bersama anak-anak mereka [dan menabuh duff termasuk dalam permainan].

.

.

.

Syubhat Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa juga membahas hadis ini dalam kitabnya dan menyimpulkan bahwa hadis tersebut memang khusus hanya pada saat pernikahan. Syubhat pertama Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 474 adalah dengan menggunakan kaidah ushul bahwa hikayat perbuatan tidak menunjukkan keumuman karena perbuatan itu memiliki banyak kemungkinan. Maka hujjah dengan hikayat Khalid bin Dzakwan disini adalah hikayat perbuatan, maka tidak benar berhujjah dengannya karena mengandung kemungkinan atau tidak bisa dijadikan hujjah sampai ada dalil yang menjelaskan hakikat perbuatan tersebut.

Maksud Syaikh disini adalah lafaz riwayat Khalid bin Dzakwan “kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi” adalah hikayat perbuatan yang mengandung banyak kemungkinan termasuk kemungkinan bisa saja hari itu sebenarnya hari pernikahan seorang penduduk Madinah.

Kemudian Syaikh melanjutkan dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 476 bahwa yang nampak secara zhahir adalah hal itu terjadi pada saat hari pernikahan dimana Khalid bin Dzakwaan mengingkari tabuhan duff tersebut kemudian menanyakan kepada Rubayyi’ binti Mu’awwidz dan ia menjawab dengan menyebutkan hadis shahih bolehnya menabuh duff dimana hadis tersebut menceritakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendengarkan duff pada saat Beliau datang ke pernikahan Rubayyi’ binti Mu’awwidz [radiallahu ‘anha]. Lafaz “hari pernikahan” pada hadis Rubayyi’ binti Mu’awwidz inilah yang menurut Syaikh secara zhahir menunjukkan bahwa apa yang disaksikan Khaalid bin Dzakwaan pada hari ‘Aasyuuraa’ itu adalah saat pernikahan.

Jawaban : Kaidah hikayat perbuatan tidak menunjukkan keumuman karena banyak mengandung kemungkinan adalah kaidah yang benar. Hanya saja ada yang aneh dalam penerapan Syaikh tersebut dalam masalah ini. Silakan perhatikan perbedaan kedua lafaz berikut

  1. Kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi
  2. Kami pernah berada di Madinah pada hari pernikahan dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi

Apa yang membedakan kedua kalimat tersebut?. Jawabannya adalah penunjukkan waktunya yaitu yang satu pada hari ‘Aasyuuraa’ dan yang satu lagi pada hari pernikahan. Kalau dikatakan kalimat pertama adalah hikayat perbuatan maka kalimat kedua pun bisa dikatakan hikayat perbuatan. Penunjukkan waktu itu sudah jelas merupakan peristiwa khusus. Artinya hikayat perbuatan dalam lafaz tersebut sudah khusus penunjukkan waktunya.

Lain ceritanya jika lafaz tersebut berbunyi “Kami pernah berada di Madinah pada suatu hari dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi”. Maka lafaz ini masuk dalam lingkup apa yang disebut “hikayat perbuatan yang mengandung banyak kemungkinan” yaitu pada saat waktu apakah itu? Bisa saja itu hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, hari ‘Aasyuuraa’, hari pernikahan, hari peringatan khitanan dan sebagainya. Kalau sudah disebut hari ‘Aasyuura’ maka itu sudah jelas berdasarkan zhahir lafaz, waktunya adalah pada saat hari ‘Aasyuuraa’.

Keanehannya disini adalah seolah-olah Syaikh ingin memaksakan bahwa hari ‘Aasyuuraa’ yang dimaksud adalah juga hari pernikahan. Sebagai suatu kemungkinan maka kami katakan “itu hal yang mungkin saja”. Tetapi kemungkinan ini tidak ada hubungannya dengan kaidah ushul soal hikayat perbuatan yang dijadikan hujjah oleh Syaikh.

Silakan perhatikan berbagai hadis yang menunjukkan waktu tertentu, seperti hal-nya hadis kebolehan menabuh alat musik duff pada saat hari raya Id. Bagaimanakah riwayat tersebut dipahami secara zhahirnya?. Hukum menabuh duff pada saat hari Id dibolehkan. Mengapa tidak dikatakan mungkin saja itu bertepatan dengan hari pernikahan?. Sebagai suatu kemungkinan ya bisa-bisa saja tetapi kemungkinan ini tidak bisa memalingkan lafaz “hari Id” tersebut sampai dibuktikan bahwa hari Id itu memang juga hari pernikahan. Maka begitu pula lafaz hari ‘Aasyuura’, zhahir lafaz tidak bisa dipalingkan dengan kemungkinan bisa saja itu bertepatan dengan hari pernikahan sampai dibuktikan bahwa hari ‘Aasyuuraa’ itu memang juga hari pernikahan. Silakan buktikan dengan hujjah riwayat bahwa hari ‘Aasyuura’ tersebut bertepatan dengan hari pernikahan.

Pada dasarnya perawi hadis ketika menceritakan permasalahan dengan maksud bertanya kepada sahabat maka ia akan menyebutkan inti masalahnya dengan jelas. Jika dipaksakan bahwa apa yang disaksikan Khalid bin Dzakwaan di Madinah tersebut adalah pada saat pernikahan maka apa perlunya ia menyebutkan lafaz hari ‘Aasyuura’ harusnya dari awal saja ia menyebutkan hari pernikahan.

.

.

Syubhat kedua Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 476-477 berusaha melemahkan ziyadah [tambahan] lafaz “kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi” karena hadis itu telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat tanpa tambahan lafaz tersebut.

Jawaban : Kami akan menanggapi syubhat ini secara ilmiah. Dalam pembahasan takhrij hadis di atas dapat dilihat bahwa perawi yang meriwayatkan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz adalah Khalid bin Dzakwan dan yang meriwayatkan dari Khalid bin Dzakwaan adalah

  1. Bisyr bin Mufadhdhal yang tidak menyebutkan ziyadah lafaz
  2. Hammaad bin Salamah yang menyebutkan ziyadah lafaz [pada salah satu riwayatnya]

Perawi yang meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah ada enam orang yaitu

  1. Yaziid bin Haruun
  2. ‘Affan bin Muslim
  3. Hasan bin Muusa ‘Abu ‘Aliy Al Baghdadiy
  4. ‘Abdush Shamad bin ‘Abdul Waarits
  5. Muhanna’ bin ‘Abdul Hamiid
  6. Muusa bin Isma’iil Al Munqariy

Yaziid bin Haruun, Affaan bin Muslim dan Hasan bin Muusa meriwayatkan dengan tambahan lafaz dari Khalid bin Dzakwaan, sedangkan ketiga perawi lainnya tidak menyebutkan ada tambahan lafaz dari Khalid bin Dzakwaan. Tambahan lafaz Yaziid bin Haruun, Affaan bin Muslim dan Hasan bin Muusa tidak benar-benar persis lafaznya

  1. Yaziid bin Haruun menyebutkan lafaz “kami pernah berada di Madinah pada hari ‘Asyuuraa’ dimana anak-anak perempuan memukul duff dan bernyanyi”
  2. ‘Affaan bin Muslim menyebutkan lafaz “pada suatu hari penduduk Madinah bermain-main [bersenang-senang]”
  3. Hasan bin Muusa menyebutkan lafaz “Para wanita menabuh duff”

Bagaimana status tambahan lafaz ketiganya?. Tambahan lafaz Hasan bin Muusa menguatkan tambahan lafaz Yaziid bin Haruun soal “tabuhan duff” oleh karena itu kami akan memfokuskan pada ‘Affan bin Muslim dan Yaziid bin Haruun. Riwayat keduanya dari Hammaad bin Salamah lebih didahulukan dibanding perawi lainnya

حدثني أبو خيثمة قال سمعت يحيى بن سعيد يقول من أراد أن يكتب حديث حماد بن سلمة فعليه بعفان بن مسلم

Telah menceritakan kepadaku Abu Khaitsamah yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan “barang siapa yang ingin menulis hadis Hammaad bin Salamah maka hendaknya ia berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Al Ilal Ahmad bin Hanbal no 4042]

Adapun Yaziid bin Haruun Al Wasithiy adalah seorang yang alim hafizh masyhur. Aliy bin Madiniy mengatakan ia tsiqat dan berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafizh darinya”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijliy berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakr bin Abi Syaibah berkata “aku tidak pernah melihat orang yang lebih mutqin hafizh selain darinya”. Abu Hatim berkata ”tsiqat imam shaduq tidak dipertanyakan orang yang sepertinya”. ‘Affaan bin Muslim menyatakan bahwa Yaziid bin Haruun mengambil dari Hammaad bin Salamah riwayat yang terjaga. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qaani’ berkata “tsiqat ma’mun” [Tahdziib At Tahdziib Ibnu Hajar juz 11 no 612]. Ibnu Hajar berkata tentang Yaziid bin Haruun “tsiqat mutqin ahli ibadah, termasuk thabaqat kesembilan” [Taqriib At Tahdziib 2/333]

Jadi Yaziid bin Haruun adalah seorang yang dikenal hafizh tsiqat mutqin, cukuplah mengenai ketinggian kedudukannya seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal

وقال الفضل بن زياد سمعت أبا عبد الله، وقيل له يزيد بن هارون، له فقه؟ قال نعم، ما كان أفطنه وأذكاه وأفهمه. قيل له فابن علية؟ فقال كان له فقه، إلا أني لم أخبره خبري يزيد بن هارون، ما كان أجمع أمر يزيد، صاحب صلاة، حافظ متقن للحديث، صرامة، وحسن مذهب

Fadhl bin Ziyaad berkata aku mendengar Abu ‘Abdullah [Ahmad bin Hanbal] dan dikatakan kepadanya “apakah Yazid bin Haruun seorang yang faqih?. Ia berkata “benar, tidak ada yang seperti kepintarannya, kecerdasannya dan kefahamannya”. Dikatakan kepadanya “bagaimana dengan Ibnu ‘Ulayyah?”. [Ahmad bin Hanbal] berkata “ia juga seorang yang faqih hanya saja aku tidak mengetahui kabarnya seperti kabar Yaziid bin Haarun dimana orang-orang bersepakat atas Yaziid bahwa ia seorang yang rajin shalat, hafizh mutqin dalam hadis, berpikiran tajam dan bermazhab baik [Mausu’ah Aqwaal Ahmad bin Hanbaal no 2966]

Ziyadah lafaz dari perawi seperti Yaziid bin Haruun yang dikenal hafizh tsiqat mutqin jelas diterima apalagi ‘Affaan bin Muslim sendiri menyatakan bahwa Yaziid bin Haruun mengambil riwayat yang terjaga dari Hammaad bin Salamah.

Jadi tambahan lafaz baik dari ‘Affaan bin Muslim dan Yaziid bin Haruun diterima, dan kedua tambahan tersebut tidaklah bertentangan melainkan saling melengkapi sehingga makna tambahan lafaz tersebut adalah Khalid bin Dzakwaan melihat penduduk Madinah bermain-main termasuk diantaranya wanita dan anak-anak perempuan yang menabuh duff pada hari ‘Aasyuraa’.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Raddu ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 477 menyatakan bahwa Hammaad bin Salamah telah keliru dalam tambahan lafaz tersebut, ia walaupun seorang yang tsiqat tetapi berubah hafalannya ketika tua dan disini ia telah menyelisihi perawi yang lebih tsiqat dan hafizh darinya yaitu Bisyr bin Mufadhdhal.

Jawaban : Hammaad bin Salamah memang dikatakan telah mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya. Abu Hatim berkata tentang Hisyaam bin ‘Abdul Maalik Abu Waliid Ath Thayaalisiy

كان يقال سماعه من حماد بن سلمة فيه شئ كأنه سمع منه باخرة، وكان حماد ساء حفظه في آخر عمره

Ia [Abu Waliid] dikatakan pendengarannya dari Hammaad bin Salamah terdapat sesuatu sepertinya ia mendengar darinya di akhir hidupnya [Hammaad] dan Hammaad buruk hafalannya di akhir hidupnya [Al Jarh Wat Ta’dil 9/66 no 253]

وقال البيهقي هو أحد أئمة المسلمين إلا أنه لما كبر ساء حفظه فلذا تركه البخاري وأما مسلم فاجتهد وأخرج من حديثه عن ثابت ما سمع منه قبل تغيره وما سوى حديثه عن ثابت لا يبلغ اثني عشر حديثا أخرجها في الشواهد

Dan Al Baihaqiy berkata “ia [Hammaad] seorang imam kaum muslimin hanya saja ketika ia tua hafalannya menjadi buruk oleh karena hal itu maka Bukhariy meninggalkannya. Adapun Muslim berijtihad dan mengeluarkan hadisnya dari Tsaabit apa yang didengar darinya sebelum hafalannya berubah, adapun selain hadisnya dari Tsaabit tidak mencapai dua belas hadis dan dikeluarkannya sebagai syawahid [Tahdziib At Tahdziib Ibnu Hajaar juz 3 no 14]

Tetapi Hammaad bin Salamah telah disepakati sebagai perawi yang tsiqat hanya saja ia buruk hafalannya di akhir hidupnya oleh karena itu Ibnu Hajar berkata

حماد بن سلمة بن دينار البصري أبو سلمة ثقه عابد أثبت الناس في ثابت وتغير حفظه بأخرة

Hammaad bin Salamah bin Diinar Al Bashriy Abu Salamah seorang tsiqat ahli ibadah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Tsaabit dan ia berubah hafalannya di akhir hidupnya [Taqriib At Tahdziib 1/238]

Jadi kesalahan dalam hadis dan hadis mungkar yang dituduhkan pada Hammaad bin Salamah bersumber dari perubahan hafalannya di akhir umurnya. Adapun hadis ini telah diriwayatkan dari ‘Affaan bin Muslim dan Yaziid bin Haruun dari Hammaad bin Salamah, dimana keduanya telah ditunjukkan di atas termasuk perawi yang  meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah hadis yang terjaga atau dengan kata lain telah meriwayatkan darinya sebelum hafalannya berubah.

Hammaad bin Salamah sebelum hafalannya berubah adalah seorang yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “Hammaad bin Salamah di sisi kami tsiqat” [Al Kamil Ibnu Adiy 3/39 no 431]. Hajjaaj bin Minhaal menyebutnya “termasuk imam dalam agama” dan ‘Affaan bin Muslim menyebutnya “amirul mu’minin” [Al Kamil Ibnu Adiy 3/39 no 431]. Wuhaib berkata “Hammaad orang yang paling alim diantara kami dan Sayyid kami” [Al Kamil Ibnu Adiy 3/45 no 431]. ‘Abdurrahman bin Mahdiy mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorangpun yang seperti Hammaad bin Salamah dan Maalik bin Anas [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 3 no 89]

قيل ليحيى بن معين أيما أحب إليك في ثابت سليمان بن المغيرة أو حماد بن سلمة؟ قال كلاهما ثقة ثبت، وحماد بن سلمة أعرف بحديث ثابت من سليمان، وسليمان ثقة

Dikatakan kepada Yahya bin Ma’iin “manakah yang lebih engkau sukai dalam riwayat Tsaabit yaitu Sulaiman bin Mughiirah atau Hammaad bin Salamah?. Maka ia berkata “keduanya tsiqat tsabit dan Hammaad bin Salamah lebih mengenal hadis Tsaabit dibanding Sulaiman, dan Sulaiman tsiqat [Su’alat Ibnu Junaid no 172]

As Saajiy berkata “seorang hafizh tsiqat ma’mun”. Al Ijliy berkata “tsiqat seorang yang shalih hasanul hadis”. Nasa’iy berkata “tsiqat” [Tahdziib At Tahdziib juz 3 no 14].

سَمِعْتُ أَبَا داود قَالَ ما حَدَّث أحدُ بالبصرة أحسنَ حديثٍ من حماد بْن سلمة

Aku mendengar Abu Dawud mengatakan “tidak ada seorangpun yang menceritakan hadis di Bashrah yang lebih baik hadisnya dibanding Hammaad bin Salamah” [Su’alat Abu ‘Ubaid Al Ajurriy no 1150]

Adz Dzahabiy menyebutkan Hammad bin Salamah dalam kitabnya Siyaar A’laam An Nubalaa’ sebagai Imam Qudwah Syaikh Al Islam, kemudian berkata

وكان مع إمامته في الحديث إماما كبيرا في العربية فقيها فصيحا رأسا في السنة صاحب تصانيف

Dan ia bersamaan dengan keimaman-nya dalam hadis juga imam yang besar dalam bahasa arab faqiih fasih pemimpin dalam sunnah dan memiliki tulisan [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 7/447 no 168]

Walaupun dalam kitab itu, Adz Dzahabiy juga mengakui kalau Hammaad bin Salamah memiliki beberapa kesalahan dan ia tidak seperti Hammaad bin Zaiid.

Kesalahan yang dinisbatkan kepada Hammaad bin Salamah termasuk dalam kelemahan hafalannya di akhir umurnya. Adapun riwayatnya disini [yaitu dari ‘Affaan dan Yaziid bin Haruun] itu sebelum hafalannya berubah maka ketika itu Hammaad bin Salamah seorang yang tsiqat tsabit hafizh dan imam dalam hadis. Kedudukan Hammaad bin Salamah ketika hafalannya terjaga tidaklah lebih rendah dibandingkan Bisyr bin Mufadhdhal. Oleh karena itu ziyadah [tambahan] lafaz hadis ini dari Hammaad bin Salamah bisa diterima.

.

.

.

 Kesimpulan

Hadis Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengenai bolehnya menabuh duff pada saat pernikahan tidak bersifat membatasi khusus hanya dalam pernikahan karena Rubayyi’ binti Mu’awwidz sendiri selaku sahabat [wanita] yang meriwayatkan hadis ini telah berhujjah dengan hadis ini untuk membolehkan penduduk Madinah bermain-main termasuk para wanita menabuh duff pada hari ‘Aasyuuraa’.


Filed under: Fiqh, Hadis, Kritik Salafy

Bolehkah Memainkan Alat Musik Selain Duff Pada Saat Pernikahan?

$
0
0

Bolehkah Memainkan Alat Musik Selain Duff Pada Saat Pernikahan?

Tahukah anda [para pembaca] bahwa diantara para ulama salafiy dan pengikutnya terdapat orang-orang yang membolehkan alat musik dan nyanyian khusus pada saat pernikahan. Dan itu pun tidak bersifat mutlak hanya terbatas pada alat musik duff, tidak selain itu. Konon kabarnya mereka berhujjah dengan hadis berikut

حدثنا أحمد بن منيع حدثنا هشيم أخبرنا أبو بلج عن محمد بن حاطب الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم فصل ما بين الحرام والحلال الدف والصوت

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib Al Jumahiy yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “pemisah antara halal dan haram adalah duff dan suara” [Sunan Tirmidzi 3/398 no 1088]

Riwayat ini sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Ahmad bin Manii’ Abu Ja’far Al Baghawiy seorang yang tsiqat hafizh, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/47]
  2. Husyaim bin Basyiir Al Wasithiy seorang yang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy, termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 2/269]. Disini ia telah menyebutkan lafaz penyimakan hadisnya maka selamat dari tadlis dan irsal
  3. Abu Balj Yahya bin Sulaim seorang yang shaduq pernah melakukan kesalahan, termasuk thabaqat kelima [Taqriib At Tahdziib 2/370]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqrib At Tahdziib bahwa Abu Balj seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdziib no 8003]
  4. Muhammad bin Haathib Al Jumahiy termasuk sahabat Nabi yang shaghiir [Taqriib At Tahdziib 2/65]

Di sisi kami, Abu Balj adalah perawi yang tsiqat. Kami telah membuat tulisan khusus yang membahas secara rinci jarh dan ta’dil terhadap Abu Balj. Silakan merujuk ke tulisan disini.

.

.

Syaikh Al Judai’ dalam kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Miizaan Al Islaam hal 226 menyebutkan hadis ini sebagai dalil dianjurkannya memainkan alat musik dan melantunkan nyanyian pada saat pernikahan.

Hal itu benar karena zhahir riwayat Muhammad bin Haathib terdapat lafaz dimana Muhammad bin Haathib mengkritik Abu Balj yang tidak memainkan duff saat pernikahan yaitu dengan lafaz “alangkah buruknya yang kau lakukan” [akan kami tunjukkan riwayat dengan lafaz tersebut nanti]. Maka disini terdapat anjuran untuk melakukannya yaitu lebih baik dibandingkan tidak melakukannya. Seandainya perkara memainkan musik asal hukumnya haram dan diberi rukhshah saat pernikahan maka tidak mengambil rukhshah adalah perkara yang lebih utama tetapi atsar di atas justru menyatakan sebaliknya maka hal ini menunjukkan kelirunya pemahaman bahwa asal hukum bermain musik itu haram. Yang benar adalah asal hukum bermain musik itu mubah dan menjadi dianjurkan dalam pernikahan.

Dan pada kitabnya Al Muusiiq Wal Ghinaa’ Fii Miizaan Al Islaam hal 229, Syaikh Al Judai’ mengisyaratkan bahwa hal itu berlaku untuk semua alat musik tidak hanya terbatas pada duff. Adapun penyebutan duff dalam hadis tersebut karena duff adalah alat musik yang masyhur di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 464 membantah Syaikh Al Judai’ dan menuduhnya jahil dalam ilmu ushul fiqih dan kaidahnya. Menurut Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa nash hadis hanya menyebutkan duff jadi tidak bisa diqiyaskan ke alat musik lain.

Apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ itu sudah benar sedangkan bantahan Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa keliru. Lafaz duff dalam hadis tersebut bukanlah sebagai pembatas. Silakan perhatikan hadis yang sama dengan lafaz berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن أبي بلج قال قلت لمحمد بن حاطب إني قد تزوجت امرأتين لم يضرب علي بدف قال بئسما صنعت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن فصل ما بين الحلال والحرام الصوت يعني الضرب بالدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Balj yang berkata aku berkata kepada Muhammad bin Haathib “aku sungguh telah menikahi dua wanita tidak dengan menabuh duff”. [Muhammad bin Haathib] berkata “alangkah buruknya yang kau lakukan, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah suara yaitu tabuhan duff” [Musnad Ahmad 4/259 no 18306, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”]

حدثنا أبو بكر بن إسحاق أنبأ محمد بن غالب ثنا عمرو بن عون أنبأ وكيع عن شعبة عن أبي بلج يحيى بن سليم قال قلت لمحمد بن حاطب تزوجت امرأتين ما كان في واحدة منهما صوت يعني دفا فقال محمد رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فصل ما بين الحلال والحرام والصوت بالدف

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ghaalib yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aun yang berkata telah memberitakan kepada kami Wakii’ dari Syu’bah dari Abi Balj Yahya bin Sulaim yang berkata aku berkata kepada Muhammad bin Haathib “aku menikahi dua istri dan tidak ada satupun dari keduanya [diadakan] suara yaitu duff”. Maka berkata Muhammad [radiallahu ‘anhu] Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “pemisah antara halal dan haram adalah suara dengan duff [Al Mustadrak Al Hakim 2/201 no 2750, dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabiy]

Hadis shahih di atas menyatakan bahwa pemisah antara halal haram adalah suara dalam pernikahan dan suara yang dimaksud adalah tabuhan duff. Pertanyaannya adalah apakah duff dalam hadis tersebut adalah pembatas sehingga tidak dibolehkan selain duff?. Apakah maksud hadis itu adalah suara dalam pernikahan yang dimaksud hanyalah tabuhan duff? Atau suara dalam pernikahan tersebut juga mencakup selain duff, jadi duff hanya salah satu saja dari “suara dalam pernikahan” yang dimaksud?. Jawabannya ada dalam hadis yang sama dengan lafaz berikut

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا أبو عوانة ثنا أبو بلج عن محمد بن حاطب قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم فصل ما بين الحلال والحرام الصوت وضرب الدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Affaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah suara dan tabuhan duff” [Musnad Ahmad 4/259 no 18305, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”]

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا هشيم أنا أبو بلح عن محمد بن حاطب الجمحي قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم فصل بين الحلال والحرام الدف والصوت في النكاح

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Balj dari Muhammad bin Haathib Al Jumahiy yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda sesungguhnya pemisah antara halal dan haram adalah duff dan suara dalam pernikahan” [Musnad Ahmad 3/418 no 15489, Syaikh Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”]

Kedua hadis di atas adalah riwayat Abu ‘Awanah dan Husyaim dari Abu Balj dimana keduanya menyebutkan lafaz “suara dan duff” sedangkan riwayat Syu’bah menyebutkan lafaz “suara yaitu duff”. Yang manakah yang benar? Keduanya benar karena

  1. Syu’bah adalah seorang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawriy mengatakan ia amirul mu’minin dalam hadis [Taqriib At Tahdziib 1/418]. Maka tafarrud lafaz darinya diterima berdasarkan kaidah ilmu hadis
  2. Abu ‘Awanah seorang yang tsiqat tsabit [Taqriib At Tahdziib 2/282-283] dan ia dikuatkan oleh Husyaim bin Basyiir seorang yang tsiqat tsabit banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy [Taqriib At Tahdziib 2/269]. Dua orang yang tsiqat tsabit saling menguatkan maka lafaz hadis dari keduanya diterima.

Jika dalam satu hadis disebut “suara dalam pernikahan” adalah duff kemudian dalam hadis lain disebut “suara dalam pernikahan dan duff” maka tidak mungkin dikatakan bahwa duff disana bersifat pembatas karena kalau dikatakan pembatas itu berarti makna “suara dalam pernikahan” adalah duff itu sendiri sehingga tidak mungkin ada lafaz “suara dalam pernikahan dan duff”. Penjelasan yang lebih masuk akal adalah Duff termasuk “suara dalam pernikahan” tetapi tidak hanya duff oleh karena itu lafaz “suara” bisa disebut beriringan dengan “duff”.

Kalau begitu mengapa harus disebutkan “duff” secara khusus kalau memang ia adalah bagian dari “suara dalam pernikahan”. Penjelasan Syaikh Al Judai’ bahwa duff merupakan alat musik masyhur saat itu adalah kemungkinan penjelasannya [walaupun kami tidak berani memastikan kemungkinan tersebut]. Dan kalau ada yang merasa aneh dengan cara penyampaian bahasa seperti itu maka perhatikanlah ayat Al Qur’an berikut

 مَنْ كَانَ عَدُوًّا ِللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

Barang siapa yang menjadi musuh Allah dan Malaikat-malaikat-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Jibril dan Mika’il maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir [QS Al Baqarah : 98]

Jibril dan Mik’ail itu sudah termasuk dalam lafaz “Malaikat-malaikat-Nya” tetapi tetap saja disebutkan dalam satu kalimat beriringan. Hanya saja lafaz malaikat-Nya itu lebih umum [dimana Jibril dan Mika’il termasuk di dalamnya]. Maka tidak ada yang aneh dengan hadis di atas soal penyebutan duff dan suara. Lafaz suara bersifat umum [dimana duff termasuk di dalamnya].

.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 466 menyebutkan bahwa Syaikh Al Judai’ mengalami tanaqudh [kontradiksi] ketika mengatakan duff adalah alat musik yang masyhur di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi dalam bagian kitabnya yang lain Syaikh Al Judai’ menyebutkan kalau gendang dan seruling sudah ada di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Mungkin Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa kurang bisa memahami maksud Syaikh Al Judai’. Kami bisa memahami apa yang dikatakan Syaikh Al Judai’ karena sesuatu yang mayshur memang sudah pasti wujud tetapi sesuatu yang wujud belum tentu masyhur. Menurut Syaikh Al Judai’ duff, gendang [thabl] dan seruling [mizmaar] memang sudah ada di masa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi duff adalah alat musik yang masyhur diantara yang lainnya.

Hadis Muhammad bin Haathib di atas memang berkaitan dengan mengumumkan atau menyiarkan pernikahan. Hal ini memang disunahkan berdasarkan hadis hasan yang disebutkan Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa tetapi keliru jika Syaikh membatasi bahwa alat musik yang dibolehkan hanyalah duff.

حدثنا محمد بن سهل بن عسكر قال ثنا يحيى بن صالح قال ثنا سليمان بن بلال عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر بن عبد الله قال كان الجواري إذا نكحوا كانوا يمرون بالكبر والمزامير ويتركون النبي صلى الله عليه وسلم قائما على المنبر وينفضون إليها فأنزل الله وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sahl bin ‘Askar yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilaal dari Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Jabir bin ‘Abdullah yang berkata para budak wanita apabila ada yang menikah, mereka lewat sambil menabuh gendang dan [memainkan] seruling. Dan mereka [para sahabat] meninggalkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berdiri di atas mimbar dan menuju kepadanya [permainan musik tersebut]. Maka Allah menurunkan ayat “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya” [Tafsir Ath Thabariy 22/648]

Riwayat Jabir bin ‘Abdullah [radiallahu ‘anhu] di atas memiliki sanad yang shahih. Para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Muhammad bin Sahl bin ‘Askar seorang yang tsiqat termasuk thabaqat kesebelas [Taqriib At Tahdziib 2/83]
  2. Yahya bin Shaalih Al Wuhazhiy seorang yang shaduq termasuk ahlu ra’yu, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 2/305]. Dikoreksi dalam Tahrir Taqriib At Tahdziib bahwa Yahya bin Shaalih seorang yang tsiqat [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 7568]
  3. Sulaiman bin Bilaal At Taimiy seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kedelapan [Taqriib At Tahdziib 1/383]
  4. Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy [‘alaihis salaam] seorang yang shaduq faqiih imam, termasuk thabaqat keenam [Taqriib At Tahdziib 1/163]
  5. Muhammad bin ‘Aliy bin Husain [‘alaihis salaam] seorang yang tsiqat fadhl termasuk thabaqat keempat [Taqriib At Tahdziib 2/114]

Riwayat di atas menjelaskan bahwa para budak wanita menabuh gendang dan memainkan seruling ketika terjadi pernikahan maka para sahabat meninggalkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang sedang berkhutbah di atas mimbar, oleh karena itu Allah SWT menurunkan Al Jumu’ah ayat 11 sebagai teguran kepada para sahabat.

Lahwu [permainan] atau hiburan saat pernikahan adalah sesuatu yang dianjurkan tetapi tetap saja tidak boleh dilakukan atau disibukkan dengannya sampai meninggalkan kewajiban atau membuat seseorang melanggar perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Kedudukan “lahwu” disini sama halnya dengan “perniagaan” yaitu dilarang dilakukan ketika khutbah pada hari Jum’at. Hukum asal keduanya dibolehkan tetapi menjadi dilarang pada saat khutbah Jum’at.

Lafaz yang dijadikan hujjah dalam perkara ini adalah lafaz “kabar” dan “mazaamiir” keduanya bermakna gendang dan seruling. Ibnu Atsir menyebutkan bahwa salah satu makna lafaz “kabar” adalah thabl yaitu gendang [An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar hal 789]. Ibnu Qudaamah ketika menjelaskan mengenai lafaz azan yaitu Allaahu Akbar jika ditambahkan alif dalam penyebutan Akbar menjadi Akbaar, ia berkata

فيصير جمع كبر ، وهو الطبل

Maka itu menjadi jamak dari kabar dan kabar adalah thabl [gendang] [Al Mughniy Ibnu Qudaamah 2/90]

Maka hadis Jabir [radiallahu ‘anhu] di atas merupakan hujjah bahwa “suara” yang dimaksud dalam pernikahan itu tidak terbatas pada duff tetapi juga pada kabar [thabl] yaitu gendang dan mazaamiir yaitu seruling.

.

.

.

Syubhat Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa Atas Hadis Jabir

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengetahui adanya hadis Jabir [radiallahu ‘anhu] tersebut tetapi Syaikh membuat syubhat untuk melemahkan hadis tersebut. Dalam kitabnya Ar Radd ‘Ala Al Qaradhawiy Wal Judai’ hal 455-460, Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa melemahkan Yahya bin Shaalih perawi hadis Jabir tersebut.

Sebelum kami membantah Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa maka kami akan tunjukkan kedudukan sebenarnya Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy. Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy termasuk perawi Bukhariy dan Muslim, ia termasuk gurunya Bukhariy dan Abu Hatim. Yahya bin Ma’in berkata tentangnya “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/158 no 657]. Al Bukhariy berkata tentang Yahya dalam biografi Sulaiman bin ‘Atha’

سليمان بن عطاء سمع مسلمة بن عبد الله روى عنه يحيى بن صالح الشامي ويحيى ثقة وفي حديثه بعض المناكير

Sulaiman bin ‘Athaa’ mendengar dari Maslamah bin ‘Abdullah, telah meriwayatkan darinya Yahya bin Shaalih Asy Syaamiy dan Yahya seorang yang tsiqat. Dan dalam hadisnya [Sulaiman bin ‘Athaa’] sebagian mungkar [Adh Dhu’afa Ash Shaghiir no 145]

Abu ‘Awanah berkata tentangnya “hasanul hadis tetapi ia shahib ra’yu”. Ibnu Adiy menyebutkannya dalam orang-orang tsiqat dari penduduk Syam. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abul Yamaan Hakam bin Nafii’ Al Bahraniy berkata “aku tidak mengetahui ada yang lebih tsiqat dari Yahya bin Shaalih”. As Sajiy berkata “ia di sisi para ulama termasuk orang yang jujur dan amanah”. Al Khaliliy menyatakan ia tsiqat. [Tahdziib At Tahdziib juz 11 no 372].

Adz Dzahabiy berkata tentang Yahya bin Shaalih “seorang yang masyhur tsiqat dibicarakan karena faham Jahmiah yang ada padanya” [Al Mughniy no 6991]. Adz Dzahabiy juga mengatakan tsiqat hanya saja dibicarakan karena ra’yunya [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]. Adz Dzahabiy juga berkata “seorang hafizh faqiih” [Al Kasyf no 6183]. Jadi di sisi Adz Dzahabiy ia seorang yang hafizh faqih tsiqat tetapi dibicarakan karena ra’yu-nya ataubid’ah Jahmiyah.

Pendapat yang rajih Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy seorang yang tsiqat tetapi ia dibicarakan karena bid’ah Jahmiyah yang dituduhkan padanya. Dalam ilmu hadis kedudukan perawi seperti ini diterima hadisnya selagi tidak menguatkan faham bid’ah Jahmiyah-nya.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengutip pendapat sebagian ulama yang mencela Yahya bin Shaalih dalam hal bid’ah yang ada padanya yaitu faham Jahmiyah

سألت أبي عن يحيى بن صالح الحمصي الوحاظي فقال رأيته في جنازة أبي المغيرة فجعل أبي يصفه قال أبي أخبرني إنسان من أصحاب الحديث قال قال يحيى بن صالح لو ترك أصحاب الحديث عشرة أحاديث يعني هذه الأحاديث التي في الرؤية قال أبي كأنه نزع إلى رأي جهم

Aku bertanya kepada Ayahku tentang Yahya bin Shaalih Al Himshiy Al Wuhaazhiy yang berkata aku melihatnya saat pemakaman Abu Mughirah maka ayahku mensifatkannya. Ayahku berkata telah mengabarkan kepadaku seorang dari ahli hadis yang berkata Yahya bin Shaalih berkata “seandainya ahli hadis meninggalkan sepuluh hadis yaitu hadis tentang ru’yah”. Ayahku berkata “seolah-olah ia menyeru kepada faham Jahm” [Al Ilal Ahmad bin Hanbal no 1232]

Atsar Abdullah bin Ahmad dari ayahnya ini juga disebutkan oleh Al Uqailiy dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir juz 4 no 2038. Baik dalam kitab Al Ilal Wal Ma’rifat Ar Rijal Ahmad bin Hanbal dan Adh Dhu’afa Al Uqailiy digunakan lafaz فجعل أبي يصفه yang bermakna “Ayahku mensifatkannya” tetapi dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir 64/281 digunakan lafaz فجعل أبي يضعفه yang bermakna “Ayahku mendhaifkannya”.

Nampaknya apa yang tertulis dalam kitab Ibnu Asakir adalah tashif karena Ibnu Asakir meriwayatkan atsar tersebut dengan menukil dari Al Uqailiy padahal Al Uqailiy menyebutkan lafaz “mensifatkannya” bukan lafaz “mendhaifkannya”. Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa menukil lafaz ”mendhaifkannya” dan hal ini keliru karena merupakan tashif.

Adapun apakah benar Yahya bin Shaalih mengatakan perkataan tersebut maka hal ini tidaklah shahih karena Ahmad bin Hanbal tidak menyebutkan siapa ahli hadis yang menukil perkataan Yahya bin Shaalih tersebut. Bisa saja ahli hadis tersebut tsiqat dalam pandangan Ahmad sehingga ia mempercayainya tetapi bisa saja ia dhaif dalam pandangan ulama lain. Bisa saja ia seorang yang shaduq tetapi lemah dalam dhabit-nya. Oleh karena tidak diketahui kedudukan sebenarnya ahli hadis tersebut maka periwayatannya tidak bisa dijadikan hujjah.

قال عبد الله بن أحمد قال أبي لم اكتب عنه لأني رأيته في مسجد الجامع يسيء الصلاة

Abdullah bin Ahmad berkata Ayahku berkata “jangan menulis darinya karena aku melihatnya di masjid Jaami’ dan ia buruk shalatnya” [Tahdziib At Tahdziib juz 11 no 372].

