Catatan Atas Syubhat Abu Azifah Terhadap Hadis ‘Amru bin Sufyaan
Beberapa hari ini kami telah berdiskusi dengan salah seorang yang menyebut dirinya Abu Azifah mengenai hadis ‘Amru bin Sufyaan. Diskusi tersebut dapat para pembaca lihat disini. Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut
وَحَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي دَاوُدَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مَرْوَانُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مُسَاوِرٌ الْوَرَّاقُ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سُفْيَانَ ، قَالَ : خَطَبَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْجَمَلِ ، فَقَالَ : أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ الإِمَارَةَ لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا عَهْدًا فَنَتَّبِعَ أَمْرَهُ ، وَلَكِنَّا رَأَيْنَاهَا مِنْ تِلْقَاءِ أَنْفُسِنَا ، اسْتَخْلَفَ أَبُو بَكْرٍ رَحِمَهُ اللَّهُ فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ ، ثُمَّ اسْتَخْلَفَ عُمَرُ فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Daud yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayuub bin Muhammad Al Wazzaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Marwan yang berkata telah menceritakan kepada kami Musaawir Al Warraaq dari ‘Amru bin Sufyaan yang berkata Aliy bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] berkhutbah kepada kami pada perang Jamal, Maka Beliau berkata “amma ba’du, sesungguhnya kepemimpinan ini tidaklah diwasiatkan kepada kami oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan wasiat yang harus kami ikuti, tetapi kami berpandangan tentangnya dengan pandangan kami sendiri, diangkat Abu Bakar [rahimahullah] maka ia menjalankannya dan istiqamah, kemudian diangkat Umar maka ia menjalankan dan istiqamah [Asy Syarii’ah Al Ajurriy 2/441 no 1249]
Riwayat ini sudah kami bahas takhrij-nya secara lengkap beserta kedudukannya dalam tulisan kami disini. Kesimpulannya riwayat tersebut dhaif dengan keseluruhan jalannya, sungguh tidak tsabit bahwa Imam Aliy [‘alaihis salaam] pernah mengatakannya, justru sebaliknya telah tsabit perkataan Beliau [‘alaihissalaam] bahwa ia lebih berhak atas khilafah. Hal ini kami pahami sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah menetapkan Imam Aliy sebagai khalifah atau waliy bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Dalam diskusi tersebut Abu Azifah menguatkan riwayat tersebut dengan syubhat-syubhat yang tidak memiliki dasar dalam ilmu hadis. Oleh karena itu kami telah menjelaskan dengan panjang lebar kelemahan syubhat abu azifah sesuai dengan kaidah ilmu hadis. Aneh bin ajaib bukannya sadar diri dan belajar lagi ilmu musthalah hadis, yang bersangkutan justru menuduh kami tidak ilmiah.
Syubhat Abu Azifah atas hujjah kami dapat dirincikan sebagai berikut
- Ketika kami melemahkan Marwan dengan alasan ia melakukan tadlis taswiyah, abu azifah berhujjah dengan perkataan Adz Dzahabiy dengan analogi kasus Walid bin Muslim.
- Ketika kami menyatakan Musaawir majhul dengan alasan Marwan telah melakukan tadlis syuyukh, abu azifah bersikeras dengan riwayat di atas yang berlafaz “Musaawir Al Warraaq” dan menyatakan Musaaawir Al Warraaq tersebut tsiqat bukan Musaawir yang majhul.
- Ketika kami mengikuti perandaian abu azifah bahwa Musaawir tersebut adalah Musaawir Al Warraaq, kami menyebutkan illat [cacat] lain yaitu lafal an anah Musaawir Al Warraaq dari Amru bin Sufyaan tidak terbukti memenuhi persyaratan Imam Muslim. Abu Azifah menjawab kembali dengan andai-andai usia Musaawir 100 tahun sehingga memungkinkan bertemu Amru bin Sufyan.
- Ketika kami melemahkan ‘Amru bin Sufyaan dimana tidak ada tautsiq dari ulama mu’tabar untuknya, abu azifah bersikeras dengan penyebutan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat dan tautsiq Al Ijliy yang belum terbukti untuk ‘Amru bin Sufyaan yang meriwayatkan dari Aliy.
Pada akhir diskusi abu azifah justru tidak menjawab hujjah kami, ia menjawab via email yang ternyata cuma pengulangan saja dari komentar sebelumnya. Seolah hujjah yang kami sampaikan dalam meluruskan syubhat-syubhatnya ia anggap sebagai angin lewat saja. Insya Allah, berikut akan kami tampilkan jawabannya via email beserta pembahasan kami secara ilmiah, dengan harapan semoga ada pembaca yang bisa mengambil hikmah dari pembahasan ini. [adapun untuk abu azifah kami tidak mengharapkan apapun untuknya]
Untuk memudahkan para pembaca memahami hal-hal yang kami sebutkan di atas, ada baiknya membaca dengan hati-hati diskusi kami dengan abu azifah yang dapat dilihat dalam tulisan kami yang berjudul Imam Aliy Mengakui Kepemimpinannya. Kemudian melanjutkan dengan membaca tulisan ini. Komentar terakhir abu azifah [via email] adalah perkataaan yang kami quote
.
.
.
.
Syubhat Tadlis Taswiyah
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tolong antum baca perlahan dan antum pikir lebih dalam argumentasi saya.
-
Adz Dzahabi ketika menulis tentang Al Walid, tahu ndak Al walid mudallas taswiyah ? Jawabnya : antum aja tahu apalagi beliau. Entoh seperti itu beliau mencukupkan sima’ Al walid kepada Al Auza’i. Menurut anda sima’ tersebut tidak cukup, harusnya sima’Al Auza’i disertakan. Antum jangan melampaui batas terhadap Adz Dzahabi.
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Sebelum kita membicarakan tadlis taswiyah. Ada baiknya kita memahami terlebih dahulu definisi tadlis taswiyah. Hal inilah yang gagal dipahami oleh Abu Azifah. Kalau dasarnya saja tidak paham maka tidak mengherankan kalau hujjah selanjutnya juga rusak.
Banyak para ulama membuat definisi tadlis taswiyah dalam kitab Ulumul hadis, berikut kami nukil definisi yang sederhana dari apa yang dikatakan Ibnu Rajab dalam kitabnya Syarh Ilal Tirmidzi
فهو نوع تدليس ومنه ما يسمى التسوية ، وهو أن يروي عن شيخ له ثقة عن رجل ضعيف عن ثقة فيسقط الضعيف من الوسط
Maka itu adalah salah satu jenis tadlis, yang dinamakan dengan taswiyah, yaitu dimana ia [perawi] meriwayatkan dari syaikh [guru] yang tsiqat dari orang yang dhaif dari orang yang tsiqat kemudian ia [perawi tersebut] menghilangkan perawi dhaif di pertengahan sanad tersebut [Syarh Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab 2/692]
Perbedaan tadlis isnad biasa dengan tadlis taswiyah adalah pada letak perawi yang dihilangkan di dalam sanad tersebut. Pada tadlis isnad biasa, perawi yang dihilangkan adalah antara orang [yang tertuduh tadlis] dan syaikh-nya [gurunya]. Sedangkan pada tadlis taswiyah, perawi yang dihilangkan adalah antara guru atau syaikh dari orang yang tertuduh dengan gurunya syaikh tersebut. Misalkan ada rantai sanad berikut
A —- B —- C —- D —- E —- F
Ternyata perawi A kemudian melakukan tadlis misalkan tadlis isnad biasa maka perawi yang dihilangkan oleh si A adalah perawi B sehingga sanadnya menjadi
A —- C —- D —- E —- F
Jika si perawi A melakukan tadlis taswiyah maka perawi yang dihilangkan oleh si A adalah perawi C, maka sanadnya menjadi
A —- B —- D —- E —- F
Dengan contoh di atas dapat dipahami bahwa untuk menghilangkan cacat tadlis taswiyah maka perawi tersebut minimal harus menjelaskan penyimakan hadisnya dari syaikh-nya [gurunya] kemudian syaikh-nya tersebut juga menjelaskan penyimakan dari syaikh-nya [gurunya] pula.