وقال مهنى بن يحيى سألت أحمد بن حنبل عن يحيى بن صالح فقال رأيته ولم يحمده

Muhanna bin Yahya berkata aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang Yahya bin Shaalih, maka ia berkata “aku telah melihatnya dan tidak memujinya” [Tahdziib Al Kamal 31/378 no 6846]

Kedua atsar di atas bisa digabungkan bahwa Ahmad bin Hanbal tidak memujinya dan tidak mau menulis darinya karena buruknya shalat Yahya bin Shaalih dalam pandangannya. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mendhaifkan Yahya bin Shaalih. Apalagi ternukil pula pujian Ahmad bin Hanbal terhadapnya

أنبأنا أبو القاسم علي بن إبراهيم نا عبد العزيز بن أحمد أنا أبو محمد بن أبي نصر أنا أبو الميمون نا أبو زرعة قال لم يقل يعني أحمد بن حنبل في يحيى بن صالح إلا خيرا

Telah memberitakan kepada kami Abu Qaasim ‘Aliy bin Ibrahiim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz bin Ahmad yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Abi Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Maimuun yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zur’ah yang berkata “tidaklah Ahmad bin Hanbal mengatakan tentang Yahya bin Shaalih kecuali kebaikan” [Tarikh Ibnu Asakir 64/280]

Atsar Abu Zur’ah di atas sanadnya jayyid, semua perawinya tsiqat dan shaduq. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Abul Qaasim ‘Aliy bin Ibrahiim, syaikh islam muhaddis tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 19/358-359 no 212]
  2. ‘Abdul ‘Aziiz bin Ahmad Al Kattaniy, imam hafizh shaduq muhaddis dimasyiq [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 18/248 no 122]
  3. Abu Muhammad bin Abi Nashr syaikh imam seorang yang tsiqat ma’mun [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 17/366-368 no 230]
  4. Abul Maimuun Al Bajalliy syaikh imam tsiqat ma’mun [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 15/533 no 310]
  5. Abu Zur’ah Ad Dimasyiq seorang yang shaduq tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 5/267 no 1259]

Atsar ini bisa digabungkan dengan atsar sebelumnya bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah menyebutkan Yahya bin Shaalih kecuali dengan kebaikan sampai akhirnya ia melihat buruknya shalat Yahya bin Shaalih, oleh karena itu ia meninggalkannya. Pandangan Ahmad bin Hanbal soal buruknya shalat Yahya bin Shaalih tidak bisa dijadikan hujjah mendhaifkan karena perkara tersebut sifatnya relatif dan tidak berkaitan dengan kredibilitas dalam periwayatan hadis. Apalagi Yahya bin Shaalih telah dinyatakan tsiqat oleh ulama lainnya.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa kemudian menukil perkataan Ishaaq bin Manshuur bahwa Yahya bin Shaalih seorang murjiah. Hal ini memang benar dikatakan Ishaaq bin Manshuur tetapi telah dibantah Adz Dzahabiy bahwa Yahya bin Shaalih justru mengingkari irja’. [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/456 no 150]. Syaikh juga menukil Al Uqailiy yang menyatakan bahwa Yahya bin Shaalih penganut bid’ah Jahmiyah. Hal ini jika memang benar tetap tidak bisa dijadikan dasar untuk mendhaifkan Yahya bin Shaalih.

Dalam ilmu hadis sudah menjadi hal yang umum kalau mazhab bid’ah yang dianut seseorang tidak menjadi alasan untuk mendhaifkan perawi tersebut jika perawi itu telah dinyatakan tsiqat oleh ulama yang mu’tabar. Cukup banyak perawi hadis dalam kutubus sittah yang berfaham khawarij, murji’ah, qadariy, rafidhah yang tetap dinyatakan tsiqat atau shaduq.

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa menukil jarh dari Haiwah bin Syuraih yang disebutkan Ibnu Asakir dalam kitabnya

وقال أبو إسحاق إبراهيم بن الهيثم بن المهلب البلدي كان حيوة بن شريح ينهاني أن أكتب عن يحيى بن صالح الوحاظي وقال هو كذا وكذا

Abu Ishaaq Ibrahim bin Al Haitsam bin Al Muhallab Al Baladiy berkata Haiwah bin Syuraih telah melarangku menulis hadis dari Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy dan berkata “ia begini begitu” [Tarikh Ibnu Asakir 64/282]

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa berkata lafaz “kadzaa wa kadzaa” adalah sighat tadh’if [mendhaifkan] dengan dalil Haiwah melarang menulis darinya. Hujjah Syaikh ini terlalu dipaksakan, lafaz “kadza wa kadzaa” mengandung banyak kemungkinan bahkan lafaz itu bisa bergabung dengan lafaz ta’dil

سألته عن إبراهيم بن المهاجر قال ليس به بأس هو كذا وكذا

[‘Abdullah bin Ahmad] berkata “aku bertanya kepadanya [Ahmad bin Hanbal] tentang Ibrahiim bin Al Muhaajir, maka ia berkata “tidak ada masalah padanya ia kadzaa wa kadzaa” [Al Ilal Ahmad bin Hanbal no 2511]

Begitu pula dengan dalil Haiwah melarang menulis darinya juga mengandung kemungkinan bisa saja hal itu karena faham bid’ah yang dituduhkan oleh Yahya bin Shaalih atau seperti Ahmad bin Hanbal karena ia melihat Yahya bin Shaalih buruk shalatnya. Kemungkinan seperti ini tidaklah mendhaifkan dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk mengalahkan tautsiq para ulama mu’tabar terhadap Yahya bin Shaalih.

Jika seorang perawi telah mendapat tautsiq dari ulama mu’tabar maka jarh terhadapnya harus bersifat mufassar dan jarh Haiwah bin Syuraih di atas tidak bersifat mufassar, tidak diketahui dari sisi apa larangan menulis hadis Haiwah tersebut, apakah karena ‘adalah-nya? apakah karena dhabit-nya? apakah karena faham bid’ah-nya? apakah karena amalan-nya?.

Apalagi Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa kemudian menambahkan bahwa Haiwah bin Syuraih adalah orang Himsh dan Yahya bin Shalih juga orang Himsh maka ia sebagai orang satu negri dan semasa dengan Yahya bin Shalih lebih mengetahui keadaannya.

Bukankah Syaikh telah membaca kitab Tarikh Ibnu Asakir biografi Yahya bin Shaalih maka Syaikh pasti sudah menemukan ta’dil Abul Yamaan Hakam bin Naafi’ terhadap Yahya bin Shaalih dimana Abul Yamaan mengatakan kalau ia tidak mengenal orang yang lebih tsiqat dari Yahya bin Shaalih [Tarikh Ibnu Asakir 64/282]. Ibnu Asakir membawakan sanadnya sampai Abul Yamaan tentang ta’dilnya terhadap Yahya bin Shaalih, sebagian sanadnya adalah sebagai berikut

وأنبأنا أبو محمد بن الأكفاني نا عبد العزيز لفظا وقرأت على أبي الوفاء حفاظ بن الحسن عن عبد العزيز أنا ابن أبي نصر أنا خيثمة بن سليمان نا سليمان بن عبد الحميد البهراني قال سمعت أبا اليماني

Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad bin Al ‘Akfaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz. Dan aku membacakakan kepada Abu Wafaa’ Hifaazh bin Hasan dari ‘Abdul Aziiz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaitsamah bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid Al Bahraniy yang berkata aku mendengar Abul Yamaan… [Tarikh Ibnu Asakir 64/282]

Sanad ini jayyid sampai Abul Yaman. Abu Muhammad bin Al ‘Akfaniy dan Abul Wafaa’ keduanya adalah guru Ibnu Asakir. Berikut keterangan para perawi dalam sanad tersebut

  1. Abu Muhammad bin Al ‘Akfaaniy seorang syaikh imam, Ibnu Asakir mengatakan ia tsiqat tsabit [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 19/576-577 no 330]. Abul Wafaa’ Hifaazh bin Hasan seorang syaikh shalih [Al Muntakhab Min Mu’jam Syuyukh As Sam’aniy no 322]
  2. ‘Abdul ‘Aziiz bin Ahmad Al Kattaniy, imam hafizh shaduq muhaddis dimasyiq [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 18/248 no 122]
  3. Abu Muhammad bin Abi Nashr syaikh imam seorang yang tsiqat ma’mun [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 17/366-368 no 230]
  4. Khaitsamah bin Sulaiman imam tsiqat muhaddis syam [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 15/412 no 230]
  5. Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid Al Bahraniy seorang yang shaduq [Taqriib At Tahdziib 1/388]. Sedikit catatan tentang Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid Al Bahraniy. Abu Hatim telah memujinya dan menulis hadis darinya. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Himsh dan ia shaduq”. Nasa’iy berkata “pendusta, tidak tsiqat dan tidak ma’mun”. Masalamah bin Qaasim berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan mengatakan ia termasuk yang hafizh dalam hadis. [Tahdziib At Tahdziib juz 4 no 350]. Abu ‘Aliy Al Jayaaniy menyatakan ia tsiqat [Tasmiyah Syuyukh Abu Dawud hal 126 no 335]. Pendapat yang rajih ia seorang yang shaduq karena Abu Hatim dan anaknya Ibnu Abi Hatim termasuk muridnya dan keduanya lebih mengenal gurunya yaitu Sulaiman dibandingkan An Nasa’iy. Apalagi An Nasa’iy juga terkenal tasyadud dalam jarh [anehnya An Nasa’iy tidak memasukkan nama Sulaiman bin ‘Abdul Hamiid dalam kitabnya Adh Dhu’afa].

Abul Yamaan adalah seorang hafizh imam hujjah dan dia juga orang Himsh serta semasa dengan Yahya bin Shaalih [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/319 no 77]. Kenapa tidak dikatakan pula kalau Abul Yamaan lebih mengenal kedudukan Yahya bin Shaalih. Al Bukhariy dan Abu Hatim adalah murid dari Yahya bin Shaalih dan keduanya adalah ulama mu’tabar dalam jarh wat ta’dil maka ta’dil keduanya disini lebih mu’tamad dan tidak bisa dikalahkan hanya dengan jarh yang tidak jelas seperti “kadzaa wa kadzaa”.

.

.

Kemudian Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa menukil jarh yang ia katakan jarh syadiid terhadap Yahya bin Shaalih

قال أحمد بن صالح المصري حدثنا يحيى بن صالح بثلاثة عشر حديثا عن مالك ما وجدنا لها أصلا عند غيره

Ahmad bin Shaalih Al Mishriy berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Shaalih tiga puluh hadis dari Malik yang tidak kami temukan asalnya pada selain dia [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/455 no 150]

Syaikh Abdullah Ramadhan bin Muusa mengatakan bahwa Imam Maalik memiliki banyak murid hingga mencapai lebih dari seribu maka bagaimana bisa Yahya bin Shaalih meriwayatkan tiga puluh hadis [gharib] dari Maalik tanpa diikuti oleh yang lainnya.

Yahya bin Shaalih sudah terbukti tsiqat maka tidak ada maslah dengan riwayat gharib dari seorang yang tsiqat. Apa yang dikatakan Ahmad bin Shaalih tersebut lebih tepat dikatakan bahwa hal itu terbatas dengan apa yang ia ketahui saja. Tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja Ahmad bin Shalih tidak mengetahui kalau ternyata hadis Yahya bin Shaalih dari Malik tersebut memiliki mutaba’ah. Tentu untuk memastikan hal ini adalah dengan melihat tiga puluh hadis yang dimaksud tetapi disini tiga puluh hadis itu tidak disebutkan oleh Ahmad bin Shalih.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa membawakan contoh hadis Yahya bin Shalih dari Malik yang tidak memiliki mutaba’ah sebagaimana disebutkan Al Khaliliy.

يحيى بن صالح الوحاظي ثقة يروي عنه الائمة وروى حديثا عن مالك لا يتابع عليه حدثنا عبد الله بن محمد القاضي حدثنا الحسن بن محمد بن عثمان الفارسي بالبصرة حدثنا يعقوب بن سفيان الفسوي حدثنا يحيى بن صالح حدثنا مالك عن الزهري عن سالم عن ابيه ان النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر وعمر كانوا يمشون امام الجنازة وهذا منكر من حديث مالك

Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy tsiqat, telah meriwayatkan darinya para imam, ia meriwayatkan hadis dari Malik yang tidak memiliki mutaba’ah atasnya. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al Qaadhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin Muhammad bin ‘Utsman Al Faarisiy di Bashrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Sufyaan Al Fasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Maalik dari Zuhriy dari Saalim dari Ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar, Umar mereka pernah berjalan kaki di depan jenazah, hadis ini mungkar dari hadis Malik [Al Irsyad Al Khaliliy no 108]

Apa yang disebutkan Al Khaliliy justru menguatkan kemungkinan yang kami katakan bahwa bisa saja hadis Yahya bin Shaalih dari Malik tersebut memiliki mutaba’ah hanya saja ulama tersebut [dalam hal ini Al Khaliliy] tidak mengetahuinya. Yahya bin Shalih dalam hadis Malik yang disebutkan Al Khaliliy di atas memiliki mutaba’ah sebagaimana riwayat berikut

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَرَاثِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْخَرَّازُ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَمْشُونَ أَمَامَ الْجِنَازَةِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al Baraatsiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Aun Al Kharraaz yang berkata telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas dari Az Zuhriy dari Saalim dari Ayahnya yang berkata aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Abu Bakar dan Umar pernah berjalan kaki di depan jenazah [Mu’jam Fii ‘Asaamiy Syuyuukh Abu Bakr Al Isma’iiliy hal 314 no 3]

Ahmad bin Muhammad Al Baraatsiy adalah seorang yang tsiqat ma’mun [Su’alat Hamzah As Sahmiy hal 139 no 123]. ‘Abdullah bin ‘Aun Al Kharraaz seorang yang tsiqat ahli ibadah [Taqriib At Tahdziib 1/520].

.

.

Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengutip jarh dari Abu Ahmad Al Hakim yang berkata tentang “Yahya bin Shaalih” yaitu “tidak hafizh di sisi para ulama”. Kemudian syaikh mengatakan bahwa jarh tersebut menunjukkan bahwa para ulama tidak memasukkannya kedalam derajat hafizh maka riwayatnya ditolak jika bertentangan dengan perawi hafizh.

Jarh Abu Ahmad Al Hakim yaitu “tidak hafizh di sisi para ulama” perlu ditinjau kembali karena sebagaimana telah kami kutip pendapat para ulama mu’tabar maka tidak ada satupun yang membicarakan hafalan Yahya bin Shaalih. Bukhariy, Yahya bin Ma’in, Ibnu Adiy menyatakan tsiqat bahkan Abul Yaman menyatakan dengan lafaz yang lebih tinggi “aku tidak mengenal yang lebih tsiqat dari Yahya bin Shaalih”. Adz Dzahabiy berkata tentang Yahya bin Shaalih Al Wuhaazhiy

وممن وثقه ابن عدي وابن حبان ، وغمزه بعض الأئمة لبدعة فيه ، لا لعدم إتقان

Dan termasuk ditsiqatkan Ibnu Adiy dan Ibnu Hibbaan, sebagian imam mencelanya karena bid’ah yang ada padanya bukan karena tidak ada sifat itqan [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 10/455 no 150]

Makna dari perkataan Adz Dzahabiy adalah sebagian ulama mencela Yahya bin Shaalih karena bid’ah yang ada padanya bukan karena ia tidak bersifat itqan yaitu bermasalah hafalannya oleh karena itu Adz Dzahabiy tetap menyatakan Yahya bin Shaalih sebagai hafizh faqiih.

Perkara yang sama pernah terjadi pada perawi Bukhariy dan Muslim lainnya yaitu ‘Abdul Kariim bin Maalik Al Jazariy ia telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama mu’tabar. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsabit”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu ‘Ammaar, Al Ijliy, Abu Zur’ah, Abu Hatim menyatakan tsiqat. [Tahdziib At Tahdziib juz 6 no 717]

Kemudian Adz Dzahabiy memasukkannya dalam Al Mizaan. Adz Dzahabiy menukil Ibnu Hibban yang menyatakan ia shaduq tetapi sering meriwayatkan tafarrud dari perawi tsiqat sesuatu yang mungkar dan Adz Dzahabiy menukil Abu Ahmad Al Hakim yang berkata “tidak hafizh di sisi para ulama” [Mizaan Al I’tidaal 4/387 no 5174].

Tetapi Adz Dzahabiy tetap menyatakan ‘Abdul Kariim bin Malik seorang imam hafizh [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 6/80 no 19] dan tetap menyatakan tsiqat [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq hal 345 no 222]. Hal ini menunjukkan bahwa Adz Dzahabiy menolak jarh Abu Ahmad Al Hakim “tidak hafizh di sisi para ulama” karena memang tidak ditemukan ada ulama yang mempermasalahkan hafalannya.

.

.

.

Syubhat terakhir Syaikh ‘Abdullah Ramadhan bin Muusa mengatakan bahwa riwayat Yahya bin Shaalih di atas mungkar atau syaadz karena bertentangan dengan riwayat perawi tsiqat yaitu sebagaimana diriwayatkan Bukhariy dan Muslim mengenai asbabun nuzul Al Jumu’ah ayat 11 yaitu

حَدَّثَنَا طَلْقُ بْنُ غَنَّامٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ سَالِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَتْ مِنْ الشَّأْمِ عِيرٌ تَحْمِلُ طَعَامًا فَالْتَفَتُوا إِلَيْهَا حَتَّى مَا بَقِيَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فَنَزَلَتْ {وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا}

Telah menceritakan kepada kami Thalq bin Ghannaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaa’idah dari Hushain dari Saalim yang berkata telah menceritakan kepadaku Jabir [radiallahu ‘anhu] yang berkata ketika kami sedang shalat bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka datanglah kabilah dari Syam berkendaraan unta yang membawa barang makanan, maka mereka [para sahabat] menuju kepadanya hingga tidak ada yang tersisa bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kecuali dua belas orang maka turunlah ayat “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya” [Shahih Bukhariy 3/55 no 2058]

Riwayat Bukhariy di atas shahih dan para perawinya tsiqat begitu pula riwayat Ath Thabariy sebelumnya shahih dan para perawinya tsiqat. Syubhat bahwa riwayat Yahya bin Shaalih mungkar atau syadz adalah tidak benar. Yang meriwayatkan dari Jabir [radiallahu ‘anhu] dalam Shahih Bukhariy adalah Salim bin Abi Ja’d seorang yang tsiqat banyak melakukan irsal [Taqriib At Tahdziib 1/334]. Sedangkan yang meriwayatkan dari Jabir [radiallahu ‘anhu] dalam Tafsir Ath Thabariy adalah Muhammad bin ‘Aliy bin Husain [‘alaihis salaam] Al Baqiir seorang yang tsiqat fadhl termasuk thabaqat keempat [Taqriib At Tahdziib 2/114].

Kalau riwayat Bukhariy dan Ath Thabariy mau dipertentangkan maka letak perselisihan bukan pada Yahya bin Shaalih tetapi pada Muhammad Al Baqir [‘alaihis salaam] yang bertentangan dengan Salim bin Abil Ja’d. Muhammad bin Ali Al Baqir adalah ahlul bait yang tsiqat faqiih fadhl dan telah dikenal keluasan ilmunya maka tafarrud dari Beliau disini diterima.

Kedua riwayat tersebut shahih dan bisa dijamak bahwa perkara yang menjadi sebab asbabun nuzul Al Jumu’ah ayat 11 ada dua yaitu perniagaan [sebagaimana yang nampak dalam riwayat Bukhariy] kemudian lahwu [sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ath Thabariy]. Hal ini sesuai dengan zhahir lafaz Al Jumu’ah ayat 11 yang memang menyebutkan kedua lafaz tersebut [perniagaan atau lahwu]. Atau kedua riwayat shahih tersebut bisa dijamak bahwa Al Jumu’ah ayat 11 tersebut turun dua kali, pertama karena sebab perniagaan kedua karena sebab lahwu [permainan gendang dan seruling saat pernikahan]. Penjamakan ini bukan sesuatu yang mustahil dan bisa saja terjadi sebagaimana diisyaratkan Ibnu Hajar dalam Syarh Shahih Bukhariy tentang hadis Jabir tersebut [Fath Al Bariy 2/424].

.

.

.

Kesimpulan

Memainkan alat musik baik berupa duff dan alat musik lainnya seperti gendang dan seruling adalah perkara yang dianjurkan dalam pernikahan. Tidak ada nash larangan yang membatasi bahwa alat musik tersebut hanya terbatas pada duff saja.


Filed under: Agama

Takhrij Hadis Al Ma’aazif [Alat Musik] Dan Pembahasannya

$
0
0

Takhrij Hadis Haram Al Ma’aazif [Alat Musik] Dan Pembahasannya

Hadis Al Ma’aazif termasuk hadis pamungkas yang menjadi andalan salafy dalam mengharamkan musik. Berikut adalah pembahasan ilmiah hadis tersebut sesuai dengan kaidah yang dikenal dalam ilmu hadis.

.

.

Takhrij Hadis Al Ma’aazif

بَاب مَا جَاءَ فِيمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الْكِلَابِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمْ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Bab apa yang datang tentang orang yang menghalalkan khamar dan menamakan bukan dengan namanya. Hisyaam bin ‘Ammaar berkata telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Athiyah bin Qais Al Kilaabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ghanm Al Asy’ariy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Maalik Al Asy’ariy, demi Allah dia tidak mendustaiku, bahwa ia mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutra, khamar dan Al Ma’aazif. Dan sungguh kaum itu akan tinggal tempat yang terletak di sekitar gunung tinggi kemudian mereka didatangi oleh orang faqiir untuk suatu keperluan, maka mereka berkata “kembalilah kepada kami besok”. Pada malam harinya Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan menjadikan sebagian yang lain kera dan babi hingga hari kiamat [Shahih Bukhariy 7/106].

Hadis di atas diriwayatkan oleh Bukhariy secara mu’allaq dalam kitab Shahih-nya. Tetapi telah diriwayatkan oleh yang lain secara muttashil dari Hisyam bin ‘Ammaar, yaitu

  1. Husain bin ‘Abdullah Al Qaththaan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no 6754 dan disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/17-18 no 5590
  2. Hasan bin Sufyaan sebagaimana diriwayatkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20777 dan disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/18 no 5590
  3. Husain bin Idriis sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/17 no 5590
  4. Ja’far bin Muhammad Al Firyaabiy sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/18 no 5590
  5. Muusa bin Sahl Al Bashriy sebagaimana diriwayatkan Ath Thabraniy dalam Mu’jam Al Kabiir 3/319 no 3417, Ad Da’laj dalam Al Muntaqa Min Musnad Al Muqiliin hal 34 no 8, Al Mizziy dalam Tahdzib Al Kamal 20/156 no 3961 dan disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/18 no 5590
  6. ‘Abdaan Al Ahwaaziy sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/18 no 5590
  7. Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al Baghandiy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 67/189 dan disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/18 no 5590
  8. Muhammad bin Marwan sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/19 no 5590
  9. Muhammad bin Yaziid bin ‘Abdush Shamad Ad Dimasyiq sebagaimana diriwayatkan Ath Thabraniy dalam Musnad Asy Syaamiyyiin 1/334 no 588 dan disebutkan Ibnu Hajar dalam Taghliiq At Ta’liiq 5/19 no 5590
  10. Muhammad bin Ismaiil bin Mihraan Al Ismailiy sebagaimana diriwayatkan Ad Da’laj dalam Al Muntaqa Min Musnad Al Muqiliin hal 34 no 8

Sedikit catatan mengenai matan riwayat Hisyaam bin ‘Ammaar di atas. Lafaz Al Hira [kemaluan] hanya disebutkan dalam riwayat mu’allaq Al Bukhariy. Ibnu Hajar ketika menjabarkan jalan sanad muttashil Hisyam bin ‘Ammaar, ia tidak menyebutkan matan masing-masing jalan sanad Hisyam bin ‘Ammaar yang ia sebutkan sedangkan dalam riwayat Ath Thabraniy, Ibnu Hibbaan, Al Baihaqiy, Ibnu Asakir dan Ad Da’laj tidak disebutkan lafaz al hira.

Kemudian semua riwayat di atas menyebutkan dengan lafaz yang mengandung syak nama sahabat yang dimaksud yaitu “telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Maalik Al Asy’ariy” kecuali Ibnu Hibban dalam Shahih-nya [riwayat Husain bin ‘Abdullah] yang menyebutkan lafaz “telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir dan Abu Maalik keduanya Al-Asy’ary bahwa mereka berdua telah mendengar Rasulullah [shallallaahu ‘alaihi wasallam]”. Dan lafaz Ibnu Hibban ini syadz karena menyelisihi semua perawi lain yang menyebutkan dengan lafaz syak [ragu] bukan dengan lafaz jamak [penggabungan].

Shadaqah bin Khalid dalam periwayatan dari ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jaabir memiliki mutaba’ah dari Bisyr bin Bakr sebagaimana diriwayatkan Al Baihaqiy berikut

أخبرنا أبو عمرو محمد بن عبد الله الأديب أنبأ أبو بكر الإسماعيلي أخبرني الحسن يعني بن سفيان ثنا هشام بن عمار ثنا صدقة يعني بن خالد ثنا بن جابر عن عطية بن قيس عن عبد الرحمن بن غنم حدثني أبو عامر أو أبو مالك الأشعري والله يمينا أخرى ما كذبني أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال وأخبرني الحسن أيضا ثنا عبد الرحمن بن إبراهيم ثنا بشر يعني بن بكر ثنا بن جابر عن عطية بن قيس قال قام ربيعة الجرشي في الناس فذكر حديثا فيه طول قال فإذا عبد الرحمن بن غنم الأشعري قلت يمين حلفت عليها قال حدثني أبو عامر أو أبو مالك والله يمين أخرى حدثني أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ليكونن في أمتي أقوام يستحلون قال في حديث هشام الخمر والحرير وفي حديث دحيم الخز والحرير والخمر والمعازف ولينزلن أقوام إلى جنب علم تروح عليهم سارحة لهم فيأتيهم طالب حاجة فيقولون ارجع إلينا غدا فيبيتهم فيضع عليهم العلم ويمسخ آخرين قردة وخنازير إلى يوم القيامة

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abu ‘Amru Muhammad bin ‘Abdullah Al Adiib yang berkata telah memberitakan kepada kami Abu Bakr Al Isma’iiliy yang berkata telah mengabarkan kepadaku Hasan yaitu bin Sufyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Shadaqah yaitu bin Khaalid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir dari ‘Athiyah bin Qais dari ‘Abdurrahman bin Ghanm yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Maalik Al Asy’ariy, demi Allah dia tidak mendustaiku bahwa ia mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dan telah mengabarkan kepadaku Hasan yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ibrahiim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Bisyr yaitu bin Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir dari ‘Athiyah bin Qais yang berkata Rabi’ah Al Jurasyiy berdiri di hadapan orang-orang, ia menyebutkan hadis yang panjang, [perawi] berkata maka ketika menyebutkan ‘Abdurrahman bin Ghanm Al Asy’ariy, aku [‘Athiyah] berkata aku bersumpah atasnya, bahwa ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Maalik, demi Allah aku bersumpah ia telah menceritakan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “akan ada diantara umatku, kaum yang menghalalkan [dalam hadis Hisyaam] khamar dan sutra, [dalam hadis Duhaim] al khazz, sutra, khamr dan al ma’aazif Dan sungguh kaum itu akan tinggal di tempat yang terletak di sekitar gunung tinggi kemudian mereka didatangi oleh pengembara untuk suatu keperluan, maka mereka berkata “kembalilah kepada kami besok”. Pada malam harinya Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan menjadikan sebagian yang lain kera dan babi hingga hari kiamat [Sunan Al Baihaqiy 3/272 no 5895]

Riwayat Al Baihaqiy di atas sanadnya jayyid, para perawinya tsiqat dan shaduq hanya saja ‘Athiyah bin Qais ternukil sedikit kelemahan pada dhabit-nya

  1. Abu ‘Amru Muhammad bin ‘Abdullah Al ‘Adiib seorang ulama syafi’iy yang tsiqat muhaddis fadhl [Muntakhab Min Siyaaq Tarikh An Naisaburiy no 62]
  2. Abu Bakr Al Ismaa’iiliy seorang imam hafizh hujjah faqiih syaikh al islaam [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 16/292 no 208]
  3. Hasan bin Sufyaan An Nasawiy seorang imam hafizh tsabit [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 14/157 no 92]
  4. Hisyam bin ‘Ammaar seorang yang shaduq muqri’ ketika tua menerima talqin maka hadisnya shahih terdahulu lebih shahih daripada saat ia tua, termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 2/268]
  5. Shadaqah bin Khaalid Abul ‘Abbaas Ad Dimasyiq seorang yang tsiqat, termasuk thabaqat kedelapan [Taqriib At Tahdziib 1/435]
  6. ‘Abdurrahman bin Ibrahiim atau Duhaim seorang yang hafizh tsiqat mutqin termasuk thabaqat kesepuluh [Taqriib At Tahdziib 1/559]
  7. Bisyr bin Bakr seorang yang tsiqat dan memiliki riwayat gharib, termasuk thabaqat kesembilan [Taqriib At Tahdziib 1/126]
  8. ‘Abdurrahman bin Yaziid bin Jabir Al Azdiy seorang yang tsiqat termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdziib 1/595]
  9. ‘Athiyah bin Qais berdasarkan pendapat yang rajih dia seorang yang shaduq tetapi terdapat sedikit kelemahan pada dhabit-nya [akan dijelaskan lebih detail dalam penjelasan di bawah]
  10. ‘Abdurrahman bin Ghanm dipersilisihkan kalau ia sahabat, Al Ijliy memasukkannya dalam tabiin tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/586]

Ibnu Hajar menyebutkan jalan sanad Abdurrahman bin Ibrahiim [Duhaim] di atas hanya saja pada matannya menyebutkan lafaz “al hira” bukan “al khazz” sebagaimana matan riwayat Baihaqiy di atas. [Taghliiq At Ta’liiq 5/19 no 5590]

‘Abdurrahman bin Ibrahiim [Duhaim] dalam periwayatan dari Bisyr bin Bakr memiliki mutaba’ah dari

  1. ‘Abdul Wahb bin Najdah sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/443 no 4039 hanya saja matannya tidak menyebutkan lafaz al ma’azzif
  2. Iisa bin Ahmad Al Asqallaniy sebagaimana diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 67/189 dengan matan yang lebih panjang dan menyebutkan lafaz al khazz, sutra, khamar dan al ma’aazif.

‘Athiyah bin Qais dalam periwayatannya dari ‘Abdurrahman bin Ghanm memiliki mutaba’ah dari Malik bin Abi Maryam, sebagaimana nampak dalam riwayat berikut

أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى بْنِ مُجَاشِعٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ  قَالَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ قَالَ أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ ، قَالَ حَدَّثَنِي حَاتِمُ بْنُ حُرَيْثٍ  عَنْ مَالِكِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ  قَالَ تَذَاكَرْنَا الطِّلاءَ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ فَتَذَاكَرْنَا فَقَالَ حَدَّثَنِي أَبُو مَالِكٍ الأَشْعَرِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ  يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ  يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا  يُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْقَيْنَاتِ  يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ  وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Imraan bin Muusa bin Mujaasyi’ yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab yang berkata telah mengabarkan kepadaku Mu’awiyah bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Hatim bin Huraits dari Maalik bin Abi Maryam yang berkata kami bercerita tentang ath thila’ [sejenis khamr] maka ‘Abdurrahman bin Ghanm masuk menemui kami dan kami pun bercerita. Maka ia berkata telah menceritakan kepadaku Abu Maalik Al Asy’ariy bahwa ia mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamar dan menamakannya bukan dengan namanya, dimainkan untuk mereka al ma’aazif [alat musik] dan al qainat [penyanyi wanita] kemudian Allah menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan sebagian dari mereka kera dan babi [Shahih Ibnu Hibbaan no 6758]

Riwayat di atas para perawinya tsiqat kecuali Maalik bin Abi Maryam ia seorang yang shaduq berdasarkan qarinah [petunjuk] yang kuat

  1. ‘Imraan bin Muusa bin Mujaasyi’ seorang hafizh yang tsiqat tsabit [Thabaqat Al Huffazh As Suyuthiy no 734]
  2. Utsman bin Abi Syaibah seorang tsiqat hafizh memiliki beberapa kekeliruan [Taqriib At Tahdziib 1/664]
  3. Zaid bin Hubaab seorang imam hafizh tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 9/393 no 126]
  4. Mu’awiyah bin Shaalih Al Himshiy seorang yang shaduq memiliki beberapa kekeliruan [Taqriib At Tahdziib 2/196]. Kemudian dikoreksi dalam Thariir Taqriib At Tahdziib bahwa Mu’awiyah bin Shaalih seorang yang tsiqat [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 6762]
  5. Hatim bin Huraits Ath Tha’iy, Ibnu Ma’in tidak mengenalnya tetapi Ad Darimiy menyatakan ia tsiqat [Tarikh Ad Darimiy no 287]
  6. Maalik bin Abi Maryam seorang yang shaduq berdasarkan qarinah [petunjuk] yang kuat pembahasannya secara detail akan ditampilkan dibawah.
  7. Abdurrahman bin Ghanm dipersilisihkan kalau ia sahabat, Al Ijliy memasukkannya dalam tabiin tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/586]

Riwayat Zaid bin Hubaab dari Mu’awiyah bin Shaalih di atas juga disebutkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya 5/342 no 22951, Ibnu Arabiy dalam Mu’jam-nya no 1646, Al Mahamiliy dalam Amaliy Al Mahaamiliy riwayat Ibnu Yahya Al Bayyi’ no 61, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 56/495 semuanya dengan matan yang menyebutkan bahwa Malik bin Abi Maryam saat itu duduk bersama dengan Rabi’ah Al Jurasyiy, kemudian disebutkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 8/81 no 24212 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/354 no 3688 [dengan matan yang lebih ringkas].

Zaid bin Hubaab dalam periwayatan dari Mu’awiyah bin Shaalih memiliki mutaba’ah yaitu

  1. Abdullah bin Shalih, Abu Shalih sebagaimana disebutkan oleh Al Bukhariy dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 967 dan Tarikh Al Kabir juz 7 no 956, Ath Thabraniy dalam Musnad Asy Syaamiyyin no 2061 dan Mu’jam Al Kabir 3/283 no 3419, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20778, Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 56/494-495.
  2. ‘Abdullah bin Wahb sebagaimana disebutkan Al Muwatta Ibnu Wahb hal 37 no 46, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 8/295 no 17160, Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 56/496 dan Tarikh-nya 67/190
  3. Ma’n bin Iisa sebagaimana disebutkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya 5/151 no 4020, Hamzah As Sahmiy dalam Tarikh Jurjaan hal 76, Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 56/496.

Secara keseluruhan hadis yang menyebutkan Al Ma’aazif ini diriwayatkan oleh para perawi yang dikenal tsiqat kecuali perawi yang meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm yaitu ‘Athiyah bin Qais Al Kilaabiy dan Malik bin Abi Maryam. Berikut akan dibahas secara rinci kedudukan keduanya.

.

.

.

Kedudukan ‘Athiyah bin Qais dan Malik bin Abi Maryam

‘Athiyah bin Qais disebutkan Al Mizziy bahwa ia adalah perawi Bukhariy dalam At Ta’liq [Shahih Bukhariy] dan perawi Muslim dalam kitab Shahih-nya. Disebutkan dalam Al Jarh Wat Ta’dil yaitu

نا عبد الرحمن قال سئل ابى عن عطية بن قيس فقال صالح الحديث

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata Ayahku ditanya tentang ‘Athiyah bin Qais, maka ia berkata “shalih al hadiits” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/383-384 no 2131]

Lafaz “shalih al hadiits” di sisi Abu Hatim termasuk lafaz ta’dil tetapi perawi dengan predikat tersebut terdapat kelemahan pada dhabit-nya sehingga hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ibnu Abi Hatim berkata dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil

وإذا قيل صالح الحديث فانه يكتب حديثه للاعتبار

Dan jika perawi dikatakan shalih al hadiits maka ia seorang yang ditulis hadisnya sebagai i’tibar [Al Jarh Wat Ta’dil 2/37]

Dan itu sesuai dengan apa yang dikatakan Abu Hatim terhadap perawi yang hanya mendapat predikat “shalih al hadiits” [tanpa tambahan lafaz ta’dil lain]

نا عبد الرحمن قال سألت ابى عن عبد الواحد النصرى فقال كان واليا على المدينة صالح الحديث، قلت يحتج به ؟ قال لا

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku bertanya kepada ayahku [Abu Hatim] tentang ‘Abdul Waahid An Nashriy, maka ia berkata “ia pemimpin Madinah shalih al hadiits”. Aku berkata “apakah ia bisa dijadikan hujjah?”. Ayahku menjawab “tidak” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/22 no 115]

عمر بن روبة التغلبي روى عن عبد الواحد بن عبد الله النصرى وابى كبشة روى عنه أبو سلمة سليمان بن سليم واسمعيل بن عياش ومحمد بن حرب نا عبد الرحمن قال سمعت ابى يقول ذلك وسألته عنه فقال صالح الحديث فقلت تقوم به الحجة ؟ فقال لا ولكن صالح

‘Umar bin Ru’bah At Taghlibiy meriwayatkan dari ‘Abdul Waahid bin ‘Abdullah An Nashriy dan Abi Kabsyah, telah meriwayatkan darinya Abu Salamah Sulaiman bin Sulaim, Isma’iil bin ‘Ayaasy, dan Muhammad bin Harb. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku mendengar ayahku mengatakan demikian dan aku bertanya tentangnya kepadanya, maka ia menjawab “shaliih al hadiits”. Aku berkata “dapatkah berhujjah dengannya?”. Ia menjawab “tidak, tetapi ia shalih” [Al Jarh Wat Ta’dil 6/108 no 570] 

Dan memang dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil terdapat cukup sering perawi yang disifatkan dengan shalih al hadiits kemudian diiringi dengan lafaz ta’dil lain seperti “tsiqat” atau “shaduq” atau “dapat dijadikan hujjah” maka makna “shaliih al hadiits’ tersebut terangkat dengan adanya lafaz tambahan yang membuatnya bisa dijadikan hujjah. Atau jika perawi tertentu dikatakan “shalih al hadiits” kemudian di saat lain dikatakan Abu Hatim “tsiqat” maka lafaz “shalih al hadiits” tersebut terangkat kedudukannya menjadi perawi yang bisa dijadikan hujjah.

Adapun jika lafaz “shalih al hadiits” itu tidak diiringi lafaz ta’dil lain dan tidak ada qarinah lain dari Abu Hatim yang menyatakan perawi itu tsiqat atau shaduq maka kedudukannya diambil makna seperti yang dikatakan Abu Hatim [dalam dua contoh di atas] dan ditegaskan oleh Ibnu Abi Hatim yaitu predikat ta’dil tetapi tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud [bisa dijadikan i’tibar].

‘Athiyah bin Qais hanya disifatkan Abu Hatim dengan lafaz “shalih al hadiits” tanpa ada tambahan lafaz ta’dil lain maka di sisi Abu Hatim kedudukannya bisa dijadikan i’tibar tetapi tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud

Al Bazzar berkata tentang ‘Athiyah bin Qais yaitu laba’sa bihi [tidak ada masalah dengannya] [Kasyf Al Asytaar 1/106 no 189]. Lafaz ini termasuk lafaz ta’dil bahkan untuk kalangan ulama tertentu seperti Ibnu Ma’in dan Duhaim lafaz ini bermakna “tsiqat” tetapi di sisi Al Bazzaar lafaz ini tidak mengindikasikan kekuatan dhabit [hafalannya], sehingga terdapat perawi yang disifatkan Al Bazzaar dengan “tidak hafizh” tetap dinyatakan juga “tidak ada masalah dengannya”.

Al Bazzaar pernah meriwayatkan hadis dari Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dimana di dalam sanadnya terdapat ‘Atha’ bin Muslim, kemudian ia berkata

قَالَ الْبَزَّارُ  لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ إِلا بِهَذَا الإِسْنَادِ وَلا نَعْلَمُ رَوَى أَبُو إِسْحَاقَ عَنْ أَوْسٍ شَيْئًا وَهِمَ فِيهِ عَطَاءٌ لَمْ يَكُنْ بِالْحَافِظِ وَلَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

Al Bazzaar berkata “kami tidak mengetahui diriwayatkan dari Aliy kecuali sanad ini, dan kami tidak mengetahui diriwayatkan Abu Ishaaq dari Aus sedikitpun, ini kesalahan dari ‘Atha’ ia bukan seorang hafizh dan tidak ada masalah dengannya” [Kasyf Al Asytaar 3/251 no 2684]

Syaikh Abu Ishaaq Al Huwainiy pernah membicarakan mengenai lafaz ta’dil “laisa bihi ba’sa” di sisi Al Bazzaar, Syaikh mengatakan Al Bazzaar dikenal tasahul dan perkataannya laisa bihi ba’sa bermakna beramal dengannya sebagai syawahid dan mutaba’ah [An Naafilah Fii Al ‘Ahaadiits Adh Dha’iifah Wal Baathilah no 113]

Ibnu Hibbaan memasukkan ‘Athiyah bin Qais dalam kitabnya Ats Tsiqat tanpa menyebutkan lafaz ta’dil

عَطِيَّة بْن قَيْس الْكلابِي من أهل الشَّام كُنْيَتُهُ أَبُو يحيى مولى لأَبِي بكر بْن كلاب يَرْوِي عَن مُعَاوِيَة رَوَى عَنْهُ الشاميون وابْنه سعد بْن عَطِيَّة مَاتَ سنة إِحْدَى وَعشْرين وَمِائَة وَهُوَ بن أَربع وَمِائَة سنة وَكَانَ مولده سنة سبع عشرَة وَمَات قبل مَكْحُول

‘Athiyah bin Qais Al Kilaabiy termasuk penduduk Syam, kuniyah-nya Abu Yahya maula Abi Bakr bin Kilaab, meriwayatkan dari Mu’awiyah dan telah meriwayatkan darinya penduduk Syam dan anaknya Sa’d bin ‘Athiyah, ia wafat tahun 121 H dan ia berumur 104 tahun, ia lahir tahun 17 H dan wafat sebelum Makhuul [Ats Tsiqaat Ibnu Hibbaan 5/260 no 4740].

Tentu jika memakai metodologi salafiy terhadap tautsiq Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban memasukkan ‘Athiyah bin Qais ke dalam Ats Tsiqat tidak memiliki nilai hujjah karena Ibnu Hibbaan tidak menegaskan lafal ta’dilnya dan Ibnu Hibbaan dikenal tasahul dalam mentautsiq para perawi majhul.

Di sisi kami, penyebutan Ibnu Hibbaan dalam kitabnya Ats Tsiqat memiliki qarinah yang menguatkan ta’dil-nya yaitu Ibnu Hibban memasukkan ‘Athiyah bin Qais dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibban. Dimana dalam muqaddimah kitab Shahih Ibnu Hibbaan disebutkan bahwa salah satu syarat perawi dalam kitabnya adalah “shaduq dalam hadis”.

Selain Abu Hatim, Al Bazzaar dan Ibnu Hibbaan tidak ditemukan ada ulama mutaqaddimin yang menta’dilkan ‘Athiyah bin Qais Al Kilaabiy sehingga dengan mengumpulkan pendapat ketiga ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘Athiyah bin Qais seorang yang shaduq tetapi terdapat sedikit kelemahan dalam dhabit-nya sehingga ia tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud atau jika menyelisihi perawi lain.

Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdziib At Tahdziib menyebutkan lafaz ta’dil Abu Hatim dan Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdziib At Tahdziib juz 7 no 419] dan dalam At Taqriib, Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [Taqriib At Tahdziib 1/678]. Dalam Tahrir Taqrib At Tahdziib dikoreksi bahwa ia seorang yang shaduq hasanul hadis tidak ada seorang imam pun yang menyatakan tsiqat tetapi telah meriwayatkan darinya jama’ah, Ibnu Hibbaan memasukkan dalam Ats Tsiqaat dan Abu Hatim berkata “shaalih al hadiits” [Tahrir Taqriib At Tahdziib no 4622]

Memang benar perkataan Ibnu Hajar bahwa ia tsiqat tidak memiliki asal penukilan dari kalangan ulama mutaqaddimin, hal itu berasal dari ijtihad Ibnu Hajar sendiri. Pendapat yang lebih rajih adalah ‘Athiyah bin Qais seorang yang shaduq, jika hadisnya tidak ada illat [cacat] tafarrud atau tidak ada penyelisihan maka riwayatnya hasan tetapi jika mengandung illat [cacat] tafarrud atau ada penyelisihan maka riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.

Bukankah Bukhariy memasukkan ‘Athiyah bin Qais dalam Shahih Bukhariy dan Muslim juga memasukkannya dalam kitab Shahihnya?. Memang benar tetapi Bukhariy memasukkan hadisnya secara ta’liq dalam Shahih Bukhariy. Dan sudah dikenal dalam ilmu hadis bahwa hadis mu’allaq dalam Shahih Bukhariy bukan termasuk dalam golongan hadis yang dinyatakan Bukhariy sebagai shahih dalam kitabnya Shahih Bukhariy. Intinya hadis mu’allaq tidaklah sesuai dengan syarat Bukhariy

وَقَالَ طَاوُسٌ قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ الْيَمَنِ ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ

Thawus berkata Mu’adz [radiallahu ‘anhu] berkata kepada penduduk Yaman “berikan kepadaku barang-barang berupa pakaian khamiis atau pakaian lainnya sebagai zakat menggantikan gandum dan jagung, hal itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Madinah [Shahih Bukhariy 2/116]

Atsar di atas disebutkan oleh Bukhariy dalam kitab Shahih-nya secara ta’liq dan atsar tersebut sanadnya dhaif karena Thawus sedikitpun tidak mendengar dari Mu’adz sebagaimana yang dikatakan oleh Aliy bin Madini [Jami’ At Tahshil Fii Ahkam Al Marasil no 307]. Ibnu Hajar berkata

قوله : ( وقال طاوس : قال معاذ لأهل اليمن ) هذا التعليق صحيح الإسناد إلى طاوس ، لكن طاوسا لم يسمع من معاذ فهو منقطع ، فلا يغتر بقول من قال : ذكره البخاري بالتعليق الجازم فهو صحيح عنده ، لأن ذلك لا يفيد إلا الصحة إلى من علق عنه ، وأما باقي الإسناد فلا

Perkataanya [dan Thawus berkata Mu’adz berkata kepada penduduk Yaman] ta’liq ini shahih sanadnya hingga Thawus, tetapi Thawus tidak mendengar dari Mu’adz maka ia munqathi’. Maka janganlah tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan “jika Bukhariy menyebutkan ta’liq dengan sighat jazm maka ia shahih di sisinya, karena hal itu sebenarnya hanya menunjukkan shahih hingga perawi yang dita’liq adapun sisa sanadnya tidak [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 3/366]

Padahal Bukhariy mensyaratkan hadis shahih jika antara kedua perawi berada dalam satu masa dan sudah dipastikan bertemu, hal ini tidak terjadi antara Thawus dan Mu’adz maka sanad Thawus dari Mu’adz tidak memenuhi syarat Bukhariy. Hal ini membuktikan bahwa hadis ta’liq dalam Shahih Bukhariy tidak memenuhi syarat shahih Bukhariy.

Contoh lain terdapat hadis ta’liq dalam Shahih Bukhariy yang di dalam sanadnya terdapat perawi dhaif

وَقَالَ حَمَّادُ بْنُ الْجَعْدِ سَمِعَ قَتَادَةَ حَدَّثَنِي أَبُو أَيُّوبَ أَنَّ جُوَيْرِيَةَ حَدَّثَتْهُ فَأَمَرَهَا فَأَفْطَرَتْ

Dan berkata Hammaad bin Ja’d yang berkata aku mendengar Qatadah yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Ayuub bahwa Juwairiyah telah menceritakan kepadanya Beliau memerintahkannya, maka ia berbuka [Shahih Bukhariy 3/42]

Hammaad bin Ja’d termasuk perawi yang lemah di sisi Al Bukhariy, At Tirmidzi pernah menanyakan suatu hadis kepada Al Bukhariy dan beliau menjawab

فقال لم أر أحدا رواه عن قتادة غير حماد بن الجعد وعبد الرحمن بن مهدي كان يتكلم في حماد بن الجعد

Maka [Bukhariy] berkata “aku tidak melihat seorangpun yang meriwayatkan dari Qatadah kecuali Hammaad bin Ja’d, dan ‘Abdurrahman bin Mahdiy telah membicarakan Hammaad bin Ja’d [Tartib Ilal Tirmidzi 1/27 no 10]

Contoh-contoh di atas hanya ingin menunjukkan bahwa perawi Bukhariy dalam At Ta’liq Shahih Bukhariy bukanlah perawi yang memenuhi syarat Bukhariy sehingga tidak bisa dikatakan bahwa Al Bukhariy telah berhujjah dengan ‘Athiyah bin Qais dalam kitab Shahih-nya. Yang benar adalah Bukhariy hanya menjadikan hadis ‘Athiyah bin Qais sebagai syahiid. Al Mizziy dalam biografi ‘Athiyah bin Qais mengatakan

استشهد له البخاري بحديث واحد

Bukhariy mengeluarkan satu hadis darinya sebagai syahid [Tahdzib Al Kamal 20/156 no 3961]

Hadis yang dimaksud Al Mizziy tidak lain adalah hadis al ma’azif di atas dan kenyataaannya memang hadis tersebut sebagai penguat dari hadis Malik bin Abi Maryam [yang juga dikeluarkan Al Bukhariy dalam kitabnya Tarikh Al Kabir]

Muslim juga mengeluarkan hadis ‘Athiyah bin Qais dalam kitab Shahih-nya yaitu sebanyak dua hadis dan hadis ‘Athiyah bin Qais tersebut tidak dijadikan sebagai hujjah tetapi sebagai syawahid dan mutaba’ah.

  1. Dalam Shahih Muslim 1/335 no 454 ‘Athiyah bin Qais meriwayatkan hadis Abu Sa’id Al Khudriy dan ia memiliki mutaba’ah dari Rabi’ah bin Yaziid
  2. Dalam Shahih Muslim 1/347 no 477 ‘Athiyah bin Qais meriwayatkan hadis Abu Sa’id Al Khudriy dan sebagai syawahid dari hadis Ibnu ‘Abbas yaitu dalam Shahih Muslim 1/347 no 478.

Kesimpulannya adalah walaupun Imam Bukhariy dan Imam Muslim mengeluarkan hadis ‘Athiyah bin Qais dalam kitab Shahih [Bukhariy secara ta’liq] tetap tidak akan mengangkat derajat ‘Athiyah bin Qais sebagai hujjah karena hadis-hadisnya justru dijadikan sebagai syawahid dan mutaba’ah bukan sebagai hujjah. ‘Athiyah bin Qais tetaplah seorang yang shaduq dan memiliki sedikit kelemahan pada dhabit-nya sehingga hadisnya jika mengandung illat [cacat] tafarrud tidak bisa dijadikan hujjah.

Malik bin Abi Maryam tidak ditemukan keterangan tentangnya kecuali Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat

مَالك بن أبي مَرْيَم الْحكمِي يروي الْمَرَاسِيل ويروي عَن عبد الرَّحْمَن بن غنم عداده فِي أهل الشَّام روى عَنهُ حَاتِم بن حُرَيْث الطَّائِي

Maalik bin Abi Maryam Al Hakamiy meriwayatkan hadis-hadis mursal dan meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm, digolongkan dalam penduduk Syam, telah meriwayatkan darinya Haatim bin Huraits Ath Tha’iy [Ats Tsiqaat Ibnu Hibbaan 5/386 no 5323]

Penyebutan Ibnu Hibbaan dalam kitabnya Ats Tsiqat memiliki qarinah yang menguatkan ta’dil-nya yaitu Ibnu Hibban memasukkan Maalik bin Abi Maryam dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibban. Dimana dalam muqaddimah kitab Shahih Ibnu Hibbaan disebutkan bahwa salah satu syarat perawi dalam kitabnya adalah “shaduq dalam hadis”.

Al Bukhariy telah berhujjah dengan hadis Maalik bin Abi Maryam Al Hakamiy dalam merajihkan sahabat yang meriwayatkan hadis di atas, dimana ia memastikan kalau sahabat itu adalah Abu Maalik Al Asy’ariy

إبراهيم بن عبد الحميد بن ذي حماية عمن أخبره عن أبي مالك الأشعري أو أبي عامر سمعت النبي صلى الله عليه وسلم في الخمر والمعازف قاله لي سليمان بن عبد الرحمن قال حدثنا الجراح بن مليح الحمصي قال ثنا إبراهيم قال أبو عبد الله وإنما يعرف هذا عن أبي مالك الأشعري حديثه في الشاميين حدثنا عبد لله بن صالح قال حدثني معاوية بن صالح عن حاتم بن حريث عن مالك بن أبي مريم عن عبد الرحمن بن غنم أنه سمع أبا مالك الأشعري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ليشربن أناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها يضرب على رؤوسهم بالمعازف والقينات يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير

Ibrahiim bin ‘Abdul Hamiid bin Dzii Himayaah dari orang yang mengabarkan kepadanya daro Abu Maalik Al Asy’ariy atau Abu ‘Aamir yang berkata aku mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang khamar dan al ma’aazif. Telah mengatakannya kepadaku Sulaiman bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Jarrah bin Maliih Al Himshiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim. Abu ‘Abdullah [Al Bukhariy] berkata “sesungguhnya hadis ini dikenal dari Abu Malik Al Asy’ariy hadis-hadisnya dari penduduk Syam”. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Shaalih yang berkata telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Shalih dari Hatim bin Huraits dari Maalik bin Abi Maryam dari ‘Abdurrahman bin Ghanm bahwa ia mendengar Abu Maalik Al Asy’ariy dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamar dan menamakannya bukan dengan namanya, dimainkan untuk mereka al ma’aazif [alat musik] dan al qainat [penyanyi wanita] kemudian Allah menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan sebagian dari mereka kera dan babi [Tarikh Al Kabiir Al Bukhariy juz 1 no 967]

Bukhariy meriwayatkan hadis Ibrahim bin ‘Abdul Hamiid yang mengandung lafaz syak nama sahabat yaitu Abu Maalik Al Asy’ariy atau Abu ‘Aamir Al Asy’ariy [dan hadis ‘Athiyah bin Qais juga mengandung lafaz syak]. Kemudian Al Bukhariy merajihkan nama Abu Maalik Al Asy’ariy berdasarkan riwayat Maalik bin Abi Maryam. Hal ini menunjukkan bahwa Bukhariy telah berhujjah dengan hadis Maalik bin Abi Maryam. Kemudian kalau kita melihat judul bab Bukhariy ketika ia menukil hadis ‘Athiyah bin Qais

بَاب مَا جَاءَ فِيمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ

Bab apa yang datang tentang orang yang menghalalkan khamr dan menamakan bukan dengan namanya

Nampak bahwa yang menjadi hujjah dalam judul bab ini adalah riwayat Maalik bin Abi Maryam yang memuat lafaz kaum yang meminum khamar dan menamakan bukan dengan namanya. Lafaz ini tidak ada dalam riwayat ‘Athiyah bin Qais yang dinukil Bukhariy. Maka kuat petunjuknya bahwa riwayat Malik bin Abi Maryam dijadikan hujjah di sisi Bukhariy dan riwayat ‘Athiyah bin Qais dijadikan sebagai penguat riwayat Maalik bin Abi Maryam.

Ibnu Hajar menyatakan tentang Maalik bin Abi Maryam “maqbul” [Taqriib At Tahdziib 2/155]. Adz Dzahabiy berkata “tidak dikenal” [Mizan Al I’tidal juz 6 no 7035]. Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ighaasatul Lahfaan menukil hadis Maalik bin Abi Maryam di atas yang diriwayatkan Ibnu Majah kemudian ia berkata “sanad hadis ini shahih” [Ighaasatul Lahfaan Ibnu Qayyim 1/459]. Maka ini menunjukkan bahwa di sisi Ibnu Qayyim, Maalik bin Abi Maryam itu seorang yang tsiqat.

Jika kita bandingkan antara ‘Athiyah bin Qais dan Maalik bin Abi Maryam maka akan didapatkan sebagai berikut

  1. ‘Athiyah bin Qais dan Maalik bin Abi Maryam sama-sama dimasukkan Ibnu Hibbaan dalam Ats Tsiqat dan dimasukkan hadisnya dalam kitabnya Shahih Ibnu Hibbaan.
  2. Ternukil ulama muta’akhirin yang menyatakan tsiqat kepada keduanya yaitu Ibnu Hajar menyatakan tsiqat pada ‘Athiyah bin Qais dan Ibnu Qayyim yang menyatakan tsiqat pada Maalik bin Abi Maryam
  3. ‘Athiyah bin Qais dikatakan Abu Hatim “shalih al hadiits” dan Al Bazzaar berkata “tidak ada masalah dengannya”. Hal ini menyiratkan sedikit kelemahan pada dhabitnya dan hadisnya dijadikan syawahid dan mutaba’ah oleh Bukhariy dan Muslim. Adapun Maalik bin Abi Maryam telah dijadikan hujjah oleh Bukhariy dalam kitabnya Tarikh Al Kabiir ketika merajihkan nama Abu Maalik Al Asy’ariy.

Kesimpulannya adalah kedudukan ‘Athiyah bin Qais dan Maalik bin Abi Maryam tidak jauh berbeda keduanya bisa dikatakan shaduq hanya saja ‘Athiyah bin Qais ternukil pendapat ulama mutaqaddimin yang menyatakan sedikit kelemahan pada dhabit-nya.

.

.

.

 

Pembahasan Makna Hadis

Hadis ‘Athiyah bin Qais dijadikan hujjah oleh sekelompok orang [baca: salafy] untuk mengharamkan alat musik secara mutlak karena di dalam hadisnya terdapat lafaz “kaum yang menghalalkan [al hirr] kemaluan, sutra, khamr dan Al Ma’aazif [alat musik]”. Lafaz “menghalalkan” menunjukkan bahwa asal hukumnya adalah haram dan oleh karena menghalalkan yang haram itulah mereka diazab dan dijadikan kera dan babi.

Jika ‘Athiyah bin Qais seorang yang tsiqat dan dhabit maka hujjah ini akan menjadi hujjah yang kuat tetapi faktanya tidak, ia sedikit diperbincangkan dalam masalah dhabit-nya. Mutaba’ah baginya yaitu Maalik bin Abi Maryam meriwayatkan hadis tersebut dari ‘Abdurrahman bin Ghanm tidak dengan lafaz seperti itu, tetapi dengan lafaz kaum yang meminum khamar dan menamakan bukan dengan namanya kemudian mereka diiringi dengan alat-alat musik [al ma’aazif] dan penyanyi wanita [al qainaat].

‘Athiyah bin Qais tafarrud dengan lafaz menghalalkan al ma’aazif dan ia sedikit dibicarakan dhabit-nya apalagi dalam hadis ini terdapat qarinah yang menunjukkan hafalannya tidak dhabit yaitu

  1. Dalam sebagian hadis terkadang disebutkan lafaz “al hira” [kemaluan] dan dalam sebagian hadis lain disebutkan lafaz “al khazz” [sejenis sutra].
  2. Dalam semua hadisnya terdapat lafaz syak [ragu] mengenai sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut apakah Abu ‘Aamir ataukah Abu Maalik.

Kalau kita menggabungkan hadis ‘Athiyah bin Qais dan hadis Maalik bin Abi Maryam maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan ma’aazif tersebut adalah mengiringi acara mabuk-mabukan dengan alat musik dan penyanyi wanita. Dengan kata lain pengharaman al ma’aazif tersebut tidak bersifat mutlak tetapi muqayyad yaitu terikat pada iringan maksiat. Jika alat musik tersebut dimainkan untuk mengiringi maksiat dan menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT maka hukumnya sudah pasti haram.

Penafsiran ini lebih tepat dan sesuai dengan hadis-hadis shahih yang menyatakan dibolehkan al ma’azif dan penyanyi wanita.

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو تميلة يحيى بن واضح أنا حسين بن واقد حدثني عبد الله بن بريدة عن أبيه قال رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم من بعض مغازيه فجاءت جارية سوداء فقالت يا رسول الله انى كنت نذرت ان ردك الله تعالى سالما ان أضرب على رأسك بالدف فقال ان كنت نذرت فافعلي وإلا فلا قالت انى كنت نذرت قال فقعد رسول الله صلى الله عليه و سلم فضربت بالدف

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Tamiilah Yahya bin Waadhih yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waaqid yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya yang berkata “Rasulullah [shallallhu ‘alaihi wasallam] kembali dari perperangannya maka budak wanita hitam datang kepadanya dan berkata “wahai Rasulullah, aku telah bernazar jika Allah ta’ala mengembalikanmu dalam keadaan selamat maka aku akan menabuh duff di hadapanmu”. Beliau berkata “jika engkau telah bernadzar maka lakukanlah tetapi jika tidak maka jangan kau lakukan”. Ia berkata “aku telah bernadzar”. Maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] duduk dan ia menabuh duff [Musnad Ahmad 5/356 no 23601, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya kuat”]

Tidak diragukan lagi bahwa duff termasuk dalam al ma’aazif sebagaimana Ibnu Atsir dalam An Nihayah berkata

العزف: اللعب بالمعازف وهي الدفوف وغيرها مما يضرب به

Al ‘Azf adalah bermain dengan al ma’aazif dan itu adalah duff duff dan selainnya yang biasa ditabuh [An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar hal 612]

أَخْبَرَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ نا الْجُعَيْدُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ  يَا عَائِشَةُ تَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ قَالَتْ لا  يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ فَغَنَّتْهَا

Telah mengabarkan kepada kami Haruun bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Ju’aid dari Yaziid bin Khushaifah dari As Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], maka Beliau berkata “wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”. [Aisyah] berkata “tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “wanita ini adalah penyanyi [qainah] dari bani fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi untukmu” maka ia menyanyi [Sunan Al Kubra An Nasa’iy 8/184 no 8911, sanadnya shahih]

.

.

.

Kesimpulan

Seandainya maksud dari hadis ‘Athiyah bin Qais dan Maalik bin Abi Maryam adalah mengharamkan secara mutlak al ma’aazif [alat musik] dan penyanyi wanita maka itu berarti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menghalalkan apa yang diharamkan yaitu duff [contoh al ma’aazif] dan penyanyi wanita, dan ini sudah pasti bathil dan mustahil. Oleh karena itu penafsiran yang benar atas hadis al ma’azif adalah diharamkan jika alat musik dan penyanyi wanita dijadikan iringan perbuatan maksiat atau menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT.

.

.

Note : Tulisan ini merevisi tulisan terdahulu soal hadis al ma’aazif yang sebelumnya mengambil faedah dari pembahasan Al Qardhawiy. Alhamdulillah Allah SWT memberikan kemudahan kepada kami untuk meneliti kembali tulisan tersebut. Nampak bahwa sebagian pembahasan Al Qardhawiy tersebut keliru dan pendapat yang kami pegang sekarang adalah apa yang tertulis dalam tulisan di atas.


Filed under: Fiqh, Hadis, Kritik Salafy

Benarkah Ada Orang Mati Yang Bisa Bicara?

$
0
0

Benarkah Ada Orang Mati Yang Bisa Bicara?

Benar, paling tidak begitulah yang dikatakan dalam sebagian kitab Rijal di sisi Ahlus Sunnah. Terdapat perawi hadis yang dikatakan “bisa berbicara setelah wafat”. Bahkan terdapat ulama ahlus sunnah yang membuat kitab khusus berkaitan dengan hal ini yaitu Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Man ‘Asya Ba’dal Maut. Tulisan ini hanya membawakan sedikit contoh sebagai bukti bahwa fenomena ini diyakini kebenarannya oleh ulama ahlus sunnah.

زَيْدُ بْنُ خَارِجَةَ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ الْخَزْرَجِيُّ الأَنْصَارِيُّ، شَهِدَ بَدْرًا، تُوُفِّي زَمَانَ عُثْمَانَ، هُوَ الَّذِي تَكَلَّمَ بَعْدَ الْمَوْتِ،

Zaid bin Khaarijah bin Abi Zuhair Al Khazrajiy Al Anshaariy, termasuk yang ikut perang Badar, wafat di masa Utsman dan ia adalah orang yang berbicara setelah wafat [Tarikh Al Kabir Al Bukhariy 3/383 no 1281]

زيد بن خارجة بن أبي زهير الخزرجي أحد ابني الحارث ابن الخزرج الأنصاري مديني له صحبة شهد بدرا توفي زمن عثمان رضي الله عنه وهو الذي تكلم بعد الموت روى عنه موسى بن طلحة حدثنا عبد الرحمن قال سمعت أبي يقول ذلك

Zaid bin Khaarijah bin Abi Zuhair Al Khazraajiy salah seorang dari bani Al Haarits bin Khazraaj Al Anshaariy Al Madiiniy, seorang sahabat Nabi, ikut serta dalam perang Badar, wafat pada masa Utsman [radiallahu ‘anhu] dan ia adalah orang yang berbicara setelah wafat, telah meriwayatkan darinya Muusa bin Thalhah. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku mendengar ayahku mengatakan demikian. [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/562 no 2541]

Fenomena Zaid bin Khaarijah bicara setelah ia wafat telah disebutkan dalam salah satu riwayat Baihaqiy dan dishahihkannya dalam kitabnya Dala’il An Nubuwah

أخبرنا أبو صالح بن أبي طاهر العنبري ، أنبأنا جدي يحيى بن منصور القاضي ، حدثنا أبو علي محمد بن عمرو كشمرد ، أنبأنا القعنبي ، حدثنا سليمان بن بلال ، عن يحيى بن سعيد ، عن سعيد بن المسيب ، أن زيد بن خارجة الأنصاري ، ثم من بني الحارث بن الخزرج توفي زمن عثمان بن عفان ، فسجى في ثوبه ، ثم أنهم سمعوا جلجلة ، في صدره ، ثم تكلم ، ثم قال : أحمد أحمد في الكتاب الأول ، صدق صدق أبو بكر الصديق الضعيف في نفسه القوي في أمر الله في الكتاب الأول ، صدق صدق عمر بن الخطاب القوي الأمين في الكتاب الأول ، صدق صدق عثمان بن عفان على منهاجهم مضت أربع وبقيت اثنتان ، أتت الفتن وأكل الشديد الضعيف ، وقامت الساعة وسيأتيكم من جيشكم خبر بئر أريس وما بئر أريس . قال يحيى : قال سعيد : ثم هلك رجل من خطمة فسجي بثوبه فسمع جلجلة في صدره ثم تكلم ، فقال : إن أخا بني الحارث بن الخزرج صدق صدق وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ ، حدثنا أبو بكر بن إسحاق الفقيه ، أنبأنا قريش بن الحسن ، حدثنا القعنبي ، فذكره بإسناده نحوه وهذا إسناد صحيح وله شواهد

Telah mengabarkan kepada kami Abu Shalih bin Abi Thaahir Al ‘Anbariy yang berkata telah memberitakan kepada kami kakekku Yahya bin Manshuur Al Qaadhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Aliy Muhammad bin ‘Amru yang berkata telah memberitakan kepada kami Al Qa’nabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilaal dari Yahya bin Sa’iid dari Sa’iid bin Al Musayyab bahwa Zaid bin Khaarijah Al Anshaariy dari Bani Harits bin Khazraj wafat pada masa ‘Utsman bin ‘Affan maka jasadnya ditutupi dengan kain, kemudian orang-orang mendengar suara dari dadanya kemudian ia berbicara, ia berkata “Ahmad Ahmad ada dalam kitab yang pertama, benarlah benarlah Abu Bakar Ash Shiddiq yang lemah terhadap dirinya tetapi kuat dalam menjalankan perintah Allah juga ada dalam kitab yang pertama, benarlah benarlah Umar bin Khaththab yang kuat lagi terpercaya juga ada dalam kitab yang pertama, benarlah benarlah Utsman bin ‘Affan yang berada di atas manhaj mereka pada empat tahun pertama dan dua tahun yang tersisa akan datang fitnah, hari kiamat akan datang, dan akan datang kepada kalian pasukan kalian yang membawa kabar tentang sumur Ariis”. Yahya berkata Sa’iid berkata kemudian seorang laki-laki dari bani Khathmah meninggal lalu jasadnya ditutupi kain maka terdengar suara dari dadanya kemudian ia berbicara, ia berkata “sesungguhnya saudara dari Bani Harits bin Khazraaj benar, benar”. Dan telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Al Haafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaaq Al Faaqih yang berkata telah memberitakan kepada kami Quraisy bin Hasaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Qa’nabiy dan ia menyebutkan dengan sanad di atas. Sanad ini shahih dan memiliki syawaahid [Dala’il An Nubuwah Baihaqiy 6/195]

Selain Zaid bin Kharijah, hal yang sama terjadi juga pada perawi hadis lain yaitu dari golongan tabiin yang bernama Rabi’ bin Hiraasy. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat ketika menuliskan biografi Rib’i bin Hiraasy ia menyebutkan

وأخوهما ربيع بن حراش الذي تكلم بعد موته

Dan saudara keduanya yaitu Rabii’ bin Hiraasy telah berbicara setelah kematiannya [Ath Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/127]

ربيع بن حراش أخو ربعي بن حراش الذي تكلم بعد الموت وذكر أمره لعائشة فقالت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: انه يتكلم رجل من أمتي بعد الموت من خير التابعين

Rabii’ bin Hiraasy saudara dari Rib’i bin Hiraasy, ia adalah orang yang berbicara setelah wafat dan disebutkan perkaranya kepada Aisyah maka ia berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan bahwa akan berbicara seseorang dari umatku setelah wafat yaitu yang paling baik dari kalangan tabiin [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 3/456 no 2062]

رَبِيعُ بْنُ حِرَاشٍ مِنْ عُبَّادِ أَهْلِ الْكُوفَةِ وَقُرَّائِهِمْ يَرْوِي عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَوَى عَنْهُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ وَأَخُوهُ رِبْعِيٌّ آلَى أَنْ لَا تَفْتُرَ أَسْنَانُهُ ضَاحِكًا حَتَّى يَعْلَمَ أَيْنَ مَصِيرُهُ فَمَا ضَحِكَ إِلا بَعْدَ مَوْتِهِ

Rabii’ bin Hiraasy termasuk ahli ibadah dari penduduk Kuufah dan qari’ mereka, ia meriwayatkan dari jama’ah sahabat Nabi dan telah meriwayatkan darinya ‘Abdul Malik bin ‘Umair dan saudaranya Rib’i. Disebutkan bahwa ia tidak akan tertawa sampai ia mengetahui nasibnya kelak [surga atau neraka], maka ia tidak pernah tertawa kecuali setelah ia wafat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 4/226 no 2633]

Aneh memang tetapi begitulah yang diyakini oleh para ulama ahlus sunnah dan dinyatakan dalam riwayat shahih. Memang tidak ada yang tidak mungkin jika Allah SWT berkehendak. Kami hanya ingin mengingatkan kepada para pembaca bahwa hal-hal yang aneh memang terdapat dalam kitab Ahlus Sunnah dan kitab Syi’ah. Terdapat sekelompok orang yang berwatak buruk begitu bersemangat mencari hal-hal aneh dalam kitab Syi’ah dan menjadikan hal itu sebagai bahan tertawaan padahal di sisi Ahlus Sunnah hal-hal aneh pun juga banyak.

Tidak jarang hal-hal aneh itu dibungkus dengan bahasa yang sensasional sehingga jika disajikan pada pembaca awam [apalagi yang akalnya rendah] maka mereka akan berlezat-lezat dalam menghina Syi’ah. Contohnya bukankah belum lama ini ada Pembenci Syi’ah yang membungkus sajian dengan judul “Keledai Menjadi Perawi Hadis” dan “Alien Menceritakan Hadis Dalam Kitab Syi’ah”. Padahal duduk perkara sebenarnya jauh sekali dari bahasanya yang sensasional. Seandainya kita menuruti kerendahan akal para pembenci Syi’ah tersebut maka riwayat atau nukilan di atas bisa saja disajikan dalam bahasa yang sensasional pula seperti “Ternyata Ada Zombie Yang Jadi Perawi Hadis” atau “Mayat Hidup Menceritakan Hadis Dalam Kitab Ahlus Sunnah”. Tetapi kami tidak akan merendahkan akal kami seperti itu, kami tidak akan menjadikan riwayat ini sebagai bahan tertawaan.

Kami hanya ingin menunjukkan bahwa hal-hal yang musykil dalam mazhab Ahlus Sunnah juga banyak, kalau hal-hal musykil seperti itu dijadikan dasar mencela dan merendahkan suatu mazhab maka mazhab mana yang akan selamat dari celaan tersebut.


Filed under: Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia, Sirah

Syubhat Qunut Shubuh Secondprince? Bantahan Untuk Toyib Mutaqin

$
0
0

Syubhat Qunut Shubuh Secondprince? Bantahan Untuk Toyib Mutaqin

Sebenarnya saya mengharapkan bantahan yang ilmiah dan berkualitas terhadap tulisan yang saya tulis berkenaan dengan qunut shubuh. Tetapi sejauh ini justru yang sampai kepada saya adalah bantahan dari orang yang menyebut dirinya Toyib Mutaqin dan saya tidak ragu untuk menyatakan bahwa bantahannya hanya menunjukkan kejahilan.

Mengapa demikian? Karena ia tidak memahami dengan baik argumentasi dari tulisan yang sedang dibantahnya [dalam hal ini adalah tulisan saya]. Pada dasarnya saya bersedia menjawab bantahan apapun terhadap tulisan saya, baik bantahan itu bersifat ilmiah ataupun bantahan yang jahil. Yang saya butuhkan hanyalah keinginan untuk membuat tulisan jawaban dan waktu yang cukup. Alhamdulillah, saat ini saya memiliki keduanya. Tulisan ini akan menunjukkan kejahilan Toyib Mutaqin dalam bantahannya.

Tulisan Toyib Mutaqin yang akan saya tanggapi dapat dilihat pada link berikut. Pada tulisan [link] tersebut, dia mempermasalahkan hadis Anas yang saya kutip yaitu hadis berikut

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ ، حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ يُوسُفَ ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : سُئِلَ عَنِ الْقُنُوتِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَقَالَ : كُنَّا نَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَبَعْدَهُ

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Aliy Al Jahdhamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Yuusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Anas bin Malik yang berkata ia ditanya tentang Qunut dalam shalat Shubuh maka Anas berkata “kami melakukan Qunut sebelum ruku’ dan melakukan Qunut sesudah ruku’ [Sunan Ibnu Majah no 1183]

Terkait hadis Anas di atas, saya mengatakan

Dari hadis ini maka dapat dipahami bahwa di sisi Anas bin Malik ada dua jenis Qunut pada shalat shubuh yaitu

1. Qunut Nazilah yang dilakukan setelah ruku’
2. Qunut Shubuh tanpa nazilah yang dilakukan sebelum ruku’

Lucunya si Toyib itu menjawab dengan jawaban konyol dan tidak sedikitpun mengandung argumentasi ilmiah

JAWAB: ITU KESIMPULAN DARI KANTONGNYA SENDIRI.apakah imam syafi’i qunut shubuh sebelum ruku’???

Kesimpulan yang saya buat justru berdasarkan hadis Anas itu sendiri. Silakan perhatikan hadis Ibnu Majah bahwa Anas sendiri mengatakan bahwa ia melakukan Qunut sebelum ruku’ dan setelah ruku’.

Kemudian perhatikan hadis Anas sebelumnya yang saya tuliskan sebagai hujjah bahwa Qunut Nazilah itu hanya dilakukan satu bulan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] setelah ruku’

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Sulaiman At Taimiy dari Abi Miljaz dari Anas [radiallahu ‘anhu] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membaca Qunut setelah ruku’ selama satu bulan mendoakan Ri’il dan Dzakwan, Beliau mengatakan “’Ushayyah telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya” [Shahih Bukhariy 5/107 no 4094]

Hadis Anas di atas menunjukkan bahwa qunut nazilah yaitu mendoakan kejelekan suatu kaum itu dilakukan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] setelah ruku’ bukan sebelum ruku’.

Dengan menggabungkan premis dari kedua hadis Anas bin Malik [radiallahu ‘anhu] di atas maka didapatkan

  1. Premis pertama, menurut Anas ada dua jenis qunut yaitu qunut setelah ruku’ dan qunut sebelum ruku’
  2. Premis kedua, menurut Anas Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan qunut nazilah setelah ruku’.

Kedua premis ini akan menyimpulkan bahwa qunut nazilah dilakukan setelah ruku’ maka qunut yang dilakukan sebelum ruku’ sudah jelas qunut tanpa nazilah. Maka kesimpulannya adalah di sisi Anas bin Malik ada dua jenis qunut

  1. Qunut Nazilah yang dilakukan setelah ruku’
  2. Qunut Shubuh tanpa nazilah yang dilakukan sebelum ruku’

Bagaimana bisa dikatakan kesimpulan itu dari kantong saya sendiri?. Padahal itu adalah kesimpulan logis dari hadis shahih dari Anas bin Malik. Hal ini membuktikan kalau ocehan Toyib ini hanya menunjukkan kejahilannya dalam memahami tulisan saya.

Begitu pula perkataannya apakah Imam Syafi’i qunut sebelum ruku’ adalah perkataan yang tidak nyambung dengan hadis Anas yang sedang dibahas dan tidak pada tempatnya. Dalam tulisan saya, saya tidak pernah menyatakan imam Syafi’i qunut sebelum ruku’. Dan saya bingung, apa perlunya si Toyib ini membawa-bawa imam Syafi’i ketika saya membahas hadis Anas bin Malik tersebut. Kalau ia menginginkan nama imam yang membolehkan qunut sebelum ruku’ maka harusnya ia mengetahui bahwa imam Malik membolehkan qunut sebelum ruku’. Jadi memang ucapannya yang membawa-bawa imam Syafi’i itu adalah ucapan yang tidak bernilai dan tidak ada nilai bantahannya sama sekali.

Si Toyib ini kemudian menukil perkataan ulama seperti Al Bazzar dan Ibnu Rajab Al Hanbaliy untuk membantah pernyataan saya. Saya sangat memaklumi kalau orang dengan kualitas seperti dirinya hanya bisa bertaklid tanpa memahami apakah perkataan ulama yang dinukilnya mengandung hujjah atau tidak. Perkataan ulama harus ditimbang dengan dalil bukan sebaliknya dalil yang diselewengkan dengan menukil perkataan ulama.