Sebagian ulama malah mengharuskan syarat bahwa lafal penyimakan itu harus ada pada setiap thabaqat sanad dari perawi tersebut hingga akhir sanad. Mengapa? Karena terdapat contoh kasus perawi melakukan tadlis taswiyah pada level sanad yang lebih tinggi. Misalkan dengan contoh di atas perawi A menghilangkan perawi D atau E dalam sanad tersebut. [Penjelasan rinci tentang ini tentu membutuhkan pembahasan tersendiri].
.
Setelah memahami penjelasan diatas maka mari kita lihat hujjah Abu Azifah tersebut. Sebelumnya Abu Azifah ini mengatakan bahwa Adz Dzahabiy dalam menerima tadlis taswiyah cukup dengan lafal penyimakan dari perawi tersebut dengan syaikh-nya saja. Abu Azifah memberi contoh Walid bin Muslim yang dikenal sebagai perawi tadlis taswiyah. Abu Azifah mengutip perkataan Adz Dzahabiy dalam kitab Al Mughniy
الوليد بن مسلم الدمشقي إمام مشهور صدوق ولكنه يدلس عن ضعفاء لا سيما في الأوزاعي فاذا قال ثنا الاوزاعي فهو حجة
Waliid bin Muslim Ad Dimasyiq imam masyhur shaduuq tetapi melakukan tadlis dari para perawi dhaif, terutama dalam hadis Al Auza’iy maka jika ia mengatakan telah menceritakan kepada kami Al Auza’iy maka ia menjadi hujjah. [Al Mughniy 2/725 no 6887]
Apakah Adz Dzahabiy di atas sedang membahas tadlis taswiyah?. Tidak, ia sedang membahas kedudukan perawi yaitu Walid bin Muslim. Sedangkan tadlis yang dibicarakan Adz Dzahabiy terhadap Walid bin Muslim dalam kitab Al Mughniy tersebut adalah tadlis Walid dari para perawi dhaif dari Al Auza’iy bukan tadlis taswiyah. Hal ini nampak dalam lafaz ولكنه يدلس عن ضعفاء
Lafaz itu sebagaimana dipahami dari zhahirnya adalah tadlis Walid dari para perawi dhaif dari Al Auza’iy. Sebagaimana dikutip pula oleh Adz Dzahabiy dalam Siyaar A’laam An Nubaala’ yaitu lafaz yang hampir sama diucapkan oleh Abu Mushir
وقال أبو مسهر ربما دلس الوليد بن مسلم عن كذابين
Dan Abu Mushir berkata terkadang Waliid bin Muslim melakukan tadlis dari para pendusta [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 9/216]
قال أبو مسهر: كان الوليد يأخذ من ابن أبي السفر حديث الاوزاعي، وكان كذابا، والوليد يقول فيها: قال الاوزاعي
Abu Mushir berkata “Waliid mengambil hadis Al Auza’iy dari Ibnu Abi As Safaar dan ia seorang pendusta, kemudian Walid mengatakan pada hadis itu “telah berkata Al Auza’iy” [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 9/215]
Lafaz yang dikatakan Abu Mushir bahwa Walid “melakukan tadlis dari para pendusta” hakikatnya sama dengan lafaz perkataan Adz Dzahabiy dalam Al Mughniy “melakukan tadlis dari para perawi dhaif”. Dan tadlis yang dimaksud disitu adalah tadlis isnad biasa sebagaimana dijelaskan Abu Mushir bahwa Walid mengugurkan Ibnu Abi As Safar antara dirinya dan Al Auza’iy bukan tadlis taswiyah.
Hal ini sudah kami jelaskan kepada Abu Azifah tetapi tetap saja ia bersikeras dengan perkataan Adz Dzahabiy. Kami berprasangka baik saja kepada Adz Dzahabiy bahwa ia mengetahui kalau Walid adalah perawi tadlis taswiyah tetapi perkataannya dalam Al Mughniy di atas bukan tertuju pada sifat tadlis taswiyah melainkan tadlis isnad biasa dimana Walid menghilangkan perawi dhaif antara dirinya dan Al Auza’iy.
Tidak ada disini kami melampaui batas terhadap Adz Dzahabiy, justru Abu Azifah yang melampaui batas terhadap Adz Dzahabiy, ia mengatasnamakan Adz Dzahabiy bahwa mengenai tadlis taswiyah Adz Dzahabiy hanya mensyaratkan penyimakan perawi tersebut terhadap syaikh-nya saja. Dalam kitab mana Adz Dzahabiy mengatakan demikian?. Kalau begitu apa bedanya tadlis biasa dengan tadlis taswiyah di sisi Adz Dzahabiy?. Rasanya tidak mungkin sekali Adz Dzahabiy tidak paham apa itu tadlis taswiyah.
.
.
Seandainya pun disini kami mengikuti perandaian Abu Azifah kalau Adz Dzahabiy mensyaratkan demikian maka kami tidak ragu untuk mengatakan kalau Adz Dzahabiy keliru. Dalam tadlis taswiyah Walid bin Muslim justru perawi yang dihilangkan itu adalah sanad di atas Al Auza’iy bukan antara Walid dan Al Auza’iy.
وسمعت أبا داود يقول: أدخل الأوزاعي بينه وبين الزهري، ونافع، وبين عطاء نحوا من ستين رجلا. أسقطها الوليد كلها
Dan aku mendengar Abu Dawud mengatakan Al Auza’iy memasukkan antara dirinya dan Az Zuhriy, Naafi’ dan Athaa’ lebih kurang enam puluh orang yang kemudian dihilangkan semua oleh Waalid [Su’alat Abu Ubaid Al Ajurriy 2/186 no 1552]
Dan berikut kami bawakan contoh riwayat Walid bin Muslim dari Al Auza’iy dengan lafaz “telah menceritakan kepada kami” dan ternyata riwayat tersebut adalah tadlis taswiyah dari Waliid bin Muslim.