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz dari Anas [radiallahu ‘anhu] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus tujuh puluh orang untuk suatu keperluan, mereka adalah para penghafal Al Qur’an. Kemudian mereka dihadang bani Sulaim Ri’il dan Dzakwan di dekat sumur yang bernama sumur Ma’unah. Kaum itu berkata “demi Allah bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya perlu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. kaum itu akhirnya membunuh mereka maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan mereka satu bulan dalam shalat Shubuh, itulah pertama kali kami berdoa dalam Qunut dan sebelumnya kami belum pernah Qunut. Abdul ‘Aziz berkata “seorang laki-laki bertanya kepada Anas tentang Qunut, apakah setelah ruku’ atau setelah membaca surat?. Maka Anas berkata “tidak, bahkan Qunut dikerjakan setelah membaca surat” [Shahih Bukhariy 5/104 no 4088]

Ibnu Rajab Al Hanbali berkomentar mengenai hadis riwayat ‘Abdul ‘Aziz dari Anas di atas

ولكن ليس في هذه الرواية تصريح بأن قنوت النَّبيّ صلى الله عليه وسلم كانَ قبل الركوع ، إنما هوَ من فتيا أنس . والله سبحانه وتعالى أعلم

Tetapi tidak ada dalam riwayat ini yang dengan sharih [jelas] menyebutkan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut sebelum ruku’, sesungguhnya itu hanyalah fatwa Anas, Allah SWT yang lebih mengetahui. [Fath Al Baariy Ibnu Rajab 7/123]

Komentar Ibnu Rajab inilah yang dikutip si Toyib untuk membantah saya. Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa Ibnu Rajab keliru. Bukan karena saya merasa lebih pintar dari Ibnu Rajab tetapi karena hadis-hadis shahih dari Anas telah membatalkan perkataan Ibnu Rajab tersebut.

Riwayat ‘Abdul Aziz dari Anas [yang disebutkan Al Bukhariy] itu terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama yang menyebutkan qunut nazilah

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz dari Anas [radiallahu ‘anhu] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus tujuh puluh orang untuk suatu keperluan, mereka adalah para penghafal Al Qur’an. Kemudian mereka dihadang bani Sulaim Ri’il dan Dzakwan di dekat sumur yang bernama sumur Ma’unah. Kaum itu berkata “demi Allah bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya perlu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. kaum itu akhirnya membunuh mereka maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan mereka satu bulan dalam shalat Shubuh, itulah pertama kali kami berdoa dalam Qunut dan sebelumnya kami belum pernah Qunut.

Tidak diragukan bahwa qunut yang disebutkan di atas adalah qunut nazilah dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan kejelekan terhadap suatu kaum yaitu Ri’il dan Dzakwan.

Kemudian bagian kedua yaitu ‘Abdul ‘Aziz menyampaikan ada laki-laki yang bertanya soal qunut kepada Anas. Bagian ini menyebutkan qunut tanpa nazilah

قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ

Abdul ‘Aziz berkata “seorang laki-laki bertanya kepada Anas tentang Qunut, apakah setelah ruku’ atau setelah membaca surat?. Maka Anas berkata “tidak, bahkan Qunut dikerjakan setelah membaca surat”

Qunut yang dimaksud disini sudah jelas bukan qunut nazilah karena jika memang qunut yang dibicarakan di atas adalah lanjutan dari lafaz sebelumnya yaitu qunut Nabi terhadap Ri’il dan Dzakwan maka lafaznya seolah menjadi “seorang laki-laki bertanya kepada Anas tentang Qunut [nazilah terhadap Ri’il dan Dzakwan tersebut], apakah setelah ruku’ atau setelah membaca surat?. Maka Anas berkata “tidak, bahkan Qunut dikerjakan setelah membaca surat”.

Hal ini bertentangan dengan dalil shahih dari Anas bahwa qunut nazilah yang dilakukan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut dilakukan setelah ruku’

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَيَقُولُ عُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Sulaiman At Taimiy dari Abi Miljaz dari Anas [radiallahu ‘anhu] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] membaca Qunut setelah ruku’ selama satu bulan mendoakan Ri’il dan Dzakwan, Beliau mengatakan “’Ushayyah telah durhaka pada Allah dan Rasul-Nya” [Shahih Bukhariy 5/107 no 4094]

Maka dari itu qunut pada bagian akhir yang dikutip ‘Abdul Aziz dari Anas tersebut bukan tentang qunut nazilah selama satu bulan terhadap Ri’il dan Dzakwan [yang dilakukan setelah ruku’] melainkan qunut tanpa nazilah yang dilakukan setelah membaca surat [sebelum ruku’]

Kesalahan Ibnu Rajab [dan sebagian ulama lain] adalah mereka menganggap bahwa apa yang ditanyakan kepada Anas [pada bagian kedua] yang disebutkan ‘Abdul ‘Aziz adalah tentang qunut nazilah. Maka dari itu komentar Ibnu Rajab [bahwa di dalam hadis tersebut tidak ada penjelasan sharih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut sebelum ruku’ dan itu hanyalah fatwa Anas saja], menunjukkan bahwa Anas bin Malik telah berfatwa kalau qunut nazilah dilakukan sebelum ruku’ [yaitu setelah membaca surat].

Hal ini berarti Ibnu Rajab menganggap bahwa Anas bin Malik memfatwakan qunut nazilah sebelum ruku’ padahal ia tahu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut nazilah setelah ruku’. Kemungkinan ini jauh sekali untuk diterima, biasanya kalau seorang sahabat mengetahui amalan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] di dalam shalat maka sahabat tersebut tidak akan berfatwa menyelisihi amalan tersebut. Apakah Anas bin Malik dengan sengaja menyelisihi sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah qunut tanpa nazilah yang disebutkan Anas bin Malik sebelum ruku’ tersebut adalah hasil ijtihad Anas bin Malik sendiri atau berasal dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Terdapat dalil shahih yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، نَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ الْقُنُوتِ ، فَقَالَ : قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الرُّكُوعِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Aashim Al Ahwal yang berkata aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang Qunut, maka ia berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah qunut sebelum ruku’ [Musnad Al Bazzaar 13/109 no 6480]

Qunut yang ditanyakan ‘Aashim Al Ahwal di atas apakah qunut nazilah atau qunut tanpa nazilah?. Jawabannya tidak perlu berandai-andai, cukup dilihat hadis dengan sanad sama yang diriwayatkan Imam Muslim

وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن عاصم عن أنس قال سألته عن القنوت قبل الركوع أو بعد الركوع ؟ فقال قبل الركوع قال قلت فإن ناسا يزعمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قنت بعد الركوع فقال إنما قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم شهرا يدعو على أناس قتلوا أناسا من أصحابه يقال لهم القراء

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Aashim dari Anas yang berkata aku bertanya kepadanya tentang Qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’?. Maka ia berkata “sebelum ruku”. Aku berkata bahwa orang-orang menganggap bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’. Maka ia berkata “sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya qunut [setelah ruku’] satu bulan mendoakan orang-orang yang membunuh para sahabatnya yang adalah penghafal Al Qur’an [Shahih Muslim 1/468 no 677]

Qunut yang ditanyakan ‘Aashim kepada Anas bin Malik telah dijawab oleh Anas bin Malik bahwa itu dilakukan sebelum ruku’. Bahkan ketika ‘Aashim menegaskan bahwa orang-orang menganggap Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’, Anas menjawab bahwa orang-orang tersebut keliru karena qunut setelah ruku’ yang dimaksud adalah qunut nazilah yang dilakukan oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] selama satu bulan. Artinya qunut yang sedang dibicarakan oleh ‘Aashim dan Anas adalah qunut sebelum ruku’ yang bukan qunut nazilah.

Kesimpulan ini murni berdasarkan pada riwayat shahih dari Anas bin Malik sendiri, oleh karena itulah kami dengan berani mengatakan bahwa Al Bazzar keliru ketika berkomentar

وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَنْ أَنَسٍ مِنْ وَجْهٍ صَحِيحٍ إِلَّا عَنْ عَاصِمٍ ، عَنْ أَنَسٍ . وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ الْحُفَّاظُ مِنْ أَصْحَابِ أَنَسٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، مِنْهُمْ : مُحَمَّدُ ابْنُ سِيرِينَ ، وَأَبُو مِجْلَزٍ ، وَقَتَادَةُ وَغَيْرُهُمْ ، عَنْ أَنَسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ

Dan hadis ini tidak diketahui riwayat dari Anas dengan jalan yang shahih kecuali dari ‘Aashim dari Anas. Dan sungguh telah meriwayatkan hadis ini sekelompok hafizh dari sahabat Anas dari Anas, diantaranya Muhammad bin Siirin, Abu Mijlaz, Qatadah dan selain mereka dari Anas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’ [Musnad Al Bazzaar 13/109 no 6480

Kesalahan Al Bazzaar adalah ia mempertentangkan riwayat ‘Aashim dari Anas dengan riwayat selain ‘Aashim yaitu riwayat Ibnu Sirin, Abu Miljaz dan Qatadah dari Anas padahal qunut yang ditanyakan ‘Aashim itu bukan qunut nazilah sedangkan qunut yang diriwayatkan Ibnu Sirin, Abu Miljaz dan Qatadah adalah qunut nazilah. Jadi tidak ada yang perlu dipertentangkan bahkan riwayat ‘Aashim selain menyebutkan qunut tanpa nazilah yang sebelum ruku’ juga menegaskan bahwa qunut nazilah dilakukan setelah ruku’ dan ini sama seperti riwayat Ibnu Sirin, Abu Miljaz dan Qatadah.

Si Toyib itu justru tidak memahami hadis Anas bin Malik dengan baik, ia malah bertaklid pada kekeliruan Al Bazzaar dan Ibnu Rajab. Bahkan ia dengan sok mengatakan saya plin plan padahal ia yang tidak mengerti permasalahan. Saya ragu apakah ia paham bahwa taklidnya kepada perkataan Ibnu Rajab dan Al Bazzaar berkonsekuensi bahwa Anas bin Malik telah dengan sengaja memfatwakan amalan yang menyelisihi sunah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal Anas telah mengetahui sunah tersebut.

Saya persilakan kepada saudara Toyib tersebut untuk memahami dengan baik penjelasan saya di atas. Dan sebenarnya hujjah saya di atas sudah ada pada tulisan saya tentang qunut shubuh yang ia bantah hanya saja Toyib mengalami gagal paham dan seiring dengan gagal paham tersebut, ia menunjukkan kejahilannya dalam membantah.


Filed under: Fiqh, Kritik Salafy

Kedustaan Muhammad Abdurrahman Al Amiry Terhadap Syi’ah Dalam Dialog Dengan Emilia Renita

$
0
0

Kedustaan Muhammad Abdurrahman Al Amiry Terhadap Syi’ah Dalam Dialog Dengan Emilia Renita

Sungguh menggelikan ketika seseorang menuduh suatu mazhab sebagai ajaran yang penuh kedustaan dan kedunguan ternyata terbukti dirinyalah yang sebenarnya dusta dan dungu. Mungkin saja sebelumnya ia tidak berniat menjadi dusta dan dungu hanya saja kebenciannya terhadap mazhab tersebut telah membutakan akal dan hatinya sehingga dirinya tampak sebagai pendusta

Inilah yang terjadi pada Muhammad Abdurrahman Al Amiry dalam tulisannya yang memuat dialog dirinya dengan pengikut Syi’ah yaitu Emilia Renita. Dialog tersebut membicarakan tentang nikah mut’ah, dimana para pembaca dapat melihatnya disini http://www.alamiry.net/2014/03/dialog-tuntas-bersama-emila-renita-az.html

.

.

.

Kedustaan Pertama

Al Amiry menanyakan kepada Emilia pernahkah ia melakukan mut’ah atau sudah berapa kali ia melakukan mut’ah. Pertanyaan ini dijawab oleh Emilia bahwa dalam mazhab Syi’ah hukum nikah mut’ah itu halal tetapi tidak semua yang halal itu wajib atau harus dilakukan.

Kemudian Al Amiry menjawab bahwa dalam Syi’ah nikah mut’ah itu bukan sekedar halal tetapi wajib karena ada riwayat Syi’ah yang mengancam orang yang tidak melakukan nikah mut’ah. Berikut riwayat yang dimaksud sebagaimana dikutip oleh Al Amiry

مَنْ خَرَجَ مِنَ الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَمَتَّعْ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ أَجْدَعُ

Barang siapa yang keluar dari dunia (wafat) dan dia tidak nikah mut’ah maka dia datang pada hari kiamat sedangkan kemaluannya terpotong” Tafsir manhaj ash shadiqin 2/489

Kami tidak memiliki kitab Tafsir Manhaj Ash Shadiqiin Al Kasyaaniy [dan kami ragu kalau si Amiry memiliki kitab tersebut] tetapi riwayat di atas dapat dilihat dari scan kitab tersebut yang dinukil oleh salah satu situs pembenci Syi’ah disini http://jaser-leonheart.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-keutamaan-kawin-kontrak.html

Tafsir Manhaj Ash Shadiqin Kasyaaniy

Tafsir Manhaj Ash Shadiqin Kasyaaniy2

Nampak bahwa riwayat tersebut dinukil oleh Al Kasyaaniy dalam kitabnya tanpa menyebutkan sanad. Artinya riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah sampai ditemukan sanad lengkapnya dan dibuktikan dengan kaidah ilmu mazhab Syi’ah bahwa sanad tersebut shahih.

Salah seorang ulama Syi’ah yaitu Syaikh Aliy Alu Muhsin dalam kitabnya Lillah Wa Lil Haqiiqah 1/193 pernah berkomentar mengenai salah satu riwayat lain dalam kitab Tafsir Manhaj Ash Shadiqqin

Lillah Wa Lil Haqiiqah hal 193

Nukilan di atas menyebutkan bahwa hadis yang disebutkan Al Kasyaaniy tidak disebutkan dalam kitab hadis Syi’ah yang ma’ruf [dikenal] dan Al Kasyaniy menukilnya tanpa menyebutkan sanadnya dari Risalah tentang Mut’ah oleh Syaikh Aliy Al Karkiy.

Jika situasinya dibalik misalkan Emilia berhujjah dengan riwayat tanpa sanad dalam salah satu kitab tafsir ahlus sunnah maka saya yakin Al Amiry akan membantah dengan sok bahwa riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak ada sanadnya. Maka tidak diragukan bahwa pernyataan Al Amiry kalau Syi’ah mewajibkan penganutnya melakukan mut’ah dan mengancam yang tidak melakukannya adalah kedustaan atas nama Syi’ah.

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن موسى (عليه السلام) عن المتعة فقال: وما أنت وذاك فقد أغناك الله عنها، قلت: إنما أردت أن أعلمها، فقال: هي في كتاب علي (عليه السلام)، فقلت: نزيدها وتزداد؟ فقال: وهل يطيبه إلا ذاك

‘Aliy bin Ibrahim dari Ayah-nya dari Ibnu Abi ‘Umair dari ‘Aliy bin Yaqthiin yang berkata aku bertanya kepada Abul Hasan Muusa [‘alaihis salaam] tentang mut’ah. Maka Beliau berkata “ada apa kamu terhadapnya [mut’ah], sungguh Allah telah mencukupkanmu darinya [hingga tidak memerlukannya]”. Aku berkata “sesungguhnya aku hanya ingin mengetahui tentangnya”. Beliau berkata “itu [mut’ah] ada dalam kitab Aliy [‘alaihis salaam]. Maka aku berkata “apakah kami dapat menambahnya [mahar] dan wanita dapat menambah [waktunya]”. Beliau berkata “bukankah ditetapkannya [aqad mut’ah] kecuali dengan hal-hal tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/452]

Riwayat di atas dapat para pembaca lihat di link berikut. Riwayat tersebut sanadnya shahih di sisi mazhab Syi’ah, para perawinya tsiqat sebagaimana berikut

  1. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  3. Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]
  4. ‘Aliy bin Yaqthiin seorang yang tsiqat jalil memiliki kedudukan yang agung di sisi Abu Hasan Muusa [‘alaihis salaam] [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 154 no 388]

Matan riwayat justru mengsiyaratkan tidak ada kewajiban dalam melakukan mut’ah dan tidak ada ancaman bagi yang tidak melakukannya. Hujjahnya terletak pada lafaz “ada apa kamu terhadapnya [mut’ah], sungguh Allah telah mencukupkanmu darinya” artinya si penanya tidak perlu melakukannya karena Allah telah mencukupkan dirinya [sehingga ia tidak memerlukan mut’ah]. Maksud mencukupkannya disini adalah telah memiliki istri. Kalau memang mut’ah itu wajib bagi setiap penganut Syi’ah dan mendapat ancaman bagi yang tidak melakukannya maka bagaimana mungkin Imam Syi’ah tersebut mengatakan lafaz yang demikian.

Berdasarkan riwayat di atas maka dalam mazhab Syi’ah hukum nikah mut’ah itu halal atau mubah dan tidak ada masalah bagi mereka yang tidak melakukannya karena memang tidak memerlukannya. Tidak ada dalil shahih di sisi Syi’ah mengenai kewajiban mut’ah dan ancaman bagi yang tidak melakukannya.

Memang Al Amiry bukan orang pertama yang berdusta atas nama Syi’ah dengan riwayat Al Kasyaniy dalam Tafsir Manhaj Ash Shaadiqin tersebut, sebelumnya sudah ada ustad salafiy [yang sudah cukup dikenal] yang melakukannya yaitu Firanda Andirja dalam salah satu tulisannya disini. Mungkin dengan melihat link tersebut, Al Amiriy akan merasa terhibur bahwa orang yang lebih baik darinya ternyata melakukan kedustaan yang sama.

Orang boleh saja bertitel ustad, alim ulama, berpendidikan S3 dalam ilmu agama tetapi yang namanya hawa nafsu dapat menutupi akal pikiran sehingga melahirkan kedunguan dan kedustaan. Biasanya orang-orang model begini sering dibutakan oleh bisikan syubhat bahwa mereka adalah pembela sunnah penghancur bid’ah jadi tidak perlu bersusah payah kalau ingin membantah Syi’ah, Syi’ah sudah pasti sesat maka tidak perlu tulisan ilmiah dan objektif untuk membantah kelompok sesat. Jadi jangan heran kalau para pembaca melihat dalam tulisannya yang membahas hadis mazhabnya akan nampak begitu ilmiah dan objektif tetapi ketika ia menulis tentang mazhab yang ia sesatkan maka akan nampak begitu dungu dan dusta.

.

.

.

Kedustaan Kedua

Dalam dialog antara Al Amiriy dan Emilia, Emilia mengatakan bahwa ia tidak melakukan mut’ah [bahkan haram baginya] karena secara syar’i nikah mut’ah tidak bisa dilakukan oleh istri yang sudah bersuami. Al Amiry kemudian menjawab dengan ucapan berikut

Maka tanggapan kami: “Justru, ulama anda sepakat akan kebolehan nikah mut’ah bagi seorang wanita yang sudah nikah alias sudah punya suami”. Disebutkan dalam kitab syiah:

يجوز للمتزوجة ان تتمتع من غير أذن زوجها ، وفي حال كان بأذن زوجها فأن نسبة الأجر أقل ،شرط وجوب النية انه خالصاً لوجه الله

“Diperbolehkan bagi seorang istri untuk bermut’ah (kawin kontrak dengan lelaki lain) tanpa izin dari suaminya, dan jika mut’ah dengan izin suaminya maka pahala yang akan didapatkan akan lebih sedikit, dengan syarat wajibnya niat bahwasanya ikhlas untuk wajah Allah” Fatawa 12/432

Ucapan Al Amiry di atas adalah kedustaan atas mazhab Syi’ah. Tidak ada kesepakatan ulama Syi’ah sebagaimana yang diklaim oleh Al Amiry. Begitu pula referensi yang ia nukil adalah dusta. Kita tanya pada Al Amiry, kitab Al Fatawa siapa yang dinukilnya di atas?. Ulama Syi’ah mana yang menyatakan demikian?. Silakan kalau ia mampu tunjukkan scan kitab tersebut atau link yang memuat kitab Syi’ah tersebut.

Saya yakin Al Amiry tidak akan mampu menjawabnya karena ucapan dusta tersebut sebenarnya sudah lama populer di media sosial dan sumbernya dari twitter atau facebook majhul yang mengatasnamakan ulama Syi’ah. Ia sendiri menukilnya dari akun twitter yang mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Usfur sebagaimana dapat para pembaca lihat dalam tulisan Al Amiry disini

http://www.alamiry.net/2013/07/syiah-adalah-agama-seks-agama-mutah.html

twitter muhsin al usfur

Dan sudah pernah saya sampaikan bantahan mengenai kepalsuan twitter tersebut atas nama ulama Syi’ah dalam tulisan disini. Petunjuk lain akan kepalsuannya adalah jika para pembaca mengklik link tersebut yang dahulu mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu ‘Usfur maka sekarang sudah berganti menjadi Kazim Musawiy.

twitter kazim musawi

Dan di tempat yang lain para pembaca akan melihat seseorang mengaku Ayatullah Khumainiy yang juga menukil ucapan dusta tersebut. Mungkin kalau Al Amiriy melihatnya ia akan menyangka kalau akun facebook tersebut memang milik ulama Syi’ah Ayatullah Khumainiy.

fb khumaini

Alangkah dungunya jika seorang alim menuduh mazhab Syi’ah begini begitu hanya berdasarkan akun akun media sosial yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, dimana siapapun bisa seenaknya berdusta atas nama orang lain atau memakai nama orang lain.

.

.

.

Kedustaan Ketiga

Ketika Al Amiry membantah Emilia dengan menyebutkan riwayat yang melaknat orang yang tidak nikah mut’ah, Al Amiry menukilnya dari kitab Jawahir Al Kalam

Maka kami tanggapi: “Thoyyib, akan kami buktikan riwayat yang melaknat orang yang tidak melakukan nikah mut’ah” Disebutkan dalam salah satu kitab syiah:

أن الملائكة لا تزال تستغفر للمتمتع وتلعن من يجنب المتعة إلى يوم القيامة

“Bahwasanya malaikat akan selalu meminta ampun untuk orang yang melakukan nikah mutah dan melaknat orang yang menjauhi nikah mutah sampai hari kiamat” Jawahir Al kalam 30/151

Riwayat yang sebenarnya dalam Jawahir Al Kalam lafaznya tidaklah seperti yang ia sebutkan, melainkan sebagai berikut [dapat dilihat disini]

ما من رجل تمتع ثم اغتسل إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه سبعين ملكا يستغفرون له إلى يوم القيامة، ويلعنون مجتنبها إلى أن تقوم الساعة

Setiap orang yang melakukan nikah mut’ah, kemudian ia mandi junub maka Allah akan menciptakan dari setiap tetesan air mandinya sebanyak tujuh puluh malaikat yang akan memohonkan ampunan baginya sampai hari kiamat. Dan para malaikat itu akan melaknat orang yang menjauhinya [mut’ah] sampai hari kiamat [Jawahir Al Kalam 30/151, Syaikh Al Jawaahiriy]

Jadi sisi kedustaannya adalah lafaz riwayat yang ia nukil tidak sama dengan apa yang tertulis dalam kitab Jawahir Al Kalam. Kedustaan ini masih tergolong ringan dan masih bisa untuk diberikan uzur misalnya Al Amiry menukil riwayat dengan maknanya walaupun lafaznya tidak sama persis [biasanya kalau orang menukil bil ma’na (dengan makna) maka ia tidak akan repot menuliskan lafaz dalam bahasa arab] atau Al Amiry tidak membaca langsung kitab Jawahir Al Kalam dan ia menukil dari kitab lain yang tidak ia sebutkan tetapi seolah disini ia mengesankan bahwa ia mengambilnya langsung dari kitab Jawahir Al Kalam.

Sesuai dengan kaidah ilmu mazhab Syi’ah, riwayat tersebut dhaif. Sanad lengkapnya dapat dilihat dalam kitab Wasa’il Syi’ah sebagaimana berikut [dapat dilihat disini]

وعن ابن عيسى، عن محمد بن علي الهمداني، عن رجل سماه عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: ما من رجل تمتع ثم اغتسل إلا خلق الله من كل قطرة تقطر منه سبعين ملكا يستغفرون له إلى يوم القيامة ويلعنون متجنبها إلى أن تقوم الساعة

Dan dari Ibnu Iisa dari Muhammad bin ‘Aliy Al Hamdaaniy dari seorang laki-laki yang ia sebutkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata Barang siapa yang melakukan nikah mut’ah, kemudian ia mandi junub maka Allah akan menciptakan dari setiap tetesan air mandinya sebanyak tujuh puluh malaikat yang akan memohonkan ampunan baginya sampai hari kiamat. Dan para malaikat itu akan melaknat orang yang menjauhinya [mut’ah] sampai hari kiamat [Wasa’il Syi’ah 21/16, Al Hurr Al Aamiliy]

Sanad di atas dhaif karena terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya yaitu pada lafaz sanad “seorang laki-laki yang ia sebutkan”. Adapun riwayat lainnya yang dinukil Al Amiry dari Tafsir Manhaj Ash Shaadiqin

أن المتعة من ديني ودين آبائي فالذي يعمل بها يعمل بديننا والذي ينكرها ينكر ديننا بل إنه يدين بغير ديننا. وولد المتعة أفضل من ولد الزوجة الدائمة ومنكر المتعة كافر مرتد

“Nikah mutah adalah bagian dari agamku dan dagama bapak-bapakku dan orang yang melakukan nikah mutah maka dia mengamalkan agama kami, dan yang mengingkari nikah mutah dia telah mengingkari agama kami, dan anak mutah lebih utama dari anak yang nikah daim dan yang mengingkari mutah kafir murtad” Minhaj Ash Shodiqin hal. 356.”

Maka riwayat di atas sama seperti riwayat sebelumnya yang dinukil Al Kasyaaniy tanpa sanad dalam kitabnya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

.

.

.

Penutup

Secara pribadi saya menilai dialog antara Al Amiry dan Emilia tersebut tidak banyak bermanfaat bagi orang-orang yang berniat mencari kebenaran. Keduanya baik Al Amiry dan Emilia nampak kurang memahami dengan baik hujjah-hujjah yang mereka diskusikan. Apalagi telah kami buktikan di atas bahwa Al Amiry telah berdusta atas mazhab Syi’ah. Saya tidak berniat secara khusus membela saudari Emilia, saya sudah lama membaca dialog tersebut hanya saja baru sekarang saya menuliskan kedustaan Al ‘Amiry karena saya lihat semakin banyak orang-orang awam [baca : situs- situs] yang disesatkan oleh tulisan dialog Al ‘Amiry tersebut.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Kedustaan Muhammad Abdurahman Al Amiry : Fatwa Imam Besar Syi’ah Yang Mengancam Emilia Renita

$
0
0

Kedustaan Muhammad Abdurahman Al Amiry : Fatwa Imam Besar Syi’ah Yang Mengancam Emilia Renita

Dalam salah satu tulisan Al Amiry yang dapat para pembaca lihat disini, http://www.alamiry.net/2014/03/fatwa-imam-besar-syiah-yang-mengancam.html

Al Amiry telah berdusta atas mazhab Syi’ah dan dengan kedustaan tersebut ia merendahkan salah satu pengikut Syi’ah Emilia Renita. Yang dipermasalahkan oleh Al Amiry si pendusta ini [kalau sedang bicara tentang Syi’ah] adalah alasan yang dikatakan Emilia bahwa ia tidak melakukan mut’ah karena sudah memiliki suami. Al Amiry membawakan berbagai hujjah dusta untuk menyudutkan Emilia Renita.

Kami telah membuktikan kedustaan Al Amiry ketika ia mencatut twitter yang mengatasnamakan ulama Syi’ah Muhsin Alu Usfur. Cukuplah untuk dikatakan bahwa hanya orang dungu atau pura-pura dungu yang percaya begitu saja dan berhujjah dengan akun–akun palsu untuk menuduh mazhab lain dengan tuduhan yang berat.

.

.

.

Ketika Emilia Renita meminta fatwa asli dari kitab ulama Syi’ah maka Al Amiry menjawab dengan menunjukkan kitab salah seorang ulama Syi’ah yaitu Sayyid Khumainiy. Berikut nukilan yang dikutip Al Amiry

يستحب أن تكون المتمتع بها مؤمنة عفيفة ، و السؤال عن حالها قبل التزويج و أنها ذات بعل أو ذات عدة أم لا ، و أما بعده فمكروه ، و ليس السؤال و الفحص عن حالها شرطا فى الصحة

“Disunnahkan agar perempuan yang dimut’ah adalah seorang mu’minah yang menjaga iffah, dan disunnahkan juga untuk menanyakan statusnya sebelum nikah mut’ah apakah dia masih memiliki suami atukah tidak dan masih dalam masa iddah ataukah tidak. Adapun menanyakan statusnya setelah nikah mut’ah maka hukumnya makruh. Dan bertanya hal tersebut serta memeriksa statusnya bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah” Tahrir Al Wasilah Hal. 906 Masalah ke 17

Kemudian setelah menukil pernyataan ulama Syi’ah Sayyid Khumainiy di atas, Al Amiry sok memberikan syarh [penjelasan] yang menurut kami hanya menunjukkan kerendahan akalnya dalam memahami lafaz kalimat. Al Amiry berkata

Menurut ajaran syiah, jika wanita tersebut memang benar telah memiliki suami, maka lelaki yang memut’ahnya tidak boleh menanyakan status wanita tadi. Cukuplah baginya untuk melanjutkan nikah mut’ah tanpa bertanya
Seandainya nikah mut’ah bersama seorang wanita yang sudah mempunyai suami adalah haram, maka seharusnya nikah mut’ah mereka batal. Akan tetapi Imam mereka tidak membatalkannya. Bahkan menganggapnya sah dengan memerintahkan lelaki tadi untuk tidak menanyakan status wanita tersebut.
Fatwa tersebut menyatakan bahwasanya bertanya tentang status wanita tersebut sebelum dilakukannya nikah mut’ah hanyalah sunnah dan bukanlah wajib. Sehingga dapat diambil hukum bahwasanya nikah mut’ah bersama wanita yang masih memiliki suami adalah sah karena hukum menanyakan statusnya sebelum menikah adalah sunnah dan bukanlah wajib.
Sebaliknya yang menanyakan status wanita tersebut setelah dilakukan akad nikah mut’ah adalah makruh dan dibenci walaupun secara nyata dia masih memiliki suami. Ini lebih menguatkan akan sah nya nikah mut’ah walaupun dilakukan oleh wanita yang masih memiliki suami.
Lebih jelas lagi, silahkan lihat fatwa terakhir, bertanya akan status seorang wanita yang sudah memiliki suami bukanlah syarat sah nikah mut’ah. Sehingga seorang syiah yang nikah mut’ah bersama seorang wanita yang telah bersuami tanpa bertanya terlebih dahulu hukumnya adalah sah, karena dia bukan dari syarat sah nikah mut’ah.

Kebetulan kami memiliki kitab Tahriir Al Wasiiilah Sayyid Al Khumainiy dalam bentuk scan pdf yang kami dapatkan dari situs Syi’ah. Nukilan yang disebutkan Al Amiry tersebut kami dapatkan dalam kitab Tahriir Al Wasiilah 2/265 masalah 17

Tahrir Wasilah

Tahrir Wasilah jilid 2 hal 265 Masalah 17

Apakah dalam perkataan Sayyid Khumainiy di atas ada pernyataan-pernyataan demikian?. Al Amiry ini menambah-nambah sendiri apa yang tidak dikatakan Sayyid Khumainiy. Al Khumainiy berkata

يستحب أن تكون المتمتع بها مؤمنة عفيفة

Dianjurkan melakukan mut’ah dengan wanita mu’min yang menjaga kesucian dirinya

Artinya jika hendak melakukan nikah mut’ah maka menikahlah dengan wanita mu’min yang baik-baik dan menjaga kesucian dirinya

و السؤال عن حالها قبل التزويج و أنها ذات بعل أو ذات عدة أم لا

Dan menanyakan keadaan dirinya sebelum menikah apakah ia memiliki suami atau masih dalam masa iddah atau tidak

Dari kalimat ini saja sebenarnya akan dapat diketahui seandainya nikah mut’ah itu sama-sama dibolehkan baik bagi wanita yang bersuami atau tidak, maka apa perlunya menanyakan hal tersebut. Seandainya nikah mut’ah itu sama-sama dibolehkan baik bagi wanita yang dalam masa iddah atau tidak, maka apa perlunya menanyakan hal tersebut.

و أما بعده فمكروه ، و ليس السؤال و الفحص عن حالها شرطا فى الصحة

Adapun bertanya setelahnya maka hal itu dibenci, dan bukanlah menanyakan dan memeriksa keadaan dirinya adalah syarat sahnya

Hakikat dari perkataan Sayyid Al Khumainiy di atas adalah jika ingin menikah mut’ah maka hendaknya mencari wanita mu’min yang baik yang menjaga kesucian dirinya kemudian sebelum menikah tanyakanlah keadaan dirinya apakah ia sudah bersuami atau tidak dan apakah ia sedang dalam masa iddah atau tidak. Karena kedua hal tersebut yaitu bersuami dan dalam masa iddah adalah penghalang bagi nikah baik itu nikah da’im atau nikah mut’ah.

Adapun jika menanyakan keadaan dirinya setelah menikah maka hal itu dibenci. Itu berarti tanyakanlah hal tersebut sebelum menikah. Tentu saja ini bisa dimaklumi karena sudah selayaknya jika seseorang ingin menikah dengan seorang wanita maka ia harus tahu keadaan wanita tersebut baik melalui persaksian dirinya atau melalui keterangan dari keluarganya.

Kalimat terakhir yaitu menanyakan status wanita tersebut dan memeriksa statusnya bukanlah syarat atas sahnya nikah mut’ah. Dalam mazhab syi’ah nikah mut’ah itu sah dengan adanya akad nikah mut’ah yang menyebutkan keterangan waktu dan maharnya. Menanyakan status dan memeriksa status wanita memang bukan syarat sahnya nikah mut’ah.

Jika sesuatu itu disebut sebagai syarat sah maka ia harus ada dan jika tidak ada maka hukumnya tidak sah. Jika seseorang tidak menanyakan dan tidak memeriksa status wanita tersebut karena sudah jelas bagi dirinya akan keadaan wanita tersebut [misalkan keluarganya telah mengabarkan kepadanya tanpa ia perlu bertanya atau memeriksa wanita itu] maka tetap saja pernikahan itu sah.

Dan pernyataan Sayyid Al Khumainiy tersebut bukan berarti membolehkan seseorang menikahi wanita yang telah bersuami dan bukan juga membolehkan untuk meneruskan pernikahan dengan istri yang ternyata baru diketahui bahwa ia memiliki suami. Silakan Al Amiry membaca kitab Tahriir Al Wasiilah maka ia akan menemukan pernyataan berikut

Tahrir Wasilah jilid 2 hal 232 Masalah 24

إذا ادعت امرأة أنها خلية فتزوجها رجل ثم ادعت بعد ذلك أنها كانت ذات بعل لم تسمع دعواها ، نعم لو أقامت البينة على ذلك فرق بينهما ، و يكفى فى ذلك بأن تشهد بأنها كانت ذات بعل فتزوجت حين كونها كذلك من الثانى من غير لزوم تعيين زوج معين

Jika seorang wanita mengaku bahwa ia tidak memiliki suami dan ia dinikahi oleh seorang laki-laki kemudian setelah itu, ia mengaku memiliki suami maka jangan didengar pengakuannya. Memang, kalau wanita tersebut membawa bukti atas pengakuannya itu, maka harus dipisahkan keduanya. Dan cukuplah dalam hal demikian itu orang yang bersaksi bahwa ia memiliki suami sebelumnya dan ia menikah lagi dengan suaminya sekarang dalam keadaan masih demikian tanpa harus menyebutkan dengan jelas siapa suami sebelumnya. [Tahrir Al Wasilah Sayyid Al Khumainiy 2/232 masalah 24]

Maka dari itu bisa saja suatu pernikahan baik nikah da’im atau nikah mut’ah [yang pada awalnya telah sah] kemudian menjadi batal atau harus dipisahkan keduanya karena terdapat pembatal nikah yang baru diketahui setelah pernikahan itu dinyatakan sah misalnya istri tersebut baru diketahui terbukti sudah punya suami sebelumnya.

Pada intinya adalah Al Amiry berdusta atas ulama Syi’ah Sayyid Al Khumainiy. Al Amiry mengesankan kepada para pembacanya bahwa Sayyid Al Khumainiy membolehkan menikahi wanita yang sudah bersuami padahal faktanya Sayyid Al Khumainiy tidak pernah membolehkan menikahi wanita yang sudah bersuami.

.

.

.

Kemudian Al Amiry membawakan riwayat Imam Ja’far dalam kitab Syi’ah yang menurut anggapannya dapat ia jadikan hujjah untuk menyerang Emilia. Al Amiry berkata

Bahkan Imam mereka Ja’far Ash Shodiq telah menegur seseorang karena dia memeriksa status wanita mut’ahnya yang telah memiliki suami. Disebutkan dalam kitab mereka:

قال: قلت اني تزوجت امرأة متعة فوقع في نفسي أن لها زوجا ففتشت عن ذلك فوجدت لها زوجا قال: ولم فتشت؟!

Seseorang berkata: Aku berkata: seseungguhnya aku menikahi seorang wanita secara mut’ah, maka terbesit dalam pikiranku bahwasanya dia memiliki seorang suami. Maka aku memeriksa hal tersebut dan aku mendapatkannya dia masih memiliki seorang suami. Maka Ja’far berkata: “Kenapa engkau malah memeriksa statusnya ?!” Tahdzib Al Ahkam 218/13 dan Wasa’il Asy Syiah 246/6

Lihat, apa yang dilakukan oleh Imam Mereka Ja’far Ash Shodiq yang melarang seseorang karena dia telah memeriksa dan menanyakan status wanita mut’ahnya yang telah memiliki suami. Jika Emilia mau bukti dengan minta screenshootnya, maka akan kami berikan kepadanya, baik dari kitab tahdzib Al Ahkam ataupun Wasa’il Asy Syiah. Jangan kira kami sembarang copas, karena kami punya kitab ini semua dan kami screenshoot langsung dari kitab mereka. Alasan apa lagi yang akan dilakukan oleh dedengkot syiah satu ini ??

Berikut riwayat beserta sanad lengkapnya dalam kitab Tahdzib Al Ahkam oleh ulama Syi’ah Syaikh Ath Thuusiy

روى محمد بن أحمد بن يحيى عن علي بن السندي عن عثمان بن عيسى عن إسحاق بن عمار عن فضل مولى محمد بن راشد عن أبي عبد الله عليه السلام قال: قلت اني تزوجت امرأة متعة فوقع في نفسي أن لها زوجا ففتشت عن ذلك فوجدت لها زوجا قال: ولم فتشت؟

Muhammad bin Ahmad bin Yahya dari ‘Aliy bin As Sindiy dari ‘Utsman bin Iisa dari Ishaaq bin ‘Ammaar dari Fadhl maula Muhammad bin Raasyid dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata aku menikahi seorang wanita secara mut’ah maka muncul dari diriku bahwa ia memiliki suami. Maka aku menyelidiki hal tersebut dan menemukan bahwa ia memiliki suami. Beliau berkata “mengapa engkau menyelidikinya?”. [Tahdzib Al Ahkam Syaikh Ath Thuusiy 7/253]

Riwayat di atas sesuai dengan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah kedudukannya dhaif karena

  1. Aliy bin As Sindiy dia perawi yang tidak tsabit tautsiq terhadapnya [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 398]
  2. Fadhl maula Muhammad bin Raasyid seorang yang majhul [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 458]

Justru terdapat riwayat shahih dalam kitab Al Kafiy Al Kulainiy yang mengisyaratkan tidak bolehnya menikahi mut’ah wanita yang bersuami.

عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى عن الحسين بن سعيد عن فضالة عن ميسر قال قلت لأبي عبد الله (عليه السلام) ألقى المرأة بالفلاة التي ليس فيها أحد فأقول لها هل لك زوج؟ فتقول لا، فأتزوجها؟ قال نعم هي المصدقة على نفسها

Dari sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisa dari Husain bin Sa’iid dari Fadhalah dari Maysar yang berkata aku berkata kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] “aku menemui seorang wanita di tengah padang luas dan tidak ada seorangpun bersamanya, maka kukatakan kepadanya “apakah engkau memiliki suami”. Maka ia berkata “tidak”, bolehkah aku menikahinya?. Beliau berkata “boleh, dia adalah saksi yang membenarkan keadaan dirinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/462]

Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul sebagaimana yang dinukil An Najasyiy

وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم

Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026]

Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  2. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
  3. Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355]
  4. Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
  5. Maysar bin ‘Abdul Aziz termasuk sahabat Imam Baqir dan Imam Shaadiq, seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 634]

Riwayat di atas mengisyaratkan bahwa menikahi wanita yang memiliki suami adalah tidak boleh, karena kalau memang dibolehkan maka tidak ada gunanya perawi tersebut bertanya kepada Imam Ja’far dan jawaban Imam Ja’far tersebut akan menjadi rancu. Toh kalau tidak ada bedanya sudah bersuami atau tidak yaitu sama-sama boleh dinikahi, maka tidak ada gunanya pernyataan Imam Ja’far bahwa “ia adalah saksi yang membenarkan keadaan dirinya”.

Jawaban Imam Ja’far ini justru menjelaskan bahwa pengakuan seorang wanita akan dirinya menjadi hujjah yang dapat diterima oleh karena itu pernyataan wanita tersebut bahwa ia tidak memiliki suami menjadikannya boleh untuk dinikahi. Artinya jika wanita tersebut memiliki suami maka tidak boleh dinikahi.

Dan dalil paling kuat di sisi mazhab Syi’ah mengenai haramnya menikahi wanita yang sudah bersuami baik secara nikah da’im atau nikah mut’ah adalah Al Qur’an An Nisaa’ ayat 24

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan [diharamkan juga kamu menikahi] wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, [yaitu] mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS An Nisaa’ ayat 24]

.

.

.

Penutup

Kami heran dengan orang-orang alim yang karena kebenciannya terhadap mazhab Syi’ah maka mereka merendahkan diri menjadi orang dungu dan pendusta. Apakah mereka pikir tidak ada orang yang akan mengungkap kedunguan dan kedustaan mereka?. Zaman sekarang ini dunia ilmu sudah semakin mudah untuk dicapai hanya tinggal kemauan dan usaha. Jadi kami sarankan untuk orang-orang seperti Al Amiry agar belajar dulu dengan baik mengenai mazhab Syi’ah sebelum anda sok tahu mencelanya.

Alangkah malangnya orang-orang awam yang disesatkan oleh orang-orang alim dengan kedunguan dan kedustaan. Biasanya orang-orang awam itu hanya ikut-ikutan sok tahu dan ikut-ikutan mencela. Jika ditunjukkan kebenaran kepada orang-orang awam tersebut kemudian diungkapkan kedustaan orang alim yang mereka ikuti maka mereka malah mendustakan kebenaran dan membela kedustaan. Maka kami sarankan kepada para pembaca jangan mau menjadi orang awam, belajarlah dan timbanglah semua pengetahuan yang didapat dengan timbangan kebenaran.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Syaikh Khalid Al Wushabiy Dan Imam Mahdiy Dalam Mazhab Syi’ah

$
0
0

Syaikh Khalid Al Wushabiy Dan Imam Mahdi Dalam Mazhab Syi’ah

Ada video menarik mengenai diskusi antara Syaikh Khalid Al Wushabiy [Sunni] dan Syauqiy Ahmad [Syi’ah] mengenai Imam Mahdiy. Para pembaca yang berminat dapat melihat penggalan video tersebut disini.

http://antimajos.com/2014/11/06/saksi-mata-kelahiran-mahdi-adalah-sosok-fiktif/

Hal menarik yang ingin dibahas disini adalah ketika Syaikh Khalid Al Wushabiy mempermasalahkan riwayat kelahiran Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah. Syaikh Khalid Al Wushabiy menunjukkan bahwa semua riwayat [dalam mazhab Syi’ah] yang menerangkan lahirnya Imam Mahdiy berasal dari kesaksian Hakiimah binti Muhammad Al Jawaad. Dan menurut penelitian Syaikh Khalid ternyata Hakiimah ini fiktif atau mitos belaka dan seandainya pun Hakiimah benar ada maka ia majhul bukan orang yang bisa dipercaya.

Sampai disini perkara tersebut tidak menjadi masalah tetapi Syaikh Khalid kemudian menyatakan bahwa keyakinan Imam Mahdi dalam mazhab Syi’ah ternyata bersumber dari tokoh fiktif atau majhul. Ini merupakan lompatan kesimpulan yang mengagumkan. Maksudnya mungkin akan membuat kagum orang-orang awam [tertama dari kalangan pengikut Syaikh Khalid] tetapi bagi para pencari kebenaran hal ini nampak sebagai usaha menyesatkan orang-orang awam untuk merendahkan mazhab Syi’ah.

Secara kritis kalau kita ingin berbicara mengenai keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah maka cara yang benar adalah mengumpulkan semua riwayat dalam kitab Syi’ah yang berbicara tentang Imam Mahdiy. Kemudian dianalisis riwayat-riwayat tersebut baru ditarik kesimpulan. Kelahiran Imam Mahdiy hanya salah satu bagian dari kumpulan riwayat Imam Mahdiy dalam kitab Syi’ah. Seandainya pun tidak ada riwayat shahih mengenai kelahiran Al Mahdiy maka bukan berarti Al Mahdiy tersebut tidak pernah lahir sehingga runtuhlah keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

Kelahiran Imam Mahdiy adalah bagian parsial dari eksistensi Imam Mahdiy. Seseorang bisa saja tidak diketahui kapan lahirnya tetapi orang tersebut ya memang ada bukan fiktif. Hanya logika sesat yang menyatakan bahwa jika tidak ada bukti shahih kelahiran Imam Mahdiy maka runtuhlah eksistensi Imam Mahdiy [dalam mazhab Syi’ah]. Misalkan jika dalam mazhab Ahlus Sunnah tidak ditemukan riwayat-riwayat shahih mengenai kelahiran Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], para Nabi dan para sahabat. Apakah hal itu menjadi dasar untuk menyatakan runtuhnya keyakinan tentang mereka?. Tentu saja tidak bahkan logika sesat seperti ini terkesan menggelikan.

.

.

.

Eksistensi Imam Mahdiy Dalam Mazhab Syi’ah

Jika kita memang berniat mencari kebenaran meneliti hakikat Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah maka terdapat riwayat-riwayat shahih dalam kitab Syi’ah yang membuktikan eksistensinya.

.

محمد بن يحيى، عن أحمد بن إسحاق، عن أبي هاشم الجعفري قال: قلت لأبي محمد عليه السلام: جلالتك تمنعني من مسألتك، فتأذن لي أن أسألك؟ فقال: سل، قلت يا سيدي هل لك ولد؟ فقال: نعم، فقلت: فإن بك حدث فأين أسأل عنه؟ فقال بالمدينة

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Ishaaq dari Abi Haasyim Al Ja’fariy yang berkata aku berkata kepada Abu Muhammad [‘alaihis salaam] “kemuliaanmu membuatku segan untuk bertanya kepadamu, maka izinkanlah aku untuk bertanya kepadamu?”. Beliau berkata “tanyakanlah”. Aku berkata “wahai tuanku apakah engkau memiliki anak?”. Beliau berkata “benar” aku berkata “maka jika terjadi sesuatu padamu kemana aku akan bertanya kepadanya”. Beliau berkata “di Madinah” [Al Kafiy Al Kulainiy 1/328]

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan kitab Rijal Syi’ah

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. Ahmad bin Ishaaq bin Sa’d Al Asy’ariy seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 397]
  3. Abu Haasyim Al Ja’fariy adalah Dawud bin Qaasim seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 399]

Abu Muhammad [‘alaihis salaam] yang dimaksud adalah Imam Hasan Al Askariy [‘alaihis salaam] karena Abi Haasyim Al Ja’fariy termasuk sahabat Imam Hasan Al Askariy dan Beliau dikenal dengan kuniyah Abu Muhammad. Ath Thuusiy menyebutkan dalam kitabnya judul bab “para sahabat Abu Muhammad Hasan bin Aliy bin Muhammad bin Aliy Ar Ridha [‘alaihimus salaam]” [Rijal Ath Thuusiy hal 395]

Riwayat shahih di atas membuktikan bahwa Imam Hasan Al Askariy memang memiliki seorang anak. Anak Imam Hasan Al Askariy inilah yang dikenal sebagai imam kedua belas atau imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

.

محمد بن يعقوب الكليني عن محمد بن جعفر الأسدي قال حدثنا أحمد بن إبراهيم قال دخلت على خديحة بنت محمد بن علي عليهما السلام سنة اثنين وستين ومائتين ، فكلمتها من وراء حجاب ، وسألتها عن دينها ، فسمت لي من تأتمَّ بهم ، ثم قالت فلان بن الحسن وسمته ، فقلت لها جعلت فداك معاينة أو خبراً ؟ قالت خبراً عن أبي محمد (عليه السلام) كتب إلى إمه

Muhammad bin Ya’qub Al Kulainiy dari Muhammad bin Ja’far Al Asadiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim yang berkata aku menemui Khadiijah binti Muhammad bin ‘Aliy [‘alaihimas salaam] pada tahun 262 H, maka aku berbicara dengannya dari balik tabir, aku bertanya kepadanya tentang agamanya, maka ia menyebutkan kepadaku orang yang ia ikuti kemudian berkata Fulan putra Hasan dan ia menyebutkannya, maka aku berkata kepadanya “aku menjadi tebusanmu, apakah engkau melihatnya sendiri atau mendapatkan kabar?”. Beliau berkata “kabar dari Abu Muhammad [‘alaihis salaam] yaitu surat kepada ibunya…” [Al Ghaibah Syaikh Ath Thuusiy hal 143]

Riwayat di atas memiliki sanad yang hasan berdasarkan keterangan para perawinya dalam kitab Rijal Syi’ah

  1. Muhammad bin Ya’qub Al Kulainiy dia adalah orang yang paling tsiqat dalam hadis dan paling tsabit diantara mereka [Rijal An Najasyiy hal 377 no 1026]
  2. Muhammad bin Ja’far Al Asadiy adalah Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin ‘Aun seorang yang tsiqat shahih al hadiits, hanya saja ia meriwayatkan dari para perawi dhaif [Rijal An Najasyiy hal 373 no 1020]
  3. Ahmad bin Ibrahiim Abu Haamid Al Maraaghiy seorang yang mamduh, agung kedudukannya [Rijal Ibnu Dawud hal 23 no 55]. Al Majlisiy juga menyatakan ia mamduh [Al Wajiizah no 62]
  4. Khadiijah binti Muhammad bin Aliy Ar Ridhaa saudara perempuan imam Aliy Al Hadiy, ia seorang yang arif jalil dan alim dalam khabar [A’yaan Asy Syi’ah Sayyid Muhsin Amin 6/313]

Sanad riwayat di atas dikatakan hasan karena terdapat dua perawi yang berpredikat mamduh [terpuji] yaitu Ahmad bin Ibrahim Al Maraaghiy dan Khadiijah binti Muhammad bin ‘Aliy Ar Ridhaa.

Matan riwayat menyebutkan kalau Khadiijah binti Muhammad bin Aliy Ar Ridhaa mengakui keberadaan putra Imam Hasan Al Askariy berdasarkan kabar dari surat Imam Hasan Al Askariy [Abu Muhammad] kepada ibunya.

.

محمد بن عبد الله ومحمد بن يحيى جميعا، عن عبد الله بن جعفر الحميري قال اجتمعت أنا والشيخ أبو عمرو رحمه الله عند أحمد بن إسحاق فغمزني أحمد بن إسحاق أن أسأله عن الخلف فقلت له: يا أبا عمرو إني أريد أن أسألك عن شئ وما أنا بشاك فيما أريد أن أسألك عنه، فإن اعتقادي وديني أن الأرض لا تخلو من حجة إلا إذا كان قبل يوم القيامة بأربعين يوما، فإذا كان ذلك رفعت الحجة وأغلق باب التوبة فلم يك ينفع نفسا إيمانها لم تكن آمنت من قبل أو كسبت في إيمانها خيرا، فأولئك أشرار من خلق الله عز و جل وهم الذين تقوم عليهم القيامة ولكني أحببت أن أزداد يقينا وإن إبراهيم عليه السلام سأل ربه عز وجل أن يريه كيف يحيي الموتى، قال: أو لم تؤمن قال: بلى ولكن ليطمئن قلبي، وقد أخبرني أبو علي أحمد بن إسحاق، عن أبي الحسن عليه السلام قال سألته وقلت من أعامل أو عمن آخذ، وقول من أقبل؟ فقال له: العمري ثقتي فما أدى إليك عني فعني يؤدي وما قال لك عني فعني يقول، فاسمع له وأطع، فإنه الثقة المأمون، وأخبرني أبو علي أنه سأل أبا محمد عليه السلام عن مثل ذلك، فقال له: العمري وابنه ثقتان، فما أديا إليك عني فعني يؤديان وما قالا لك فعني يقولان، فاسمع لهما وأطعمها فإنهما الثقتان المأمونان، فهذا قول إمامين قد مضيا فيك قال: فخر أبو عمرو ساجدا وبكى ثم قال: سل حاجتك فقلت له: أنت رأيت الخلف من بعد أبي محمد عليه السلام؟ فقال: إي والله ورقبته مثل ذا – وأومأ بيده – فقلت له: فبقيت واحدة فقال لي: هات، قلت: فالاسم؟ قال: محرم عليكم أن تسألوا عن ذلك، ولا أقول هذا من عندي، فليس لي أن أحلل ولا أحرم، ولكن عنه عليه السلام، فإن الامر عند السلطان، أن أبا محمد مضى ولم يخلف ولدا وقسم ميراثه وأخذه من لا حق له فيه وهوذا، عياله يجولون ليس أحد يجسر أن يتعرف إليهم أو ينيلهم شيئا، وإذا وقع الاسم وقع الطلب، فاتقوا الله وأمسكوا عن ذلك

Muhammad bin ‘Abdullah dan Muhammad bin Yahya [keduanya] dari ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy yang berkata telah berkumpul aku dan Syaikh Abu ‘Amru [rahimahullaah] di sisi Ahmad bin Ishaaq, maka Ahmad bin Ishaaq memberi isyarat kepadaku untuk bertanya kepadanya [Abu ‘Amru] mengenai pengganti [imam]. Maka aku berkata kepadanya “wahai Abu ‘Amru aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu dan tidaklah aku meragukan mengenai hal yang ingin aku tanyakan, karena dalam keyakinanku dan agamaku sesungguhnya bumi tidak akan kosong dari hujjah kecuali 40 hari sebelum hari kiamat dan pada masa itu hujjah diangkat dan pintu taubat ditutup, tidaklah bermanfaat iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau ia [belum] mengusahakan kebaikan dalam masa imannya, maka mereka orang-orang saat itu adalah makhluk Allah ‘azza wajalla yang paling buruk dan merekalah yang akan mengalami hari kiamat. Akan tetapi aku ingin menambah keyakinanku sebagaimana Ibrahim [‘alaihis salaam] bertanya kepada Rabb-nya ‘azza wajalla agar diperlihatkan kepadanya bagaimana menghidupkan orang-orang mati maka [Allah berfirman] Belum yakinkah kamu? Ibrahim menjawab “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap”. Dan sungguh telah mengabarkan kepadaku Abu ‘Aliy Ahmad bin Ishaaq dari Abu Hasan [‘alaihis salaam], aku bertanya kepadanya, aku berkata “siapakah yang akan kuikuti atau dari siapa aku mengambil dan perkataan siapa yang harus aku terima”. Maka Beliau [Abu Hasan] menjawab “Al ‘Amiriy ia adalah kepercayaanku, maka apa yang ia berikan kepadamu dariku maka itu adalah pemberianku dan apa yang ia katakan kepadamu dariku maka itu adalah perkataanku, dengarlah dan taatlah sesuangguhnya ia seorang yang tsiqat ma’mun. Dan telah mengabarkan kepadaku Abu ‘Aliy bahwa ia bertanya kepada Abu Muhammad [‘alaihis salaam] perkara yang sama, maka Beliau [Abu Muhammad] berkata “Al ‘Amiriy dan anaknya keduanya tsiqat, apa yang keduanya berikan kepadamu dariku maka itu adalah pemberianku dan apa yang keduanya katakan kepadamu dariku maka itu adalah perkataanku, dengarkanlah dan taatlah pada mereka berdua sesungguhnya keduanya tsiqat ma’mun. Inilah perkataan kedua Imam tentang dirimu. [Abdullah bin Ja’far Al Himyariy] berkata maka Abu ‘Amru bersujud dan menangis, kemudian berkata “tanyakanlah keperluanmu”. Maka aku berkata kepadanya “apakah engkau pernah melihat pengganti [imam] setelah Abu Muhammad [‘alaihis salaam]?”. Ia menjawab “ya, demi Allah dan lehernya seperti ini [ia mengisyaratkan dengan tangannya]”. Aku berkata kepadanya “tinggal satu pertanyaan lagi”. Ia berkata “tanyakanlah”. Aku berkata “siapakah namanya”. Ia menjawab “haram atas kalian menanyakan hal itu, dan tidaklah perkataan ini berasal dariku, bukan diriku yang menyatakan halal atau haram, tetapi hal itu berasal darinya [‘alaihis salaam]. Karena perkara ini di sisi sultan adalah Abu Muhammad wafat dan tidak meninggalkan anak, warisannya dibagi dan diambil oleh orang-orang yang tidak memiliki hak terhadapnya, sedangkan ahli warisnya bertebaran dan tidak seorangpun berani untuk mengungkapkan diri kepada mereka atau mengambil kembali dari mereka, jika nama [tersebut] dimunculkan maka akan dilakukan pencarian, maka takutlah kepada Allah dan diamlah terhadap perkara ini [Al Kafiy Al Kulainiy 1/329-330]

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah

  1. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]
  3. Ahmad bin Ishaaq bin Sa’d Al Asy’ariy yaitu Abu ‘Aliy Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 397]
  4. Abu ‘Amru yang dimaksud di atas adalah Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy termasuk salah satu wakil Imam, seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 401] dan disebutkan dalam atsar di atas bahwa Abu ‘Amru telah dinyatakan tsiqat oleh Imam Abu Hasan Aliy Al Hadiy [‘alaihis salaam] dan Imam Abu Muhammad Hasan Al Askariy [‘alaihis salaam]

Matan riwayat di atas menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far berkumpul dengan Abu ‘Amru Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy di sisi Abu ‘Aliy Ahmad bin Ishaaq, dan Abdullah bin Ja’far menyebutkan dari Abu ‘Aliy dari kedua imam yaitu Abu Hasan [‘alaihis salaam] dan Abu Muhammad [‘alaihis salaam] bahwa Abu ‘Amru Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy seorang yang tsiqat ma’mun. Kemudian Abdullah bin Ja’far bertanya kepada Abu ‘Amru apakah ia pernah melihat pengganti Imam Hasan Al Askariy yaitu Imam Mahdiy maka Abu ‘Amru Al ‘Amiriy menyatakan bahwa ia sudah pernah melihatnya. Riwayat shahih ini dengan jelas membuktikan eksistensi Imam Mahdiy di sisi mazhab Syi’ah.

.

حدثنا محمد بن موسى بن المتوكل رضي الله عنه قال حدثنا عبد الله بن جعفر الحميري قال سألت محمد بن عثمان العمري رضي الله عنه فقلت له أرأيت صاحب هذا الامر؟ فقال نعم وآخر عهدي به عند بيت الله الحرام وهو يقول  اللهم أنجز لي ما وعدتني

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muusa bin Al Mutawakil [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy yang berkata aku bertanya kepada Muhammad bin ‘Utsman Al ‘Amiriy radiallahu ‘anhu, maka aku berkata kepadanya “apakah engkau pernah melihat pemilik urusan ini [Al Mahdiy]?”. Beliau berkata “benar, dan terakhir aku melihatnya di sisi Baitullah dan ia berkata “Ya Allah penuhilah untukku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku” [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 440]

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah

  1. Muhammad bin Musa bin Al Mutawakil adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59]
  2. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]
  3. Muhammad bin ‘Utsman bin Sa’iid Al ‘Amiriy adalah salah satu dari wakil Imam, seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiist no 549]

Matan riwayat shahih di atas menyebutkan bahwa Muhammad bin ‘Utsman bin Sa’iid Al Amiriy seorang yang tsiqat ma’mun [sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan Al Askariy] telah melihat Al Mahdiy di Baitullah. Riwayat shahih ini telah membuktikan eksistensi Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

.

.

.

Keghaiban Imam Mahdiy Dalam Mazhab Syi’ah

Dalam mazhab Syi’ah terdapat keyakinan bahwa Imam Mahdiy akan ghaib hingga waktu yang telah Allah ‘azza wajalla tetapkan baru kemudian muncul kembali. Tidak benar anggapan bahwa keyakinan ini dalam mazhab Syi’ah hanya bersumber dari kesaksian orang yang tidak dikenal. Justru keyakinan ini telah tsabit dalam berbagai riwayat shahih dalam mazhab Syi’ah.

.

حدثنا محمد بن الحسن رضي الله عنه قال حدثنا سعد بن عبد الله قال حدثنا أبو جعفر محمد بن أحمد العلوي عن أبي هاشم داود بن القاسم الجعفري قال سمعت أبا الحسن صاحب العسكر عليه السلام يقول الخلف من بعدي ابني الحسن فكيف لكم بالخلف من بعد الخلف فقلت ولم جعلني الله فداك فقال لأنكم لا ترون شخصه ولا يحل لكم ذكره باسمه قلت فكيف نذكره قال قولوا الحجة من آل محمد صلى الله عليه وآله وسلم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad Al ‘Alawiy dari Abi Haasyim Dawud bin Qaasim Al Ja’fariy yang berkata aku mendengar Abul Hasan shahib Al Askar [‘alaihis salaam] mengatakan “pengganti setelahku adalah anakku Hasan maka bagaimana kalian terhadap pengganti dari penggantiku?”. Aku berkata “aku menjadi tebusanmu, mengapa?”. Beliau berkata “karena kalian tidak akan melihat dirinya secara fisik dan tidak dibolehkan bagi kalian menyebutnya dengan namanya”. Aku berkata “maka bagaimana menyebutnya?”. Beliau berkata “kalian katakanlah hujjah dari keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 381]

Riwayat di atas sanadnya hasan, para perawinya tsiqat dan hasan berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah

  1. Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042]
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135].
  3. Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad Al ‘Alawiy tidak tsabit tautsiq terhadapnya hanya saja ia hasan [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadiits hal 497].
  4. Abu Haasyim Al Ja’fariy adalah Dawud bin Qaasim seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 399]

Imam Aliy Al Hadiy menyebutkan bahwa pengganti dari anaknya Abu Muhammad Imam Hasan Al Askariy tidak dapat dilihat oleh sebagian pengikutnya dan tidak diperbolehkan menyebutkan namanya. Hal ini adalah isyarat akan adanya keghaiban pengganti Imam Hasan Al Askariy yaitu Imam Mahdiy.

.

حدثنا أحمد بن زياد بن جعفر الهمداني رضي الله عنه قال: حدثنا علي ابن إبراهيم بن هاشم، عن أبيه، عن أبي أحمد محمد بن زياد الأزدي قال: سألت سيدي موسى بن جعفر عليهما السلام عن قول الله عز وجل: ” وأسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة ”  فقال عليه السلام: النعمة الظاهرة الامام الظاهر، والباطنة الامام الغائب، فقلت له: و يكون في الأئمة من يغيب؟ قال: نعم يغيب عن أبصار الناس شخصه، ولا يغيب عن قلوب المؤمنين ذكره، وهو الثاني عشر منا، يسهل الله له كل عسير، ويذلل له كل صعب، ويظهر له كنوز الأرض، ويقرب له كل بعيد، ويبير به كل جبار عنيد ويهلك على يده كل شيطان مريد، ذلك ابن سيدة الإماء الذي تخفى على الناس ولادته، ولا يحل لهم تسميته حتى يظهره الله عز وجل فيملأ الأرض قسطا وعدلا كما ملئت جورا وظلما

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ibrahim bin Haasyim dari Ayahnya dari Abi Ahmad Muhammad bin Ziyaad Al Azdiy yang berkata aku bertanya kepada tuanku Muusa bin Ja’far [‘alaihimas salaam] tentang firman Allah ta’ala “menyempurnakan atas kalian nikmat-Nya lahir dan bathin”. Maka Beliau [‘alaihis salaam] berkata “nikmat lahir adalah imam yang nampak dan [nikmat] bathin adalah imam yang ghaib”. Maka aku berkata kepada Beliau “apakah diantara imam-imam ada yang ghaib?”. Beliau berkata “benar, dirinya [fisiknya] akan ghaib dari penglihatan orang-orang tetapi sebutannya tidak ghaib di hati orang-orang mukmin. Dia adalah yang keduabelas dari kami. Allah memudahkan baginya semua kesulitan, membantunya mengatasi semua kemalangan, menampakkan baginya harta-harta di bumi, mendekatkan baginya semua yang jauh, menghancurkan dengannya semua orang yang bertindak sewenang-wenang lagi keras kepala dan menghancurkan dengan tangannya semua pengikut setan. Dia adalah anak dari sayyidah budak wanita, ia disembunyikan kelahirannya dari orang-orang dan tidak dibolehkan bagi mereka menyebutkan namanya sampai Allah ‘azza wajalla memunculkannya dan memenuhi bumi dengan  keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan penindasan dan kezaliman [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 328-329]

Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah

  1. Ahmad bin Ziyaad bin Ja’far Al Hamdaaniy, ia seorang yang tsiqat fadhl sebagaimana yang dinyatakan Syaikh Shaduq [Kamal Ad Diin Syaikh Shaduq hal 329]
  2. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]
  3. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]
  4. Abu Ahmad Muhammad bin Ziyaad Al Azdiy adalah Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]

Matan riwayat sangat jelas menyebutkan bahwa Imam kedua belas dari kalangan ahlul bait yaitu Imam Mahdiy akan mengalami keghaiban.

.

حدثنا أبي، ومحمد بن الحسن، ومحمد بن موسى المتوكل رضي الله عنهم قالوا حدثنا سعد بن عبد الله، وعبد الله بن جعفر الحميري، ومحمد بن يحيى العطار جميعا قالوا: حدثنا أحمد بن محمد بن عيسى، وإبراهيم بن هاشم، وأحمد بن أبي عبد الله البرقي، ومحمد بن الحسين بن أبي الخطاب جميعا: قالوا: حدثنا أبو علي الحسن ابن محبوب السراد، عن داود بن الحصين، عن أبي بصير، عن الصادق جعفر بن محمد عن آبائه عليهم السلام قال: قال رسول الله صلى الله عليه وآله: المهدي من ولدي، اسمه اسمي، وكنيته كنيتي، أشبه الناس بي خلقا وخلقا، تكون له غيبة وحيرة حتى تضل الخلق عن أديانهم، فعند ذلك يقبل كالشهاب الثاقب فيملأها قسطا وعدلا كما ملئت ظلما وجورا

Telah menceritakan kepada kami Ayahku, Muhammad bin Hasan dan Muhammad bin Muusa Al Mutawakil [radiallahu ‘anhum], mereka berkata telah menceritakan kepada kami Sa’d bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy, Muhammad bin Yahya Al ‘Aththaar, mereka berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ahmad bin Muhammad bin Iisa, Ibrahim bin Haasyim, Ahmad bin Abi ‘Abdullah Al Barqiy dan Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab, mereka berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy Hasan Ibnu Mahbuub As Saraad dari Dawud bin Hushain dari Abi Bashiir dari Ash Shaadiq Ja’far bin Muhammad dari Ayah-ayahnya [‘alaihis salaam] yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Al Mahdiy dari keturunanku, namanya sama dengan namaku, kuniyah-nya sama dengan kuniyahku, dia adalah orang yang paling menyerupaiku dalam fisik dan akhlak, dia akan mengalami keghaiban dan terjadi kebingungan hingga orang-orang tersesat dari agama mereka, maka pada masa itu ia akan datang seperti bintang yang menyala, dia akan memenuhinya [bumi] dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi oleh kezaliman dan penindasan [Kamal Ad Diin Wa Tamaam An Ni’mah Syaikh Ash Shaduuq hal 287]

Para perawi hadis di atas adalah para perawi tsiqat berdasarkan keterangan dalam kitab Rijal Syi’ah

  1. Aliy bin Husain bin Musa bin Babawaih Al Qummiy Ayah Syaikh Ash Shaaduq adalah Syaikh di Qum terdahulu faqih dan tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 261 no 684]. Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042]. Muhammad bin Musa bin Mutawakil adalah salah satu dari guru Ash Shaduq, ia seorang yang tsiqat [Khulashah Al Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 251 no 59]
  2. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]. ‘Abdullah bin Ja’far Al Himyariy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 400]. Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946].
  3. Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]. Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]. Ahmad bin Abu ‘Abdullah Al Barqiy atau Ahmad bin Muhammad bin Khalid Al Barqiy seorang yang pada dasarnya tsiqat, meriwayatkan dari para perawi dhaif dan berpegang dengan riwayat mursal [Rijal An Najasyiy hal 76 no 182]. Muhammad bin Husain bin Abil Khaththaab seorang yang mulia, agung kedudukannya, banyak memiliki riwayat, tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 334 no 897]
  4. Abu ‘Aliy Hasan bin Mahbuub As Saraad seorang penduduk kufah yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 354]
  5. Dawud bin Hushain meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] dan Abu Hasan [‘alaihis salaam], seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 159 no 421].
  6. Abu Bashiir adalah Abu Bashiir Al Asdiy Yahya bin Qasim seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 441 no 1187]

Sebagian ulama Syi’ah menetapkan hadis ini sebagai hadis shahih tetapi penilaian ini perlu ditinjau kembali karena Dawud bin Hushain memang seorang yang tsiqat tetapi dikatakan kalau ia bermazhab waqifiy.

Allamah Al Hilliy menukil dari Ath Thuusiy dan Ibnu Uqdah bahwa Dawud bin Hushain bermazhab waqifiy, dan Allamah Al Hilliy berkata “yang kuat di sisiku adalah bertawaqquf terhadap riwayatnya” [Khulashah Al Aqwaal 345 no 1366]

Berdasarkan kaidah ilmu hadis mazhab Syi’ah perawi tsiqat dengan bermazhab menyimpang seperti waqifiy tidak dinyatakan sebagai shahih hadisnya tetapi turun derajatnya menjadi muwatstsaq. Dan kedudukan hadis muwatstsaq bisa dijadikan hujjah jika tidak bertentangan dengan hadis shahih lainnya dalam mazhab Syi’ah. Hadis di atas sangat bersesuaian dengan  kedua hadis sebelumnya maka bisa dijadikan hujjah.

.

.

.

Kesimpulan

Kami membuat tulisan ini bukan sebagai pembelaan terhadap lawan diskusi Syaikh Khalid Al Wushabiy tetapi sebagai suatu usaha untuk meluruskan distorsi atau kedustaan terhadap mazhab Syi’ah. Ada dua hal dari Syaikh Khalid Al Wushabiy yang menurut kami benar

  1. Perkara kredibilitas Hakiimah binti Muhammad bin Aliy itu adalah benar, kami belum menemukan riwayat shahih yang menyebutkan tentangnya.
  2. Perkara hadis kelahiran Al Mahdiy yang tidak tsabit hal itu juga benar karena kami [sejauh ini] juga belum menemukan riwayat shahih yang menyebutkan kisah kelahirannya

Tetapi jika dengan kedua poin ini dinyatakan kalau keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah menjadi runtuh karena hanya berdasarkan kesaksian orang yang tidak dikenal maka itu tidak lain adalah distorsi atas kebenaran atau merupakan kedustaan terhadap Syi’ah. Banyak hadis-hadis shahih dalam mazhab Syi’ah yang membuktikan keberadaan Imam Mahdiy mazhab Syi’ah dan banyak pula hadis-hadis shahih dalam kitab Syi’ah tentang keyakinan keghaiban Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah.

Tentu saja bagi Ahlus Sunnah [dan juga bagi kami] riwayat-riwayat Syi’ah di atas tidak menjadi hujjah tetapi bukan itu inti masalahnya. Inti masalahnya adalah adanya ulama Ahlus Sunnah yang mengklaim bahwa fondasi keyakinan Imam Mahdiy dalam mazhab Syi’ah itu sangat lemah dalam kitab-kitab Syi’ah. Nah inilah yang dibahas dalam tulisan di atas. Kita boleh saja berbeda keyakinan dengan Syi’ah tetapi jika ingin berbicara tentang Syi’ah maka berbicaralah dengan kejujuran dan kebenaran bukan dengan kedustaan yang dibuat seolah-olah ilmiah. Dengan kata lain siapapun orangnya entah ia ulama atau orang awam perkataannya harus selalu ditimbang dengan standar kebenaran.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Syubhat Qunut Shubuh Secondprince 2 : Kejahilan Toyib Mutaqin

$
0
0

Syubhat Qunut Shubuh Kejahilan Toyib Mutaqin?

Berdiskusi dengan orang jahil tidak ada gunanya, bagi Toyib Mutaqin yang jahil hal itu memang tidak ada gunanya tetapi bagi para pembaca yang objektif maka itu akan berguna. Para pembaca dapat melihat letak kejahilan orang-orang seperti Toyib Mutaqin, ia merasa setelah dengan mengutip satu dua hadis kemudian pendapat satu dua ulama maka ia sok berasa di atas Sunnah.

Perhatikanlah wahai pembaca modal utama dalam memahami hadis dan perkataan ulama adalah akal yang baik. Orang yang berakal baik dapat berhujjah dengan benar dapat menimbang perkataan ulama dengan benar. Bukan seperti orang jahil yang sok berpegang pada ulama seolah hanya dirinya saja yang berpegang pada ulama. Para ulama sudah banyak berselisih mengenai qunut shubuh jadi alangkah lucunya orang jahil itu kalau mengira hanya dirinya yang berpegang pada ulama.

Toyib Mutaqin dengan kejahilannya kembali membantah tulisan kami, bantahan jahilnya tersebut dapat pembaca lihat di situsnya disini

http://muttaqi89.blogspot.com/2014/12/syubhat-qunut-shubuh-secondprince-2.html.

Orang ini semakin banyak ia menulis maka semakin banyak ia menunjukkan kejahilannya. Aneh bin ajaib ia tidak sadar bahwa dirinyalah yang jahil bahkan menuduh kami yang dusta dan mengada-ada. Kami akan membahas bantahannya dan menunjukkan kejahilannya, bantahan darinya adalah yang kami quote

.

.

.

Jawab : Sebenarnya perkaranya mudah bagi yg akalnya sehat bukan bagi orang yg logikanya sakit macam orang syiah tu.

Lihat hadits diatas baik2 ! anas mengatakan KAMI yaitu sahabat nabi

روى محمد بن نصر عن أنس أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يقنت بعد الركعة وأبو بكر وعمر حتى كان عثمان فقنت قبل الركعة ليدرك الناس قال العراقي وإسناده جيد

Telah meriwayatkan Muhammad ibn nashr dari anas bahwa rosul qunut sesudah ruku’,dan abu bakar,umar.hingga saat masa utsman maka beliau qunut sebelum rukuk supaya manusia mendapatinya.al ‘iroqy berkata sanadnya jayyid

Di atas adalah contoh orang jahil berhujjah dengan hadis. Silakan lihat ia berhujjah tanpa menyebutkan referensi hujjahnya. Hadis di atas telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al Marwadziy dalam kitab Mukhtasar Qiyamul Lail Wa Ramadhan Wal Witir hal 317

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمْزَةَ ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ بَعْدَ الرَّكْعَةِ ، وَأَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ ، حَتَّى كَانَ عُثْمَانُ قَنَتَ قَبْلَ الرَّكْعَةِ لِيُدْرِكَ النَّاسَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Humaid dari Anas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan qunut setelah ruku’, dan begitu pula Abu Bakar dan Umar, sampai Utsman melakukan qunut sebelum ruku’ agar orang-orang bisa mendapatinya [Mukhtasar Qiyamul Lail Wa Ramadhan Wal Witir hal 317]

Sebelumnya orang jahil ini pernah berkata ketika mengomentari hujjah saya berdasarkan hadis Humaid dari Anas mengenai qunut shubuh sebelum ruku’ dan sesudah ruku’

Jawab : itulah pemahaman sakit ente..tunjukkan dalam lafadz hadits diatas yg mana yg menunjukkan nazilah atau tanpa nazilah kecuali dari akal2an ente doang.

Coba lihat cara anda sendiri berhujjah wahai jahil, apakah dalam riwayat Muhammad bin Nashr yang anda kutip itu ada lafaz qunut shubuh dengan nazilah?. Jangan sok bertanya soal lafaz kalau anda sendiri tidak paham.

Riwayat Muhammad bin Nashr Al Marwadziy di atas dimasukkannya dalam kitab Witir, maka terdapat kemungkinan kalau yang dimaksud itu adalah qunut witir. Tentu saja kami tidak akan memastikan bisa saja qunut yang dimaksud adalah qunut witir dan bisa saja qunut yang dimaksud adalah qunut shubuh. Memang kemungkinan yang lebih rajih adalah qunut shubuh berdasarkan riwayat Humaid dari Anas yang disebutkan Ibnu Majah dimana terdapat lafaz “qunut shubuh”.

Orang ini taklid pada pernyataan Al Iraqiy bahwa sanadnya jayyid. Hal ini perlu diperjelas, sanad riwayat Muhammad bin Nashr di atas para perawinya tsiqat hanya saja ‘Abdul Aziiz bin Muhammad Ad Darawardiy yang meriwayatkan dari Humaid termasuk perawi yang diperbincangkan hafalannya.

وقال أبو زرعة سيء الحفظ ربما حدث من حفظه الشيء فيخطيء

Abu Zur’ah berkata “buruk hafalannya, ia menceritakan sesuatu dari hafalannya maka ia keliru” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 680]

وقال الساجي كان من أهل الصدق والأمانة إلا أنه كثير الوهم

As Sajiy berkata “ia termasuk orang yang jujur dan amanah hanya saja ia banyak melakukan kesalahan” [Tahdzib At Tahdzib juz 6 no 680]

قال أحمد بن حنبل: إذا حدث من حفظه يهم، ليس هو بشيء، واذا حدث من كتابه فنعم

Ahmad bin Hanbal berkata “jika menceritakan hadis dari hafalannya maka terkadang keliru, tidak ada apa-apanya dan jika menceritakan hadis dari kitabnya maka ia benar” [Mizan Al I’tidal juz 4 no 5130]

Kedudukan perawi seperti ini adalah riwayatnya hasan jika tidak ada penyelisihan tetapi jika ia menyelisihi perawi tsiqat maka riwayatnya tertolak. Jika qunut yang dimaksud dalam riwayat ini adalah qunut shubuh maka riwayat Abdul ‘Aziiz Ad Darawardiy ini telah menyelisihi riwayat tsiqat yang membuktikan bahwa Umar bin Khaththab juga melakukan qunut sebelum ruku’

حدثنا أبو بكر قال حدثنا وكيع بن الجراح قال حدثنا سفيان عن مخارق عن طارق بن شهاب أنه صلى خلف عمر بن الخطاب الفجر فلما فرغ من القراءة كبر ثم قنت ثم كبر ثم ركع

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ bin Jarrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari Mukhaariq dari Thaariq bin Syihaab bahwasanya ia shalat shubuh di belakang Umar bin Khaththab maka ketika Umar selesai membaca surat ia bertakbir kemudian membaca Qunut, kemudian takbir kemudian ruku’ [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/107 no 7033]

Riwayat ini sanadnya shahih hingga Umar bin Khaththab dan membuktikan kalau Umar juga melakukan qunut sebelum ruku’.

  1. Sufyaan Ats Tsawriy adalah seorang tsiqat faqih ahli ibadah imam hujjah [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/371].
  2. Mukhariq bin Khaliifah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 2/165].
  3. Thariq bin Syihaab Al Ahmasiy ia seorang yang pernah melihat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi tidak mendengar hadis darinya [Taqrib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/447].

Kesimpulannya adalah riwayat yang dijadikan hujjah orang jahil tersebut tidak bernilai sama sekali. Ia sok berhujjah tetapi tidak mengerti kaidah ilmiah. Ajaibnya di atas kejahilannya ia malah menuduh orang lain dusta dan mengada-ada.

.

.

.

Kemudian orang itu mengutip riwayat Al Baihaqiy mengenai doa qunut Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu].

أخبرنا أبو عبد الله الحافظ ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب أنبأ العباس بن الوليد أخبرني أبي ثنا الأوزاعي حدثني عبدة بن أبي لبابة عن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزي عن أبيه قال صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه صلاة الصبح فسمعته يقول بعد القراءة قبل الركوع اللهم إياك نعبد ولك نصلى ونسجد وإليك نسعى ونحفد نرجو رحمتك ونخشى عذابك إن عذابك بالكافرين ملحق اللهم إنا نستعينك ونستغفرك ونثني عليك الخير ولا نكفرك ونؤمن بك ونخضع لك ونخلع من يكفرك

Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Al Haafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub yang berkata telah memberitakan kepada kami Abbaas bin Waalid yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Awza’iy yang berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdah bin Abi Lubaabah dari Sa’id bin ‘Abdurrahman bin Abzaa dari Ayahnya yang berkata aku shalat di belakang Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] shalat shubuh maka aku mendengarnya setelah membaca ayat sebelum ruku’ “Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah, kepada-Mu kami shalat dan sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera, kami mengharapkan rahmat-Mu dan kami takut akan siksaan-Mu, sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa orang-orang kafir. Ya Allah sesungguhnya kami meminta pertolongan kepada-Mu dan memohon ampun kepada-Mu, kami memuji-Mu dengan kebaikan, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada-Mu, kami tunduk kepada-Mu dan kami meninggalkan orang-orang yang ingkar kepada-Mu [Sunan Al Baihaqiy 2/211 no 2963]

Orang itu berhujjah dengan riwayat di atas bahwa qunut Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] yang dilakukan sebelum ruku’ adalah qunut nazilah. Dan dengan dustanya ia berkata

Dan semua ulama’ sepakat ini adalah doa dalam qunut nazilah

Kesimpulan : qunut nazilah sebelum ruku’ yg shohih adalah sunnah dari sahabat walaupun yg setelah ruku’ lebih sering dilakukan,dan nazilah sebelum ruku’ tidak pernah dilakukan nabi.

Dari mana ia bisa menyatakan semua ulama sepakat bahwa doa tersebut adalah qunut nazilah?. Zhahir riwayat menyatakan bahwa itu adalah doa qunut shubuh dan tidak ada dalam lafaz doa tersebut Umar mendoakan keburukan atau laknat bagi suatu kaum tertentu sebagaimana yang dilakukan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam qunut nazilah terhadap bani Sulaim Ri’l dan Dzakwan. Tidak ada pula bukti riwayat yang menyebutkan bahwa Umar mengucapkan doa qunut yang sama pada semua shalat wajib lain [selain shalat shubuh]. Jadi apa buktinya kalau itu adalah qunut nazilah.

Dan merekalah yg didustakan oleh anas yaitu orang2 yg menuduh rosul qunut sebelum ruku’ dalam sholat shubuh/fajr.

Imam bukhori meriwayatkan :

كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا

Dia telah berdusta,sesungguhnya rosul qunut setelah rukuk sebulan saja.

Perkataan orang jahil ini adalah dusta. Orang yang didustakan oleh Anas bukan orang yang menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut sebelum ruku’ dalam shalat shubuh. Inilah hadis Bukhariy yang dimaksud

سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ الْقُنُوتِ فَقَالَ قَدْ كَانَ الْقُنُوتُ قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ قَالَ فَإِنَّ فُلَانًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَقَالَ كَذَبَ إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا

[‘Aashim] berkata aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang Qunut, maka ia berkata “sungguh Qunut itu memang ada”. Aku bertanya “sebelum ruku’ atau sesudah ruku’?”. Ia berkata sebelum ruku’. Aku berkata “sesungguhnya fulan mengabarkan kepadaku darimu bahwa engkau mengatakan setelah ruku’. Maka ia berkata “dusta, sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanyalah melakukan Qunut setelah ruku’ selama satu bulan… [Shahih Bukhariy 2/26 no 1002]

Perhatikan lafaz yang kami cetak tebal. Justru yang didustakan oleh Anas bin Malik adalah orang yang meriwayatkan darinya bahwa Qunut shubuh itu setelah ruku’. Menurut Anas bin Malik qunut shubuh itu dilakukan sebelum ruku’ kecuali jika qunut tersebut adalah qunut nazilah maka dilakukan setelah ruku’.

حدثنا إبراهيم بن سعيد الجوهري ، قال : حدثنا أبو معاوية الضرير ، عن عاصم الأحول ، قال : سألنا أنسا عن القنوت، قبل الركوع أو بعد الركوع ، فقال : لا ، بل قبل الركوع ، قلت : فإن أناسا يزعمون أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت بعد الركوع ، قال : « كذبوا ، إنما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم يدعو على أناس قتلوا أناسا من أصحابه يقال لهم » القراء

Telah menceritakan kepada kami Ibrahiim bin Sa’iid Al Jauhariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah Adh Dhariir dari ‘Aashim Al Ahwal yang berkata kami bertanya kepada Anas tentang qunut sebelum ruku’ atau setelah ruku’. Beliau berkata “tidak, bahkan sebelum ruku’. Aku berkata “orang-orang menganggap bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’. Beliau berkata “mereka dusta, sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya qunut [yaitu setelah ruku’] ketika mendoakan atas orang-orang yang membunuh para sahabatnya dari kalangan qurra’ [Tahdzib Al Atsar Ibnu Jarir Ath Thabariy no 529]

Silakan perhatikan lafaz yang dicetak tebal. Yang didustakan oleh Anas bin Malik adalah orang-orang yang menganggap bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’. Kalau memang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya melakukan qunut nazilah setelah ruku’ maka mengapa dikatakan dusta orang-orang yang beranggapan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’. Kerancuan ini dapat dipahami bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga melakukan qunut sebelum ruku’ dan itu bukan qunut nazilah.

Seandainya qunut yang ditanyakan ‘Aashim kepada Anas adalah qunut nazilah maka hakikat peristiwa itu akan menjadi seperti ini. Anas bin Malik menjawab qunut nazilah itu sebelum ruku’. ‘Aashim kembali berkata bahwa Anas pernah mengatakan kalau qunut nazilah itu setelah ruku’. Anas menjawab itu dusta, karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’ selama satu bulan yaitu qunut nazilah. Lihatlah wahai pembaca, siapapun yang punya akal akan mengatakan peristiwa ini rancu sekali. Bagaimana mungkin Anas mengatakan dusta dan di saat yang sama justru ia mengatakan hal yang ia dustakan.

حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ السَّامِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ السَّلُولِيِّ، قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ

Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah As Saamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Jurairiy dari Buraid bin Abi Maryam As Saluuliy yang berkata aku shalat bersama Anas bin Malik shalat shubuh maka ia membaca qunut sebelum ruku’ [Tahdzib Al Atsar Ath Thabariy no 624]

Anas bin Malik jauh lebih paham hadis yang ia riwayatkan, maka dari itu ia tetap melakukan qunut shubuh sebelum ruku’. Qunut ini adalah qunut tanpa nazilah karena jika memang qunut nazilah maka Anas akan melakukannya setelah ruku’ sebagaimana hadis yang ia riwayatkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan qunut nazilah setelah ruku’ selama satu bulan.

Orang ini memang dari kemarin-kemarin sudah gagal paham tapi ajaibnya ia berasa dirinya yang paling paham soal hadis Anas bin Malik.

Jawab : itulah akibat logika sakit muhtalith,mencampur adukkan nash,hadits bukhori diatas tidak menyinggung sedikitpun tentang qunut sebelum ruku’.

Kalau ente mengaitkan dg hadits ibnu majah maka salah besar karena disana tidak ada kata2 sedikitpun bahwa rosul qunut sebelum ruku’.bukan syiah kalau tidak berdusta.

Orang jahil memang mana mengerti logika, uups tidak perlu bicara soal logika, bahkan si jahil ini sudah tidak bisa berfikir karena mungkin dalam anggapannya sudah tertanam virus “aku berfikir maka aku kafir” seperti dalam gambar yang ia pasang dalam tulisannya tersebut.

Hadis Bukhariy adalah bukti bahwa qunut shubuh setelah ruku’ hanyalah qunut nazilah. Jadi kalau Anas bin Malik melakukan qunut sebelum ruku’ [sebagaimana riwayat Ibnu Majah] maka sudah jelas itu qunut tanpa nazilah. Ngapain Anas bin Malik menentang sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang ia riwayatkan.

Hadis riwayat Ibnu Majah memang menyebutkan perkataan Anas bin Malik dengan lafaz kami melakukan qunut sebelum ruku’ dan sesudah ruku’. Lafaz ini bisa mengandung makna hanya perbuatan sahabat yang tidak bersifat marfu’ atau bisa pula bersifat marfu’ [disandarkan kepada Nabi]. Hal itu tergantung dengan qarinah yang ada. Berikut diriwayatkan oleh Abu Nu’aim riwayat yang sama

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ حَفْصٍ ، ثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ ، ثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ حُمَيْدٍ ، قَالَ : قُلْتُ لأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ : أَقَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : ” نَعَمْ ، قَنَتَ شَهْرًا ” ، فَقُلْتُ : قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ ؟ قَالَ قَبْلَ وَبَعْدَ حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلٍ ، ثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُمَرَ ، ثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، ثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : ” كُلَّ ذَلِكَ قَدْ فَعَلَ ، قَبْلَ وَبَعْدَ ” ، يَعْنِي أَنَّهُ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muzhaffar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Husain bin Hafsh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Wakii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy dari Syu’bah dari Humaid yang berkata aku berkata kepada Anas bin Malik “apakah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut?”. Beliau berkata “benar, Beliau qunut satu bulan”. Maka aku berkata “sebelum ruku’ atau setelahnya”. Beliau berkata “sebelum dan sesudah”. Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Hayyaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sahl yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin ‘Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Humaid dari Anas yang berkata “semuanya telah dilakukan, sebelum dan setelah [ruku’], yaitu bahwasanya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah melakukan qunut”.[Hilyatul Auliyaa’ Abu Nu’aim 9/33]

Sanad riwayat pertama lemah karena Sufyaan bin Wakii’ tetapi dikuatkan oleh riwayat kedua dengan sanad yang jayyid, berikut keterangan para perawinya

  1. Abu Muhammad bin Hayyaan dikenal sebagai Abu Syaikh ia seorang imam hafizh, Ibnu Mardawaih menyatakan ia tsiqat ma’mun. Al Khatib berkata Abu Syaikh hafizh tsabit mutqin [Siyaar A’lam An Nubalaa’ 16/276-278 no 196]
  2. Muhammad bin Sahl Abu Ja’far Al Ashbahaniy dia adalah salah satu guru Abu Syaikh dan Abu Syaikh telah memujinya. Disebutkan dalam Irsyaad Al Qaashiy bahwa ia seorang yang shaduq [Irsyaad Al Qaashiy Wad Daaniy Ila Tarajim Syuyukh Thabraniy no 909]
  3. ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Yaziid Al Ashbahaniy salah seorang guru Abu Hatim dan Abu Zur’ah. Abu Hatim berkata tentangnya “shaduq” [Al Jarh Wat Ta’dil 5/263 no 1245]
  4. ‘Abdurrahman bin Mahdiy seorang yang tsiqat tsabit hafizh, arif dalam ilmu rijal dan hadis [Taqrib At Tahdzib 1/592]
  5. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin, Ats Tsawriy mengatakan ia amirul mukminin dalam hadis [Taqrib At Tahdziib 1/418]
  6. Humaid bin Abi Humaid seorang yang tsiqat dan melakukan tadlis [Taqrib At Tahdziib 1/244]

Jika sanad tersebut dilemahkan karena Humaid seorang mudallis maka dijawab bahwa ‘An ‘anah Humaid dari Anas tidak memudharatkan sanad tersebut karena walaupun Humaid dikatakan melakukan tadlis, telah cukup dikenal bahwa tadlis Humaid dari Anas bin Malik adalah diterima karena melalui perantara Tsaabit seorang yang tsiqat.

Justru riwayat ibnu majah yg lain,nomer selanjutnya yaitu 1184 menyibak kedustaanmu

سألت أنس بن مالك عن القنوت فقال قنت رسول الله صلى الله عليه و سلم بعد الركوع

Saya bertanya anas tentang qunut maka beliau menjawab rosul qunut setelah ruku

Wahai jahil bagian mana dalam hadis di atas yang menunjukkan kedustaan kami. Justru kami telah menjelaskan bahwa qunut dalam hadis tersebut adalah qunut nazilah yang menurut Anas bin Malik dilakukan setelah ruku’. Sok menuduh orang dusta padahal tidak paham arti dusta.

Dan juga riwayat ibnu majah yg lain,nomer sebelumnya yaitu 1182 menyingkap kelicikanmu

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يوتر فيقنت قبل الركوع

Sesungguhnya rosul sholat witir maka beliau qunut sebelum ruku

Bagian mana dari hadis di atas yang menunjukkan kelicikan kami, justru ketika anda membawakan hadis di atas hanya menunjukkan kesekian kalinya kejahilan anda yang luar biasa. Jelas-jelas hadis tersebut berbicara tentang qunut witir bukan qunut shubuh. Jaka sembung bawa golok ya gak nyambung plok.

.

.

.

Telah meriwayatkan ibnul mundzir dari humaid dari sahabat anas sendiri dg lafadz : sungguh sebagian sahabat nabi mereka qunut dalam sholat shubuh sebelum ruku’ dan sebagian yg lain setelah ruku’.adapun nabi maka tidak diketahui darinya qunut di sholat wajib kecuali qunut nazilah.dan tidaklah nabi qunut nazilah kecuali setelah ruku’

Jadi gak ada nabi qunut sebelum rukuk dalam sholat wajib.

Kalau cuma menukil perkataan ulama maaf kami juga bisa. Apa menurut anda tidak ada ulama yang menyatakan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah qunut sebelum ruku’?. Silakan baca ini

ثبت أنّ النبيّ صلى الله عليه و سلم قنت في صلاة الفجر ، و ثبت أنه قنت قبل الركوع و بعد الركوع ، و ثبت أنه قنت لأمر نزل بالمسلمين من خوف عدوّ و حدوث حادث .

Telah tsabit bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut dalam shalat shubuh dan telah tsabit bahwa Beliau qunut sebelum ruku’ dan sesudah ruku’ dan telah tsabit bahwa Beliau qunut nazilah dalam hal yang menimpa kaum muslimin dari ketakutan atas serangan musuh dan musibah yang baru terjadi [‘Aaridhat Al Ahwadziy Syarh Shahih Tirmidziy, Ibnu Arabiy Al Malikiy 2/192]

Soal imam malik,tunjukkan nukilannya bahwa beliau menyatakan qunut tanpa nazilah dalam sholat wajib.ditunggu,kalau memang ente sanggup.

Berkata Imam Ibnu Wahab seorang murid Imam Malik yang alim dalam ilmu Hadits:

الحديث مضلة إلا للعلماء

Artinya : al-Hadits dapat menyesatkan seseorang (yang membacanya) kecuali bagi para ulama

حدثنا يونس قال أنا بن وهب قال : سمعت مالكا يقول الذي أخذته في خاصة نفسي القنوت في الفجر قبل الركوع

Telah menceritakan kepada kami Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb yang berkata aku mendengar Malik mengatakan perkara yang aku ambil khususnya bagi diriku qunut dalam shalat shubuh adalah sebelum ruku’ [Syarh Ma’aniy Al Atsaar Ath Thahawiy 2/245 no 1464]

Dan Ath Thahawiy menambahkan bahwa diantara hujjah bagi kelompok yang menyatakan qunut shubuh sebelum ruku’ adalah hadis riwayat ‘Aashim dari Anas bin Malik.

Disebutkan juga Imam Malik pernah berkata bahwa barang siapa yang lupa membaca qunut dalam shalat shubuh maka tidak perlu sujud sahwi [Al Mudawwanat Al Kubra 1/192]

Siapapun yang berakal akan paham bahwa qunut yang dimaksud oleh Imam Malik tersebut bukan qunut nazilah karena tidak ada istilah lupa bagi qunut nazilah. Qunut nazilah itu terikat pada situasi tertentu di waktu tertentu sedangkan sifat lupa itu tertuju pada hal yang sudah menjadi kebiasaan untuk dilakukan. Qunut yang biasa dilakukan pada shalat shubuh bukan qunut nazilah.

Jawab : inilah akibat mengangkangi para ulama’.justru ulama itu berpendapat setelah tahu dalil bukan kayak ente dalil ditafsiri pake akal rusak ente sendiri.

Coba anda pikirkan dengan baik mengapa para ulama bisa berselisih satu sama lain dalam perkara tertentu. Tidak lain karena mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman yang berbeda terhadap suatu dalil. Ada yang lebih tahu dan paham kemudian ada yang tidak tahu dan kurang paham atau salah paham terhadap suatu dalil. Hal ini perkara yang sering ditemukan oleh orang yang sering membaca kitab Fiqih. Maka dari itu kami selalu menekankan untuk menimbang setiap perkataan ulama dengan dalil.

Kalau menuruti logika anda yang jahil maka ulama mazhab Syafi’iy dan ulama mazhab Malikiy dimana mereka menetapkan adanya qunut shubuh [bukan qunut nazilah] jelas lebih tahu dan lebih paham dalil dari anda. Maka tidak perlu anda sok membantah dengan dalil dan akal anda yang sudah lama rusak. Yah begitulah logika anda dapat menyerang diri anda sendiri.

Jawab : allohu akbar,sungguh lancang membenturkan perkataan ibnu rojab dg hadits.

Seperti dikatakan ibnu qoyyim : itu hanyalah dari fahmun saqim(pemahaman yg sakit)

Berkata Imam Sufyan Bin Uyainah (seorang ulama besar yang ahli dalam fiqih dan hadits guru Imam Syafi`i) :

الحديث مَضِلّة إلا للفقهاء

Artinya : al-Hadits itu dapat menyesatkan seseorang kecuali bagi ulama yang faqih. ( al-Jami` li Ibni Abi Zaid al-Qairuwani : 118 )

خذوا العلم من أفواه العلماء

Artinya : Ambillah ilmu itu dari mulutnya para ulama.

Siapa ulama sebelummu yg berani berkata semacam itu ???

Apa masalahnya wahai jahil?. Apa anda pikir Ibnu Rajab itu orang yang ma’shum?. Setiap perkataan ulama mesti ditimbang dengan dalil bukannya setiap dalil hadis harus ditundukkan dengan perkataan ulama. Wajar saja kalau saya katakan perkataan Ibnu Rajab bertentangan dengan hadis shahih. Pembahasannya pun sudah kami sebutkan. Maaf miskin sekali bantahan anda wahai jahil. Adapun pencacatan terhadap hadis sebagai syadz harus dilihat apakah sesuai dengan kaidah ilmu hadis atau tidak. Pembahasannyapun sudah kami sebutkan, anehnya anda bukannya membahas hujjah malah sibuk bertaklid dan mengoceh tidak karuan. Kalau mau berhujjah fokus pada dalil bukan pada waham anda sendiri.

Bukankah anda sendiri menolak para ulama yang menyatakan shahih hadis Abu Ja’far Ar Raziy yang menyebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut terus menerus sampai Beliau wafat. Apa pernah kami menyatakan anda sok lebih pintar dari ulama?. Kami tidak ada keberatan soal itu bahkan kami setuju kalau ulama tersebut keliru karena memang sesuai dengan kaidah ilmu hadis, hadis tersebut lemah.

Kalau memang anda menginginkan ulama sebelum kami yang menyatakan hal yang sama dengan apa yang kami katakan maka silakan lihat, kami akan mengutip ulama yang memahami hadis-hadis Anas [tentang qunut shubuh] sama seperti yang kami pahami. Ibnu Hajar pernah berkata dalam Fath Al Bariy

ومجموع ما جاء عن أنس من ذلك؛ أنّ القنوت للحاجة بعد الركوع لا خلاف عنه في ذلك، وأمّا لغير الحاجة فالصحيح عنه أنه قبل الركوع. وقد اختلف عمل الصحابة في ذلك، والظاهر أنه من الاختلاف المباح

Dan kumpulan hadis-hadis dari Anas tentang demikian [qunut shubuh] adalah qunut karena keperluan dilakukan setelah ruku’ tidak ada perselisihan mengenai hal itu. Adapun qunut bukan karena keperluan tertentu maka yang shahih adalah dilakukan sebelum ruku’. Dan sungguh telah berselisih amalan para sahabat tentang hal ini, yang zhahir bahwasanya ini termasuk perselisihan yang dibolehkan [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 2/491]

Perkataan qunut karena suatu keperluan yang dimaksud Ibnu Hajar tidak lain adalah qunut nazilah sedangkan qunut bukan karena keperluan adalah qunut tanpa nazilah. Kami tidak asal taklid pada perkataan Ibnu Hajar tetapi kami berpegang pada dalil dan hasilnya memang bersesuaian dengan apa yang dikatakan Ibnu Hajar.

Jawab : inilah letak ketidak ilmiahan syiah suka menafsirkan dg tafsiran logikanya yg berpijak pada pertentangan dalil,kemudian seolah2 menjamak dalil seakan pahlawan kesorean.sungguh picik.

Kesalahan fatal ente menisbatkan sesuatu kepada seseorang sedangkan dalam lafadznya tidak ada penisbatan.ini lah sumber kebingungan ente,sehingga semua harus ente puter2 supaya menurut keinginan ente.

Tidak usah bawa-bawa Syi’ah wahai jahil. Syi’ah tidak ada urusannya disini. Apa anda pikir dengan tuduhan anda tersebut maka anda merasa bahwa diri anda benar dan orang yang anda tuduh Syi’ah sudah pasti dusta dan mengada-ada. Picik sekali anda, kalau anda memang mampu silakan bantah hujjah dengan hujjah bukannya membantah dengan ocehan tidak karuan dan tuduhan dusta. Atau jangan-jangan akal anda sudah begitu rusak sehingga tidak mampu lagi berpikir untuk memahami hujjah kami. Ooh kalau begitu kami ucapkan selamat tinggal dan kasihan betapa malangnya diri anda.

Jawab : gak ada sahabat menyelisihi sunnah kecuali hanyalah bualan syiah doang.justru ini menunjukkan kecermatan sahabat anas dan ibnu rojab bahwa fatwa haruslah dg menimbang sikon dan objek fatwa.tidak menafsirkan serampangan kayak ente

Ini komentar anda yang paling jahil menunjukkan anda tidak memahami dengan baik hanya asal bicara sok membela sahabat padahal hakikatnya mencela sahabat. Kami sebelumnya menekankan bahwa Anas bin Malik telah meriwayatkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa qunut nazilah itu dilakukan setelah ruku’. Kalau begitu mengapa dalam sebagian hadis, Anas bin Malik menyatakan bahwa qunut shubuh itu sebelum ruku’ [bahkan ia sendiri melakukannya]. Jawaban anda dengan taklid pada Ibnu Rajab bahwa itu hanyalah fatwa Anas saja kemudian ia tambahkan bahwa itu kecermatan Anas dengan fatwanya yang sesuai sikon dan objek fatwa.

Ini jawaban omong kosong, apa anda lupa dengan kaidah bahwa tidak ada ijtihad untuk perkara yang sudah ada nash-nya apalagi dalam masalah ibadah. Nash untuk qunut nazilah itu jelas dilakukan setelah ruku’ bahkan Anas bin Malik meriwayatkannya. Jadi mustahil Anas bin Malik akan memfatwakan hal lain yaitu sebelum ruku’. Apalagi sok bilang cermat dengan menimbang situasi dan kondisi. Lha memangnya aturan ibadah itu bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi, kaidah dari mana itu.

Hakikatnya anda mengatakan Anas memfatwakan qunut nazilah sebelum ruku’ padahal ia tahu sunah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut nazilah dilakukan setelah ruku’. Lha ini kan sama saja dengan sengaja menentang sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] atau dengan sengaja berbuat bid’ah padahal sudah tahu perkara sunnahnya. Justru anda yang sedang mencela sahabat Anas bin Malik dengan akal rusak anda.

Maka dari itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah qunut yang dikatakan Anas bin Malik sebelum ruku’ adalah qunut shubuh tanpa nazilah. Adapun qunut dengan nazilah maka itu dilakukan setelah ruku’

.

.

.

Jawab: kesimpulan ente menunjukkan kedunguan ente terlalu akut,apalagi menyalahkan imam al bazzar, ente seperti dalam syair : kambing congek pengen menanduk gunung,alih2 gunung hancur,justru tanduknya yg patah.

Imam al bazzar dan para ulama lain menyatakan syadz itu adalah riwayat yg ada dalam kitabnya al bazzar,adapun yg dalam shohih muslim maka tidak ada pertentangan karena yg dimaksud qunut disitu bukan qunutnya rosul.

Begitulah kalau orang tidak tahu kejahilannya. Jika kejahilan disertai dengan keangkuhan maka semua orang akan ia anggap dungu kecuali dirinya. Hadis riwayat Al Bazzar dan riwayat Muslim itu sanadnya sama mulai dari Abu Kuraib sampai Anas. Maka dari itu pada dasarnya itu adalah satu hadis yang sama bedanya adalah hadis Al Bazzar lebih ringkas dari hadis Muslim.

Dalam hadis Muslim tidak disebutkan secara jelas kalau perkataan Anas bin Malik bahwa qunut itu sebelum ruku’ berasal dari pendapat pribadi Anas ataukah ia bersandar pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi qarinah-nya dapat dilihat dari lafaz setelahnya

فقال قبل الركوع قال قلت فإن ناسا يزعمون أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قنت بعد الركوع

Maka [Anas bin Malik] berkata “sebelum ruku”. Aku berkata bahwa orang-orang menganggap bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’.

Perkataan ‘Aashim selanjutnya mengisyaratkan bahwa apa yang dikatakan Anas bin Malik qunut itu sebelum ruku’ adalah disandarkan pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Maka dari itu hasil ringkasan riwayat Al Bazzar perkataan itu marfu’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut sebelum ruku’.

Si Jahil ini sok membela Al Bazzar padahal hakikatnya ia sendiri menyalahkan Al Bazzar [kami yakin ia tidak menyadarinya]. Yaitu ia pada hakikatnya menganggap Al Bazzar salah dalam meriwayatkan hadis. Ia mengatakan bahwa yang ada dalam Shahih Muslim qunut sebelum ruku’ itu bukan qunut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Anehnya Al Bazzar meriwayatkan qunut sebelum ruku’ itu qunut Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] padahal guru Al Bazzar dan Imam Muslim itu sama yaitu Abu Kuraib. Nah itu berarti Al Bazzaar yang keliru dalam meriwayatkan hadis.

Kami menyalahkan pendapat Al Bazzaar yang mengkritik hadis tersebut sedangkan si jahil itu justru menyalahkan periwayatan hadis Al Bazzaar. Jadi dalam pandangan si jahil itu adalah Al Bazzaar salah meriwayatkan kemudian Al Bazzaar sendiri mengkritik riwayat yang salah tersebut.

Sedangkan dalam pandangan kami adalah Abu Kuraib guru Al Bazzaar menyampaikan hadis lengkapnya kepada Imam Muslim tetapi menyampaikan hadis versi ringkasnya kepada Al Bazzaar. Al Bazzaar yang tidak mengetahui versi lengkap hadis tersebut salah paham, ia mengira hadis ‘Aashim dari Anas bertentangan dengan para perawi lain yang menetapkan qunut nazilah itu setelah ruku’ padahal dalam hadis versi lengkapnya [dalam riwayat Imam Muslim] hadis ‘Aashim dari Anas juga menyatakan bahwa qunut nazilah itu setelah ruku’ hanya saja terdapat tambahan [ziyadah] bahwa qunut tanpa nazilah itu sebelum ruku’. Kesimpulannya adalah hadis ‘Aashim tidak bertentangan dengan hadis-hadis perawi lain. Jadi sudah jelas orang yang taklid kepada Al Bazzaar setelah ia melihat riwayat Muslim hanya menunjukkan kejahilan pemahamannya terhadap hadis.

.

.

.

Jawab : justru keplinplanan ente berujung pada tuduhan kepada rosul apa yg tidak beliau lakukan,rosul saja difitnah apalagi ulama seperti ibnu rojab dg gampangnya menvonis ini keliru,itu salah hanya karena bertaqlid logika dangkal penuh hawa nafsu semata.

Tidak usah sok berbicara dengan bahasa yang ketinggian. Maaf perkataan seperti itu tidak pantas diucapkan oleh orang yang penuh dengan kejahilan seperti anda. Kami yakin kalau anda sendiri akan dengan gampangnya menyalahkan para ulama yang menyatakan sunnah qunut shubuh tanpa nazilah. Dan dalam pandangan pengikut fanatik ulama-ulama tersebut, anda adalah orang yang mendustakan sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], orang yang gampang menyalahkan ulama, orang yang bertaklid dengan logika dangkal penuh hawa nafsu.

Maaf ya, orang-orang dengan kualitas seperti anda ini pasti ada saja dalam kelompok mazhab tertentu. Sok menuduh mazhab lain tanpa dasar ilmu, ujung-ujungnya cuma taklid pada ulama versi anda sendiri. Apa anda lupa bahwa orang-orang yang bertentangan dengan anda itu juga taklid pada ulama mereka?. Kami sangat berbeda dengan orang seperti anda, kami tidak taklid pada ulama tertentu, kami melihat dalil dan menimbang dalil dengan kaidah ilmiah kemudian mengambil pendapat yang paling rajih sesuai dalil tersebut.

Jawab : penjelasan ente tidak lebih dari pembenaran yg dipaksakan,gak ada nilai ilmiahnya justru mencederai keilmiahan itu sendiri.

Apalagi ucapan ini, tong kosong nyaring bunyinya. Orang yang paham apa itu ilmiah, ketika menukil perkataan ulama atau riwayat ia akan menyebutkan referensi lengkapnya. Anehnya banyak sekali nukilan anda yang tanpa mencantumkan referensi lengkapnya. Itukah yang dinamakan ilmiah. Kalau menulis ilmiah saja anda tidak mampu apalagi membahas dan menganalisis secara ilmiah, jauh sekali. Akhir kata, kami kasihan sekali dengan orang-orang jahil yang sok membela agama tetapi tidak ada isinya.


Filed under: Fiqh, Kritik Salafy

Shahih Muawiyah Mencela Imam Aliy : Bantahan Atas Kejahilan Toyib Mutaqin

$
0
0

Shahih Muawiyah Mencela Aliy : Bantahan Atas Kejahilan Toyib Mutaqin

Masih menanggapi tulisan dari orang jahil yang sama yaitu Toyib Mutaqin. Kali ini kami akan menanggapi tulisan yang ia buat dengan judul “Syubhat Syi’ah Secondprince Mu’awiyah Mencela Aliy”. Dari judulnya saja sudah terlihat tingkah buruknya yang memfitnah kami sebagai “Syi’ah”. Seolah ia ingin mengesankan kepada para pembaca bahwa hanya Syi’ah yang mengatakan Mu’awiyah Mencela Aliy.

Padahal para pembaca yang objektif akan melihat bahwa hadis-hadis dalam kitab Ahlus Sunnah telah menyatakan hal tersebut. Para pembaca dapat melihatnya dalam dua tulisan kami sebelumnya

  1. Riwayat Mu’awiyah Mencela Imam Aliy [‘alaihis salaam] Adalah Shahih
  2. Shahih Mu’awiyah Mencela Imam Aliy : Bantahan Bagi Nashibiy

Boleh-boleh saja kalau orang ini tidak setuju dengan tulisan kami tersebut tetapi ia tetap tidak punya dasar sedikitpun untuk menuduh kami Syi’ah. Jika ada diantara pembaca yang ingin melihat tulisannya maka dapat membacanya disini

http://muttaqi89.blogspot.com/2014/12/syubhat-syiah-muawiyah-mencela-ali.html

Berikut kami akan mengungkap kejahilan Toyib Mutaqin dan silakan bagi para pembaca untuk menelaahnya dengan objektif menimbang sesuai dengan kaidah ilmu. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi pembaca, adapun untuk orang jahil tersebut, tidak ada yang kami harapkan darinya bahkan bisa jadi setelah membaca tanggapan kami, ia malah akan bertambah kejahilannya [karena penolakannya terhadap kebenaran].

.

.

.

.

Syubhat Hadis Riwayat Muslim

Kami akan mulai dengan membahas terlebih dahulu hadis dalam Shahih Muslim. Orang jahil ini sok bergaya seperti ahli hadis ingin melemahkan atau paling tidak membuat keraguan riwayat dalam Shahih Muslim. Ia berkata

Imam Muslim meriwayatkan hadits tersebut dari lima jalur, tidak ada yang menyebutkan lafadz: (أَمَرَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سَعْدًا) “Mu’awiyah bin Abi Sufyan memerintah Sa’ad mencaci Ali!?” kecuali riwayat Bukair bin Mismaar. Periwayatan haditsnya sedikit lemah dan menyalahi riwayat yang lebih kuat. Imam Bukhari mengatakan: Hadisnya ada sedikit kejangalan (fiihi nadzar). Adz-Dzahabiy mengatakan: Ada sesuatu (kelemahan dalam riwayatnya) Lihat: At-Taarikh Al-Kabiir karya Imam Bukhariy 2/115, Adh-Dhu’afaa’ Al-Kabiir karya Al-‘Uqailiy 1/150, Al-Kaamil karya Ibnu ‘Adiy 3/42, Al-Kaasyif karya Ad-Dzahabiy 1/276,

Kelima jalur yang dimaksudkan orang itu dapat dilihat dalam Shahih Muslim 4/1870 no 2404 [tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy]. Dan jika diamati kelima jalur sanad tersebut maka sanadnya terdiri dari

  1. Riwayat Sa’id bin Al Musayyab dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Ayahnya secara marfu’ tentang hadis manzilah
  2. Riwayat Al Hakam dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Ayahnya secara marfu’ tentang hadis manzilah
  3. Riwayat Sa’d bin Ibrahim dari Ibrahim bin Sa’d dari Sa’d secara marfu’ tentang hadis manzilah
  4. Riwayat Bukair bin Mismaar dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash dari Ayahnya yang menyebutkan kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d, kemudian Sa’d menyebutkan tiga keutamaan Imam Aliy [salah satunya adalah hadis manzilah]

Riwayat-riwayat selain riwayat Bukair bin Mismaar hanya menyebutkan tentang hadis manzilah saja tanpa menyebutkan sebab atau kisah apapun, hanya lafaz marfu’ hadis manzilah. Sedangkan hadis Bukair bin Mismaar menyebutkan kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d yang menyebabkan Sa’d menyebutkan hadis tiga keutamaan Imam Aliy diantaranya hadis manzilah.

Dengan kata lain tidak ada qarinah [petunjuk] bahwa riwayat-riwayat lain tersebut berasal dari kisah yang sama dengan riwayat Bukair bin Mismaar. Bisa saja Sa’d bin Abi Waqqash di saat yang lain [selain pertemuannya dengan Muawiyah] menceritakan hadis manzilah kepada anak-anaknya. Jadi tidak ada disini bukti atas tuduhan orang jahil tersebut bahwa Bukair bin Mismaar menyalahi riwayat yang lebih kuat.