حدثنا أبو الوليد قال ثنا الوليد قال ثنا أبو عمرو عن نافع عن ابن عمر أنه كان إذا توضأ عرك عارضيه بعض العرك وشبك لحيته بأصابعه أحيانا ويترك أحيانا
Telah menceritakan kepada kami Abu Waliid yang berkata telah menceritakan kepada kami Waliid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amru dari Naafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya ia jika berwudhu’ mengusap bagian samping dari wajahnya dan menggenggam jenggotnya dengan jarinya, terkadang ia melakukannya dan terkadang meninggalkannya [Tafsir Ath Thabariy 8/174]
Abu Walid adalah Ahmad bin ‘Abdurrahman Abu Waliid Ad Dimasyiq seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/39]. Waliid yaitu Waliid bin Muslim dan Abu ‘Amru adalah kuniyah dari Al Auza’iy.
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Waliid bin Muslim melakukan tadlis taswiyah dalam riwayat tersebut. Silakan perhatikan riwayat berikut
وأخبرنا أبو عبد الله السوسي ثنا أبو العباس الأصم ثنا أبو العباس بن الوليد بن مزيد أخبرني أبي أنا الأوزاعي قال حدثني عبد الله بن عامر حدثني نافع أن بن عمر كان يعرك عارضيه ويشبك لحيته بأصابعه أحيانا ويترك
Dan telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdullah As Suusiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbaas Al ‘Ashaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Abbaas bin Waliid bin Maziid yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Al Auza’iy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin ‘Aamir yang berkata telah menceritakan kepadaku Naafi’ bahwa Ibnu Umar mengusap bagian samping dari wajahnya dan menggenggam jenggotnya dengan jarinya, terkadang ia meninggalkannya [Sunan Baihaqiy 1/55 no 255]
Abu ‘Abdullah As Suusiy adalah Ishaaq bin Muhammad bin Yusuf An Naisaburiy seorang yang tsiqat [Tarikh Al Islam Adz Dzahabiy 9/267 no 246]. Abul ‘Abbaas Al Asham dinyatakan tsiqat oleh Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Abu Nu’aim bin Adiy dan Ibnu Abi Haatim [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 15/452-458 no 258]. ‘Abbaas bin Waliid bin Maziid seorang ahli ibadah yang shaduq [Taqriib At Tahdziib 1/475]. Waliid bin Maziid seorang yang tsiqat tsabit [Taqriib At Tahdziib 2/289].
Dalam riwayat Ath Thabariy disebutkan sanad Waliid bin Muslim dari Al Auza’iy [dengan lafaz penyimakan] kemudian Al Auza’iy meriwayatkan dari Naafi’ dengan lafaz ‘an anah.
Dalam riwayat Baihaqiy disebutkan sanad Waliid bin Maziid dari Al Auza’iy dengan lafaz penyimakan kemudian Al Auza’iy meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Aamir dengan lafaz penyimakan kemudian Abdullah bin ‘Aamir meriwayatkan dari Naafi’ dengan lafaz penyimakan.
- Waliid bin Muslim dari Al Auza’iy dari Nafii’
- Waliid bin Maziid dari Al Auza’iy dari ‘Abdullah bin ‘Aamir dari Nafii’.
وَقَالَ النَّسَائِيُّ: الوَلِيْدُ بنُ مَزْيَدٍ أَحَبُّ إِلَيْنَا فِي الأَوْزَاعِيِّ مِنَ الوَلِيْدِ بن مُسْلِمٍ، لاَ يُخْطِئُ، وَلاَ يُدَلِّسُ
An Nasa’iy berkata “Waliid bin Maziid lebih kami sukai dalam riwayat Al Auza’iy daripada Walid bin Muslim, ia [Waliid bin Maziid] tidak keliru dan tidak pula melakukan tadlis” [Siyaar A’laam An Nubalaa’ 9/420]
Jadi sebenarnya dalam riwayat tersebut, Al Auza’iy mendengar dari ‘Abdullah bin ‘Aamir dari Naafi’ kemudian Waliid bin Muslim melakukan tadlis taswiyah dengan mengugurkan ‘Abdullah bin ‘Aamir antara Al Auza’iy dan gurunya yaitu Naafi’. Perhatikan bagaimana Waliid menggunakan lafaz penyimakan dari Al Auza’iy tetapi tetap saja hadisnya terbukti tadlis taswiyah dan perawi yang ia gugurkan adalah Abdullah bin ‘Aaamir Al Aslamiy seorang yang dhaif [Taqriib At Tahdziib 1/504]
Contoh di atas adalah bukti nyata bahwa lafaz penyimakan Waliid dari Al Auza’iy tidak akan menggugurkan tadlis taswiyah Waliid. Seperti yang pernah kami jelaskan bahwa untuk tadlis taswiyah minimal lafaz penyimakan itu ada pada dua thabaqat sanad yaitu sanad antara perawi tersebut dengan gurunya kemudian antara gurunya dengan guru dari gurunya.
.
.
Terkait dengan kasus Waliid bin Muslim, Ibnu Hajar dalam salah satu Risalah-nya pernah berkata tentang salah satu hadis Waliid
![Juz Fihi Jawab Ibnu Hajar]()
![Juz Fihi Jawab Ibnu Hajar hal 4]()
رواية الوليد بن مسلم عنه بغير تصريح بالتحديث ، و الوليد بن مسلم يدلس و يسوي فلا يقبل من حديثه الا ما صرح فيه بالتحديث له و لشيخه
Riwayat Waliid bin Muslim darinya tidak dengan jelas menyebutkan lafaz penyimakan. Waliid bin Muslim melakukan tadlis dan taswiyah maka tidak diterima hadisnya kecuali di dalamnya ada lafaz jelas penyimakan darinya [Waliid] dan lafaz penyimakan dari Sayaikh-nya [Juz Fiihi Jawaabu ‘An Haal Hadiits Masyhuur “Maau Zamzama Limaa Syurib Lahu” Ibnu Hajar hal 4]
![An Nukat Ala Kitab Ibnu Shalah]()
![An Nukat Ala Kitab Ibnu Shalah juz 1 hal 293]()
واشتمل حديث الأوزاعي على زيادة على حديث ابن عيينة توقف الحكم بصحتها على تصريح الوليد بسماعه من الأوزاعي، وسماع الأوزاعي من الزهري؛ لأن الوليد بن مسلم من المدلسين على شيوخه وعلى شيوخ شيوخه
Dan yang terkandung dalam hadis Al Auza’iy berupa ziyadah [tambahan] atas hadis Ibnu Uyainah, maka tawaqquf dalam menetapkan keshahihannya sampai menjadi jelas Waliid mendengarnya dari Al Auza’iy dan Al Auza’iy mendengarnya dari Az Zuhriy karena Walid bin Muslim termasuk orang yang melakukan tadlis atas gurunya dan atas guru dari gurunya [An Nukaat ‘Ala Kitaab Ibnu Shalaah, Ibnu Hajar 1/293]
Semoga saudara Abu Azifah bisa memahami penjelasan kami ini dan hal ini membuktikan lemahnya hujjah abu azifah dengan perkataan Adz Dzahabiy [dalam persepsinya] terhadap Waliid bin Muslim.
.
.
.
.
Syubhat Tadlis Syuyukh Marwan bin Mu’awiyah
- Antum mungkin lupa akan hakekat tadlis. Tadlis itu menyamarkan perawi, bukan berdusta. Berkali-kali saya ingatkan sifat tsiqat Marwan.Marwan ketika meriwayatkan dengan sima’ terhadap perawi yang tidak samar, antum menerimanya kan ? Marwan meriwayatkan dari Sawwar atau Musawwir, ini nama samar atau tidak ? Jawabannya : samar, tersamar dengan Musawwir gurunya yang majhul, atau sawwar yang tsiqat, atau Musawwir Al Warraq, bukan begitu mas ?
Lalu ketika Marwan meriwayatkan dari Musawwir Al Warraq, ini nama samar atau tidak ? Saya menjawab : Tidak, Musawwir Al warraq, bukan Musawwir majhul, bukan pula sawwar, bukan pula yang lain. Kalau anda menjawab : ya, nama itu masih samar. Maka antum sudah melampaui batas terhadap ketsiqatan Marwan. Anda tidak percaya bahwa Marwan betul-betul meriwayatkan dari Musawwir Al Warraq. Maaf dalam hal ini anda tidak ILMIAH.Anda tidak bisa membedakan tsiqat dan tidak, nama yang samar dan yang tidak.
Tolong fahami betul hal ini.
Fenomena ini memang aneh, orang yang hakikatnya tidak paham permasalahan berlagak sok paham dan ingin mengajari orang lain. Kami tidak lupa hakikat tadlis dan kami tidak sedang menuduh Marwan bin Mu’awiyah berdusta. Tadlis tidak ada kaitannya dengan kedudukan tsiqat atau tidak. Baik perawi tsiqat dan dhaif sama-sama bisa melakukan tadlis.
Tadlis yang disifatkan kepada Marwan adalah Tadlis syuyukh yaitu perawi mengubah nama gurunya, kuniyahnya atau nasabnya dengan tujuan tertentu. Sebelumnya kami telah menunjukkan hujjah kami dalam masalah ini dan kami tidak keberatan mengulanginya
Pertama-tama adalah siapa sebenarnya perawi tersebut yaitu gurunya Marwan bin Mu’awiyah?. Langkah pertama untuk menentukan siapa dirinya adalah dengan mengumpulkan seluruh jalan periwayatan hadis Marwan, maka didapatkan
- Riwayat Al Hakim dan Qaasim bin Tsaabit menyebutkan nama gurunya Marwan adalah Sawwaar
- Riwayat Al Ajurriy menyebutkan nama gurunya Marwan adalah Musaawir Al Warraaq.
Maka dapat disimpulkan bahwa gurunya Marwan tersebut adalah Sawwaar Musaawir Al Warraaq. Langkah berikutnya adalah mencari dalam kitab Rijal. Dalam kitab Rijal yaitu Tahdzib Al Kamal dan Tahdzib At Tahdziib ditemukan bahwa Musaawir gurunya Marwan bin Mu’awiyah dan yang meriwayatkan dari ‘Amru bin Sufyaan adalah seorang yang majhul [Taqriib At Tahdziib 2/174].
Dalam kitab Rijal seperti Tahdzib Al Kamal dan Tahdzib At Tahdzib memang juga ditemukan perawi yang disebut Musaawir Al Warraaq seorang yang tsiqat shaduq. Hanya saja ia tidak dikenal dengan nama Sawwaar. Maka disini tidak ada hujjah untuk menetapkan bahwa dialah perawi yang dimaksud Marwan bin Mu’awiyah.
Satu-satunya hujjah yang dipakai saudara Abu Azifah adalah laqab Al Warraaq. Tentu saja ini bukan hujjah tetapi memaksakan diri sebagai hujjah. Mengapa? Karena Musaawir Al Warraaq yang tsiqat shaduq tidak ditemukan ada hubungan guru dan murid dengan Marwan bin Mu’awiyah bahkan kami telah mencari riwayat Marwan dari Musaawir Al Warraaq dan tidak kami temukan kecuali riwayat Al Ajurriy ini [yang ternyata bagian dari tadlis syuyukh]. Hujjah yang paling jelas sebagai bantahan adalah Musaawir Al Warraaq yang tsiqat shaduq tidak dikenal dengan nama Sawwaar.
Abu Azifah berhujjah bahwa lafaz Musaawir Al Warraaq itu sudah jelas tidak samar. Anehnya ia malah menafikan riwayat yang menyebutkan bahwa gurunya Marwan tersebut bernama Sawwaar. Jika kita melakukan yang sebaliknya yaitu berpegang pada riwayat dengan lafaz Sawwaar dan menafikan riwayat dengan nama Musaawir Al Warraaq maka dalam kitab Rijal yaitu Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim didapatkan
![Al Jarh Wat Ta'dil juz hal 273]()
سوار الشبامى روى عن… روى عنه مروان بن معاوية الفزارى. حدثنا عبد الرحمن قال سألت ابى عنه فقال: لا ادرى من هو
Sawwaar Asy Syabaamiy meriwayatkan dari … dan telah meriwayatkan darinya Marwan bin Mu’awiyah Al Fazaariy. Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman yang berkata aku bertanya kepada ayahku tentangnya, maka ia berkata “aku tidak mengetahui siapa dia” [Al Jarh Wat Ta’dil 4/273 no 1177]
Tanda titik-titik itu memang hilang dari kitab Al Jarh Wat Ta’dil tetapi keterangan di atas sudah cukup sebagai petunjuk yang menguatkan bahwa memang ada perawi bernama Sawwaar yang merupakan guru Marwan bin Mu’awiyah. Bahkan bisa jadi tanda titik-titik yang hilang itu adalah nama ‘Amru bin Sufyaan. Qarinah ini jauh lebih jelas dibanding Musaawir Al Warraaq yang tidak dikenal ia sebagai gurunya Marwan bin Mu’awiyah.
Ibnu Hajar ketika menuliskan biografi Musaawir gurunya Marwan bin Mu’awiyah, ia mengutip Abu Hatim yang berkata “majhul” [Tahdzib At Tahdziib juz 10 no 193]
Berdasarkan penjelasan di atas maka sangat mungkin Marwan melakukan tadlis syuyukh dimana ia menambahkan laqab Al Warraaq pada gurunya Sawwaar atau Musaawir yang majhul. Inilah namanya tadlis syuyukh mengaburkan perawi yang tadinya majhul dengan mengubah namanya hingga akhirnya nama itu dikira dan disalahartikan sebagai perawi tsiqat.
Tentu saja perkara ini bukanlah menuduh Marwan berdusta. Al Warraaq itu sendiri bermakna penyalin naskah atau kitab, jadi jika kita berprasangka baik terhadap Marwan maka Sawwaar atau Musaawir yang majhul gurunya Marwan tersebut juga diketahui oleh Marwan sering menyalin nasakah atau kitab oleh karena itu Marwan menyebutnya dengan sebutan Al Warraaq.
Ada contoh tadlis syuyukh yang dilakukan oleh perawi tsiqat [sama seperti Marwan bin Mu’awiyah] dan kedudukannya sedikit mirip dengan kasus Marwan bin Mu’awiyah ini. Ibnu Rajab Al Hanbaliy menyebutkan dalam kitabnya Syarh Ilal Tirmidzi
ذكر من روى عن ضعيف وسماه باسم يتوهم أنه اسم ثقة.