Bukair bin Mismaar adalah perawi yang tsiqat. Berikut akan dibahas secara rinci pandangan ulama terhadapnya. At Tirmidziy berkata

حدثنا قتيبة حدثنا حاتم بن إسماعيل عن بكير بن مسمار هو مدني ثقة

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma’iil dari Bukair bin Mismaar dan ia orang Madinah yang tsiqat…[Sunan Tirmidzi 5/225 no 2999]

Al Ijliy berkata “Bukair bin Mismaar orang Madinah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 1/254 no 179]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata

بكير بن مِسْمَار أَخُو مهَاجر بن مِسْمَار مولى سعد بن أَبى وَقاص من أهل الْمَدِينَة كنيته أَبُو مُحَمَّد يروي عَن عَامر بن سعد بْن أَبِي وَقاص روى عَنهُ حَاتِم بن إِسْمَاعِيل وَلَيْسَ هَذَا ببكير بن مِسْمَار الَّذِي يروي عَن الزُّهْرِيّ ذَاك ضَعِيف وَمَات بكير هَذَا سنة ثَلَاث وَخمسين وَمِائَة

Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar maula Sa’d bin Abi Waqqash dari penduduk Madinah, kuniyah Abu Muhammad, ia meriwayatkan dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash dan meriwayatkan darinya Haatim bin Isma’iil, ia bukanlah Bukair bin Mismaar yang meriwayatkan dari Az Zuhriy, [Bukair] ini seorang yang dhaif, wafat Bukair pada tahun 153 H [Ats Tsiqat Ibnu Hibban 6/105-106 no 6917]

Kemudian dalam Al Majruhin, Ibnu Hibban memasukkan nama Bukair bin Mismaar dan mengatakan bahwa ia Syaikh yang meriwayatkan dari Az Zuhriy dan meriwayatkan darinya Abu Bakr Al Hanafiy sebagai perawi dhaif, adapun Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar adalah seorang yang tsiqat [Al Majruuhin Ibnu Hibban 1/222 no 145]

Daruquthniy berkata tentang Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar bahwa ia tsiqat [Ta’liqaat Daaruquthniy ‘Ala Al Majruuhiin hal 61/62]

Orang itu mengutip Al Bukhariy yang katanya melemahkan Bukair bin Mismaar. Inilah yang disebutkan Bukhariy

بكير بن مسمار أخو مهاجر مولى سعد بن أبي وقاص القرشي المديني قال لي أحمد بن حجاج وإبراهيم بن حمزة حدثنا حاتم عن بكير عن عامر بن سعد عن سعد سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يحب الله ورسوله أو يحبه الله ورسوله فتطاولنا فقال ادعوا عليا وسمع الزهري روى عنه أبو بكر الحنفي فيه بعض النظر أبو بكر

Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir maula Sa’d bin Abi Waqqash Al Qurasyiy Al Madiiniy. Telah berkata kepadaku Ahmad bin Hajjaaj dan Ibrahim bin Hamzah yang berkata telah menceritakan kepada kami Haatim dari Bukair dari ‘Aamir bin Sa’d dari Sa’d yang mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada hari Khaibar “Aku akan memberikan panji ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai Allah dan Rasul-Nya maka kami berharap untuk mendapatkannya”. kemudian Beliau berkata “Panggilkan Aliy”. [Bukair] mendengar dari Az Zuhriy dan meriwayatkan darinya Abu Bakr Al Hanafiy, dalam sebagian hadisnya perlu diteliti kembali [Tarikh Al Kabir 2/115 no 1881]

Apa yang dikatakan Al Bukhariy terhadap Bukair bin Mismaar adalah terbatas pada hadisnya dari Az Zuhriy yang diriwayatkan oleh Abu Bakr Al Hanafiy. Ibnu Adiy setelah mengutip jarh Bukhariy tersebut, ia mengatakan tidak menemukan adanya hadis mungkar dari Bukair bin Mismaar dan di sisinya Bukair bin Mismaar hadisnya lurus [Al Kamil Ibnu ‘Adiy 2/216 no 279].

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Ibnu Hibban telah membedakan Bukair bin Mismaar saudara Muhaajir bin Mismaar dengan Bukair bin Mismaar yang mendengar dari Az Zuhriy dan meriwayatkan darinya Abu Bakr Al Hanafiy. Yang pertama tsiqat dan yang kedua dhaif. Sedangkan Al Bukhariy menganggap keduanya perawi yang sama. Ibnu Hajar berkata dalam biografi Bukair bin Mismaar setelah mengutip perkataan Ibnu Hibban

قلت وأما البخاري فجمع بينهما في التاريخ لكنه ما قال فيه نظر الا عند ما ذكر روايته عن الزهري ورواية أبي بكر الحنفي عنه

Aku [Ibnu Hajar] berkata “adapun Al Bukhariy telah menggabungkan keduanya dalam kitab Tarikh [Al Kabir], akan tetapi tidaklah ia mengatakan “fiihi nazhar” kecuali hanya pada riwayatnya [Bukair] dari Az Zuhriy dan riwayat Abu Bakr Al Hanafiy yang meriwayatkan darinya” [Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar 1/455-456 no 916]

Ibnu Hajar lebih merajihkan apa yang dikatakan Ibnu Hibban, oleh karena itu dalam Taqrib At Tahdziib ia telah membedakan keduanya, Ibnu Hajar berkata

بكير بن مسمار الزهري المدني أبو محمد أخو مهاجر صدوق من الرابعة مات سنة ثلاث وخمسين

Bukair bin Mismaar Az Zuhriy Al Madiiniy Abu Muhammad saudara Muhaajir seorang yang shaduq termasuk thabaqat keempat wafat pada tahun 153 H [Taqriib At Tahdzib 1/138]

بكير بن مسمار آخر يروي عن الزهري ضعيف من السابعة

Bukair bin Mismaar [yang lain] meriwayatkan dari Az Zuhriy, seorang yang dhaif termasuk thabaqat ketujuh [Taqriib At Tahdzib 1/138]

Adapun Adz Dzahabiy telah berkata tentang Bukair bin Mismaar “ada sesuatu tentangnya” [Al Kasyf 1/276 no 648]. Sebenarnya Adz Dzahabiy juga menta’dilkan Bukair bin Mismaar. Adz Dzahabiy berkata dalam Diiwaan Adh Dhu’afa “Bukair bin Mismaar seorang yang shaduq dan dilemahkan oleh Ibnu Hibban” [Diiwaan Adh Dhu’afa no 658]. Adz Dzahabiy juga mengatakan hal yang sama dalam kitabnya Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 57.

Telah ditunjukkan bahwa hal ini keliru, Ibnu Hibban justru menyatakan Bukair bin Mismaar tsiqat sedangkan perawi yang dilemahkan oleh Ibnu Hibban adalah Bukair bin Mismaar yang meriwayatkan dari Az Zuhriy. Anehnya dalam Mizan Al I’tidaal, Adz Dzahabiy malah menukil tautsiq dari Ibnu Hibbaan, setelah menukil jarh Bukhariy [Mizan Al I’tidaal Adz Dzahabiy 2/68 no 1312]. Maka hal paling mungkin yang dimaksudkan Adz Dzahabiy “tentang sesuatu” tersebut tidak lain adalah jarh Bukhariy.

Kesimpulannya adalah satu-satunya kelemahan yang dinisbatkan pada Bukair bin Mismaar adalah jarh Bukhariy pada sebagian hadisnya yaitu hadisnya dari Az Zuhriy dan yang diriwayatkan dari Abu Bakr Al Hanafiy. Jika memang ia adalah orang yang sama maka jarh ini tidak membahayakan hadis Muslim di atas karena hadis tersebut bukan riwayatnya dari Az Zuhriy.

Tetapi kami lebih merajihkan bahwa Bukair bin Mismaar yang meriwayatkan dari Az Zuhriy adalah perawi yang berbeda dengan Bukair bin Mismaar yang tsiqat sebagaimana dikatakan Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar. Apalagi Ibnu Adiy telah bersaksi bahwa ia tidak menemukan hadis Bukair bin Mismaar yang mungkar maka hal ini qarinah menguatkan bahwa Bukair yang dhaif dan hadisnya bermasalah adalah perawi yang berbeda dengan Bukair bin Mismaar yang tsiqat.

Dengan demikian lafadz tersebut lemah dan mungkar

Dan sepertinya lafadz tambahan tersebut adalah perkataan Bukair, sebab jika itu adalah perkataan Sa’ad maka lafadznya akan seperti ini: “Mu’awiyah memerintahkan aku”.

Buktinya pada riwayat Al-Hakim, Bukair bin Mismaar tidak menyebutkan lafadz tersebut. [Mustadrak Al-Hakim 3/117 no.4575]

Lafaz itu bukanlah perkataan Bukair. Orang ini hanya mengada-adakan sesuatu tanpa dasar bukti. Disini ia ingin mengesankan lafaz tersebut adalah idraaj [sisipan] dari Bukair bin Mismaar. Kami katakan padanya wahai jahil silakan belajar terlebih dahulu ilmu hadis kaidah yang digunakan untuk dapat membuktikan suatu lafaz sebagai idraaj.

Idraaj dalam hadis harus ditetapkan dengan bukti riwayat yang jelas bukan dengan sesuka hati. Jika tidak ada qarinah yang menunjukkan hal lain maka lafaz itu berdasarkan sanad Muslim dalam Shahih-nya adalah milik Sa’d bin Abi Waqqash [radiallahu ‘anhu]. Atau lafaz tersebut milik ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash sebagaimana tampak dalam riwayat Nasa’iy [dan dalam hal ini ‘Aamir bin Sa’d terkadang menisbatkan lafaz tersebut pada ayahnya sebagaimana nampak dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi]

أخبرنا قتيبة بن سعيد وهشام بن عمار قالا حدثنا حاتم عن بكير بن مسمار عن عامر بن سعد بن أبي وقاص قال أمر معاوية سعدا

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid dan Hisyaam bin ‘Ammaar, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Haatim dari Bukair bin Mismaar dari ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqash yang berkata Mu’awiyah memerintahkan Sa’d…[Sunan Nasa’iy Al Kubra 7/410 no 8342]

Maka penjelasan yang masuk akal disini adalah ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash menyaksikan peristiwa tersebut yaitu kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d. Oleh karena itu terkadang ia menisbatkan hadis itu kepada Ayahnya dan terkadang menceritakan seolah menyaksikannya sendiri.

Adapun riwayat Al Hakim yang disebutkan olehnya maka sanadnya dapat dilihat sebagai berikut

حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا محمد بن سنان القزاز ثنا عبيد الله بن عبد المجيد الحنفي
وأخبرني أحمد بن جعفر القطيعي ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثني أبي ثنا أبو بكر الحنفي ثنا بكير بن مسمار قال : سمعت عامر بن سعد يقول قال معاوية لسعد بن أبي وقاص رضي الله عنهما ما يمنعك أن تسب ابن أبي طالب

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ya’qub yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sinaan Al Qazaaz yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin ‘Abdul Majiid Al Hanafiy dan telah mengabarkan kepadaku Ahmad bin Ja’far Al Qathii’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al Hanafiy  yang berkata telah menceritakan kepada kami Bukair bin Mismaar yang berkata aku mendengar ‘Aamir bin Sa’d mengatakan Mu’awiyah berkata kepada Sa’d bin Abi Waqqaash “apa yang mencegahmu untuk mencaci Ibnu Abi Thalib”…[Al Mustadrak Al Hakim 3/117 no 4575]

Sanad pertama dhaif karena Muhammad bin Sinaan ia dikatakan Ibnu Hajar seorang yang dhaif [Taqriib At Tahdziib 2/83]. Sanad kedua yang berujung pada Abu Bakr Al Hanafiy dari Bukair dari ‘Aamir bin Sa’d adalah shahih dimana Abu Bakr Al Hanafiy yaitu ‘Abdul Kabiir bin ‘Abdul Majiid seorang yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/610].

Lafaz “Mu’awiyah memerintah Sa’d” ada dalam riwayat Haatim bin Ismaa’iil dari Bukair bin Mismaar sedangkan dalam riwayat Abu Bakr Al Hanafiy dari Bukair bin Mismaar lafaz tersebut tidak ada. Haatim bin Ismaa’iil seorang yang tsiqat. Ibnu Sa’d berkata tentangnya “tsiqat ma’mun banyak meriwayatkan hadis” [Thabaqat Ibnu Sa’d 7/603 no 2273]. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat 1/275 no 235]. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat” [Al Jarh Wat Ta’dil 3/259 no 1154] dan Daruquthniy berkata “Haatim tsiqat dan ziyadahnya diterima” [Al Ilal Daruquthniy 2/168]. Jadi lafaz tersebut adalah bagian dari ziyadah tsiqat Haatim bin Isma’iil dan diterima kedudukannya.

kalaupun itu hadits hasan seperti dikatakan ibnu hajar maka lafadznya adalah bukan amaro tapi ammaro yg berarti menjadikannya amir bukan memerintahkan mencela.

Cukuplah kami menunjukkan kepada para pembaca kitab-kitab hadis Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Sunan An Nasa’iy yang sudah ditahqiq [dimana semuanya menyebutkan lafaz amara] untuk membuktikan kejahilan orang ini.

Shahih Muslim tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy


Shahih Muslim tahqiq M Fuad Abdul Baqiy

Shahih Muslim no 2404

Sunan Tirmidzi Tahqiq Basyaar ‘Awwaad Ma’ruf


Sunan Tirmidzi tahqiq Basyaar

Sunan Tirmidzi 3724

Sunan Al Kubra An Nasa’iy Tahqiq Hasan bin ‘Abdul Mun’im Syalbiy


Sunan Nasa'iy Al Kubra

Sunan Nasa'iy no 8342

.

.

kalaupun shohih maka Lafadz tersebut tidak menunjukkan secara jelas bahwa Mu’awiyah memerintahkan Sa’ad untuk mencaci Ali. Lafadz tersebut menunjukkan bahwa Mu’awiyah ingin tahu alasan Sa’ad tidak mencaci Ali, oleh sebab itu Mu’awiyah tidak marah ketika mendengar jawaban Sa’ad dan tidak menghukumnya. Dan sikap Mu’awiyah yang tidak menanggapi perkataan Sa’ad menunjukkan bahwa Mu’awiyah mengakui keutamaan Ali.

Orang ini hanya mengulang-ngulang takwil An Nawawiy terhadap hadis tersebut. Seebelumnya telah kami tunjukkan ulama seperti Al Hafizh As Sindiy dan Ibnu Taimiyyah yang memahami lafaz dalam hadis Muslim tersebut sebagai Muawiyah memerintahkan Sa’d mencaci Aliy. Dan pemahaman ini telah kami bahas dalam tulisan sebelumnya sangat sesuai dengan lafaz hadisnya tidak seperti takwil An Nawawiy yang jauh sekali dari lafaz hadisnya. Berikut tambahan ulama yang memahami lafaz tersebut sebagai “Mu’awiyah memerintahkan Sa’d untuk mencaci Aliy”.

Syaikh Muusa Syaahiin Laasyiin Dalam Fathul Mun’im Syarh Shahih Muslim 9/332


Fathul Mun'im Syarh Shahih Muslim

Fath Al Mun'im Syarh Shahih Muslim juz 9 hal 332

Syaikh Muhammad Amin bin ‘Abdullah Al ‘Alawiy Asy Syafi’iy Dalam Al Kaukab Al Wahhaaj Wa Ar Raudha Al Bahhaaj Fii Syarh Shahih Muslim 23/444


Al Kaukab Syarh Shahih Muslim

Al Kaukab Syarh Shahih Muslim juz 23 hal 444

Adapun respon Mu’awiyah setelah mendengar keutamaan Imam Aliy yang disebutkan Sa’d bin Abi Waqqash dapat dilihat dalam riwayat Al Hakim dimana terdapat lafaz

قال : فلا والله ما ذكره معاوية حتى خرج من المدينة

[‘Aamir bin Sa’d] berkata “maka demi Allah Mu’awiyah tidak lagi menyebutnya sampai ia keluar dari Madinah” [Al Mustadrak Al Hakim 3/117 no 4575]

Seandainya Mu’awiyah tidak pernah mencaci atau memerintahkan mencaci Aliy maka mengapa bisa ada lafaz di atas. Kalau Mu’awiyah sekedar ingin tahu alasan Sa’d maka apa yang mencegahnya untuk menyebutkan tentang Aliy. Justru lebih masuk akal dikatakan Mu’awiyah akan lebih sering menyebutkan tentang Aliy dan keutamaannya yang ia dengar dari Sa’d tersebut.

Lain ceritanya jika sebelumnya Mu’awiyah memang mencaci Aliy bin Abi Thalib atau memerintahkan Sa’d mencaci Aliy bin Abi Thalib maka setelah mendengar hujjah Sa’d tersebut ia tidak lagi menyebutkan tentang Aliy sampai ia keluar Madinah.

Kami objektif saja disini, lafaz tersebut memang menunjukkan Mu’awiyah mengakui keutamaan Imam Aliy. Kami sedikitpun tidak pernah menafikan hal ini. Apakah orang jahil tersebut berpikir kalau para sahabat yang mencaci Aliy bin Abi Thalib seperti Mughirah bin Syu’bah dan Mu’awiyah tidak mengetahui keutamaan Aliy bin Thalib?. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] seringkali menyebutkan keutamaan Imam Aliy bin Abi Thalib di depan orang banyak misalnya sebagaimana yang tampak dalam hadis Ghadir Khum. Mereka mengakui keutamaannya tetapi mungkin kebencian membuat mereka tetap mencaci Aliy bin Abi Thalib.

Apalagi terkait hadis yang sedang dibahas ini, menurut kami Mu’awiyah sudah mengetahui hadis yang disebutkan Sa’d bin Abi Waqqash tersebut karena diantara keutamaan yang disebutkan Sa’d adalah hadis manzilah yang diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat perang Tabuk dan saat itu Mu’awiyah juga ikut bersama para sahabat lainnya dalam perang Tabuk.

.

.

adapun perkataan Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy,maka syiah telah curang memotong perkataan beliau,coba ditulis lebih lengkap akan tersingkap tipu daya mereka.mari kita lihat lanjutannya :

وَمَنْشَأ ذَلِكَ الْأُمُور الدُّنْيَوِيَّة الَّتِي كَانَتْ بَيْنهمَا وَلَا حَوْل وَلَا قُوَّة إِلَّا بِاَللَّهِ وَاَللَّهُ يَغْفِرُ لَنَا وَيَتَجَاوَز عَنْ سَيِّئَاتنَا وَمُقْتَضَى حُسْن الظَّنّ أَنْ يُحْمَل السَّبّ عَلَى التَّخْطِئَة وَنَحْوهَا مِمَّا يَجُوز بِالنِّسْبَةِ إِلَى أَهْل الِاجْتِهَاد لَا اللَّعْن وَغَيْره

dan sebabnya itu karena perkara dunia yg terjadi antara keduanya,semoga alloh mengampuni kita dan kesalahan kita dan HUSNUDHON menuntut kita untuk membawa celaan itu kepada menganggap salah atau semisalnya yg dibolehkan ijtihad BUKAN MELAKNAT ATAU SEMISALNYA.

Inilah akibatnya kalau orang jahil sok ingin membantah orang lain. Wahai pendusta, tidak ada yang curang disini dan tidak ada yang sedang melakukan tipu daya. Silakan anda lihat kembali tulisan kami yang mengutip ucapan Al Hafizh Al Sindiy. Perkara yang sedang dibahas saat itu adalah lafaz Mu’awiyah memerintah Sa’d. Kami sebelumnya berkata

Abu Hasan Al Sindiy atau Al Hafizh Muhammad bin ‘Abdul Hadiy Al Sindiy termasuk ulama yang mengartikan riwayat Muslim sebagai Muawiyah memerintah Sa’ad untuk mencaci Imam Ali.

Seandainya kami kutip lebih panjang [seperti yang anda lakukan] maka perkataan Al Hafizh As Sindiy tersebut tetap saja Beliau memang memahami lafaz Muslim sebagai Mu’awiyah memerintah Sa’d mencaci Aliy.

قوله : ( فنال منه ) أي نال معاوية من علي ووقع فيه وسبه بل أمر سعدا بالسب كما : قيل في مسلم والترمذي ومنشأ ذلك الأمور الدنيوية التي كانت بينهما – ولا حول ولا قوة إلا بالله – والله يغفر لنا ويتجاوز عن سيئاتنا ومقتضى حسن الظن أن يحمل السب على التخطئة ونحوها مما يجوز بالنسبة إلى أهل الاجتهاد لا اللعن وغيره

Perkataannya “Fanaala minhu” yaitu bermakna Mu’awiyah mencela Aliy, berkata buruk tentangnya dan mencacinya bahkan ia memerintahkan Sa’d untuk mencaci Aliy sebagaimana dikatakan dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi dan hal ini disebabkan urusan dunia antara keduanya –tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah- semoga Allah mengampuni kita dan menghapuskan kesalahan kita, dan berprasangka baik menuntut kita untuk membawa lafaz cacian tersebut kepada menyalahkan atau perkara semisalnya yang dibolehkan atas orang-orang yang berijtihad bukan melaknat atau yang lainnya [Haasyiyah As Sindiy ‘Ala Ibnu Majah hadis no 121]

Perhatikanlah apa yang kami cetak tebal di atas, itu adalah pemahaman Al Hafizh As Sindiy atas lafaz riwayat Muslim. Itulah yang kami katakan tidak ada yang curang atau menipu disini. Adapun perkara prasangka baik yang dikatakan Al Hafizh adalah asumsi pribadinya dan tidak memiliki nilai hujjah di sisi kami, oleh karena itu tidak kami kutip.

Kalau kita berpikir kritis maka prasangka baik yang dimaksud yaitu membawa lafaz mencaci dengan makna menyalahkan atas perkara tertentu karena ijtihad, hal itu malah bertentangan dengan lafaz hadisnya. Pertentangan dalam hal ijtihad atau saling menyalahkan adalah perkara yang lumrah di kalangan sahabat Nabi, maka jika Mu’awiyah ingin memerintahkan Sa’d menyalahkan Aliy maka reaksi yang wajar dari Sa’d adalah menilai perkara tersebut yang mana ijtihad yang benar antara Mu’awiyah dan Aliy, jika dalil bersama Mu’awiyah maka Sa’d tinggal menyalahkan Aliy dan jika dalil bersama Aliy maka Sa’d tinggal menyalahkan Mu’awiyah. Sa’d tidak perlu membawa-bawa hadis keutamaan Imam Aliy disini karena yang sedang dipermasalahkan adalah suatu perkara dimana dibolehkan dalam ijtihad untuk menyalahkan satu sama lain.

Faktanya justru Sa’d bin Abi Waqqash malah membawa hadis keutamaan Imam Aliy. Maka lafaz mencaci disini lebih cocok bermakna merendahkan atau menghina pribadi Aliy bin Abi Thalib oleh karena itu reaksi Sa’d bin Abi Waqqash menolak untuk mencaci Aliy dengan membawakan keutamaan Imam Aliy. Hal itu untuk menegaskan bahwa kedudukan Aliy itu sangat tinggi di sisi Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga tidak pantas untuk dicaci, dihina dan direndahkan.

Siapapun yang berakal lurus akan memahami perkara ini dengan baik dan tidak ada disini urusannya dengan orang Syi’ah. Orang jahil itu dan orang sejenis dirinya memang mengidap penyakit bahwa setiap apapun yang menyudutkan sahabat mesti dikatakan ulah Syi’ah. Sampah tetaplah sampah meskipun ia diletakkan di atas singgasana dan berlian akan tetap berlian meskipun ia tenggelam di dalam lumpur.

.

.

.

.

Syubhat Riwayat Ibnu Majah

Berikutnya kami akan membahas syubhat orang tersebut atas hadis Ibnu Majah. Ia mengatakan bahwa hadis tersebut dhaif dan memiliki banyak cacat, ia berkata

1) Adapun riwayat Ibnu Majah lemah karena Abu Mu’awiyah Adh-Dharir; ibnu hajar dalam taqribnya :Riwayatnya dari selain Al-A’masy terkadang terdapat kekeliruan. Al-Hakim mengatakan: Ia terkenal berlebihan dalam madzhab syi’ah.imam ahmad ibn hanbal : Riwayatnya dari selain Al-A’masy muththorib (guncang) dan tidak menghafalnya dg hafalan yg baik,

Ia menyalahi riwayat Abdussalam, sebagaimana dalam As-Sunan Al-Kubra kayra An-Nasa’iy 7/411 no.8343:

قال: أَخْبَرَنَا حَرَمِيُّ بْنُ يُونُسَ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ، عَنْ مُوسَى الصَّغِيرِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا فَتَنَقَصُّوا عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ …

Sa’ad berkata: Suatu hari aku duduk (dalam satu majlis) kemudian mereka merendahkan Ali bin Abi Thalib …

Dalam riwayat ini tidak disebutkan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.

Perkataannya soal Abu Mu’awiyah bahwa riwayatnya dari selain Al A’masyiy terdapat kekeliruan atau idhthirab itu benar, tetapi bukan berarti semua hadis Abu Mu’awiyah dari selain Al A’masyiy menjadi dhaif kedudukannya. Betapa banyak riwayat Abu Mu’awiyah dari selain Al A’masyiy dalam kitab Shahih seperti dari Isma’il bin Abi Khalid, Abu Burdah bin Abu Muusa, Dawud bin Abi Hind, Suhail bin Abi Shalih, ‘Aashim Al Ahwal, dan Hisyam bin ‘Urwah [Tahdzib Al Kamal 25/123 no 5173]. Abu Mu’awiyah seorang yang tsiqat tetapi sering keliru dan idhthirab dalam riwayat selain Al A’masyiy.

‘Abdus Salaam bin Harb juga seorang yang tsiqat tetapi ternukil sedikit kelemahan padanya. Ibnu Mubarak melemahkannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari Al Uqailiy dalam kitabnya [Adh Dhu’afa Al Uqailiy no 1037]. Ibnu Sa’d berkata “ada kelemahan padanya”. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat dalam hadisnya layyin” [Mizan Al I’tidaal Adz Dzahabiy 4/347 no 5051]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh tetapi memiliki riwayat-riwayat mungkar” [Taqrib At Tahdziib 1/599].

Riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb dan riwayat Abu Mu’awiyah saling melengkapi, dalam riwayat Nasa’iy memang disebutkan dengan lafaz

كُنْتُ جَالِسًا فَتَنَقَصُّوا عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِب

Aku [Sa’d] duduk [dalam suatu majelis] kemudian mereka menghina Aliy bin Abi Thalib

Tidak ada disebutkan nama Mu’awiyah bin Abu Sufyaan sebagaimana dalam riwayat Abu Mu’awiyah tetapi dalam riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb yang disebutkan Ibnu Asakir [Tarikh Ibnu Asakir 42/115], lafaznya adalah

كنت جالسا عند فلان فذكروا عليا فتنقضوه

Aku [Sa’d] duduk di sisi fulan [dalam suatu majelis] kemudian mereka menyebut Aliy dan menghinanya

Justru lafaz “fulan” dalam riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb dijelaskan dalam riwayat Abu Mu’awiyah bahwa ia adalah Muawiyah bin Abu Sufyaan. Jadi tidak ada istilah riwayat Abu Muawiyah menyalahi riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb.

Dan Abu Mu’awiyah tidak menyendiri dalam penyebutan Mu’awiyah bin Abu Sufyaan. Ia memiliki mutaba’ah dari Jarir bin Haazim sebagaimana diriwayatkan Abu Hasan Aliy bin Hasan Al Khila’iy dalam kitab Fawaid Al Muntaqaah Al Hissaan Min Ash Shihaah Wal Gharaa’ib

Fawaid Al Muntaqa

Fawaid Al Muntaqa no 707

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ بْنِ نَظِيفٍ الْفَرَّاءُ , قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو الْفَوَارِسِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ الصَّابُونِيُّ , قَالَ : أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ , قَالَ :حَدَّثَنَا أَسَدُ بْنُ مُوسَى , قَالَ :حَدَّثَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ , عَنْ مُوسَى الصَّغِيرِ , عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ , قَالَ : قَدِمَ مُعَاوِيَةُ , رَحِمَهُ اللَّهُ حَاجًّا , فَأَتَاهُ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ , قَالَ : فَذَكَرُوا عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلامُ , فَعَابَهُ , فَقَالَ سَعْدٌ : تَقُولُ لِرَجُلٍ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : ” ثَلاثُ خِصَالٍ لَئِنْ يَكُونَ لِي خَصْلَةٌ مِنْهَا أَخْيَرُ إِلَيَّ أَنْ تَكُونَ لِي الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا َسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : ” أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلا أَنَّهُ لا نَبِيَّ بَعْدِي

Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah Muhammad bin Fadhl bin Nazhiif Al Farraa’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul Fawaaris Ahmad bin Muhammad bin Husain Ash Shaabuuniy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Rabii’ bin Sulaiman yang berkata telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepadaku Jariir bin Haazim dari Muusa Ash Shaghiir dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata Mu’awiyah pergi Haji maka Sa’d bin Abi Waqqaash mendatanginya. Mereka menyebutkan tentang Aliy maka Ia mencelanya. Maka Sa’d berkata “kamu mengatakan ini pada seseorang dimana aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah mengatakan tiga hal dimana jika aku memiliki salah satunya maka itu lebih baik bagiku daripada memiliki dunia dan seisinya. Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “Engkau bagi-Ku seperti kedudukan Haruun di sisi Muusa hanya saja tidak ada Nabi sepeninggal-Ku” [Al Fawaid Al Muntaqaah Al Hissaan Min Ash Shihaah Wal Gharaa’ib hal 280 no 707]

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat shaduq, berikut keterangan mengenai para perawinya

  1. Muhammad bin Fadhl bin Nazhiif dikatakan Adz Dzahabiy adalah seorang Syaikh Al ‘Aalim Al Musnid Al Mu’ammar [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 17/476 no 314]. Hasan bin Nashr Asy Syaasyiy berkata “dia termasuk orang Mesir yang paling baik” [Al Muqaffaa Al Kabiir Al Maqriiziy 6/524 no 3028]
  2. Abul Fawaaris Ahmad bin Muhammad bin Husain Ash Shabuuniy disebutkan oleh Adz Dzahabi kalau ia seorang yang tsiqat [Al ‘Ibar Fi Khabar Min Ghabar 2/287]
  3. Rabi’ bin Sulaiman Al Muradiy seorang yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/294]
  4. Asad bin Muusa Abu Sa’iid seorang hafizh imam tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 10/162 no 26]
  5. Jariir bin Haazim Al Azdiy seorang yang tsiqat tetapi hadisnya dari Qatadah dhaif dan memiliki kesalahan ketika menceritakan hadis dari hafalannya [Taqriib At Tahdziib 1/158]
  6. Muusa bin Muslim As Shaghiir seorang yang tsiqat [Al Kasyf Adz Dzahabiy 2/308 no 5734]
  7. ‘Abdurrahman bin Saabith seorang yang tsiqat banyak melakukan irsal [Taqriib At Tahdziib Ibnu Hajar 1/570].

Jika kita melihat dengan baik riwayat di atas ‘Abdurrahman bin Saabith tidak menyebutkan sanadnya dari Sa’d bin Abi Waqqaash sebagaimana yang nampak dalam riwayat Abu Mu’awiyah dan ‘Abdus Salaam bin Harb sebelumnya.

Kasus ini mirip seperti kasus riwayat Bukair bin Mismaar sebelumnya dimana terkadang sanadnya berakhir pada ‘Aamir bin Sa’d bin Abi Waqqaash dan terkadang berakhir pada Sa’d [radiallahu ‘anhu]. Keduanya benar karena ‘Aamir bin Sa’d menyaksikan peristiwa tersebut.

Maka begitu pula riwayat Ibnu Saabith di atas, kuat dugaan bahwa Ibnu Saabith menyaksikan peristiwa tersebut oleh karena itu terkadang ia menisbatkan sanadnya pada Sa’d dan terkadang langsung menceritakan kisah tersebut.

Salah satu petunjuk yang menguatkan hal ini adalah Abu Mu’awiyah terkadang meriwayatkan dengan akhir sanad pada Sa’d [radiallahu ‘anhu] dan terkadang pada Ibnu Saabith. Silakan lihat riwayat Abu Mu’awiyah berikut

ثنا أَبُو بَكْرٍ ، وَأَبُو الرَّبِيعِ ، قَالا : ثنا أَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنِ الشَّيْبَانِيِّ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ ، قَالَ : قَدِمَ مُعَاوِيَةُ فِي بَعْضِ حَجَّاتِهِ ، فَأَتَاهُ سَعْدٌ ، فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ فِي عَلِيٍّ ثَلاثَ خِصَالٍ ، لأَنْ يَكُونُ لِي وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : ” مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ ” ، ” وَأَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى ” ، ” وَلأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr dan Abu Rabi’ keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Asy Syaibaniy dari ‘Abdurrahman bin Saabith yang berkata Mu’awiyah pergi dalam salah satu hajinya maka Sa’d mendatanginya, Ia berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan tentang Aliy tiga hal yang seandainya aku memiliki salah satu darinya itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya. Aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “barang siapa yang aku maulanya”, “engkau bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa” dan “akan aku berikan bendera ini” [As Sunnah Ibnu Abi ‘Aashim 2/920 no 1421]

Jika dikatakan hal itu adalah idhthirab Abu Mu’awiyah maka tidak tepat karena riwayatnya dengan akhir sanad dari Sa’d telah dikuatkan oleh riwayat ‘Abdus Salaam bin Harb dan riwayatnya dengan akhir sanad dari Ibnu Saabith telah dikuatkan oleh riwayat Jarir bin Haazim. Maka kesimpulan yang masuk akal adalah kedua sanadnya benar dan hal ini bisa dipahami dengan menganggap Ibnu Saabith menyaksikan kejadian tersebut.

Telah kami buktikan sebelumnya bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith sudah mendengar hadis dari Jabir ketika Imam Husain masih hidup yaitu sebelum tahun 61 H [wafatnya Imam Husain bin Aliy]. Dan ‘Abdurrahman bin Saabith adalah seorang tabiin Makkah maka sangat mungkin ia menyaksikan peristiwa tersebut ketika Mu’awiyah dan Sa’d bin Abi Waqqaash pergi haji ke Makkah.

Selain itu, Abdurrahman bin Sabith tidak pernah mendengar hadits dari Sa’ad bin Waqqash sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’in [ Lihat: Taarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad-Duuriy 3/87, Jaami’ At-Tahshiil karya Al-‘Alaaiy hal.222, Tuhfah At-Tahshiil karya Abu Zur’ah Al-‘Iraqiy hal.197.],

ibnu hajar : tidak shohih dia mendengar dari sahabat(ishobah 5/228)

dengan demikian sanadnya juga terputus.

Hal inipun sebenarnya sudah kami bahas sebelumnya. Tentu kami tidak keberatan untuk membahasnya kembali. Inilah yang dikatakan Yahya bin Ma’in

سمعت يحيى يقول قال بن جريج حدثني عبد الرحمن بن سابط قيل ليحيى سمع عبد الرحمن بن سابط من سعد قال من سعد بن إبراهيم قالوا لا من سعد بن أبى وقاص قال لا قيل ليحيى سمع من أبى أمامة قال لا قيل ليحيى سمع من جابر قال لا هو مرسل كان مذهب يحيى أن عبد الرحمن بن سابط يرسل عنهم ولم يسمع منهم

Aku mendengar Yahya mengatakan Ibnu Juraij berkata telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Saabith, dikatakan kepada Yahya, apakah ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Sa’ad?. Yahya berkata “Sa’ad bin Ibrahim?”. Mereka menjawab “bukan”, dari Sa’ad bin Abi Waqaash. Yahya berkata “tidak”. Dikatakan kepada Yahya, apakah ia mendengar dari Abu Umamah. Yahya menjawab “tidak”. Dikatakan kepada Yahya apakah ia mendengar dari Jabir. Yahya menjawab “tidak, itu mursal”. Mazhab Yahya adalah ‘Abdurrahman bin Saabith mengirsalkan hadis dari mereka dan tidak mendengar dari mereka [Tarikh Ibnu Ma’in riwayat Ad Duuriy no 366]

Dan inilah perkataan lengkap Ibnu Hajar dalam kitabnya Al Ishabah dimana ia juga mengutip perkataan Yahya bin Ma’in.

كثير الإرسال ويقلل لا يصح له سماع من صحابي أرسل عن النبي صلى الله عليه وسلم كثيرا وعن معاذ وعمر وعباس بن أبي ربيعة وسعد بن أبي وقاص والعباس بن عبد المطلب وأبي ثعلبة فيقال انه لم يدرك أحدا منهم قال الدوري سئل بن معين هل سمع من سعد فقال لا قيل من أبي امامة قال لا قيل من جابر قال لا قلت وقد أدرك هذين وله رواية أيضا عن بن عباس وعائشة وعن بعض التابعين

Banyak melakukan irsal, dan dikatakan tidak shahih ia mendengar dari sahabat, ia banyak melakukan irsal dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], dan dari Mu’adz, Umar, ‘Abbaas bin Abi Rabii’ah, Sa’d bin Abi Waqqaash, ‘Abbaas bin ‘Abdul Muthalib dan Abu Tsa’labah, makai dikatakan bahwa ia tidak menemui satupun dari mereka. Ad Duuriy berkata Ibnu Ma’in ditanya apakah ia mendengar dari Sa’d, ia menjawab “tidak” dikatakan “dari Abu Umamah” ia berkata “tidak” dikatakan “dari Jabir” ia berkata tidak. Aku [Ibnu Hajar] berkata “sungguh ia telah menemui keduanya [Abu Umamah dan Jabir] dan ia memiliki riwayat dari Ibnu ‘Abbaas, Aisyah dan dari sebagian tabiin [Al Ishabah Ibnu Hajar 5/228-229 no 6691].

Apa yang dinukil Ibnu Hajar bahwa dikatakan tidak shahih mendengar dari sahabat sudah terbukti keliru karena terdapat bukti shahih bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu].

Pertanyaannya adalah adakah ulama yang menyatakan hal yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Yahya bin Ma’in dan dinukil oleh Ibnu Hajar. Jawabannya ada yaitu Al Hafizh Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy. Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy memasukkan hadis Ibnu Saabith di atas dalam kitabnya Al Ahaadits Al Mukhtarah no 1008 dalam bab “Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘anhu]”.

Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy seorang ulama hadis yang lahir tahun 569 H artinya ia lebih dahulu dibanding Ibnu Hajar. Dan ia telah mensyaratkan dalam kitabnya Al ‘Ahadiits Al Mukhtarah bahwa hadis-hadis di dalamnya adalah shahih di sisinya. Maka dari itu di sisi Al Maqdisiy riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘ahu] kedudukannya muttasil. Ibnu Najjaar telah berkata tentangnya

كتبت عنه ببغداد ونيسابور ودمشق ، وهو حافظ متقن ثبت صدوق نبيل حجة عالم بالحديث وأحوال الرجال

Aku menulis darinya di Bagdhad, Naisabur dan Dimasyiq, dan ia seorang hafizh mutqin tsabit shaduq mulia hujjah alim dalam ilmu hadis dan keadaan perawi [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 23/129-130 no 97]

Tentu secara umum kita katakan bahwa ulama mutaqaddimin seperti Yahya bin Ma’in lebih mu’tabar dibandingkan ulama muta’akhirin seperti Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy. Tetapi dalam kasus ini terdapat qarinah petunjuk yang menyatakan bahwa mazhab Yahya bin Ma’in [sebagaimana yang ditegaskan Ad Duuriy] adalah keliru yaitu telah tsabit bahwa Ibnu Saabith mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu] sehingga membuat kami bertawaqquf atas pendapat Yahya bin Ma’in bahwa Ibnu Saabith tidak mendengar dari Sa’d dan Abu Umamah.

adaupun tuduhan ibnu ma’in keliru,karena ibn sabith bertemu jabir,maka

Abdurrahamn bin tsabit itu kata banyak ulama, mursilul hadits, semua nama sahabat yang dia sebutkan itu adalah bentuk tadlisnya. ia memperoleh nama-nama sahabat itu dari para tabiin kibar meskipun tidak semua, ada beberapa yang ia temui langsung (terutama sahabat yang ada di mekah) dan ada juga melaui perantaraan sahabat yang dekat dengannya, hanya saja ibnu jabir ini suka tidak mau menyebutkan nama mereka, seolah kesannya ia bertemu langsung dengan mereka.