Menyebutkan orang-orang yang meriwayatkan dari perawi dhaif dan menamakannya dengan nama yang disalahartikan bahwasanya ia nama perawi tsiqat [Syarh Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab 2/690]
منهم بقية بن الوليد وهو من أكثر الناس تدليسًا، وأكثر شيوخه الضعفاء مجهولون لا يعرفون، وكان ربما روى عن سعيد بن عبد الجبار الزبيدي أو زرعة بن عمرو الزبيدي، وكلاهما ضعيف الحديث فيقول: نا الزبيدي، فيظن أنه محمد بن الوليد الزبيدي صاحب الزهري
Diantara mereka adalah Baqiyah bin Waliid, ia termasuk orang yang paling banyak melakukan tadlis dan paling banyak memiliki guru-guru dhaif, majhul dan tidak dikenal, ia terkadang meriwayatkan dari Sa’iid bin ‘Abdul Jabbaar Az Zubaidiy atau Zur’ah bin ‘Amru Az Zubaidiy dan keduanya dhaif dalam hadis, maka ia mengatakan “telah menceritakan kepada kami Az Zubaidiy” maka orang mengira bahwasanya ia adalah Muhammad bin Waliid Az Zubaidiy sahabat Az Zuhriy. [Syarh Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab 2/691-692]
Baqiyah bin Waliid adalah perawi yang tsiqat dan disini ia pernah melakukan tadlis syuyukh yaitu dari gurunya yang ia sebut Az Zubaidiy. Bagaimana kita mengetahui kalau Baqiyah melakukan tadlis syuyukh?. Caranya dengan melihat jalan-jalan lain dari hadis tersebut.
حَدَّثَنَا أَبُو التَّقِيِّ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْحِمْصِيُّ ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ ، حَدَّثَنَا الزُّبَيْدِيُّ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : اكْتَحَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Taqiy Hisyaam bin ‘Abdul Malik Al Himshiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Az Zubaidiy dari Hisyaam bin ‘Urwah dari Ayahnya dari Aisyah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memakai celak dan Beliau sedang berpuasa [Sunan Ibnu Majah 2/583 no 1678]
Ath Thabraniy meriwayatkan hadis yang sama dengan lafaz dimana Baqiyah menyebutkan “dari Muhammad bin Waliid Az Zubaidiy” [Mu’jam Ash Shaghiir 1/246 no 401] kemudian Abu Ya’la meriwayatkan hadis yang sama dengan lafaz dimana Baqiyah menyebutkan “dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Az Zubaidiy” [Musnad Abu Ya’la 8/225 no 4792]
Sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab, terdapat perawi yang mengira bahwa Az Zubaidiy tersebut adalah Muhammad bin Waliid Az Zubaidiy sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ath Thabraniy. Muhammad bin Waliid Az Zubaidiy adalah seorang yang tsiqat tsabit [Taqriib At Tahdziib 2/143]. Padahal hakikat sebenarnya perawi itu adalah Sa’iid Az Zubaidiy bukan Muhammad bin Waliid sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Ya’la dan Sa’iid Az Zubaidiy ini adalah seorang yang dhaif sebagaimana dikatakan Ibnu Rajab.
Silakan lihat baik-baik, Ibnu Rajab dan ulama lain tidak menuduh Baqiyah berdusta, mereka tetap menganggap Baqiyah tsiqat hanya saja dalam hadis tersebut ia terbukti melakukan tadlis syuyukh yang membuat perawi dhaif disalahartikan sebagai perawi tsiqat.
Kembali pada kasus Marwan bin Mu’awiyah di atas, ketika kami menyatakan ia melakukan tadlis syuyukh dalam riwayat tersebut tidak ada sedikitpun kami melampaui batas terhadap Marwan yang tsiqat. Lagipula sebelumnya kami sudah menunjukkan ulama yang mengakui bahwa Musaawir Al Warraaq dalam riwayat Al Ajurriy tersebut adalah majhul, sebagaimana kami kutip dalam catatan kaki kitab Asy Syarii’ah Al Ajurriy 2/441 no 1249 tahqiq Waliid bin Muhammad bin Nabih Saif
![Al Ajurriy juz 2 hal 441]()
.
.
.
.
Syubhat ‘An anah Musaawir Al Warraaq Dari ‘Amru bin Sufyaan
Kami mengatakan sebelumnya bahwa jika seandainya Musaawir Al Warraaq disini adalah Musaawir Al Warraaq yang dikenal tsiqat maka terdapat illat [cacat] lain yaitu Musaawir Al Warraaq tidak terbukti berada dalam satu masa dengan ‘Amru bin Sufyan oleh karena itu lafaz ‘an anahnya tidak memenuhi persyaratan Imam Muslim.
Dalam kitab Rijal tidak ditemukan keterangan tahun lahir dan wafat Musaawir Al Warraaq, tetapi disebutkan oleh Az Zarkaliy bahwa ia wafat lebih kurang tahun 150 H [Al A’lam Az Zarkaliy 7/213]. Dan ‘Amru bin Sufyaan sudah dewasa ketika terjadi perang Jamal tahun 36 H [berdasarkan zhahir riwayat]. Rentang masa hidup keduanya cukup jauh yang memungkinkan untuk terjadinya inqitha’ [terputus sanad]. Oleh karena itu harus dipastikan bahwa Musaawir Al Warraaq memang menemui masa hidup ‘Amru bin Sufyaan.
Jika tidak terbukti maka sanadnya tidak bisa dikatakan shahih walaupun kita juga tidak memastikan itu inqitha’ [terputus]. Statusnya dikembalikan kepada kaidah dasar ilmu hadis bahwa hukum asal suatu hadis itu dhaif sampai terbukti shahih. Dan salah satu syarat shahih adalah ketersambungan sanad yang harus dibuktikan dengan kedua perawi tersebut berada dalam satu masa.
Abu Azifah kemudian menjawab dengan syubhat andaikan usia Musaawir 100 tahun dan usia ‘Amru bin Sufyan saat perang Jamal adalah 30 tahun. Maka Musaawir lahir tahun 50 H andaikan ia bertemu ‘Amru bin Sufyaan ketika usianya 20 tahun yaitu tahun 70 H maka usia ‘Amru bin Sufyan saat itu adalah 64 tahun. Jadi mungkin untuk bertemu.
Saudara abu azifah ini bisa dikatakan tidak mengerti persyaratan Imam Muslim yaitu “berada dalam satu masa”. Kedua perawi yang sudah terbukti berada dalam satu masa memang mungkin untuk bertemu tetapi ya harus dipastikan dahulu dengan berbagai qarinah bahwa keduanya berada dalam satu masa. Lucunya saudara abu azifah bukannya membuktikan kedua perawi [Musaawir dan ‘Amru bin Sufyaan] berada dalam satu masa, ia justru berandai-andai dengan kemungkinan.
Namanya kemungkinan tidaklah menafikan kemungkinan yang lain dan itu bukanlah hujjah. Abu Azifah bisa saja berandai usia Musaawir 100 tahun, lha kalau misalnya usia Musaawir hanya 60 tahun. Artinya Musaawir lahir tahun 90 H, kalau ‘Amru bin Sufyaan masih hidup tahun 90 H [dengan asumsi abu azifah yaitu usia ‘Amru 30 tahun saat perang Jamal] maka ketika Musaawir baru lahir, ‘Amru sudah berusia 84 tahun. Itupun kalau memang ‘Amru masih hidup, lha kalau ia wafat di umur 80 tahun maka sudah jelas tidak bertemu. Intinya adalah andai-andai atau kemungkinan tidak menjadi hujjah.
Setelah kami jawab dengan penjelasan bahwa kemungkinan bukanlah hujjah karena akan ada banyak kemungkinan lain, abu azifah menjawab via email dengan komentar berikut
3.Tentang usia Musawwir, anda mengatakan mungkin. Lafal mungkin bukan hujjah. Bisa iya bisa tidak. Sedangkan hujjah saya sudah saya paparkan bahwa kemungkinan bertemu itu ada.
Saudara abu azifah ini agak aneh kalau memang ia mengakui lafal mungkin bukan hujjah maka mengapa ia sendiri berhujjah dengan kata-kata mungkin. Silakan ia membuktikan bahwa usia Musaawir memang 100 tahun. Silakan ia membuktikan bahwa ‘Amru bin Sufyaan masih hidup pada tahun 70 H. Berhujjahlah dengan data tahun lahir dan wafat dalam kitab Rijal atau dengan qaul ulama atau dengan qarinah-qarinah lain yang berlandaskan pada kabar shahih. Begitulah yang dimaksud dengan hujjah bukan berandai-andai.
Abu Azifah tidak memahami dengan baik apa yang dimaksud persyaratan Imam Muslim “berada dalam satu masa”. Yang dimaksud berada dalam satu masa itu ya benar-benar terbukti bukan dengan kemungkinan
أن القول الشائع المتفق عليه بين أهل العلم بالأخبار والروايات قديما وحديثا أن كل رجل ثقة روى عن مثله حديثا وجائز ممكن له لقاؤه والسماع منه لكونهما جميعا كانا في عصر واحد
Telah menjadi kesepakatan diantara ahli ilmu dalam kabar, riwayat dan hadis bahwa setiap perawi tsiqat yang meriwayatkan suatu hadis dengan lafaz ‘an dari perawi tsiqat pula maka bisa jadi perawi tersebut bertemu dan mendengar darinya karena kedua perawi tersebut hidup dalam satu masa. [Shahih Muslim 1/12]
Jadi memang untuk menyatakan kemungkinan bertemu kedua perawi cukuplah ditunjukkan bahwa keduanya telah tsabit berada dalam satu masa. Sedangkan abu azifah malah menunjukkan kemungkinan bertemu dengan dasar kemungkinan keduanya berada dalam satu masa padahal masih ada kemungkinan lain bahwa keduanya tidak dalam satu masa. Dalam ilmu hadis, syarat lafal ‘an anah dianggap ittishal [bersambung] adalah jika kedua perawi terbukti berada dalam satu masa dan perawi yang meriwayatkan lafal ‘an tersebut tsiqat bukan mudallis.
.
.
.
.
Syubhat Tautsiq Atas ‘Amru bin Sufyaan
4.Amr bin sufyan….Lhoooo anda itu gimana tho, saya kira anda itu orang yang ilmiah,sudah diskusi panjang lebar, hanya ada 2 Amr, ya kan…? tidak ada 3 kan..? tidak ada 4 kan..? Wong yang ke-2 itu anda katakan majhul, apalagi yang ke-3 , ke-4 dst (kalau ada).
Kami heran orang ini sedang bertanya, sedang berhujjah atau sedang menggerutu kepada kami. Kalau memang ingin berhujjah secara ilmiah, maka mengapa ia tidak membuka kitab biografi perawi seperti Tarikh Al Kabir Bukhariy atau yang lainnya untuk melihat ada berapa orang yang bernama ‘Amru bin Sufyaan.
Dalam kitab Tarikh Al Kabir, Al Bukhariy menyebutkan ada lagi tiga nama ‘Amru bin Sufyaan selain ‘Amru bin Sufyaan yang meriwayatkan dari Aliy [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 6 no 2565] dan ‘Amru bin Sufyaan yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 6 no 2564]
- ‘Amru bin Sufyaan Ats Tsaqafiy [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 6 no 2562]
- ‘Amru bin Sufyaan Abul Aswad [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 6 no 2563]
- ‘Amru bin Sufyaan Abul A’waar As Sulaamiy [Tarikh Al Kabir Bukhariy juz 6 no 2566]
Kemudian Al Ala’iy juga menyebutkan dalam kitabnya Jami’ At Tahshiil Fii Ahkaam Al Marasiil, perawi yang diperselisihkan apakah ia sahabat atau bukan diantaranya ‘Amru bin Sufyaan Al Kalaabiy [Jami’ At Tahshil Fii Ahkam Al Marasiil no 567] dan ‘Amru bin Sufyaan Al Aufiy [Jami’ At Tahshil Fii Ahkam Al Marasiil no 569].
-
Berkali-kali anda katakan bahwa Ats tsiqat Ibnu Hibban ada perawi majhul. Dari mana anda tahu ? Ya dari qarinah yang lain baik dari ibnu Hibban sendiri, atau ulama yang lain. Begitu kan mas ? Kalau kita tidak tahu qarinah itu, bagaimana ? Kalau anda menjawab : ya tetap majhul, karena Ibnu Hibban tasahul. Oooo Mas…maaf anda telah melampaui batas terhadap keilmuan Ibnu Hibban. Tolong anda rasakan ini.
Silakan saudara Abu azifah itu belajar ilmu musthalah hadis pada bab “majhul”. Insya Allah ia akan melihat bahwa untuk menentukan perawi sebagai majhul tidak hanya dengan lafaz sharih dari ulama yang berkata “majhul” tetapi bisa dengan melihat keadaan dirinya dalam kitab Rijal.
- Jika perawi tersebut hanya meriwayatkan darinya satu orang dan tidak ada ta’dil atau keterangan dari para ulama tentang keadaan dirinya maka statusnya adalah majhul ‘ain.
- Jika ada dua orang atau lebih yang meriwayatkan darinya dan tidak ada ta’dil terhadapnya maka statusnya adalah majhul hal.
Kami tidaklah melampaui batas terhadap Ibnu Hibban, tasahul Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat sudah menjadi hal yang masyhur di sisi para ulama hadis. Kami sudah menjelaskan bahwa Ibnu Hibban juga memasukkan perawi majhul dalam kitabnya Ats Tsiqat. Cukuplah kami nukilkan saja apa yang dikatakan Syaikh Al Albaniy
قلت: وإنما يمكن أن يتبين لنا حاله بأن يوثقه إمام معتمد في توثيقه وكأن الحافظ أشار إلى هذا بقوله: إن مجهول الحال هو الذي روى عنه اثنان فصاعدا ولم يوثق”وإنما قلت: “معتمد في توثيقه” لأن هناك بعض المحدثين لا يعتمد عليهم في ذلك لأنهم شذوا عن الجمهور فوثقوا المجهول منهم ابن حبان وهذا ما بينته في القاعدة التالية
Aku [Syaikh AlAlbani] berkata “sesungguhnya menjadi jelas keadaannya [perawi majhul] tersebut di sisi kami dengan adanya tautsiq dari imam yang mu’tamad [dijadikan pegangan] dalam tautsiq. Dan Al Hafizh telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya “seungguhnya majhul hal adalah orang yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dan tidak ada tautsiq dari para ulama”. Sesungguhnya aku hanyalah mengatakan “ulama yang mu’tamad dalam tautsiq” karena disana terdapat sebagian ahli hadis yang tidak dijadikan pegangan tautsiqnya karena mereka menyimpang dari jumhur ulama hadis dalam mentautsiq perawi majhul seperti Ibnu Hibban, dan ini akan kami jelaskan dalam kaidah berikutnya [Tammamul Minnah Syaikh Al Albani hal 20]
Kesimpulannya adalah majhul yang diakui para ulama ternyata di sisi Ibnu Hibban bukanlah jarh atau cacat bahkan ia menganggapnya adil. Secara kasarnya adalah menurut Ibnu Hibban orang yang tidak dicacat maka ia adil baik itu tsiqat atau majhul. Oleh karena itu ia memasukkan dalam kitabnya Ats Tsiqat baik perawi yang tsiqat maupun perawi yang majhul. Untuk membedakan keduanya jelas membutuhkan qarinah.