Sebaiknya orang ini belajar terlebih dahulu ilmu logika, bagaimana menarik kesimpulan dengan benar dan cara berhujjah dengan benar. Perkara seorang tabiin mengirsalkan hadis dari sahabat adalah perkara yang ma’ruf dalam ilmu hadis. Kaidah dalam ilmu hadis yang sudah disepakati adalah lafaz ‘an anah perawi tsiqat semasa dengan perawi lainnya dimana perawi tsiqat tersebut bukan mudallis maka dihukumi muttashil kecuali jika ternukil ulama mu’tabar yang menyatakan inqitha’ [terputus] atau mursal.

Perkataan ulama tentang irsal pun bukanlah perkara yang bersifat pasti benar jika terdapat bukti kuat bahwa kedua perawi tersebut bertemu maka perkataan ulama tersebut tertolak. Dalam kasus ini telah terbukti dengan sanad yang shahih bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith telah mendengar secara langsung dari Jabir [radiallahu ‘anhu] maka mazhab Yahya bin Ma’in pada sisi ini memang terbukti keliru.

Kalau orang itu ingin bertaklid pada Yahya bin Ma’in maka kami persilakan padanya tetapi kalau memang ingin membahas secara ilmiah maka silakan tampilkan hujjah dengan benar bukan sembarangan mencampuradukkan waham khayal ke dalam hujjah. Orang ini bahkan tidak mengerti perbedaan irsal dan tadlis. Secara sederhana irsal itu menafikan adanya pertemuan antara dua perawi sedangkan tadlis itu sudah jelas pernah terjadi pertemuan antara dua perawi. Tidak ada satupun ulama hadis mu’tabar yang menuduh ‘Abdurrahman bin Saabith dengan tadlis seperti yang dikatakan orang ini.

berikut bukti bahwa ibnu tsabit sebelum menyebut nama sahabat ia menyebut nama tabiin kibar (yang semasa dengannya) terlebih dahulu:

ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، ثنا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ حَسَّانِ بْنِ عَطِيَّةَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الأَوْدِيِّ قَالَ: قدم عَلَيْنَا مُعَاذٌ الْيَمَنَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشِّحْرِ، رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ، أَجَشَّ الصَّوْتِ، فَأُلْقِيَتْ عَلَيْهِ مَحَبَّتِي، فَمَا فَارَقْتُهُ حَتَّى حَثَوْتُ عَلَيْهِ التُّرَابَ، ثُمَّ نَظَرْتُ إِلَى أَفْقَهِ النَّاسِ بَعْدَهُ، فَأَتَيْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ،

(tarikh islam adz dzahabi. hal 457)

Amru bin Maimun Al Adawi adalah tabiin kibar.

Apa sebenarnya yang mau dibuktikan orang ini?. Dalam kitab-kitab Rijal seperti Tahdzib Al Kamal dan yang lainnya sudah disebutkan bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith tidak hanya meriwayatkan dari sahabat Nabi, ia juga meriwayatkan dari tabiin termasuk tabiin yang anda sebutkan. Jadi sebenarnya ia tidak sedang membuktikan apapun. Seorang tabiin yang meriwayatkan dari sahabat bisa saja meriwayatkan pula dari tabiin kibaar dari sahabat lain. Ini adalah perkara yang ma’ruf dalam kitab hadis.

sedikit logika saja, kalau memang abdurrahman bin tsabit itu memang mendengar dari jabir harusnya ia juga mendengar dari shahabat nabi lainnya, tapi faktanya tak ada satupun hadis yang menunjukan hal tersebut kucuali hanya berupa an’anah semata. moso’ sih dari sekian sahabat yang didengar/dijumpai langsung cuma abdullah bin jabir doang?!

Maaf, orang ini tidak sedang menggunakan logika tetapi ia sedang berkhayal. Perkara ‘Abdurrahman bin Saabith mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu] itu sudah terbukti secara shahih dan ditegaskan oleh Abu Hatim dan Al Bukhariy. Perkataannya, kalau memang Ibnu Saabith mendengar dari Jabir maka ia harusnya juga mendengar dari sahabat lainnya [dan karena Ibnu Saabith hanya menggunakan lafaz ‘an anah maka itu berarti mursal dan mana mungkin Ibnu Saabith hanya mendengar dari Jabir saja]. Maaf ini bukan logika tetapi khayalannya saja.

Orang ini memang jahil dalam ilmu hadis, lafaz ‘an anah dalam hadis adalah lafaz periwayatan yang ma’ruf, jika kedua perawi tersebut berada dalam satu masa maka kaidah awal adalah lafaz tersebut dianggap muttasil jika perawi tersebut tsiqat dan bukan mudallis. Mursal atau tidaknya perawi itu tergantung apakah ternukil dari perkataan ulama mu’tabar atau tidak, bukan seperti asumsinya kalau Ibnu Saabith mendengar dari Jabir harusnya mendengar pula dari sahabat lainnya. Apa ia pikir ilmu hadis itu harus menuruti hawa nafsunya?. Tolonglah belajar dahulu dengan baik sebelum sok membantah orang lain.

dan bukti lain adalah terjadinya syadz matan antara waki dengan abdullah bin numeir

versi waki (Bidayah wan Nihayah, hal: 282):

وَكِيْعٌ: حَدَّثَنَا رَبِيْع بنُ سَعْدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَابِطٍ، عَنْ جَابِرٍ:

أَنَّهُ قَالَ – وَقَدْ دَخَلَ الحُسَيْنُ المَسْجِدَ -: (مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى سَيِّدِ شَبَابِ

ngga ada tuh ada lafal yang mengatakan:

كنت مع جابر”

sebagaimana yang terdapat pada

حدثنا أبي، قال حدثنا ربيع بن سعد عن عبد الرحمن بن سابط قال: كنت مع جابر، فدخل حسين بن علي رضي الله عنهما، فقال جابر: من سره أن ينظر الى رجل من أهل الجنة فلينظر الى هذا، فأشهد لسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقوله .

(Bughyat Ath Thalab Fi Tarikh Al Halab 5/92)

‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy seorang yang tsiqat, ahli hadis dari kalangan ahlus sunnah [Taqriib At Tahdziib 1/542]. Ia adalah seorang hafizh tsiqat imam [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 9/244 no 70]. Adz Dzahabiy juga mengatakan bahwa ia adalah hujjah [Al Kasyf 1/604 no 3024]. Ibnu Hibban berkata tentangnya

عبد الله بن نمير الهمداني أبو هشام من المتقنين مات سنة تسع وتسعين ومائة

‘Abdullah bin Numair Al Hamdaaniy Abu Hisyaam termasuk golongan orang mutqin, wafat tahun 199 H [Masyaahiir ‘Ulamaa’ Al Amshaar no 1377]

‘Abdullah bin Numair seorang hafizh tsiqat mutqin hujjah, maka sesuai dengan kaidah ilmu hadis, tambahan matan dari perawi seperti kedudukan dirinya dalam periwayatan hadis adalah ziyadah tsiqat yang maqbul [diterima] kedudukannya. Apalagi dalam hal ini lafaz yang ia sebutkan tidaklah menyelisihi atau bertentangan dengan matan hadis yang disebutkan Waki’. Oleh karena itu keduanya benar dan saling melengkapi.

Contoh lain hadis dimana Abdurrahman bin Saabith mendengar langsung dari Jabir [radiallahu ‘anhu] dapat dilihat dalam kitab Al Ba’ts Wan Nusyuur Ibnu Abi Dawuud hal 16 no 5.


Al Ba'ts Wan Nusyuur Ibnu Abi Dawud

Al Ba'ts Wan Nusyuur Ibnu Abi Dawud no 5

Para perawiyat hadis tersebut sanadnya shahih sampai ‘Abdurrahman bin Saabith, berikut keterangannya

  1. Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan seorang perawi yang tsiqat [Taqriib At Tahdziib 1/118]
  2. Marwaan bin Mu’awiyah Al Fazaariy seorang yang tsiqat dan hafizh [Taqriib At Tahdziib 2/172].
  3. Rabii’ bin Sa’d Al Ju’fiy seorang perawi yang tsiqat [Tarikh Yahya bin Ma’in riwayat Ad Duuriy no 2216]

.

.

.

kalaupun benar ibn tsabit mendengar jabir maka itu tidak serta merta mendengar sa’ad karena hukum asalnya adalah mursal sampai ada tahdits darinya.

Hal itu benar kalau orang ini taklid pada perkataan Yahya bin Ma’in karena ia adalah satu-satunya ulama terdahulu yang menyatakan riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d bin Abi Waqqaash mursal. Kami telah menunjukkan ulama lain yang menyatakan riwayat Ibnu Saabith dari Sa’d shahih maka sanadnya muttashil [bersambung] yaitu Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy.

Secara sederhana bisa dikatakan Yahya bin Ma’in lebih mu’tabar dibanding Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy tetapi dalam kasus ini terdapat qarinah [petunjuk] yang menguatkan kami untuk merajihkan Adh Dhiyaa’ Al Maqdisiy dibanding Yahya bin Ma’in.

Pertama, Yahya bin Ma’in telah terbukti keliru ketika mengatakan Ibnu Saabith tidak mendengar dari Jabir [radiallahu ‘anhu]. Kalau ada yang mengatakan maka bukan berarti perkataannya soal Sa’d bisa langsung dikatakan keliru. Ya itu benar, tetapi sangat wajar untuk bertawaqquf atas perkataan Yahya bin Ma’in karena mazhabnya dalam hal ini terbukti keliru [apalagi ia menyatakan hal itu dalam satu lafaz perkataan].

Analogi yang pas untuk kasus ini adalah Jika seorang teman yang anda percayai mengatakan kepada anda ada tiga orang yang datang ke rumah anda kemarin ketika anda tidak ada di rumah yaitu Ahmad, Ali dan Budi. Padahal anda pergi seharian bersama Ahmad kemarin maka anda bisa mengatakan bahwa apa yang dikatakan teman anda tersebut tidak benar. Anda bisa merasa pasti bahwa Ahmad tidak kerumah anda kemarin. Maka sangat wajar anda tidak mempercayai kalau Aliy dan Budi datang ke rumah anda kemarin sampai anda mendapatkan bukti atau konfirmasi kalau memang mereka berdua ke rumah anda kemarin.

Kedua, Kami telah membuktikan bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith semasa dengan Sa’d bin Abi Waqqash yaitu terbukti dalam riwayat shahih bahwa ‘Abdurrahman bin Saabith telah melihat Husain bin Aliy yang wafat tahun 61 H, artinya ia melihat Husain bin Aliy dan bersama Jabir [radiallahu ‘anhu] sebelum tahun 61 H. Sedangkan Sa’d bin Abi Waqqash wafat tahun 55 H. Maka hal ini tidaklah jauh perbedaan waktunya sehingga memungkinkan bagi Ibnu Saabith untuk bertemu Sa’d bin Abi Waqqaash. Oleh karena itu lebih memungkinkan lagi bagi Ibnu Saabith untuk menyaksikan kisah antara Mu’awiyah dan Sa’d ketika mereka haji di Makkah karena Ibnu Saabith memang termasuk penduduk Makkah.

Selain itu Ibnu Saabith meriwayatkan hadis dari Aisyah [radiallahu ‘anha] dan tidak ada satupun ulama mu’tabar yang menyatakan riwayatnya dari Aisyah mursal bahkan sebagian hafizh telah menshahihkan riwayatnya dari Aisyah [radiallahu ‘anhu].

Hadis Ibnu Saabith dari Aisyah diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah no 1338 dimana Al Hafizh Al Buushiiriy berkata “hadis ini sanadnya shahih para perawinya tsiqat” [Mishbaah Az Zujaajah Fii Zawaa’id Ibnu Majah no 474] dan Al Hafizh Ibnu Katsiir berkata tentang hadis Ibnu Saabith dari Aisyah tersebut “hadis ini sanadnya jayyid” [Fadha’il Qur’an Ibnu Katsiir hal 192-193]. Perlu diketahui bahwa penghukuman suatu sanad hadis dengan lafaz “sanadnya shahih” atau “sanadnya jayyid” memiliki konsekuensi hukum sanadnya muttashil di sisi kedua hafizh tersebut

Aisyah [radiallahu ‘anha] wafat tahun 57 H berdekatan dengan tahun wafatnya Sa’d bin Abi Waqqaash [radiallahu ‘anhu]. Jika ‘Abdurrahman bin Saabith riwayatnya muttashil [bersambung] dari Aisyah [radiallahu ‘anha] maka hal itu berarti ‘Abdurrahman bin Saabith satu masa dengan Sa’d bin Abi Waqqash [radiallahu ‘anhu] dan memungkinkan untuk bertemu dengannya.

Dan soal syekh albani nampaknya syekh Albaniy rahimahullah men-sahih-kan hadits ini hanya lafadz yang marfuu’ (perkataan Rasulullah tentang keutamaan Ali) sebagaimana dalam dalam kitabnya silsilah hadits sahih 4/335 no.1750.

Memang benar orang satu ini hanya bisa menukil tanpa paham apa yang ia nukil. Sok ilmiah tetapi sebenarnya jahil. Kalau ia memang membaca kitab Silsilah Al Ahaadiits Ash Shahiihah 4/335 no 1730, maka inilah perkataan Syaikh Al Albani yang tertera dalam kitabnya

Silsilah Shahihah  juz 4 hal 335

Perhatikanlah Syaikh Al Albani menukil riwayat ‘Abdurrahman bin Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘anhu] yang disebutkan dalam Sunan Ibnu Majah no 121, kemudian Syaikh berkata “sanadnya shahih”. Jadi yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albaniy adalah sanadnya, artinya Syaikh menganggap sanad Ibnu Saabith dari Sa’d [radiallahu ‘anhu] itu muttashil. Orang yang baru belajar ilmu hadis pun akan tahu bahwa pernyataan “sanadnya shahih” mencakup sanadnya yang muttashil [bersambung].

Sebelum Syaikh Al Albani, Al Hafizh Ibnu Katsir telah lebih dulu menguatkan hadis Ibnu Saabith tersebut. Ia berkata “sanadnya hasan” [Al Bidayah Wan Nihayah 11/50]. Hal ini menunjukkan di sisi Ibnu Katsir sanad Ibnu Saabith dari Sa’d bin Abi Waqqaash [radiallahu ‘anhu] adalah muttashil.


Al Bidayah juz 11

Al Bidayah juz 11 hal 50

.

.

.

Penutup

Kesimpulannya di sisi kami berdasarkan pendapat yang rajih riwayat Ibnu Saabith tersebut shahih. Pembahasannya sudah kami sebutkan dalam tulisan yang lalu dan dilengkapi dengan tulisan di atas. Silakan saja kalau orang jahil tersebut bersikeras untuk mendhaifkan riwayat Ibnu Majah. Hal itu tidak sedikitpun meruntuhkan hujjah tulisan kami karena bahkan telah kami tulis dalam tulisan sebelumnya [dan tidak ada bantahan dari orang jahil tersebut] hadis lain yang menjadi bukti bahwa Mu’awiyah mencela Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam].

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Ali dan sahabatnya, mereka membawanya dan melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Perhatikan hadis di atas setelah mengetahui ‘Ammar bin Yasar radiallahu ‘anhu terbunuh dan terdapat hadis bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh kelompok pembangkang maka Muawiyah menolaknya bahkan melemparkan hal itu sebagai kesalahan Imam Ali. Menurut Muawiyah, Imam Ali dan para sahabatnya yang membunuh ‘Ammar karena membawanya ke medan perang dan menurut Muawiyah Imam Ali itu yang seharusnya dikatakan sebagai kelompok pembangkang. Sudah jelas ini adalah celaan yang hanya diucapkan oleh orang yang lemah akalnya.

Tentu saja itu sama halnya seperti Muawiyah menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membunuh para sahabat Badar dan Uhud yang syahid di medan perang karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membawa mereka ke medan perang. Bayangkan jika perkataan dengan “logika Muawiyah” ini diucapkan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka kami yakin orang-orang akan menyatakan kafir orang yang mengatakannya.

Satu lagi yang perlu diberikan catatan kami tidak pernah dalam tulisan sebelumnya dan tulisan di atas menyatakan bahwa Mu’awiyah mencela Aliy itu adalah maksudnya melaknat Aliy. Kami tidak akan berhujjah melampaui teks riwayat yang ada, begitulah cara berhujjah dengan objektif, lafaz riwayat menyatakan “mencela” maka itu sudah cukup sebagai hujjah. Kami tidak akan berlebihan menyatakan yang dimaksud mencela adalah melaknat [karena hal itu membutuhkan dalil] tetapi kami tidak akan membuat bermacam-macam takwil demi membela Mu’awiyah seperti yang dilakukan orang-orang jahil. Jadi kami sarankan kepada orang-orang jahil itu kalau ingin membantah kami maka jangan mencampuradukkan waham khayal kalian tentang Syi’ah kepada kami. Salam Damai


Filed under: Hadis, Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia, Sirah

Benarkah Hasan As Saqqaaf Seorang Rafidhah?

$
0
0

Benarkah Hasan As Saqqaaf Seorang Rafidhah?

Banyak sekelompok orang yang sok bergaya seperti ulama menuduh ulama lain [yang tidak satu manhaj dengannya atau yang ia benci] dengan tuduhan dusta. Salah satunya dapat dilihat dalam tulisan penulis “aneh” disini.

http://www.jarh-mufassar.net/2014/12/hasan-as-saqqaf-sunniy-atau-rafidhiy.html

Kami sudah pernah membantah sebagian tulisannya yang memuat celaan terhadap Syi’ah. Tentu bantahan-bantahan kami tersebut tidak bisa dikatakan mewakili mazhab Syi’ah [karena kami bukan penganut mazhab Syi’ah] tetapi sebagai bukti [bagi para pembaca] yang menunjukkan bahwa tidak setiap syubhat yang dituduhkan kepada mazhab Syi’ah itu benar. Dalam perkara ini sang penulis tersebut sangat jelas memiliki kebencian terhadap Syi’ah sehingga ia bermudah-mudahan dalam menuduh Syi’ah. Tulisan-tulisannya tentang Syi’ah [yang kami bantah] benar-benar tidak objektif dan tidak ilmiah.

Begitu pula tulisannya tentang Hasan As Saqqaf dimana ia menuduhnya sebagai Rafidhah, adalah ciri khas tulisan orang jahil. Jahil dalam ilmu logika sederhana sehingga penarikan kesimpulannya jatuh kedalam fallacy yang berujung pada kedustaan terhadap Hasan As Saqqaf.

.

.

.

Penulis tersebut mengutip perkataan Ibnu Katsir mengenai perselisihan antara Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Bidayah juz 10

Bidayah juz 10 hal 563

Hadis ini termasuk mu’jizat kenabian, karena benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa sallam]. Dan di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, yang mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan bahwa kelompok Aliy adalah yang paling mendekati kebenaran, itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni Aliy berada di pihak yang benar, dan Mu’awiyah seorang mujtahid dalam perperangannya dan ia telah melakukan kesalahan, dan ia berhak mendapat satu pahala insya Allah. Sedangkan Aliy [radhiallahu ‘anhu] adalah seorang imam berada di pihak yang benar insya Allah, dan berhak mendapat dua pahala. Sebagaimana telah tsabit dalam Shahih Bukhariy hadis ‘Amru bin’Ash bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Jika seorang hakim berijtihad dan benar maka baginya dua pahala dan jika ia berijtihad dan keliru maka baginya satu pahala”. [Al Bidaayah Wa Nihaayah 10/563].

Kemudian setelah itu penulis tersebut mengutip pandangan Hasan As Saqqaaf dalam hal ini sebagaimana dalam kitab Daf’u Syubhah At Tasybih Ibnu Jauziy yang ditahqiq oleh Hasan As Saqqaaf.

Daf'u Syubha

Daf'u Syubha hal 240

قلت: فكيف يقول بعض النواصب الذين يظهرون الاعتدال: لعلي أجران ولمعاوية أجر لأنه مجتهد؟

Aku [Hasan As Saqqaaf] berkata “maka bagaimana bisa sebagian nawaashib mengatakan bagi Aliy dua pahala dan bagi Mu’awiyah satu pahala karena ia seorang mujtahid” [Daf’u Syubhah At Tasybih Ibnu Jauziy tahqiq Hasan As Saqqaaf hal 240]

Dengan nukilan di atas, sang penulis tersebut dengan lucunya berkata

Bukankah yang berpandangan seperti itu adalah Ahlus Sunnah? Dan siapa yang suka menggelari Ahlus Sunnah dengan Nawashib kalau bukan rafidhah?

Kalimat macam apa ini, terasa penuh dengan “kesesatan” berpikir. Apakah jika Ahlus Sunnah berpandangan demikian maka tidak boleh ada sebagian Nawaashib yang berpandangan demikian?. Bukankah mazhab Ahlus Sunnah meyakini tiada Tuhan selain Allah SWT maka apakah itu mencegah orang Khawarij, Nawaashib dan firqah lainnya untuk meyakini hal yang sama?. Bagaimana mungkin karena sekedar memiliki keyakinan [tertentu] yang sama maka Ahlus Sunnah dikatakan Khawarij dan dikatakan Nawaashib?.

Seandainya penulis itu paham ilmu logika sederhana, ia akan paham bahwa kesamaan predikat tidak harus memiliki konsekuensi subjeknya sama. Apel berwarna merah dan Tomat berwarna merah. Apakah itu berarti apel adalah tomat?. Ahlus Sunnah berpandangan demikian dan Nawaashib berpandangan demikian, lantas apakah dikatakan Ahlus Sunnah adalah Nawaashib?.

Yang disebutkan Hasan As Saqqaaf itu adalah “sebagian nawaashib”. Mungkin saja As Saqqaaf mengetahui bahwa sebagian ahlus sunnah juga berpandangan demikian atau mungkin juga ia tidak mengetahuinya. Apapun kemungkinannya, tidak ada petunjuk yang menguatkan kalau yang dimaksudkan nawaashib oleh As Saqqaaf tersebut adalah Ahlus Sunnah. Dalam hal pembelaan terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyaan merupakan fenomena yang wajar jika sebagian Ahlus Sunnah dan sebagian Nawaashib memiliki pandangan yang sama.

Jadi bisa disimpulkan bahwa dasar tuduhan Rafidhah terhadap Hasan As Saqqaaf dalam tulisan penulis “aneh” itu hanyalah “kesesatan” berpikir saja. Tidak ilmiah dan tidak objektif alias mengada-ada.

Kami tidak perlu membela semua perkataan Hasan As Saqqaaf dalam kitab-kitabnya. Bagi kami, As Saqqaaf sama seperti ulama lainnya bisa benar juga bisa salah, tinggal dilihat dalil atau hujjah perkataannya apakah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah atau tidak.

.

.

.

Dalam pembacaan kami terhadap kitab-kitab Hasan As Saqqaaf, tidak ada kami melihat unsur Rafidhah dalam pemikirannya. Paling-paling tuduhan rafidhah itu hanya berdasarkan pemikiran dogmatis sebagian orang yang tidak berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadis. Contoh paling baik dapat para pembaca lihat dari blog secondprince ini yang seringkali dituduh rafidhah. Hasan As Saqqaaf mencela sebagian sahabat Nabi seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyaan dan menjatuhkan keadilannya, ia melakukannya dengan dalil dan hujjah. Sebagian hujjah tersebut lemah dan sebagiannya lagi shahih. As Saqqaaf mengutamakan Aliy [‘alaihis salaam] dibanding Abu Bakar dan Umar, hal inipun memiliki dalil dan hujjah. Para pembaca yang sudah sering membaca blog ini pasti sudah melihat contoh dalil dan hujjah yang dimaksud.

Lihat saja nukilan yang disebutkan penulis tersebut. Kalau para pembaca melihat dalil dan hujjah Hasan As Saqqaaf maka apa yang dikatakan As Saqqaaf itu sudah sesuai dengan hadis shahih. Ia berkata

Daf'u Syubha hal 241

فهل يصح الاجتهاد في قتل المسلمين الموحدين و…..؟

وهل هناك اجتهاد في مورد النص؟! وقد تواتر عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال في سيدنا عمار الذي قاتل مع أمير المؤمنين سيدنا علي: ” تقتله الفئة الباغية ” كما ثبت في البخاري ومسلم؟!!

وهل يصح الاجتهاد مع ورود نصوص كثيرة متواترة وصحيحة منها قوله صلى الله عليه وسلم في حق سيدنا علي رضي الله عنه:

” من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه ” قال الحافظ الذهبي في ” سير أعلام النبلاء ” (8 / 335) عن هذا الحديث متواتر

Maka apakah dibenarkan ijtihad dalam memerangi kaum muslimin orang-orang yang bertauhid? Dan apakah ada ijtihad ketika sudah ada nash?. Dan sungguh telah mutawatir dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Beliau berkata tentang Sayyidina ‘Ammaar yang berperang bersama Amirul Mukminin Sayyidina ‘Aliy “ia akan dibunuh oleh kelompok pembangkang” sebagaimana telah tsabit dalam hadis Bukhariy dan Muslim. Dan apakah dibenarkah ijtihad bersamaan dengan adanya nash-nash yang banyak mutawatir dan shahih dari perkataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang kebenaran Sayyidina Aliy [radiallahu ‘anhu] “barang siapa yang Aku adalah maulanya maka Aliy adalah maulanya, Ya Allah dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah oranng yang memusuhinya” Al Hafizh Adz Dzahabiy berkata dalam Siyaar A’laam An Nubalaa’ 8/335 tentang hadis ini “mutawatir” [Daf’u Syubhah At Tasybih Ibnu Jauziy tahqiq Hasan As Saqqaaf hal 241]

Apa yang dikatakan Hasan As Saqqaaf tersebut benar. Banyak dalil-dalil yang menunjukkan kebenaran Aliy [‘alaihis salaam] dan kesesatan Mu’awiyah. Bisa ditambahkan juga disini dalil keharusan untuk mengikuti Aliy [‘alaihis salaam] adalah hadis Tsaqalain perintah berpegang teguh pada Al Qur’an dan Ahlul Bait. Jadi intinya tidak ada ruang ijtihad bagi Mu’awiyah dalam perkara ini karena nash-nash kebenaran Aliy [‘alaihis salaam] itu sudah jelas.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُخْتَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ وَلِابْنِهِ عَلِيٍّ انْطَلِقَا إِلَى أَبِي سَعِيدٍ فَاسْمَعَا مِنْ حَدِيثِهِ فَانْطَلَقْنَا فَإِذَا هُوَ فِي حَائِطٍ يُصْلِحُهُ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ فَاحْتَبَى ثُمَّ أَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى أَتَى ذِكْرُ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ كُنَّا نَحْمِلُ لَبِنَةً لَبِنَةً وَعَمَّارٌ لَبِنَتَيْنِ لَبِنَتَيْنِ فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْفُضُ التُّرَابَ عَنْهُ وَيَقُولُ وَيْحَ عَمَّارٍ تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ قَالَ يَقُولُ عَمَّارٌ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْفِتَنِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziiz bin Mukhtaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Khaalid Al Hadzdzaa’ dari ‘Ikrimah yang berkata Ibnu ‘Abbas berkata kepadaku dan kepada anaknya Aliy “pergilah kalian kepada Abu Sa’iid dan dengarkanlah hadis darinya”. Maka kami pergi menemuinya ketika ia sedang memperbaiki dindingnya, ia mengambil kain duduk ihtiba’ kemudian berbicara kepada kami sampai ia menyebutkan tentang pembangunan masjid maka ia berkata “kami membawa batu satu persatu dan ‘Ammaar membawa dua dua, maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melihatnya, Beliau berkata sambil meniup tanah yang melekat padanya “kasihan ‘Ammaar ia akan dibunuh kelompok pembangkang, ia mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka. [perawi] berkata ‘Ammar berkata “aku berlindung kepada Allah dari fitnah” [Shahih Bukhariy 1/97 no 447].

Hadis di atas adalah bukti jelas bahwa kelompok Mu’awiyah yang membunuh ‘Ammaar [radiallahu ‘anhu] adalah kelompok pembangkang yang menyeru atau mengajak ke neraka. Dakwah atau ajakan kelompok Mu’awiyah adalah ke neraka maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa Mu’awiyah adalah mujtahid yang mendapat satu pahala atas kesalahannya dalam hal ini. Jadi klaim bahwa Mu’awiyah mujtahid yang mendapat pahala atas kesalahannya disini telah bertentangan dengan kabar shahih. Dan kami tidak menemukan satupun dalil yang membuktikan bahwa Mu’awiyah berhak mendapat satu pahala atas kesalahannya.

Seorang yang objektif akan mendudukkan hadis apa adanya sesuai dengan lafaz riwayat. Ia tidak akan berhujjah melampaui lafaz yang ada dan tidak akan berhujjah dengan asumsi khayalnya dan mencampuradukkan asumsi khayal itu ke dalam hadis.

Bukti lain yang menunjukkan ketidaklayakkan Mu’awiyah disebut sebagai mujtahid [dalam perkara ini] adalah ketika telah jelas dalil atau nash dihadapannya ia bukannya menyadari kesalahannya tetapi malah mencela Aliy dengan menuduh bahwa Aliy yang harusnya disebut membunuh ‘Ammar dan disebut kelompok pembangkang

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق قال ثنا معمر عن طاوس عن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه قال لما قتل عمار بن ياسر دخل عمرو بن حزم على عمرو بن العاص فقال قتل عمار وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم تقتله الفئة الباغية فقام عمرو بن العاص فزعا يرجع حتى دخل على معاوية فقال له معاوية ما شانك قال قتل عمار فقال معاوية قد قتل عمار فماذا قال عمرو سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول تقتله الفئة الباغية فقال له معاوية دحضت في بولك أو نحن قتلناه إنما قتله علي وأصحابه جاؤوا به حتى القوه بين رماحنا أو قال بين سيوفنا

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepadaku ayahku yang menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata menceritakan kepada kami Ma’mar dari Ibnu Thawus dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm dari ayahnya yang berkata “ketika Ammar bin Yasar terbunuh maka masuklah ‘Amru bin Hazm kepada Amru bin ‘Ash dan berkata “Ammar terbunuh padahal sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Maka ‘Amru bin ‘Ash berdiri dengan terkejut dan mengucapkan kalimat [Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un] sampai ia mendatangi Muawiyah. Muawiyah berkata kepadanya “apa yang terjadi denganmu”. Ia berkata “Ammar terbunuh”. Muawiyah berkata “Ammar terbunuh, lalu kenapa?”. Amru berkata “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Ia dibunuh oleh kelompok pembangkang”. Muawiyah berkata kepadanya “Apakah kita yang membunuhnya? Sesungguhnya yang membunuhnya adalah Aliy dan sahabatnya, mereka membawanya hingga melemparkannya diantara tombak-tombak kita atau ia berkata diantara pedang-pedang kita [Musnad Ahmad 4/199 no 17813, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih”]

Silakan saja jika ada orang [yang agak kurang waras] mengatakan kalau Mu’awiyah sedang berijtihad ketika mencela Aliy [‘alaihis salaam] bahwa Beliaulah yang membunuh ‘Ammaar karena membawanya berperang. Bukankah perkara itu sama seperti menuduh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membunuh para sahabat Beliau ketika mereka gugur dalam memerangi orang kafir. Akhir kata pandangan Hasan As Saqqaaf dalam perkara ini adalah benar dan sesuai dengan dalil shahih di sisi Ahlus Sunnah. Adapun apa yang diklaim oleh sebagian orang [termasuk penulis tersebut] sebagai pandangan mazhab Ahlus Sunnah ternyata tidak memiliki landasan yang shahih.


Filed under: Hadis, Kritik Salafy, Kritik Syiahphobia

Bukti Kedustaan Tuduhan Rafidhah Atas Hasan bin ‘Aliy As Saqqaaf

$
0
0

Bukti Kedustaan Tuduhan Rafidhah Atas Hasan bin ‘Aliy As Saqqaaf

Tulisan singkat ini hanya ingin menunjukkan kepada para pembaca, bukti kedustaan orang-orang jahil yang menuduh salah seorang ulama ahlus sunnah yaitu Hasan bin ‘Aliy As Saqqaaf dengan tuduhan Rafidhah.

Hasan bin ‘Aliy As Saqqaaf pernah menulis kitab yang menjelaskan tentang aqidah shahih mazhab ahlus sunnah di sisinya. Kitab itu berjudul Shahih Syarh Al ‘Aqiidah Ath Thahaawiyah Aw Al Manhaj Ash Shahiih Fii Fahm ‘Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah Ma’a Al Tanqiih. Kitab ini adalah bukti nyata bahwa Hasan bin ‘Aliy As Saqqaaf berdasarkan pengakuannya adalah seorang yang bermazhab Ahlus Sunnah.

Shahih Syarh Aqidah Thahawiyah As Saqqaaf

Dalam kitab tersebut Hasan bin Aliy As Saqqaaf menegaskan kekhalifahan Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar [radiallahu ‘anhu], Utsman [radiallahu ‘anhu] dan Aliy [‘alaihis salaam]. Hal ini menunjukkan bahwa ia bukan seorang Rafidhah karena tidak ada Rafidhah yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Hasan As Saqqaaf berkata

Shahih Syarh Aqidah Thahawiyah As Saqqaaf hal 654

ونثبت الخلافة بعد رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أولا لأبي بكر الصديق رضي الله عنه، ثم لسيدنا عمر، ثم لسيدنا عثمان، ثم لسيدنا علي رضي الله عنهم أجمعين

Dan kami menetapkan para khalifah setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang pertama adalah Abu Bakar Ash Shiddiiq [radiallahu ‘anhu] kemudian Sayyidina ‘Umar, kemudian Sayyidina ‘Utsman kemudian Sayyidina ‘Aliy, radi’allahu ‘anhum ajma’iin [Shahih Syarh Aqiidah Ath Thahaawiyah hal 654]

Hasan bin ‘Aliy As Saqqaaf ketika menuliskan nama Abu Bakar dan Umar, Beliau menyebutkan keduanya dengan lafaz taradhiy dan “Sayyidina”. Begitu pula ketika menyebutkan Aisyah [radiallahu ‘anha], Beliau menyebutnya dengan lafaz taradhiy dan sebutan Sayyidah.

Shahih Syarh Aqidah Thahawiyah As Saqqaaf hal 128

Shahih Syarh Aqidah Thahawiyah As Saqqaaf hal 129

Silakan para pembaca pikirkan, rafidhah manakah yang menetapkan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bahkan memuliakan mereka dengan sebutan Sayyidina serta [radiallahu ‘anhu]. Syi’ah yang moderat mungkin tidak akan mencela Abu Bakar dan Umar tetapi mereka tetap tidak akan menetapkan kekhalifahan keduanya atau menyebut keduanya dengan gelar kemuliaan yaitu Sayyidina. Kesimpulannya orang yang menuduh Hasan As Saqqaaf sebagai rafidhah maka tidak lain dia adalah pendusta.


Filed under: Kritik Syiahphobia

Doa Nabi Pada Pernikahan Aliy Dengan Fathimah = Made In Syi’ah? : Kedustaan Pencela Syi’ah

$
0
0

Doa Nabi Pada Pernikahan Aliy Dengan Fathimah = Made In Syi’ah? : Kedustaan Pencela Syi’ah

Berikut contoh kedustaan dari salah satu pencela Syi’ah, yang kelas dan kualitas [rendahnya] sama dengan Jaser Leonheart. Dalam akun facebook-nya ia mengatakan bahwa doa Nabi pada pernikahan Aliy dengan Fathimah adalah buatan orang Syi’ah. 

Ispiraini Hamdan

Ispiraini Hamdan2

Ispiraini Hamdan3

Orang ini seperti Jaser Leonheart mulutnya lebih besar dibanding kepalanya. Hal ini mungkin karena yang bersangkutan terlalu gemar mencela mazhab Syi’ah dimana kegemarannya tersebut telah melampaui usahanya dalam menuntut ilmu. Doa tersebut meskipun kedudukannya dhaif [bahkan ada yang mengatakan maudhu’] memang tercantum dalam kitab ulama ahlus sunnah. Diantara kitab yang memuat doa tersebut adalah

  1. Kitab Dzakhaair Al ‘Uqbaa oleh Muhibbuddiin Ath Thabariy
  2. Kitab Mirqah Al Mafaatiih Syarh Misykaah Al Mashaabiih oleh Mulla ‘Aliy Al Qaariy
  3. Kitab Tarikh Dimaysiq oleh Ibnu Asakir [dengan sedikit perbedaan lafaz]

 

Kitab Dzakhaair Al ‘Uqbaa Muhibbuddiin Ath Thabariy hal 69-70

Dzakhair Al Uqbaa

 

Dzakhair Al Uqbaa hal 69

Dzakhair Al Uqbaa hal 70

 

.

.

Kitab Mirqah Al Mafaatiih Syarh Misykaah Al Mashaabiih Mulla ‘Aliy Al Qaariy 11/259-260 no 6104

Mirqat Mafatih

 

Mirqat Mafatih no 6104

 

Mirqat Mafatih Syarh no 6104

.

.

Kitab Tarikh Ibnu Asakir 52/444-445

Tarikh Ibnu Asakir juz 52

Tarikh Ibnu Asakir juz 52 hal 444

Tarikh Ibnu Asakir juz 52 hal 445

.

.

Kesimpulan

Para pencela Syi’ah memang punya kebiasaan berdusta, entah sengaja ataupun tidak, buktinya sudah cukup banyak dalam tulisan-tulisan di blog ini yaitu orang-orang seperti Abul-Jauzaa, Jaser Leonheart, Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy dan yang lainnya. Mungkin saja mereka dalam hal keilmuan mazhab yang mereka anut adalah orang-orang yang terpandang tetapi kalau sudah bicara mazhab Syi’ah maka terkadang mereka menjatuhkan diri mereka ke derajat para pendusta. Susah memang bersikap objektif kalau sudah dipenuhi dengan kebencian dan kami doakan semoga tidak banyak orang awam yang tertipu dengan kedustaan mereka.


Filed under: Kritik Syiahphobia
Viewing all 147 articles
Browse latest View live