Qarinah untuk menyatakan tsiqat ya dengan melihat kalau Ibnu Hibban menyatakan secara sharih lafaz tautsiq seperti tsiqat, dhabit, mustaqiim al hadiits dan yang lainnya. Atau Ibnu Hibban memasukkan perawi tersebut dalam kitab Shahih-nya dimana Ibnu Hibban menyebutkan dalam muqaddimah kitab Shahih-nya bahwa salah satu syarat perawi dalam kitabnya tersebut adalah “shaduq dalam hadis”.
Ada juga qarinah lain yang menguatkan tautsiq perawi dalam kitab Ats Tsiqat sebagaimana hal ini diakui oleh Syaikh Al Albaniy
وإن مما يجب التنبيه عليه أيضا أنه ينبغي أن يضم إلى ما ذكره المعلمي أمر آخر هام عرفته بالممارسة لهذا العلم قل من نبه عليه وغفل عنه جماهير الطلاب وهو أن من وثقه ابن حبان وقد روى عنه جمع من الثقات ولم يأت بما ينكر عليه فهو صدوق يحتج به
Dan sesungguhnya perlu diperhatikan adalah apa yang disebutkan Al Mu’allimiy yaitu hal penting yang perlu diketahui dalam masalah ini yang sedikit diingat orang dan diabaikan oleh kebanyakan penuntut ilmu yaitu orang-orang yang ditsiqatkan Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqat, serta tidak datang pengingkaran terhadapnya maka ia seorang yang shaduq dapat dijadikan hujjah [Tammamul Minnah Syaikh Al Albani hal 25]
Sedangkan jika tidak ada qarinah yang menguatkan tautsiq Ibnu Hibban atau perawi itu dinyatakan majhul oleh ulama lain, serta yang meriwayatkan darinya hanya satu atau dua orang perawi maka penyebutan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tidak dapat dijadikan hujjah dalam tautsiq perawi. Kami kira penjelasan panjang lebar kami ini cukup untuk menjelaskan hakikat permasalahan ini.
Untuk perkara ‘Amru bin Sufyaan, tidak ada qarinah yang menguatkan tautsiq Ibnu Hibbaan dan yang meriwayatkan darinya Sa’iid bin ‘Amru bin Sufyaan dan Musaawir maka statusnya masih majhul hal.
-
Tentang Al Ijli….beliau sudah payah-payah menginformasikan kepada kita ada perawi Amr bin Sufyan dari Kuffah yang tsiqat. Siapa dia ? Anda jawab : tidak tahu. Dan selamanya akan tidak tahu. Waaa…aah sia-sia jerih payah Al ijli, tidak akan digunakan. Apa ya begitu mas ? Ada istimbath lain…Dalam rijalul hadits kita hanya menemukan 2 nama Amr bin Sufyan. Yaitu Al bashri yang tsiqat dan Al Kuffi yang diterangkan Al Ijli. Begitu kan mas? Dan kita menemui Amr kecuali 2 nama, yaitu Amr bin Sufyan dari Ibnu Abbas dan Amr bin Sufyan dari Ali. Sudah dipastikan bahwa Amr bin Sufyan dari Ibnu Abbas ini adalah Amr bin Sufyan al Bashri. Maka bisa dipastikan pula Amr bin Sufyan dari Ali ini adalah Al Kuffi yang diterangkan oleh Al Ijli. ILMIAH apa ndak pembahasan seperti ini mas? Lebih ilmiah mana dengan anda yang mengatakan Amr bin Sufyan dari Ali adalah Al Bashri juga tapi bukan Amr bin sufyan dari Ibnu abbas. Memangnya ada berapa Amr bin Sufyan ? Dalam hal ini pun anda melampaui batas keilmuan Al Ijli ( tidak mau mengistimbathkan informasi beliau )
Kenyataannya kami memang tidak tahu, tentu saja kami tidak seperti sebagian orang yang sok tahu atas sesuatu tanpa dasar ilmu. Seharusnya yang dilakukan Abu azifah adalah membuktikan bahwa ‘Amru bin Sufyaan yang meriwayatkan dari Aliy tersebut adalah orang kuufah maka hal ini akan cocok dengan apa yang dikatakan Al Ijliy. Adapun hujjah Abu azifah di atas tidak ada nilai ilmiahnya sama sekali karena keterbatasan pengetahuannya. Telah kami tunjukkan ada banyak perawi yang bernama ‘Amru bin Sufyaan jadi bagaimana cara ia memastikan bahwa yang dinyatakan tsiqat oleh Al Ijliy adalah ‘Amru bin Sufyaan yang meriwayatkan dari Aliy.
Kami bukan satu-satunya orang yang tidak tahu siapakah ‘Amru bin Sufyaan tabiin kufah yang tsiqat sebagaimana disebutkan Al Ijliy. Pentahqiq kitab Ma’rifat Ats Tsiqat Syaikh Abdul Aliim Al Bastawiy juga tidak mengetahui dengan pasti siapa dia
![Ma'rifat Ats Tsiqat juz 2]()
![Ma'rifat Ats Tsiqat juz 2 hal 177]()
Dan silakan abu azifah perhatikan juga nama ‘Amru bin Safiinah pada no 1384 disebutkan Al Ijliy bahwa ia tabiin madinah yang tsiqat tetapi pentahqiq mengatakan Al Ijliy tafarrud [menyendiri] dalam menyebutkannya, tidak ditemukan biografinya. Ada perawi bernama Umar bin Safiinah tetapi Al Ijliy sudah menyebutkan tentangnya pada no 1347.
Apakah Abu Azifah akan mengatakan wah sia-sia jerih payah Al Ijliy dan ulama pentahqiq kitab tersebut telah melampaui batas keilmuan Al Ijliy?. Sungguh aneh beginilah hakikat orang yang terlalu banyak bicara melampaui batas keilmuannya.
-
Tentang hukum maqbul, maaf anda keliru, mengatakan sebutan maqbul adalah dhaif. Pernyataan maqbul merupakan pernyataan martabat ke-3 dalam martabat-martabat rawi hasan. Anda cek dalam Alfiah Suyuthi.
Justru Abu azifah ini yang keliru, kami ulangi begitulah kalau belajar ilmu musthalah hadis setengah-setengah. Ilmu yang didapat rusak dan kalau berhujjah menjadi ngawur. Lafaz “maqbul” yang dibicarakan disini adalah lafaz yang digunakan Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqriib At Tahdziib, jadi jangan dikacaukan dengan lafaz maqbul secara umum atau lafaz maqbul dari ulama lain. Ibnu Hajar telah menjelaskannya sendiri dalam kitabnya Taqriib At Tahdziib
![Taqrib At Tahdziib maqbul]()
السادسة: من ليس له من الحديث إلا القليل، ولم يثبت فيه ما يترك حديثه من أجله وإليه الإشارة بلفظ مقبول حيث يتابع وإلا فلين الحديث
Thabaqat keenam : orang yang tidak memiliki hadis kecuali sedikit, tidak tsabit ditinggalkan hadisnya, maka atasnya diisyaratkan dengan lafaz maqbul, yaitu ketika ada mutaba’ah dan jika tidak maka hadisnya lemah [Taqriib At Tahdziib 1/8]
Syaikh Abu Hasan As Sulaimaniy dalam kitabnya Syifaaul ‘Aliil Bi Alfaazh Wa Qawaaid Al Jarh Wat Ta’dil hal 301 menyebutkan komentarnya setelah menukil perkataan Ibnu Hajar di atas
![Syifaaul Abul Hasan]()
![Syifaaul maqbul Ibnu Hajar]()
Maka zhahir perkataan ini adalah barang siapa yang dikatakan [Ibnu Hajar] tentangnya “maqbul” maka ia tidak bisa dijadikan hujjah jika tafarrud [menyendiri] sampai diteliti apakah ia memiliki mutaba’ah atau tidak, jika terdapat mutaba’ah maka diterima atau dijadikan hujjah dengannya dan jika tidak maka lemah [layyin] wallahu a’laam
.
.
Penutup
-
So….apakah saya tidak Ilmiah, ngeyel dan ngawur ?
-
Justru anda telah melampaui kapasitas keilmuan anda dengan melampaui batas terhadap keilmuan Adz Dzahabi, ketsiqatan Marwan, keilmuan Ibnu Hibban, jerih payah Al Ijli, dan istilah-istilah dari Ibnu hajar.
Untuk saat ini mohon maaf jika kami terpaksa mengatakan demikian karena faktanya memang seperti itu. Tidak ada satupun hujjah yang disampaikan Abu Azifah disini memiliki dasar ilmiah kecuali ilmu setengah jadi yang jika dijadikan hujjah akan menghasilkan pemahaman yang rusak.
- Tidak ada kami melampaui batas terhadap Adz Dzahabiy, kami telah menempatkan perkataan Adz Dzahabiy sesuai dengan kaidah ilmiah. Kalau itu dikatakan melampaui batas terhadap Adz Dzahabiy maka silakan katakan hal itu pada Ibnu Hajar yang dalam hal ini menyatakan sesuai dengan apa yang kami sampaikan.
- Tidak ada kami melampaui batas terhadap ketsiqatan Marwan, pandangan kami terhadap Musaawir gurunya Marwan justru sama dengan ulama yang menilai hadis Al Ajurriy tersebut dalam kitab Asy Syarii’ah Al Ajurriy tahqiq Waliid bin Muhammad bin Nabih Saif. Silakan dikatakan ulama tersebut melampaui ketsiqatan Marwan
- Tidak ada kami melampaui batas terhadap Ibnu Hibbaan, tasahul Ibnu Hibban adalah hal yang masyhur di sisi ulama hadis dan kami telah nukilkan salah satunya yaitu Syaikh Al Albaniy maka silakan katakan Syaikh Al Albaniy melampaui batas terhadap Ibnu Hibbaan.
- Tidak ada kami melampaui batas terhadap Al Ijliy atau jerih payah Al Ijliy. Justru apa yang ada pada kami ternyata juga ada pada ulama pentahqiq kitab Ma’rifat Ats Tsiqat dimana ia juga bertawaqquf mengenai siapa ‘Amru bin Sufyaan Al Kuufiy yang tsiqat tersebut. Silakan katakan ulama itu tidak menghargai jerih payah Al Ijliy
- Tidak pula kami melampaui batas terhadap Ibnu Hajar dalam perkara istilah maqbul di sisi-nya. Secara umum begitulah pandangan Ibnu Hajar sendiri sebagaimana ia tuliskan dalam kitabnya dan telah kami nukilkan pula ulama hadis Syaikh Abu Hasan As Sulaimaniy yang mengatakan persis seperti yang kami katakan. Maka silakan katakan ulama hadis tersebut melampaui batas terhadap Ibnu Hajar.
Kami sarankan kepada abu azifah agar belajar dengan baik ilmu musthalah hadis. Bagi kami ilmu musthalah hadis bukan sembarang ilmu yang bisa dibaca sekali lewat sambil minum kopi. Orang yang tidak mempelajari ilmu ini dengan baik dan asal nukil asal comot sana sini biasanya hanya akan menunjukkan kejahilannya sendiri.
Lihatlah anda, anda berkata keras, kasar dan mencela, semoga ini bukan tanda akan kedangkalan ilmu anda.
Saya tahu anda ingin mencari kebenaran, mudah-mudahan kebenaran akan anda dapatkan dengan salah satunya mau mendengarkan hujjah.
Terakhir nasehat saya, belajarlah yang benar terhadap dalil-dalil ahlussunnah mengenai perkara yang menyangkut ahlul bait.
Mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan saya selama ini.
Perlu diluruskan disini kami tidak pernah berkata keras, kasar dan mencela Abu Azifah. Mungkin perkataan yang ia maksud adalah perkataan kami kalau ia ngeyel, hujjahnya ngawur, tidak paham ilmu musthalah dan sebagainya. Kami rasa itu adalah perkataan yang masih wajar dalam berdiskusi karena faktanya memang demikian. Kami tidak akan mungkin mengatakan hujjahnya baik padahal faktanya ngawur. Kami tidak akan mungkin mengatakan ia alim dalam ilmu musthalah hadis jika faktanya ia tidak paham ilmu musthalah hadis.
Sebenarnya Abu azifah juga mengeluarkan pernyataan yang sama kepada kami, ia awalnya menuduh kami Syi’ah Rafidhah, menuduh kami menyimpangkan pengertian hadis dan komentarnya yang terakhir ia menuduh kami melampaui batas terhadap para ulama seperti Adz Dzahabiy, Marwan, Ibnu Hibban, Al Ijliy dan Ibnu Hajar.
Kami mendengarkan hujjah Abu Azifah bahkan membahas dan menjawabnya dengan jawaban yang panjang lebar sebagaimana kami tuliskan disini. Hal itu menunjukkan bahwa kami memperhatikan hujjahnya maka kami persilakan bagi Abu Azifah untuk memperhatikan hujjah kami, mempelajarinya dan silakan menjawab dengan ilmiah.
Insya Allah kami akan berusaha semampu kami mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ahlul bait sesuai dengan kaidah ilmiah yang benar dalam mazhab ahlus sunnah. Kami tidak akan keberatan untuk mengubah pendapat kami jika kami menemukan kebenaran yang bertentangan dengan yang kami sampaikan. Akhir kata kami juga mohon maaf jika dalam diskusi ini terdapat hal-hal yang menyinggung perasaan Abu Azifah. Dan kami harap semoga tulisan sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh para pembaca.
Filed under:
Kritik Salafy,
Kritik Syiahphobia